Repot: http://www.idsejarah.net/2015/09/sejarah-asia-tenggara-dari-masa.html
Pendahuluan
Keragaman etnis,
budaya dan bahasa dia Asia Tenggara sama sekali bukan fenomena baru.
Bukti-bukti arkeologis menunjukkan keragaman ini sudah ada sejak ribuan tahun
lalu. Masa prasejarah susah untuk direkonstruksi. Menghubungkan jejak-jejak
masyarakat yang telah lama punah dengan penduduk masa kini adalah persoalan
lain. Tengkorak kepala dapat didentifikasi dari kelompok tertentu tetapi benda
itu tidak bisa memberitahu kita bahasa apa yang digunakannya. Pola-pola yang
sama dalam upacara pemakaman di daerah-daerah berbeda menunjukkan hubungan
komunikasi dan ikatan budaya, namun kita tidak dapat memastikan apakah kelompok
orang yang berbeda ini memiliki keterkaitan atau hanya sering melakukan kontak.
Selain itu, teori-teori ilmiah tentang migrasi ke Asia Tenggara dan perpindahan
antarpenduduk di kawasan itu telah sangat banyak berubah selama setengah abad
terakhir. Semua itu membentuk ulang pemahaman kita mengenai gambaran prasejarah
yang lebih luas.
Etnosejarah
Peninjauan
rumpun-rumpun bahasa primer bermanfaat untuk melakukan pendekatan terhadap
mozaik etnis Asia Tenggara. Bahasa dan etnis tidak selalu tumpang tindih.
Seiring berjalannya waktu, individu dan kelompok dapat mengubah bahasa serta
identitas etnis.
Semua bahasa “asli” Asia Tenggara-kecuali yang ditemukan di pulau-pulau paling timur Indonesia-dapat digolongkan ke dalam salah satu dari lima rumpun bahasa yaitu Austroasia,Austronesia,Tai,Tibet-Burma dan Hmong-Mien. Bahasa Austroasia yang sering disebut Mon-Khmer mencakup bahasa Vietnam dan Kamboja(Khmer),termasuk bahasa Mon(yang biasa digunakan di sebagian Myanmar dan Thailand) dan bahasa-bahasa dari beberapa kelompok etnis yang tersebar di dataran tinggi Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand.
Sebaliknya, bahasa Austronesia(Melayu-Polinesia) banyak ditemukan di Asia Tenggara kepulauan-kecuali bahasa melayu yang digunakan di Thailand selatan, Semenanjung Malaysia dan Singapura, beberapa kelompok di dataran tinggi Vietnam Tengah dan Selatan serta Kamboja timurlaut. Hampir semua bahasa yang digunakan di Indonesia dan Filipina termasuk dalam kelompok ini.
Rumpun bahasa Tai-kadang disebut Tai-kadai-mencakup wilayah sabuk yang membentang dari kedua sisi perbatasan Cina-Vietnam hingga Assam di India timur laut. Bahasa ini meliputi bahasa nasional Thailand, Laos(termasuk bahasa yang digunakan oleh beberapa kelompok penduduk dataran tinggi yang terdapat di negara-negara tersebut),Vietnam dan Myanmar. Rumpun bahasa Tibet-Burma,bahasa yang digunakan di dataran tinggi Asia Tenggara sebelah utara. Terakhir, rumpun bahasa Hmong-Mien(sebelumnya disebut Miao-Yao) digunakan oleh keturunan imigran Cina yang menetap di dataran tinggi Vietnam, Laos, dan Thailand selama kurang lebih satu abad terakhir.
Penduduk paling awal Asia Tenggara adalah kelompok pemburu dan peramu. Mereka tidak bercocok tanam melainkan hidup dengan mengandalkan hasil buruan dan hasil laut saja. Kemajuan dating bersaman dengan diperkenalkannya sistem pertanian selama abad ke-3 SM. Penting untuk ditekankan di sini bahwa “perbatasan” antara Cina dan Asia Tenggara saat itu jauh lebih ke utara daripada yang ada sekrang. Selain itu, dalam banyak hal Cina Selatan masa kini di selatan Sungai Yangzi memiliki ikatan etnis, bahasa dan budaya yang lebih dekat dengan Asia Tenggara. Persebaran sistem pertanian padi adalah proses yang panjang dan lambat, yang berlangsung selama berabad-abad. Tidak ada bukti bahwa para pemburu dan peramu segera meninggalkan kegiatan mencari makanan untuk beralih menjadi petani.
Cendekiawan sepakat bahwa hampir semua bahasa yang saat ini digunakan di Asia Tenggara dapat dilacak mundur ke akar-akarnya yang jauh di suatu tempat di Cina Selatan. Mungkin saja pengetahuan dan praktik pertanian menyebar dari kawasan Sungai Yangzi bersama para leluhur bahasa-bahasa Asia Tenggara ketika penuturnya bergerak ke selatan.
Keberadaan dua rumpun bahasa, Austronesia dan Austroasia,dapat dihubungkan dengan migrasi. Bangsa penutur Austronesia diyakini berasal dari pesisir tenggara Cina yang kemudian bergerak ke Taiwan. Kemungkinan, sekitar 4000-5000 tahun yang lalu orang Austronesia mulai melaut, melakukan salah satu migrasi terbesar dalam sejarah. Banyak dari penduduk yang sudah ada di pulau-pulau itu terasimilasi, baik secara budaya maupun bahasa, ke dalam populasi migran meski di beberapa tempat dan terutama di Pulau Papua-mereka tetap terpisah. Di wilayah Asia Tenggara daratan, penutur Austroasia tampil menjadi kelompok dominan, mengadopsi sepenuhnya budaya dan bahasa penduduk setempat. Kronologi migrasi orang Austroasia ke Asia Tenggara masih belum jelas. Pada akhir periode prasejarah, mayoritas penduduk Asia Tenggara telah menggunakan salah satu dari dua rumpun bahasa ini. Pada awal masehi di Asia Tenggara juga terdapat penutur bahasa Tibet-Burma yang terkonsentrasi di wilayah yang sekarang menjadi Myanmar. Pada abad ke-13 pola distribusi kelompok etnis dan rumpun bahasa di seluruh Asia Tenggara kurang lebih telah seperti sekarang ini dengan beberapa pengceualian penting. Pertama, etnis Vietnam yang peradabannya bermula di wilayah delta Sungai Merah secara bertahap menyebar ke selatan melalui migrasi. Kedua,selama beberapa abad terakhir mayoritas pendatang baru ini adalah etnis Hmong atau Yao. Ketiga,kedatangan pemerintahan colonial membawa migrasi etnis India dan Cina dalam skala besar ke berbagai tempat di wilayah Asia Tenggara. Sampai saat ini, mereka tetep tergolong minoritas.
Semua bahasa “asli” Asia Tenggara-kecuali yang ditemukan di pulau-pulau paling timur Indonesia-dapat digolongkan ke dalam salah satu dari lima rumpun bahasa yaitu Austroasia,Austronesia,Tai,Tibet-Burma dan Hmong-Mien. Bahasa Austroasia yang sering disebut Mon-Khmer mencakup bahasa Vietnam dan Kamboja(Khmer),termasuk bahasa Mon(yang biasa digunakan di sebagian Myanmar dan Thailand) dan bahasa-bahasa dari beberapa kelompok etnis yang tersebar di dataran tinggi Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand.
Sebaliknya, bahasa Austronesia(Melayu-Polinesia) banyak ditemukan di Asia Tenggara kepulauan-kecuali bahasa melayu yang digunakan di Thailand selatan, Semenanjung Malaysia dan Singapura, beberapa kelompok di dataran tinggi Vietnam Tengah dan Selatan serta Kamboja timurlaut. Hampir semua bahasa yang digunakan di Indonesia dan Filipina termasuk dalam kelompok ini.
Rumpun bahasa Tai-kadang disebut Tai-kadai-mencakup wilayah sabuk yang membentang dari kedua sisi perbatasan Cina-Vietnam hingga Assam di India timur laut. Bahasa ini meliputi bahasa nasional Thailand, Laos(termasuk bahasa yang digunakan oleh beberapa kelompok penduduk dataran tinggi yang terdapat di negara-negara tersebut),Vietnam dan Myanmar. Rumpun bahasa Tibet-Burma,bahasa yang digunakan di dataran tinggi Asia Tenggara sebelah utara. Terakhir, rumpun bahasa Hmong-Mien(sebelumnya disebut Miao-Yao) digunakan oleh keturunan imigran Cina yang menetap di dataran tinggi Vietnam, Laos, dan Thailand selama kurang lebih satu abad terakhir.
Penduduk paling awal Asia Tenggara adalah kelompok pemburu dan peramu. Mereka tidak bercocok tanam melainkan hidup dengan mengandalkan hasil buruan dan hasil laut saja. Kemajuan dating bersaman dengan diperkenalkannya sistem pertanian selama abad ke-3 SM. Penting untuk ditekankan di sini bahwa “perbatasan” antara Cina dan Asia Tenggara saat itu jauh lebih ke utara daripada yang ada sekrang. Selain itu, dalam banyak hal Cina Selatan masa kini di selatan Sungai Yangzi memiliki ikatan etnis, bahasa dan budaya yang lebih dekat dengan Asia Tenggara. Persebaran sistem pertanian padi adalah proses yang panjang dan lambat, yang berlangsung selama berabad-abad. Tidak ada bukti bahwa para pemburu dan peramu segera meninggalkan kegiatan mencari makanan untuk beralih menjadi petani.
Cendekiawan sepakat bahwa hampir semua bahasa yang saat ini digunakan di Asia Tenggara dapat dilacak mundur ke akar-akarnya yang jauh di suatu tempat di Cina Selatan. Mungkin saja pengetahuan dan praktik pertanian menyebar dari kawasan Sungai Yangzi bersama para leluhur bahasa-bahasa Asia Tenggara ketika penuturnya bergerak ke selatan.
Keberadaan dua rumpun bahasa, Austronesia dan Austroasia,dapat dihubungkan dengan migrasi. Bangsa penutur Austronesia diyakini berasal dari pesisir tenggara Cina yang kemudian bergerak ke Taiwan. Kemungkinan, sekitar 4000-5000 tahun yang lalu orang Austronesia mulai melaut, melakukan salah satu migrasi terbesar dalam sejarah. Banyak dari penduduk yang sudah ada di pulau-pulau itu terasimilasi, baik secara budaya maupun bahasa, ke dalam populasi migran meski di beberapa tempat dan terutama di Pulau Papua-mereka tetap terpisah. Di wilayah Asia Tenggara daratan, penutur Austroasia tampil menjadi kelompok dominan, mengadopsi sepenuhnya budaya dan bahasa penduduk setempat. Kronologi migrasi orang Austroasia ke Asia Tenggara masih belum jelas. Pada akhir periode prasejarah, mayoritas penduduk Asia Tenggara telah menggunakan salah satu dari dua rumpun bahasa ini. Pada awal masehi di Asia Tenggara juga terdapat penutur bahasa Tibet-Burma yang terkonsentrasi di wilayah yang sekarang menjadi Myanmar. Pada abad ke-13 pola distribusi kelompok etnis dan rumpun bahasa di seluruh Asia Tenggara kurang lebih telah seperti sekarang ini dengan beberapa pengceualian penting. Pertama, etnis Vietnam yang peradabannya bermula di wilayah delta Sungai Merah secara bertahap menyebar ke selatan melalui migrasi. Kedua,selama beberapa abad terakhir mayoritas pendatang baru ini adalah etnis Hmong atau Yao. Ketiga,kedatangan pemerintahan colonial membawa migrasi etnis India dan Cina dalam skala besar ke berbagai tempat di wilayah Asia Tenggara. Sampai saat ini, mereka tetep tergolong minoritas.
Kebudayaan
Kebudayaan dataran
rendah Asia Tenggara mendapat pengaruh sangat kuat dari luar kawasan Asia
Tenggara. Pada dasarnya, Asia Tenggara masa lalu adalah dunia lelembut(makhluk
halus). Pada suatu masa,kepercayaan terhadap roh-dikenal sebagai animism-ada di
semua masyarakat dalam sejarah. Meskipun demikian, animisme tetap menjadi
kekuatan yang dominan di tempat lain. Makhluk halus dapat dikategorikan menjadi
beberapa jenis. Pertama, “penunggu” yang merupakan jenis
paling umum. “Penunggu” dipercaya menetap di lokasi tertentu seperti
gunung,gua,sungai,pohon atau batu. Kedua, arwah leluhur. Penghormatan terhadap sesepuh(masih hidup) dan
leluhur(sudah meninggal) umum ditemukan dalam kebudayaan Asia Tenggara. Tingkat
keterlibatan leluhur dalam kehidupan sehari-hari keturunan mereka bervariasi
sesuai kebudayaannya masing-masing. Ketiga, “dewa pelindung” yaitu makhluk halus yang bertanggung jawab
melindungi unit social tertentu seperti keluarga,desa,kota kecil,kota besar
atau bahkan seluruh negara. Secara umum, monoteisme baru dating ke Asia
Tenggara bersama persebaran agama islam dan Kristen. Dua perhatian terpenting
kebudayaan primordial Asia Tenggara adalah kesuburan-baik pertanian maupun
manusia-dan perlindungan dari bahaya. Setiap kebudayaan mengenal berbagai roh
jahat yang menggangu kehidupan manusia. Sistem kepercayaan animism ini
dirangkai dalam dua unsur utama:tabu dan sesaji. Tabu adalah langkah beserta
cara-cara yang ditempuh agar tidak menyinggung perasaan makhluk halus tertentu.
Desa biasanya memiliki seorang atau beberapa orang “spesialis” untuk melakukan
ritual atau berkomunikasi dengan makhluk halus ketika diperlukan. Salah satu
ciri khas kebudayaan Asia Tenggara,walaupun tidak hanya ada di sana, adalah
pentingnya perempuan “spesialis” dan paranormal. Perempuan sepertinya sudah
sangat lama menikmati hubungan erat dengan dunia lelembut. Pada banyak
kasus,makhluk halus itu sendiri adalah perempuan dewi-dewi padi yang disebutkan
sebelumnya atau Ibu-Ibu suci(thanh mau) etnis Vietnam dan dewi terpenting etnis
Cham,Po Nagar. Kekerabatan dan keluarga besar
adalah hal penting bagi seluruh masyarakat Asia Tenggara. Orang Barat yang
biasanya hanya menyebut “saudara laki-laki”, “saudara perempuan”, “paman”,
“bibi” dan semacamnya akan terkejut melihat banyaknya istilah Asia Tenggara
yang digunakan untuk menyebut anggota keluarga. Penggunaan istilah yang berbeda
untuk menunjuk pembicara dan pendengar mencerminkan kesadaran akan adanya
perbedaan tingkat yang halus mengenai usia dan status yang ditemukan dalam
banyak kebudayaan di Asia Tenggara. Patrilineal adalah sistem kekerabatan pada
garis keturunan ayah di Asia Tenggara. Sedangkan matrilineal adalah sistem
kekerabatan pada garis keturunan ibu di Asia Tenggara. Bilaterial adalah garis
keturunan ayah dan ibu sama pentingnya.
Struktur Sosial dan
Politik
Dalam berbagai kelompok masyarakat, keluarga diorganisasi menjadi
klan atau garis keturunan di masyarakat Asia Tenggara. Perlu dicatat bahwa
dalam banyak kebudayaan di Asia Tenggara, nama keluarga merupakan penemuan yang
relative baru, kecuali di kalangan etnis Vietnam dan etnis Kristen Filipina
sejak abad ke-16. Klan dan garis keturunan seringkali merupakan bentuk utama
organisasi social di bawah tingkat desa. Tidak semua orang Asia Tenggara
mempunyai riwayat tinggal di desa, tetapi desa merupakan unit social-politik
paling umum. Sifat, struktur dan luas desa-desa di Asia Tenggara sangat
bervariasi. Mereka bisa jadi memiliki satu kepala desa yang biasanya berasal
dari keluarga atau klan terkuat dalam komunitas tesebut. Selama periode
pramodern,sejumlah etnis di Asia Tenggara tidak memiliki struktur di atas
tingkat desa. Desa bersifat otonom dan tidak tunduk pada kekuasaan seorang
penguasa luar. Konteks Asia Tenggara, umumnya berbicara tentang raja dan
kerajaan ketika membahas etnis-etnis yang sudah terkena pengaruh budaya dari
luar Asia Tenggara. Para cendekiawan biasanya menyebut masyarakat yang dipimpin
oleh kepala suku sebagai “pesukuan”(chiefdom). Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan dalam kelompok
masyarakat Asia Tenggara selalu bersifat personal. Kerajaan-kerajaan kuno Asia
Tenggara menunjukkan banyak kelemahan dan permasalahan yang sama dengan
pendahulunya.
Dataran Tinggi dan
Dataran Rendah, Hutan dan Padang Rumput, Daratan dan Lautan
Setiap
negara di Asia Tenggara, kecuali singapura yang urban,dicirikan oleh minimal
satu dari tiga perbedaan pokok demografi. Pertama, antara penduduk dataran rendah dengan penduduk yang tinggal di
bukit biasanya disebut “orang gunung”. Kedua, antara penduduk yang tinggal di permukiman tetap biasanya tinggal
di hutan dan bertahan hidup dari hasil buruan. Ketiga, antara populasi kecil di
beberapa negara terkosentrasi dan bergantung pada laut untuk mencari nafkah
namun tetap tinggal di daratan. Tetapi juga ada etnis. Etnis-etnis yang tinggal
di dataran tinggi,hutan atau di atas kapal di sepanjang pesisir tergolong kaum
minoritas dan kemudian disebut “penduduk pribumi”. Di sebagian besar wilayah
daratan Asia Tenggara,para penutur Austroasia(mon-khmer) merupakan “penghuni
tertua”. Periode pra-Austroasia adalah zaman batu.
Burma
Etnosejarah berbagai kelompok di Burma penuh dengan spekulasi.
Leluhur etnis mayoritas Burma berasal dari Tibet. Persis seperti pendahulu
mereka yaitu etnis Pyu. Baik etnis Pyu maupun Burma adalah penduduk dataran
rendah. Mereka menguasai kota dan kerajaan yang mendominasi catatan sejarah
Burma. Dataran tinggi Burma dihuni berbagai kelompok etnis penutur bahasa
Tibet- Burma atau Mon-Khmer dan etnis Shan yang merupakan penutur Tai sekaligus
penganut Buddha Theravada. Penduduk tertua wilayah Burma modern adalah etnis
Wad an Palaung. Beberapa minoritas Burma terpenting lainnya adalah penutur
Tibet- Burma. Kelompok mayoritas di dataran tinggi adalah etnis Shan. Etnis
Shan memiliki struktur social-politik paling berkembang di antara etnis-etnis
dataran tinggi Burma. Kelompok penting lainnya yang ditemukan di dataran tinggi
Burma adalah Karen.
Kamboja
Kasus
di kamboja sangat ertolak belakang karena penduduk dataran rendah dan dataran
tingginya berasal dari etnis Mon-Khmer yang sama. Di kamboja,minoritas dataran
tinggi ini terkosentrasi di daerah timur laut. Salah satu minoritas
terbesar,etnis Kuy yang menetap di perbatasan Thai. Dataran tinggi di wilayah
timur laut adalah rumah bagi populasi kecil etnis Jarai dan Rhade. Di
daerah-daerah dataran rendah Kamboja terdapat pula kantong-kantong etnis muslim
Cham,juga etnis Lao di sepanjang perbatasan utara.
Negeri Thai
Para penutur Tai muncul, mendominasi daerah-daerah dataran rendah
Thailand dan Laos, mempengaruhi sistem politik dan budaya di kedua wilayah itu.
Dua area di wilayah daratan Asia Tenggara menjadi lokasi pergeseran penduduk
yang paling signifikan. Keduanya adalah Laos dan Thailand Utara modern. Wilayah
Thailand ini diyakini pernah dihuni etnis Mon dan Lawa-etnis Lawa juga termasuk
kelompok penutur Mon-Khmer. Laos memiliki populasi penutur Mon-Khmer yang
beragam. Kelompok-kelompok penutur Mon-Khmer ini adalah keturunan penduduk asli
Laos modern.
Vietnam
Daerah-daerah dataran tinggi di Vietnam timur laut pada dasarnya
adalah bagian dari negeri Tai dengan dua kelompok utamanya, Thai Hitam dan
Putih. Walaupun rakyat Vietnam menggunakan bahasa Mon-Khmer, umumnya diyakini
bahwa akar budaya pra-Cinanisasi mereka sama dengan etnis Tay dan Nung.
Kelompok etnis paling terkenal adalah E-de(Rhade) dan Gia-rai(Jarai).
Orang Gunung “Terbaru”
Pola permukiman yang disebutkan di atas sudah ada selama kurang
lebih 1.000 tahun terakhir. Jauh lebih tua dibandingkan hampir semua kelompok
masyarakat selain etnis Tai. Lima kelompok utama adalah Hmong, Yao(Mien), Lahu,
Lisu dan Akha. Sebagai pendatang terbaru, mereka terpaksa menetap di daratan
tertinggi yang bisa dihuni yaitu dia atas daerah yang dihuni para penutur Mon-Khmer
atau Tai dataran tinggi. Komunitas Kristen dapat ditemukan dalam kelima
kelompok ini, terutama etnis Hmong.
Negeri Kepulauan
Bahasa Melayu beserta hampir semua bahasa asli Indonesia dan
Filipina termasuk keluarga Austroasia. Keragaman etnis di negeri kepulauan ini
sangat besar, termasuk perbedaan tegas antara berbagai kelompok yang ada dalam
konteks kebudayaan dan ceruk ekologinya. Istilah “Melayu” sendiri sangat cair
dan telah digunakan pada waktu berbeda untuk menyebutkan kelompok-kelompok
berbeda yang menjadi penutur bahasanya masing-masing. Kelompok penutur
Austroasia lainnya biasa disebut “senoi”. Sejarah Asia Tenggara tidak bisa
diceritakan dengan sekadar mengulas seputar masyarakat dataran rendah yang
tinggal di kota besar, kota keil dan pedesaan. Sebagian besar kelompok yang
tinggal di luar daerah dataran rendah berinteraksi dan menjalin kontak dagang
dengan penduduk dataran rendah. Upaya untuk merekonstruksi sejarah multietnis
yang harus mempertimbangkan peran dan signifikan kelompok-kelompok yang
menghuni ceruk-ceruk ekologi berbeda adalah tugas paling menantang yang
dihadapi para sejarawa Asia Tenggara masa kini.
2
Pembentukan Negara
Kuno
Pendahuluan:
Pendekatan terhadap Sejarah Kuno Asia Tenggara
Protosejarah menunjukkan
periode ketika sebuah kawasan tertentu belum menghasilkan catatan tertulisnya
sendiri tetapi minimal sudah muncul dalam sumber-sumber asing. Informasi cukup
terperinci tentang kawasan ini dapat ditemukan dalam sumber-sumber Cina sejak
abad ke-3 dan ke-4. Prasasti dalam bahasa sansekerta dan bahasa-bahasa setempat
muncul tidak lama kemudian. Kedua bahan ini menjadi sumber utama pengkajian
sejarah kuno Asia Tenggara meski masing-masing memiliki masalah tersendiri.
Tulisan para sejarawan Barat selama paruh pertama abad ke-20 untuk
merekonstruksi narasi masa lalu Asia Tenggara sangat bergantung pada
naskah-naskah Cina. Para cendekiawan umumnya menerima pandangan Cina bahwa
kawasan ini dipenuhi “kerajaan” dan “imperium” dengan berbagai ukuran, diperintah
“dinasti” dan “birokrasi” turun-temurun serta kemungkinan memiliki pola yang
sama dengan Kerajaan Pertengahan. Telah lama disadari bahwa sejarah kuno Asia
Tenggara sangat dipengaruhi kebudayaan Cina(di Vietnam) dan India(di hampir
semua tempat lainnya dikawasan ini). Bagi Coedes, narasi sejarah Asia Tenggara
dimulai sejak kedatangan kebudayaan India. Setidaknya, terdapat dua konsekuensi
penting dari perubahan ini. Pertama, para sejarawan sekarang menekankan pada proses perubahan budaya
secara bertahap yang bergerak dari masa prasejarah ke protosejarah. Kedua, aktivitas ekonomi yang
menghubungkan kawasan Asia Tenggara dengan Samudera Hindia dan tempat lain
selama beberapa abad sebelum dimulainya Indinisasi budaya semakin banyak
diperhatikan. Diyakini bersama bahwa Asia Tenggara pada periode protosejarah
identik dengan kesukuan.
Indianisasi
Pengaruh kebudayaan India tersebar luas di kawasan Asia Tenggara.
Sebagian sejarawan lebih menyukai istilah “Sansekertanisasi” karena bukti
kongkret paling awal adalah munculnya prasasti dalam bahasa Sansekerta di
berbagai tempat di Asia Tenggara. Sebagian lainnya lebih menyukai istilah
“Hindunisasi” karena fenomena ini juga ditandai dengan masuknya konsep
dewa-dewa Hindu seperti Siwa, Wisnu, dan Brahma. Jadi, “Indianisasi” di India
adalah proses interaksi sekaligus sinkretisme antara kepercayaan dan konsep
local dengan kepercayaan dan konsep yang datang dari luar kawasan tertentu. Ini
terbuti dengan beragamnya pengaruh seni dan bahasa yang ditemukan dalam
artefak-artefak kuno kawasan ini. Upaya untuk menentukan titik akhir
Indianisasi bahkan lebih sulit lagi, tetapi dapat diperkirakan bahwa pada akhir
milennium pertama pengaruh Hindu dn Buddha secara langsung dari India sudah
sangat berkurang. Indianisasi di Asia Tenggara maritime jauh lebih selektif.
Jawa dan Bali adalah tempat yang paling terpapar kebudayaan India. Inti
Indianisasi adalah penerimaan praktik-praktik agama India, baik berupa pemujaan
dewa-dewa Hindu ataupun Buddha. Persebaran agama-agama India disertai banyak
unsur budaya lainnya.
Dari Protosejarah ke
Sejarah Kuno
Ketika masyarakat-masyarakat berpemerintahan muncul untuk pertama
kalinya pada abad-abad pertama Masehi, masyarakat tersebut pada dasarnya adalah
versi lebih kecil dari kerajaan dan kekaisaran yang mendominasi kawasan pada
millennium kedua. Sebagian besar informasi mengenai masyarakat berpemerintahan
berasal dari catatan-catatan Cina dan prasasti-prasasti lokal. Fokus utamanya
adalah apa yang sering disebut “raja dan pertempuran” dengan asumsi bahwa
inilah aspek-aspek terpenting yang menjadi tulang punggung bagi narasi-narasi
ini. Dinasti bangkit dan jatuh,monarki memerintah hingga wafat atau takhtanya
digulingkn,perbatasan kerajaan dan imperium ini meluas atau menyempit melalui
operasi militer, anekasi dan kehilangan wilayah. Bukannya tersebar dengan
batasan pasti dan relative konsisten selama pergantian pemerintahan, kewenangan
dan kendali pusat malah menguat dan melemah tergantung pada kekuataan dan
karisma seorang penguasa. Itu sebabnya, bentuk dan struktur masyarakat
berpemerintahan kuno di Asia Tenggara ini dapat dianalogikan dengan “akordeon”.
Oleh karena itu, pemetaan Asia Tenggara kuno dalam konteks entitas-entitas
besar dengan perbatasan tetap lebih sulit dari yang dibayangkan.
Pyu
Etnis yang dikenal
sebagai Pyu adalah sebagian dari penduduk tertua yang diketahui mendiami
wilayah yang sekarang menjadi Burma dan Myanmar. Kebudayaan Pyu telah
mendahului paparan pertama kebudayaan India dan berkembang hingga awal masa
Kerajaan Pagan yang muncul di kemudian hari. Bukti-bukti kuat merujuk bahwa
fondasi kebudayaan Pagan pada dasarnya adalah Pyu. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa Pyu adalah salah satu etnis Asia Tenggara paling awal yang mengadopsi
unsur-unsur kebudayaan India. Nama “Beikthano” sendiri berarti “kota wisnu”
sementara patung dewa-dewa Hindu dan juga Buddha telah digali di berbagai situs
Pyu.
Dwarawati
Nama sansekerta Dwarawati diasosiasikan dengan sekelompok situs
yag tersebar di Thailand tengah(dalam bentuk setengah lingkaran besar
mengelilingi Bangkok) dan sebagian Thailand timur laut. Dwarawati telah lama
dikenal melalui naskah-naskah tua Cina, tetapi pada 1960-an ditemukan koin-koin
yang memuat nama Dwarawati dalam bahasa sansekerta. Dwarawati lebih tepat dipandang sebagai wilayah budaya daripada kerajaan. Dwarawati
diasosiasikan dengan etnis Mon yang merupakan penduduk asli sebagian besar
wilayah Thailand modern sebelum migrasi berbagai kelompok penutur Tai.
Peninggalan terpenting adalah Dharmachakra(“Roda Dharma” yang mengacu pada ajaran agama Buddha), simbolisasi
ikrar(bersifat nazar)pengabdian kepada Buddha dan batusema(di timur
laut) yang menandai batas ruang suci dalam kuil-kuil.
Cham
Cham pernah menjadi
tetangga selatan Vietnam modern. Keberadaan mereka di wilayah
daratan telah tercatat sejak sebelum Masehi. Pada awal abad ke-3 M
sumber-sumber Cina mencatat keberadaan kerajaan yang mereka kenal sebagai
Linyi. Kerajaan ini sepertinya terletak di daerah pesisir tengah, di selatan
wilayah Vietnam yang saat itu berada di bawah kekuasaan Cina. Linyi secara umum
diakui sebagai Kerajaan Cham Kuni walaupun luas wilayah dan eksitensinya
sebagai sebuah entitas terpisah tidak diketahui. Meskipun demikian, sekarang
yang lebih umum diterima adalah pandangan bahwa terdapat sejumlah kerajaan Cham
yang hidup secara bersamaan di hampir sepanjang sejarah mereka.
Khmer
Narasi sejarah Kamboja sebelum pendirian Kerajaan Angkor pada awal
abad ke-9 telah lama didominasi nama-nama Funan dan Chenla(zhenla). Angkor
Borei dan Oc Eo mungkin merupakan bagian dari Kerajaan Khmer kuno, tetapi
gambaran abad ke-7 dan ke-8 membuat kisah tentang satu atau bahkan dua “Chenla”
menjadi semakin diragukan. Pendirian Angkor pada 802 M adalah titik puncak
proses konsolidasi Kerajaan Chenla yang telah terpecah belah, bukan
reunifikasi. Bahasa sansekerta banyak digunakan dalam prasasti, baik berdiri
sendiri maupun berdampingan dengan Khmer.
Sriwijya
Semenanjung Malaya(sekarang Thailand Selatan dan Malaysia
semenanjung) dan Pulau Sumatera adalah bagian dari jaringan perdagangan
subregional yang berkembang pesat, mendahului kedatangan kebudayaan India
selama beberapa abad. Negara-negara kota ini diyakini berperan penting dalam
merangsang perdagangan dan kemakmuran serta menyebarkan kebudayaan dari luar
daerah. Dari geliat ekonomi dan budaya ini lahirlah Kerajaan Sriwijaya yang
muncul dalam catatan sejarah pada akhir abad ke-7. Perkembangan Sriwijaya
sepertinya terkait langsung dengan perubahan pola perdagangan yang lebih
menguntungkan daerah Selat Malaka dan merugikan pesisir delta Mekong, tempat berkembangnya
“Funan” di masa sebelumnya. Berbagai sumber membenarkan bahwa Sriwijaya pada
dasarnya memang merupakan sebuah kerajaan dagang. Sriwijaya sangat dipengaruhi
agama Buddha.
Jawa
Pada pertengahan abad ke-5 seorang penguasa bernama Purnawarman
yang memerintah Kerajaan Tarumanegara meninggalkan serangkaian prasasti
berbahasa Sansekerta di berbagai lokasi di Jawa Barat. Periode 700M-900M
menjadi saksi pembangunan sejumlah candi penting yang tetap berdiri kukuh di
Jawa Tengah selama lebih dari satu millennium selanjutnya. Candi paling
terkenal adalah Borobudur dan Prambanan. Situs lain di wilayah tengah Pulau
Jwa, Dataran Tinggi Dieng. Pembangunan candi-candi Hindu dan Buddha yang begitu
besar dan megah dalam periode yang sama dan di tempat yang tidak terlalu
berjauhan menjadi contoh terbaik tentang agama berbeda yang hidup berdampingan
di Asia Tenggara kuno.
Cinanisasi Vietnam di
Bawah Kekuasaan Cina
Cinanisasi yang
terjadi di daerah yang sekarang menjadi Vietnam Utara dimulai pada awal abad
ke-2 SM. Ketika itu, daerah ini terintegrasi ke dalam kerajaan yang dikenal
sebagai Nanyue(“Nam Viet” dalam bahasa Vietnam”. Kerajaan ini diperintah
seorang kaisar yang menobatkan dirinya sendiri usai jatuhnya Dinasti
Qin-dinasti besar dengan masa kekuasaan yang singkat di Cina. Para penguasa
baru Han mengkonsolidasikan kekuasaannya di kedua sisi perbatasan Cina-Vietnam
modern. Bukti paling nyata berasal dari artefak kebudayaan Dong Son yang
tercecer di mana-mana. Bagaimanapun, adalah peristiwa-peristiwa pada abad ke-2
SM yang membawa leluhur orang Vietnam tunduk pada kekuasaan Cina selama hampir
2.000 tahun. Kekuasaan Cina berlangsung hingga awal abad ke-10, ketika jatuhnya
Dinasti Tang memberi Vietnam peluang untuk merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Aspek Cinanisasi terpenting bagi orang Vietnam adalah apa yang
disebut sebagai “sudutpandang” mereka-sistem nilai dan kepercayaan. Inti
kebudayaan Cina dibentuk tiga rangkaian nilai yang dikenal sebagai “Tiga
Ajaran”(sanjiao): konfusianisme,buddhisme dan taoisme. Sebagian besar unsur
sistem kepercayaan ini diteruskan ke dalam kebudayaan Vietnam selama millennium
kekuasaan Cina. Jejak kebudayaan Cina di Vietnam sangat beragam. Hampir semua
nama keluarga dan nama orang di Vietnam diturunkan dari bahasa Cina. Ironisnya,
proses Cinanisasi di Vietnam jauh melampui periode kekuasaan Cina sebenarnya.
Bangsa Vietnam muncul dari periode Bac Thouc dengan kemerdekaan politik tetapi dijejali mentalitas yang masih
berakar pada dunia Cina, setidaknya pada tingkatan elite.
0 Response to "ASIA TENGGARA: DULU DAN SEKARANG"
Post a Comment