BERSAMA
PROF. DR. JIMLY
ASSHIDDIQIE, S.H.
Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi
kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di
seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan
manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga
saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan
menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak
secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan.
Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi,
karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi
tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai
kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara
mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang
menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut
dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai
manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[1]
Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang
sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam
interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam
komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai
tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya,
muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi
sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat
diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun
legitimasi pragmatis.[2] Namun kekuasaan
berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut
dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena
mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya.
Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi
kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang
memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam
menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan
ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang
otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan
dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan
manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian
dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak
sosial,[3] untuk memenuhi
hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara
individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang
berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan
siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan
perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut
diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang
kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses
demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil
rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam
perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah
negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum
dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep
negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi
adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[4]
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan
ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan
secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini
bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang
dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische
rechtsstaat.[5]
Sebagaimana telah
berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai
hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat
dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya
berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU
tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah
diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi
berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya[6].
2. Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah[7].
3. Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi[8].
4. Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu[9].
5. Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[10].
6. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya[11].
7. Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat[12].
8. Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia[13].
9. Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi[14].
10. Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain[15].
11. Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan[16].
12. Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan[17].
13. Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat[18].
14. Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun[19].
15. Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia[20].
16. Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya[21].
17. Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum[22].
18. Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja[23].
19. Setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan[24].
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak
dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut[25].
21. Negara menjamin penghormatan
atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan
zaman dan tingkat peradaban bangsa[26].
22. Negara menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama,
dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan
ajaran agamanya[27].
23. Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah[28].
24. Untuk memajukan, menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan[29].
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4
ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang[30].
26. Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
27. Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis[31].
Jika ke-27 ketentuan
yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan
elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan
kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di
dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat
mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1. Kelompok
Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c. Setiap
orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d. Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e. Setiap
orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f. Setiap
orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap
orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap
orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap
orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
j. Setiap
orang berhak akan status kewarganegaraan.
k. Setiap
orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan
dan kembali ke negaranya.
l. Setiap
orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap
orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
tersebut.
Terhadap hak-hak sipil
tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat
mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”.
Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan
atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan
dan penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak
dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri
dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak kontroversi yang timbul
setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu
yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul
dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b. Setiap
warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat.
c. Setiap
warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap
orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
kemanusiaan.
e. Setiap
orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f. Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap
warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i. Setiap
orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap
orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
umat manusia.
k. Negara
menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[32].
l. Negara
mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m. Negara
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh
setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan
menjalankan ajaran agamanya[33].
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap
warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat
yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak
perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional.
c. Hak
khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap
anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga,
masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan
pribadinya.
e. Setiap
warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan,
perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam
peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan
tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian
diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan,
keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara
bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak
asasi manusia.
d. Untuk
menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan
dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia
itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok
dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi
manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan
tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak
sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh
menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia.
Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan
orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus
dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia
berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana
mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia
memahami bahwa The Universal
Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948
merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang
wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal
Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh
Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib
dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights
tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu
menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu,
perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar
pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia.
Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan
pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran
yang masih terus akan berkembang di masa-masa yang akan datang.
Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang
aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan
penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan
hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan.
Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas
dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang
dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya
negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia.
Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang
ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini
kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun
1990-an.[34]
Semua peristiwa yang
mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai
ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur
hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan
antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk
kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang
menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi
bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara
mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam
gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih
menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan
pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara,
tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan
menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi
dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan
rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang
merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di
negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola
hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan
sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan
internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang
terbagi antara hubungan Government to
Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan
itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemungkinan
bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa
perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi
warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.[35]
Dengan perkataan lain,
masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep
hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic
perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu
sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan bahwa
elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan
politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber
ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru memperlihatkan peran
yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-prosedur
hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan
kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan
ekonomi dan industri.[36]
Dalam kaitan dengan
itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai
hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan
kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini,
dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor
kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan
politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat
dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen, sedangkan
rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang
dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari
eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak
asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[37]
1. Struktur kekuasaan dalam
hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak
adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun
negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan
keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut
kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan
kebudayaan.
2. Struktur kekuasaan yang tidak
demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme
yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas
penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur hubungan kekuasaan yang
tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen
produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik
industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional,
regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber
ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan
fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas
dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa,
makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan
bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang
ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain,
makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya
untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya
sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara
berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara
pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan
yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan hak asasi
manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat
dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan
ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan
bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum
internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan.
Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[38]
Generasi Pertama, pemikiran mengenai
konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan
sejak era enlightenment di Eropa, meningkat
menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan
generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan
naskah Universal Declaration of Human Rights[39] Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu
tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris
dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat
dengan Declaration of Independence, dan di Perancis
dengan Declaration of Rights
of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar
konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia,
kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan
selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International
Couvenant on Civil and Political Rights,[40] konsepsi hak asasi
manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak
untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant
on Economic, Social and Cultural Rights[41] pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun
1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian
mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan
ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala
bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan
bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati
hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan
ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan,
kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para
ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga
generasi konsepsi hak asasi manusia
tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam
konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan
dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari
generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa
dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam
pengertian political crime (kejahatan politik)
sebagai lawan dari pengertian crime against
government (kejahatan
terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan
hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan
tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang,
sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan
berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi
manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau
masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan
kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah
yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat
seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai
alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir
inilah yang justru tepat disebut sebagai
Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan
kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya.
Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi
Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan
kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian,
pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup
dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi
generasi pertama.[42]
Menjelang berakhirnya
abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah
ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya. Pertama,
kita menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala
besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations
(MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations
(TNC’s) dimana-mana di dunia.
Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah
wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan
negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih
merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh
kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan
konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan
yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan
konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan
konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus
dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang
sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah
memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi
yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang
tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa
Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena
masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan
status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana
tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang
lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan
menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang
hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara
mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta
terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan
kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan
sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif
dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula
berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang
membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut
keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan
pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di
setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang
secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja. Semua ini
memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong
munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu,
di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha
di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti
halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para
pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri,
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan
mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti
tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara
tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik
inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara
resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat
dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke
mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai
literatur mengenai corporatisme negara, terutama di beberapa
negara yang menerapkan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep
corporate federalism sebagai sistem yang
mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras
tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking
community dan French speaking
community di Kanada,
kelompok Dutch speaking
community dan German speaking
community di Belgia,
dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di
Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas.
Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu
entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan
karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen.
Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai
suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat
tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu
teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang
bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus
dan membangkitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi
dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran
kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas
teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era
globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu
berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang
bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami
fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu,
dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga
tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam
pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain,
hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat
dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara pemerintah
dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat
horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks
hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat
dalam satu negara dan antara kelompok masyarakat antar negara. Di zaman
industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk
mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya,
yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai
produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan
rakyat banyak merupakan pihak yang mengkonsumsinya atau konsumennya. Demikian
pula setiap perusahaan adalah produsen, sedangkan produk dibeli dan dikonsumsi
oleh masyarakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut
sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari
kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat
disebut sebagai perkembangan konsepsi hak
asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam
pemahaman mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara
produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan
tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin
diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari
perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada
kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian
konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan
pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi
manusia di masa yang akan datang.
[1] Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran
Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[2] Franz Magnis-Suseno, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
[3] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak
sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J.
Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third
Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and
Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[4] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.
[5] Ibid.
[6] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[7] Ayat (2) ini berasal dari
Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
[8] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[9] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[10] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[11] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[12] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
[13] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[14] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[15] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[16] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
[17] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[18] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[19] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
[20] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[21] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[22]
Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan
Kedua.
[23] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
[24] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
[25] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya
mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik
dengan subjek negara.
[26] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika
perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga
negara.
[27] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP
No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1
butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini,
yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan
dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi
kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata
sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain.
Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam
urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah
urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain).
Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham
keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari
kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[28] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
[29] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan
“...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....”
[30] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang.
Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[31] Berasal dari Pasal 28J
Perubahan Kedua.
[32] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika
perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan
warga negara.
[33]
123 Ini adalah ayat tambahan
yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif
4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi,
khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi
penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”,
sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk
menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa
juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap
tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain
masyarakat sendiri (public domain).
Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham
keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari
kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[34] Lihat Samuel P.
Huntington, The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of
Oklahoma Press, 1991).
[35] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
(Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.
[36] Dalam kehidupan sosial
terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil
society), dan pasar (market).
Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang
tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, op cit., hal. 81.
Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah kekuasaan
tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah kekuasaan.
Lihat, Anthony Giddens, The Constitution
of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of
the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan;
Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan
Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State
Building: Governance and World Order in the 21st Century, Penerjemah:
A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
[37] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
op cit, hal. 211-212.
[38] Ibid.
[39] Ditetapkan oleh Majelis
Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
[41] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16
Desember 1966.
[42] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara
dan Pilar-Pilar Demokrasi, op. cit, hal.
220-222.
0 Response to "BELAJAR DEMOKRASI DAN HAM"
Post a Comment