Perjalanan Tan
Tan
Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan
Gadang, Suliki, Sumatera Barat, panggilan akrabnya pada waktu itu adalah
Ibrahim. Menurut Harry A. Peoze, seorang ahli sejarah dan guru besar
berkebangsaan Belanda mengatakan bahwa, tahun kelahiran Tan Malaka secara tepat
tidak diketahui. Karena pada waktu itu belum ada register (daftar) penduduk bagi orang Indonesia.
Harry
A. Poeze cendrung untuk menganggap tahun 1894 sebagai tahun kelahiran Tan
Malaka yang paling tepat, melihat fakta bahwa pada tahun 1903 ia mengikuti
pendidikan di sekolah rendah. Maka, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ketika
itu ia beRusia kurang lebih 6 tahun.[1] Tan
Malaka menyatakan bahwa keluarganya beragama Islam dan beradat asli
Minangkabau. Ia lahir dalam kultur yang peduli terhadap pendidikan dan memiliki
tradisi keagamaan yang kuat dan juga keluarganya termasuk taat kepada ajaran
Islam.[2]
Tan Malaka memulai pendidikannya dengan masuk sekolah
kelas II Suliki dari 1903-1908, kemudian guru-gurunya mendorong dan membantu
agar Ibrahim melanjutkan pendidikannya karena anak didik mereka mempunyai otak
yang cerdas dan tajam. Atas bantuan mereka, Ibrahim melanjutkan pendidikan ke sekolah
guru-guru negeri atau sekolah raja. Sekolah ini merupakan tempat pendidikan
untuk guru-guru pribumi di fort de kock atau bukit tinggi. Setelah tamat
belajar disekolah guru pada Oktober 1913, bersama keluarga horensma, guru
disekolah raja yang menganggapnya sebagai anak sendiri, Tan Malaka berangkat ke
Belanda untuk melanjutkan pendidikan di Rijks
kweek School (sekolah guru) di Harleem atas bantuan biaya dari yayasan
Engku Fond.[3]
Biaya itu dianggap sebagai pinjaman yang akan dibayarnya kelak apabila sudah
bekerja dan sudah berpenghasilan.
Di
Belanda, watak Tan Malaka terbentuk: membaca, belajar, dan menderita. Di sana
dia menutupi kekurangan uang dengan belajar bahasa melayu, sambil berusaha
menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkritis, yang bermula
hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin. Dia bahkan pernah
mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan.
Tan Malaka lalu berkenalan dengan teori revolusioner,
sosialisme, dan Marxisme-komunisme melalui berbagai buku dan brosur. Bahkan dia
sempat diminta Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mewakili Indische
Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Ideologi di kota
Deventer. Melalui interaksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, dia semakin
yakin bahwa keyakinan itu dia pegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam
pengembangan politiknya.[4]
Pada
November 1919, setelah kecamuk perang dunia I usai, Tan Malaka pulang ke
Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk bekerja sebagai guru di Tanjung Morawa ini, matanya mulai terbuka ketika Tan
Malaka melihat betapa kejamnya sistem kapitalis yang dipraktekkan di perkebunan
tersebut yang memperlakukan bangsanya sebagai kuli kontrak. Sistem kapitalis
itu melilit dan membelenggu kuli kontrak hingga pasrah menerima nasib mereka.
Kuli-kuli kontrak perkebunan itu tidak berdaya dan tidak ada orang yang
memperdulikan mereka. Maka terjadilah penindasan dan penghisapan manusia atas
manusia.
Dengan
pikiran jernih dan hati yang mantab Tan Malaka menentukan pilihan meninggalkan
semua kemewahan, keistimewaan, dan kenikmatan sebagai guru perkebunan yang
mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang Belanda. Tan Malaka membuat
ancang-ancang dan persiapan untuk menerjunkan diri sepenuhnya kemedan politik
guna memperjuangkan nasib bangsa melawan sistem kapitalis kolonial yang
menjajah tanah air Indonesia.
Tan
Malaka memutuskan berhenti dari pekerjaannya kemudian berlayar ke Jawa dengan tujuan ke Semarang untuk menemui
teman-temannya yang telah dihubunginya. Mereka bersedia membuka jalan bagi Tan
Malaka untuk memasuki arena perjuangan politik. Cita-cita dan tekat yang sudah lama
dipendamnya adalah mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan jiwa
rakyat murba.
Ketika
bertemu dan bertukar pikiran dengan Semaun, Semaun berkata, “nanti kami akan
berusaha agar saudara dapat memimpin perguruan. Ini memang sudah pada
tempatnya”.12 Beberapa waktu kemudian, Semaun membuat rapat istimewa
bagi anggota Sarekat Islam (SI) Semarang dan mengusulkan pendirian sebuah
perguruan. Usul ini diterima dengan baik, dan pendaftaran bahkan dimulai hari
itu juga. Gedung sekolah tidak menjadi halangan karena Sarekat Islam (SI) Semarang
mempunyai gedung sendiri untuk rapat. Untuk sementara, gedung tersebut akan
dijadikan sebagai sekolah. Perlengkapan belajar juga dikumpulkan secara
bergotong royong.
Dalam
waktu dua tiga hari saja, Tan Malaka sudah bisa memulai mengajar disekolah tersebut
dengan 50 murid baru. Dalam brosur kecil Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs, Tan Malaka memaparkan dasar
dan tujuan perguruan itu serta mencapai tujuannya.
Sekolah
itu resminya bernama sekolah rakyat tetapi masyarakat mengenalnya sebagai
sekolah Tan Malaka. Bagiamana perkembangan selanjutnya? Tan Malaka sendiri
mengungkapkan dalam tulisan oto biografinya dari penjara kepenjara dan mengutip
dari ensyclopaedia Van Nederlands ooet indie Vi Suplement halaman 534 yang
diterjemahkannya:
“dimana-mana berdiri sekolah rakyat
model Tan Malaka. Diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan
muda Sarekat Pemuda dan Kepanduan, saat waktu luang dibuat kursus kilat untuk
membentuk propagandis yang aktif, sebagai warga rumekso yang akan menjadi kader
organisasi. Awalnya dalam rapat terbuka, kemudian dalam rapat anggota atau
rapat tertutup terbatas”.
Demikianlah gambaran sekilas tentang kegiatan Tan
Malaka dalam bidang pendidikan sebagai awal aktifitasnya dalam medan perjuangan
bangsa. Tahun 1921-1922 merupakan
permulaan nyata bagi karir politik Tan Malaka karena dia mendirikan sekolah
rakyat yang pertama di Semarang. Keadaan waktu itu tidak memungkinkan dia
membatasi kegiatanya hanya dalam bidang pendidikan saja. Kaum buruh sedang
menggeliat, bergerak menghadapi kekejaman pertumbuhan kapitalisme kolonial
Hindia Belanda. Jumlah tenaga pimpinan, kader, dan aktifis perjuangan masih
terbatas.
Maka,
mau tidak mau Tan Malaka terseret untuk terjun dalam gerakan buruh. Pertama,
dia terpilih menjadi wakil ketua Serikat Pegawai Pelikan Hindia (SPPH Tambang
Minyak Cepu), dengan Semaun sebagi pendiri dan ketuanya. Kemudian dia juga
terpilih sebagai ketua merangkap bendahara Sarekat Pegawai Percetakan.
Pada waktu Semaun berangkat ke luar
negeri guna menghadiri kongres buruh di Moskow dan melakukan kegiatan lain
sehingga cukup lama meninggalkan Indonesia. Akibatnya jabatan ketua PKI kosong,
sementara banyak masalah perjuangan yang harus ditangani. Akhirnya pada Desember
1921, PKI mengadakan Kongres VIII SI
Semarang. Untuk menghindari kekosongan ketua, Kongres memilih Tan Malaka
mewakili Semaun menjadi ketua Partai sekalipun ia sudah menyatakan keberatanya.
Dengan jabatan baru ini, tentu saja kegiatan politiknya, di samping kegiatan
dalam pergerakan buruh dan pendidikan, makin meningkat dan makin menonjolnya
sebagai tokoh gerakan. Posisi seperti itu dengan sendirinya menyebabkan Tan
Malaka menjadi sasaran penangkapan dan penahanan penguasa kolonial.
Waktu
itu Tan Malaka baru berusia 25 tahun dan dia juga menjadi anggota dewan
Gemeente (Dewan Kota) Semarang. Pada 13 Februari 1922, ketika berada di Bandung
untuk memeriksa gedung Sekolah Rakyat kedua, akhirnya Tan Malaka yang kegiatan
dan gerak-geriknya dengan ketat dan tajam selalu diikuti Polisi Rahasia Belanda
(PID) ditangkap dan ditahan. Sebenarnya penangkapan ini sudah lama
diantisipasinya, penyebab utamanya adalah pemogokan pegawai pegadaian.
Tan
Malaka dibuang keluar Indonesia atau tepatnya di Kupang, Pulau Timor pada
tanggal 2 Maret 1922 oleh putusan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi Tan Malaka
minta dibuang keluar Hindia Belanda, setelah perdebatan seru antara sesama
pejabat Hindia Belanda, permintaan Tan Malaka itu dikabulkan sesuai putusan
pemerintah tangal 10 Maret 1922 no. 2 isinya menyatakan bahwa Tan Malaka
secepatnya harus meninggalkan Hindia Belanda dan segala ongkos perjalanan
menjadi tanggungan sendiri.[5]
Pada waktu itu Tan Malaka menulis
sebuah brosur pembelaanya berjudul
Tunduk Kepada Kekuasaan Tetapi Tidak
Tunduk Kepada Kebenaran. Tanggal 29 Maret 1922, dengan kapal Insulinde Tan
Malaka bertolak dari Tanjung Priok dengan pengawalan ketat. Ia berlayar melalui
Teluk bayur, Padang. Di tempat ini dia dilarang turun kedarat menemui
teman-teman dan anggota keluarganya yang siap menemaninya untuk memberi salam
perpisahan.
Dengan pembuangan itu, dimulailah perjuangan
Tan Malaka di luar Negeri, di gelanggang Internasional. Setelah lebih 20 tahun
berikutnya, barulah ia menyusup masuk kembali ketanah air.
Dalam
Kongres Komintern IV tahun 1922 yang diadakan di Moskow Tan Malaka hadir
mewakili Indonesia. Di sana ia mendapat sorotan tajam karena menentang sikap
permusuhan Komintern terhadap Pan-Islamisme yang dianggap sebagai kekuatan
Borjuis yang tidak dapat dipercaya.
Tan
Malaka menekankan potensi revolusioner Islam di wilayah-wilayah jajahan dan
pentingnya bekerja sama dengan mereka. Di Indonesia, sejak awal penjajahan
Belanda sampai akhirnya kebangkitan kesadaran Nasionalisme, pemberontakan
melawan penjajah selalu dilakukan oleh potensi Islam, antara lain SI. Sebab,
kebanyakan orang Islam adalah petani dan buruh miskin tertindas yang
menginginkan kebebasan nasional dari cengkeraman kolonial.
Meskipun
ada pertentangan seperti itu, Tan Malaka tetap diangkat menjadi wakil Komintern
untuk Asia Tenggara pada pertengahan 1923, kemudian ia berangkat menuju Cina
dan mendirikan Markas Besar di Kanton. Di tempat itu dia bertemu dan berkenalan
dengan Sun Yat Sen serta sejumlah pemimpin Cina lainya. Asia tenggara yang
menjadi daerah tanggung jawabnya meliputi Burma, Siam, Annam, Filipina,
Malaysia, dan Indonesia.
Pada
bulan oktober 1925, pimpinan PKI waktu itu, Sardjono, Alimin, dan Muso
mengadakan rapat gelap di Candi Prambanan, Yogyakarta. Mereka memutuskan
pemberontakan melawan penindasan dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial.
Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh Tan Malaka sebagai pimpinan
tertinggi Komintern Asia, sebab menurut perhitungan perbandingan kekuatan dan
keadaan, mengadakan pemberontakan waktu itu sama dengan bunuh diri bagi PKI,
akhirnya pemberontakan PKI meletus juga di Jawa Barat pada bulan November 1926
dan di Sumatra Barat, Januari 1927. Namun yang terjadi hanyalah gejolak
kerusuhan kecil di tingkat lokal yang mudah dipadamkan dan ditindas oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Melihat kenyataan seperti itu Tan Malaka
melepaskan dan memisahkan diri dari PKI, dan hubungan dengan Komitern pun merenggang.
Bersama temannya yaitu Subakat, Djamaludin Tamim, dan Budi Sucitro, yang
sehaluan dan sejalan, Tan Malaka akhirnya menempuh jalan sendiri, bersikap, dan
bertindak mandiri. Pada april 1925, Tan Malaka menulis buku Menuju Republik
Indonesia. Buku aslinya ditulis dalam
bahasa Belanda karena memang ditujukan kepada kaum terpelajar Indonesia yang
akan menjadi calon pemimpin politik nasional masa datang, baik yang berada di
tanah air maupun di Negeri Belanda. Tahun 1927, bersama Subakat dan Djamaludin
Tamim, Tan Malaka memproklamasikan pendirian Partai Republik Indonesia (PARI)
di Bangkok. Partai ini bergerak di bawah tanah sebagai sarana perjuangan
pendirian RI. Kemudian pada tahun 1932 Tan Malaka Berhasil masuk Hongkong
dengan nama Ong Soong Lee, kemudian tertangkap oleh Polisi Rahasia Inggris.
Setelah lebih kurang 2 ½ bulan ditahan dalam penjara Hongkong, Tan Malaka
mendapat keputusan dikeluarkan ke Syanghai. Kemudian pada tahun 1936 ia
mendirikan dan mengajar pada School For
Foreign Languages di Amoy, Cina.
Tan
Malaka merupakan tokoh promotor Persatuan Perjuangan yang mengikatkan persatuan
antara sejumlah 141 organisasi terdiri dari pimpinan partai, serikat-serikat
buruh, pemuda, wanita, tentara, laskar dan lain-lain, di atas dasar 10 program
revolusi yang dikenal dengan nama 7 Pasal Minimum Program, menolak politik
kompromi dengan imperialis Belanda yang dimulai dengan politik 1 November dan 3
November 1945. dan menentang politik kompromi Linggarjati pada tahun 1947 dan
tahun 1948 dan Renville.[6]
Pada
tahun yang sama pula Tan Malaka mendirikan Partai Murba (Musyawaroh Rakyat
Banyak) yang melanjutkan Program Persatuan Perjuangan, dan melancarkan
serangkaian Gerilya Pembela Proklamasi (GPP) yang berpusat di Jawa Timur. Dan
karena gerakanya yang tidak setengah-setengah di dalam menentang bentuk-bentuk
kolonialisme dan pemerintah waktu itu, maka pada tahun 1949 Tangggal 19
Februari napas terakhirnya direnggut
ketika ia bersamasama 20 orang pemuda pengawal ditembak mati di pinggir Sungai
Brantas, tepatnya di Desa Mojo, sebelah selatan kota Kediri, Jawa Timur.
Penembakan itu atas perintah Letnan 1 Kolonel Surachmad dan Panglima dan TNI
Jawa Timur Kolonel Soengkono, di saat beliau sedang memimpin revolusi melawan
agresi Belanda, di saat itu pula para pemimpin pemerintahan pusat di Jogja
sudah banyak yang ditangkap dan ditawan Belanda. [7]
Mengenal Minangkabau
Daerah Minangkabau pada permulaan
abad ini mengenal tiga paham yang pada umumnya berpengaruh pada diri
penduduknya. Ketiga paham itu adalah paham Islam,
Adat dan
Kolonialisme serta berbagai implikasi
yang dikandungnya. Ketiganya
mempunyai pendukung walaupun para pendukung ini juga terpengaruh oleh
ketiganya. Bentrokan paham, negosiasi dan saling memanfaatkan dari interaksi
pendukung tersebut sering terjadi.
Daerah Minangkabau merupakan
daerah terbuka dari lalu lintas Dunia Internasional untuk melakukan aktivitas
politik, ekonomi, agama dan budaya. Sifat pragmatis dari sebagian penduduk
cepat mengambil manfaat dari perkembangan yang berlaku. Kemudian dalam
mengambil manfaat dari administrasi perdagangan, administrasi pemerintahan dan
juga dalam bidang pendidikan.
Bukit Tinggi menjadi pusat pendidikan
se-Sumatera. Sekolah Raja, yaitu sekolah guru berbahasa Belanda Kweek school yang berada di kota itu
merupakan tempat melatih pada tingkat menengah anak-anak Indonesia dari seluruh
Sumatera. Sekolah ini adalah tempat penampungan bagi anak-anak kalangan
bangsawan dan 17 orang-orang besar lainnya yang berada di pulau tersebut. [8]
Merantau merupakan bagian dari
tradisi Minangkabau, sehingga kedudukan perantau begitu mulia dalam masyarakat
tersebut. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau dapat membuka mata
untuk mengenal dunia luar yang luas, di mana mereka akan mendapatkan hal-hal
baru yang nanti akan dibawanya pulang. Merantau, bukanlah semata mencari uang
atau harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Berdasarkan batasan ini,
maka bisa dikatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang perantau, baik fisik maupun
mental (pemikiran).
Perantauan pertama yang dialami
Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan Desa tempat lahirnya pergi menuntut
ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukit Tinggi. Walaupun masih berada di alam
Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandan Gadang. Sewaktu Tan Malaka
tamat belajar di Bukit Tinggi, Tan Malaka diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh
kaum atau sukunya, sebagai kepala adat mereka. Ini berkaitan erat dengan ilmu
yang diperolehnya selama merantau. Tidak lama sesudah itu, Tan Malaka pergi
lagi melanjutkan studinya ke negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi
anak muda yang baru berumur 16 tahun. Ruang lingkup alamnya lambat laun berubah
dari Nagari Pandan Gadang yang kecil meluas menjadi Minangkabau dan kemudian
Indonesia. Modal tersebut dikembangkan oleh Tan Malaka untuk memahami, mengkaji
dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia.
Visi adat dan falsafah
Minangkabau dari merantau untuk mengontraskan atau membandingkan dunia
rantaunya dengan realitas alam asalnya, sehingga dapat melihat mana yang baik
dan yang buruk dari keduanya. Hal ini mengundang orang berpikir kritis dan
dialektis. Oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama
karena suasana tersebut akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan
secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan
buruk dengan akal, yaitu kemampuan berpikir secara rasionil. Dengan demikian,
visi itu mendorong orang untuk berpikir secara kritis, dinamis atau dialektis.
Cara berpikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatisme. Karena menolak
dogmatisme, maka dengan sendirinya menghendaki kebebasan berpikir.[9]
Dalam perantauan, mental Tan
Malaka berhasil melepaskan diri dari keterikatan terhadap salah satu dari
berbagai corak nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan berhasil
melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bercorak lain, berbobot dan orisinil.
Ini karena mempunyai idealisme untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia
baru, menghargai kebebasan berpikir dan memiliki sikap kritis yang tajam serta
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang kuat sehingga mendorong untuk
memiliki keberanian mengembangkan pemikiran sendiri.[10]
Minangkabau, meski terkenal
sebagai wilayah yang kuat menganut Islam, siapa yang menyangka justru ideologi kiri seperti
sosialisme dan komunisme terbentuk kuat
di sana. Bahkan Agama Islam menjadi basis persemaian ideologi kiri di
Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Agama.
Munculnya
gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padang Panjang (Sumatera
Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College), dan Bukit Tinggi
(Sumatera Thawalib Parabek).
Koalisi Islam dan
Sosialisme serta Komunisme itu didukung oleh motif yang sama untuk membebaskan
diri dari kolonialisme, di sinilah Tan Malaka berperan menghubungkan kedua arus
tersebut.[11]
Sistem pendidikan di Minangkabau
juga merupakan termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa pada tahun 1920-an,
muncul sejumlah intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung tapi
menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura dan Tan
malaka adalah salah satunya.
Karya-karya
Penting Tan Malaka
Tan Malaka sebagaimana yang sudah
diketahui, termasuk penulis yang cukup produktif dalam menuangkan alam
pikiranya. Berikut ini adalah karyakaryanya:[12]
Karya penting Tan Malaka yaitu Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi). Ditulis di penjara Madiun 1948. Berisi
tentang ajaranya dalam melakukan gerilya politik maupun ekonomi dan menjelaskan
tentang cara bergerilya dalam politik dengan strategi militer, maupun dengan
penguatan ekonomi dengan merebut seluruh kekayaan asing. Keduanya menjadi satu
dan saling menguatkan.[13]
Dalam buku ini Tan Malaka benar-benar memaparkan bagaimana melawan penjajah
Belanda, buku ini juga menjelaskan bahwa pentingnya persatuan rakyat untuk
membangun kekuatan masa yang nantinya akan menggilas penjajah Belanda. Aura
perjuangan begitu terasa setelah membaca buku ini, Tan Malaka juga memaparkan
bahwa pentingnya merdeka 100% dimana hak-hak kita yang dirampas oleh penjajah
seperti alat produksi dan lai-lain semua dikembalikan kepada rakyat Indonesia,
dengan begitu revolusi Indonesia benar-benar tercipta. Tan Malaka juga
menjelaskan bahwa ekonomi sosialislah yang tepat diterapkan di Indonesia
ini. Gerilya politik ekonomi (Gerpolek)
adalah buku yang ditulisnya dipenjara setelah perjanjian Renville pada tanggal
17 Januari 1948. Karya terbesar Tan Malaka lainnya adalah Materialisme,
Dialektika dan Logika. Dari Pendjara ke
Pendjara, ditulis pada tahun 1946-1947 di Penjara Ponorogo, yang berisi tentang riwayat hidup (otobiografi).
Ia menguraikan perjalananya dari suatu negara ke negara lain untuk menghindar
dari kejaran agen-agen kolonial. Ia juga memaparkan pandangan tentang
kepercayaan, filsafat dan tentang negara. Dari buku inilah kebanyakan para
pemerhati mendapat gambaran kehidupan Tan Malaka yang revolusioner.
Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia), diterbitkan di Canton, April 1925. Berisi tentang uraianya
akan kondisi Dunia, pertentangan dua sistem antara Kapitalisme dan Komunisme
yang diyakininya akan dimenangkan oleh Komunisme. Dilanjutkan dengan situasi di
Indonesia di mana penjajah Belanda melakukan penjajahan dengan biadab, namun
Tan Malaka yakin suatu saat penjajah akan kalah apabila semua organisasi
perjuangan yang ada terutama PKI, dapat menyusun tujuan revolusionernya.
Selain karyanya yang besar Tan
Malaka juga banyak menulis beberapa brosur diantaranya Massa Aksi, ditulis di Singapura tahun 1926. Secara umum brosur ini
berisi tuntutan bagaimana melakukan sebuah revolusi di Indonesia. Sebuah
revolusi terutama di Jawa dan Sumatera adalah sesuatu yang tak dapat
dihindarkan, baginya tidak ada sikap yang netral, yang ada adalah berpihak pada
penjajah Belanda atau rakyat terjajah Indonesia.
Dari sini kemudian baru Tan Malaka beralih
pada bagaimana menjalankan revolusi yang benar, tidak bisa dicapai oleh
pemberontakan atau kudeta secara anarkis. SI
Semarang dan Onderwijs, Ditulis di Semarang tahun 1921 pada saat Tan Malaka
berusaha merumuskan tujuan pendidikan dari sekolah Serikat Islam yang mulai
dibangunnya (dikenal juga dengan sekolah Tan Malaka). Berisi pokok-pokok
pikiran yang akan dikembangkan/diajarkan dalam sekolahnya. Kemudian
tulisan-tulisan beliau yang lain diantaranya; Asia Bergabung (Gabungan Aslia), Ditulis tahun 1943, walaupun menurut Poeze hanya selesai separuh, Semangat Moeda, ditulis di Manila tahun
1926, namun oleh Tan Malaka dikatakan di Tokyo sebagai tempat penerbitanya, Politik, ditulis di Surabaya pada
tanggal 24 November 1945 berisi tentang percakapan antara Godam (simbolisasi
kaum buruh), Pacul (petani), Toke (pedagang), Den Mas (ningrat) dan Mr. Apal
(wakil kaum intelektual). Menguraikan tentang bagaimana caranya merdeka, maksud
dan tujuan kemerdekaan, serta bagaimana mengisi kemerdekaan itu dan yang tak
kalah penting adalah Indonesia Merdeka harus berdasarkan sosialisme, Rentjana Ekonomi, ditulis di Surabaya
pada tanggal 28 November 1945 menguraikan tentang percakapan dengan simbolisasi
yang sama seperti yang ada dalam tulisanya Politik.
menerangkan tentang rencana pembangunan ekonomi, yang menurutnya ekonomi
sosialislah yang dapat membawa kemakmuran bagi Indonesia kelak, Moeslihat, ditulis di Surabaya pada
tanggal 2 Desember 1945 Berisi tentang percakapan dengan simbolisasi yang sama
seperti yang ada dalam Politik yaitu
menguraikan tentang strategi dan taktik dalam perjuangan untuk membawa
Indonesia ke arah kemerdekaan, Manifesto
PARI (Manifesto Jakarta), ditulis di Jakarta tahun 1945. Menguraikan
tentang pertentangan sistem yang ada di Dunia, antara Kapitalisme dengan
Komunisme yang menurutnya akan dimenangkan oleh komunisme serta penolakan atas
percobaan pendirian Republik Indonesia yang kapitalis dan membatalkan semua
upaya dari luar untuk menjajah kembali Indonesia dengan cara apa pun, Thesis, ditulis tahun 1946 di Lawu.
Berisi tentang ajarannya mengenai pembentukan Negara sosialistis. Uraian
tentang perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia seratus persen. Juga
pembelaannya terhadap tuduhan Trotskys yang selalu dituduhkan kepadanya,
berkenaan dengan pemberontakan PKI 1926 yang gagal dan oleh pihak PKI kegagalan
itu selalu dialamatkan kepada Tan Malaka sebagai orang yang menyabotnya, Koehandel Di Kaliurang, ditulis tanggal
16 April 1948 dengan nama samaran Dasuki. Berisi tentang penolakan terhadap
perjuangan diplomasi yang tidak berprinsip, yang dilakukan oleh pemerintah saat
itu.
Perjuangan lewat diplomasi hanya
akan merugikan Indonesia dan menjual Indonesia kepada kaum kapital asing, oleh
karena itu perundingan harus dibatalkan atau dihandel dan mempersiapkan kaum
MURBA untuk berjuang, Surat Kepada Partai
Rakyat, ditulis 31 Juli 1948 di penjara Magelang sebagai sambutan tertulis
dalam pembentukan Kongres Partai Rakyat tanggal 10-11-12 Agustus 1948 berisi
tentang bagaimana mengorganisasikan Partai Rakyat agar menjadi partai yang
memperhatikan dan memperjuangkan rakyat MURBA, Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya, Pidato tertulis pada
Kongres Rakyat Indonesia Desember 1948. Berisi tentang penolakan perundingan
yang dilakukan Indonesia saat itu dan persiapan perang kemerdekaan dalam
menghadapi agresi militer Belanda, Uraian
Mendadak, merupakan salinan tertulis dari pidato yang diucapkan di depan
Kongres peleburan tiga partai (Partai Rakyat, Partai Buruh, dan Partai Rakyat
Jelata) menjadi Partai Murba. Berisi tentang reorganisasi partai dan uraian
untuk tetap mempertahankan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Karya-karya tulis Tan Malaka
meliputi semua bidang kemasyarakatan dan ke-Negaraan-politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan sampai kemiliteran, terlihat benang putih keilmiahan dan
ke-Indonesia-an, serta benang merah orisinalitas, kemandirian, kekonsekuenan,
dan konsistensi yang dirasa jelas dalam gagasangagasan dan perjuangan
implementasinya dalam rumusan konsepsional dan penjabaran operasionalnya.[14]
Dari tulisan-tulisan itulah siapa pun kini bisa
mengenal dan menyelami gagasan-gagasan Tan Malaka. Siapa pun bisa dengan
leluasa membedah apa yang sesungguhnya yang menjadi pusat perhatian Tan Malaka.
Dan mereka akan dengan mudah mendapatkan ciri khas gagasan-gagasanya, yaitu
selalu berlandaskan cara berpikir ilmiah, berdasarkan ilmu bukti, mengutamakan
Indonesia, memandang jauh ke depan, serta mandiri, konsekuen, dan konsisten.
Penulis beranggapan bahwa karya-karya Tan Malaka yang benar-benar bisa mewakili
itu semua terangkum jelas pada buku Gerpolek
(Gerilya Politik Ekonomi) yang di tulisnya ketika ia berada dalam penjara
di Madiun pada tahun 1948. Dalam buku ini Tan Malaka mencoba me reviuw ulang tentang konsep atau cara
bergerilya dalam melawan penjajah, cara bernegosiasi dalam berpolitik dan cara
menjalankan ekonomi Indonesia pasca kolonial. Yang menjadi garis besar dalam
tulisan ini Tan Malaka anti bernegosiasi apapun terkait dengan kemerdekaan
Indonesia. Tan Malaka menginginkan kemerdekaan 100% dengan cara bergerilya dan
merebut kembali alat produksi yang dimiliki oleh kolonial. Dengan begitu kita
merdeka 100% menurut Tan Malaka, apabila kemerdekaan tidak bisa mengembalikan
alat-alat produksi yang dimiliki oleh penjajah maka ini adalah kemerdekaan semu.
Maka tawaran Tan Malaka adalah Gerilya Politik dan ekonomi.
[1] Poeze A Harry, Tan Malaka Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia, Penj. Hersri
Setiawan, Jilid I, (Jakarta, Y.O.I 2008), hal 15.
[3] Suwarto, Wasid. Mewarisi
Gagasan Tan Malaka, (Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2006).
Hal 29
[6] Tujuh butir itu adalah: 1) Berunding
atas pengakuan kemerdekaan 100%. 2) Pemerintah rakyat. 3) Tentara rakyat. 4)
Melucuti tentara Jepang. 5) Mengurus tawanan bangsa Eropa. 6) Menyita dan
menyelenggarakan pertanian musuh (kebun). 7) menyita dan menyelenggarakan
perindustrian musuh, (Dari Penjara ke
Penjara, hal 194).
[12] Rambe, Safrizal, Pemikiran Politik Tan Malaka, Kajian
Terhadap Perjuangan “Sang Kiri Nasionalis” Jalan Penghubung Memahami Madilog,
Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), hal 56-71.
[14] Kata Pengantar Wasid Suwanto, Memperkenalkan Tan Malaka, Pahlawan
Kemerdekaan Nasional yang Paling Tidak Dikenal, dalam Tan Malaka, Madilog, (Jakarta: Pusat Data Indikator,
1999), hal xiii-xvi.
Tan, tokoh kiri yang hebat..
ReplyDeletehttp://vancivil.blogspot.co.id/
indonesia bangga punya tokoh seperti Tan Malaka, dan Indonesia akan celaka apabila generasi anak bangsa tidak mau dan memahami dengan baik para tokoh besar republikan.
Deletekeerenn kak,mokaseh
ReplyDelete