Oleh: Reza A.A
Wattimena
Tulisan ini merupakan salah satu bab dalam diktat Filsafat
Manusia: Menjadi Manusia Otentik (Reza A.A Wattimena, 2011)
Pada tulisan ini dengan mengacu pada pemikiran Peter Drucker, saya
ingin mengajak anda memikirkan tentang makna kerja di dalam kehidupan manusia.
Sebagai acuan saya terinspirasi dari buku Management, Tasks,
Responsibilities, and Practices. Peter Drucker adalah seorang ahli
manajemen yang pemikirannya, menurut saya, memiliki dimensi filosofis yang
sangat dalam.[1]
Kerja adalah bagian sentral di dalam kehidupan manusia. Dengan
pikiran dan tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang
dapat membantu pekerjaannya tersebut, dan menentukan tujuan akhir dari
kerjanya. Dapat juga dikatakan bahwa kerja merupakan aktivitas yang hanya unik
(dalam artian di atas) manusia. Di dalam Kitab Suci Yahudi yang sudah berusia
sangat tua diceritakan bagaimana kerja merupakan hukuman Tuhan kepada manusia,
karena ia tidak patuh pada perintah-nya. Sekitar 2600 tahun yang di Yunani,
Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and
Days.[2] Di dalamnya ia berpendapat, bahwa kerja adalah isi utama
dari kehidupan manusia.
Filsafat dan Kerja
Di dalam salah satu tulisannya, Franz Magnis-Suseno pernah
berpendapat, bahwa refleksi filsafat tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400
tahun yang lalu. Walaupun pada masa itu, kerja dipandang sebagai sesuatu yang
rendah.[3] Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan
harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia
yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di
level teoritis. Semua pekerjaan fisik diserahkan pada budak. Budak tidak
dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang kerja mulai
berubah arah. Salah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke pernah
berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak miliki
pribadi. Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia
menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat
bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja
orang mendapatkan pengakuan.[4]
Secara singkat Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi
kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan
diri. Yang pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi
kebutuhannya. Yang kedua dengan bekerja, manusia mendapatkan
status di masyarakat. Ia dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Dan yang
ketiga dengan bekerja, manusia mampu secara kreatif menciptakan dan
mengembangkan dirinya.
Kerja dan Organisasi
Teori-teori ekonomi dan ilmu sosial juga banyak menganalisis
tentang kerja. Walaupun begitu refleksi dan analisis tentang kerja yang
melibatkan organisasi baru muncul pada awal abad ke-19. Menurut Drucker tokoh
yang pertama kali merefleksikan konsep kerja di dalam organisasi adalah Frederick
Taylor. Dalam arti ini kerja bukanlah lagi merupakan fenomena universal manusia
saja, tetapi juga kerja yang melibatkan pekerja-pekerja tangan ataupun pekerja
pengetahuan (knowledge worker). Pekerja tangan adalah orang yang bekerja
dengan ketrampilan praktis. Sementara pekerja pengetahuan adalah pekerja yang
tidak hanya membutuhkan ketrampilan praktis, tetapi juga pekerja yang
melibatkan konsep abstrak yang memiliki cangkupan luas.
Yang pasti menurut Drucker adalah, bahwa kerja (work) dan
bekerja (working) adalah dua hal yang berbeda. Pekerja (worker)
adalah penghasil kerja (work), dan kegiatan menghasilkan kerja itu
disebut sebagai bekerja (working). Dalam hal ini setiap pekerja haruslah
ditata dalam organisasi yang setidaknya mampu mewujudkan dua hal, yakni
mencapai produktivitas kerja yang dibutuhkan organisasi, dan memperoleh
kepuasan personal melalui kerjanya itu.[5]
Drucker berpendapat bahwa kerja adalah sesuatu yang sifatnya
impersonal dan obyektif. Dalam arti ini kerja adalah tugas. Untuk bekerja
berarti orang menerapkan logika dan aturan yang berguna untuk mencapai suatu
tujuan. Di dalam kerja ada logika yang mengatur arus kerja tersebut. “Kerja”,
demikian Drucker, “membutuhkan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, dan
mengontrol proses.”[6] Misalnya anda adalah seorang penulis. Menulis adalah suatu
kerja yang membutuhkan logika untuk mengetik, dan membaca tulisan yang telah
diketik. Di dalam tulisan ada aturan dan logika yang harus dipatuhi. Tanpa
aturan dan logika tersebut, tulisan tidak akan dapat dimengerti. Penulis harus
menganalisis proses dan hasil tulisannya, membuat kombinasi yang tepat (supaya
tulisannya bagus), serta mengontrol proses penulisan, supaya mendapatkan hasil
yang diinginkan.
Maka kerja adalah sesuatu yang memiliki aturan dan logika
tersendiri yang perlu untuk dianalisis. Inilah yang kiranya dilakukan oleh
Drucker. Para pekerja –yang juga berarti setiap manusia- perlu untuk memahami
prinsip dasar kerja dalam suatu urutan yang logis, seimbang, dan rasional. Hal
ini tidak hanya berlaku untuk kerja yang menghasilkan barang materi, tetapi
juga para pekerja kreatif dan pekerja pengetahuan yang lebih menghasilkan
konsep yang abstrak. Misalnya si penulis yang perlu untuk memahami susunan
alfabet yang sifatnya logis, seimbang, dan rasional. Drucker bahkan berpendapat
bahwa analisis atas kerja pertama kali bukan muncul di kalangan insinyur
ataupun ahli teknik, melainkan dari tulisan yang memiliki aturan dan logikanya
sendiri.
Di dalam organisasi cara berpikir yang berbeda perlu untuk
dirumuskan. Di dalam organisasi kerja harus dikelola secara tepat, sehingga
gabungan kerja dari beberapa bagian bisa menghasilkan satu tujuan yang sama.
Itu sebenarnya inti manajemen, yakni mengelola sekumpulan orang dengan jenis pekerjaan
yang berbeda untuk mengabdi pada tujuan yang sama. Inilah yang juga merupakan
inti dari proses produksi. Di dalam organisasi kerja adalah suatu kegiatan yang
perlu diatur secara kolektif. Kerja bukanlah soal individual saja. Kerja
memerlukan proses kontrol untuk mencegah hilangnya fokus pekerjaan.
Dimensi Fisiologis Kerja
Drucker lebih jauh menajamkan, bahwa ada lima dimensi dari bekerja
(working). Bekerja adalah aktivitas yang dilakukan oleh pekerja. Manusia
adalah mahluk yang bekerja. Kerja adalah tanda dari kemanusiaannya. Kerja
memiliki dinamika dan dimensi yang inheren di dalam dirinya.Dimensi pertama adalah
dimensi fisiologis. Yang perlu ditekankan disini adalah, bahwa manusia bukanlah
mesin. Cara ia bekerja pun berbeda dengan cara kerja mesin.
Mesin bekerja terbaik jika hanya mengerjakan satu tugas. Tugas itu
haruslah dilakukan berulang, dan haruslah sesederhana mungkin. Untuk
mengerjakan tugas rumit, mesin haruslah membagi tugas rumit tersebut ke dalam
bagian-bagian yang lebih sederhana, barulah mesin itu bisa bekerja. Mesin dapat
bekerja dengan baik, jika ritme pekerjaan tersebut tetap, dan dengan stabilitas
yang terjamin.[7]
Manusia bekerja dengan cara yang berbeda. Jika hanya mengerjakan
satu pekerjaan secara berulang, ia dengan mudah menjadi lelah, bosan, dan
meninggalkan pekerjaannya itu. Menurut Drucker manusia justru bisa bekerja
secara maksimal, jika berada dalam koordinasi dengan manusia lainnya. Manusia
bisa bekerja secara maksimal, jika ia menumpahkan seluruh dirinya di dalam
pekerjaannya itu, dan bukan hanya fisiknya semata. Jika ia dipaksa bekerja
seperti mesin, maka baik secara psikologis ataupun fisik, ia akan cepat merasa
lelah.
Manusia bekerja terbaik di dalam koordinasi dengan manusia
lainnya, dan bukan secara individual. Ia bekerja buruk di dalam ritme yang
tetap. Ia harus bekerja di dalam suasana yang dinamis bersama dengan manusia-manusia
lainnya. Tidak ada ritme yang universal, yang cocok untuk setiap orang. Setiap
orang memiliki ritme bekerjanya masing-masing. Bahkan menurut Drucker keunikan
ritme bekerja dapat disamakan dengan keunikan sidik jari setiap orang. Orang
bisa marah ketika ia dipaksa bekerja tidak sesuai dengan ritmenya, dan dipaksa
untuk mengabdi ritme bekerja orang lain.
Jika orang dipaksa untuk bekerja sesuai dengan ritme orang lain,
maka ia secara otomatis akan mengalami penumpukan kotoran di otot, otak, dan
aliran darah. Penumpukan kotoran itu akan melepaskan hormon stress yang
mengakibatkan seluruh saraf menjadi tegang. Padahal menurut Drucker untuk bisa
bekerja secara produktif, orang perlu untuk melepaskan diri dari semua tegangan
yang ada di dalam dirinya. Atau setidaknya ia harus memiliki kontrol penuh pada
perasaannya sendiri.
Berbeda dengan pandangan umum, di dalam suatu organisasi, orang
perlu untuk bekerja dengan ritme dan koordinasi yang berbeda-beda. Di dalam
bekerja, orang perlu variasi kecepatan dan ritme, walaupun fokusnya tetap sama.
“Apa yang bagus di dalam rekayasa industri untuk kerja”, demikian tulis Drucker,
“ternyata sangat jelek bagi manusia yang bekerja.”[8]
Dimensi Psikologis Kerja
Dimensi kerja kedua adalah dimensi psikologis. Dalam arti ini kerja bisa berarti
berkat sekaligus kutuk. Orang perlu untuk bekerja. Namun seringkali kerja juga
menjadi beban yang sangat berat. Setiap orang sudah dikondisikan untuk bekerja
sejak mereka menginjak usia 3-4 tahun. Memang mereka belum boleh bekerja secara
resmi di pabrik atau dimanapun. Namun mereka perlu untuk belajar berjalan,
berbicara, dan yang terpenting, belajar untuk menjadi manusia. Ini semua
menurut Drucker menciptakan kebiasaan untuk bekerja, untuk melakukan sesuatu
guna mengembangkan diri.
Dari sudut pandang ini, fenomena pengangguran yang disebabkan oleh
kemiskinan tidak hanya merusak situasi ekonomi seseorang, tetapi juga harga
dirinya. Hegel seorang filsuf Jerman pernah berpendapat, bahwa kerja adalah
aktualisasi diri seseorang. Drucker sendiri berpendapat bahwa kerja merupakan
perpanjangan dari kepribadian manusia. Kerja adalah suatu pencapaian mimpi dan
perwujudan prestasi. Kerja adalah adalah aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan kemanusiaannya.
Sejak dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah
sesuatu yang suci. Kerja adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah
suatu pengabdian, apapun bentuknya, dan semua itu layak mendapatkan penghormatan.
Di Eropa pada abad ke-14, para rahib Benediktin bekerja di ladang dan sawah
bergantian dengan mereka berdoa. Kerja tangan dianggap sebagai sesuatu yang
sama sucinya seperti orang berdoa. Pemikiran ini bertentangan dengan pandangan
kuno yang berpendapat, bahwa orang bebas tidak perlu, dan bahkan tidak boleh,
bekerja kasar di sawah ataupun ladang. Di dalam bukunya yang berjudul The
Republic, Plato menegaskan ada berbagai macam level manusia, dan setiap manusia
memiliki pekerjaan yang sesuai dengan levelnya. Budak bekerja sebagai pekerja
kasar di ladang dan sawah. Sementara para filsuf bekerja sebagai pemimpin kota
yang bertugas menata politik.
Tentu saja pandangan para rahib Benediktin dan Plato saling
bertentangan. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni keduanya mengecam
pengangguran, dalam arti orang yang tidak mau bekerja. Kualitas manusia dilihat
dari sejauh mana ia tekun dan unggul di dalam pekerjaannya. Di peradaban Cina
kuno, setelah seseorang selesai mengabdi sebagai pekerja negara, ia tidak diharapkan
untuk bersantai di masa pensiunnya. Sebaliknya ia justru diminta untuk lebih
produktif menulis, melukis, mencipta musik, dan membuat puisi. Dasar dari cara
berpikir ini adalah etika sosial Confusian, yang meminta orang untuk membagikan
kebijaksanaannya. Tujuannya adalah menjamin stabilnya tatanan sosial yang ada.
Pada abad kedua puluh, pandangan tentang kerja juga belum banyak
berubah. Walaupun masih dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang ‘kasar’,
para petani dan buruh dipandang sebagai bagian dari masyarakat yang layak dan
perlu untuk dihormati. Di Eropa dan Amerika pada abad keduapuluh, kondisi
kehidupan buruh dan petani sudah jauh meningkat, jika dibandingkan dengan satu
abad sebelumnya. Hal yang sama menurut Drucker juga berlaku untuk para pelaut.
Mereka adalah kelompok pekerja yang perlu mendapatkan perhatian besar, terutama
karena kegiatan fisik yang begitu banyak, dan ancaman bahaya yang juga begitu
besar.
Menurut Drucker pada era sekarang, apa yang dipandang orang
sebagai bernilai telah berubah. Sekarang ini nilai ekonomis lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Hal ini terjadi karena konsep kepuasan
hidup pun telah menyempit menjadi melulu kepuasan ekonomis. Materi yang bisa
memuaskan diri tersedia banyak sebagai barang dagangan di mall dan pasar.
Akibat surplus barang untuk memberikan kenikmatan itu, nilai kehidupan pun
telah menyempit menjadi semata mengejar nilai ekonomis belaka. Kepuasan
psikologis pun menjadi identik dengan kepuasan ekonomis.[9]
Gejala hedonisme yang sedang dominan di masyarakat, menurut
Drucker, juga sebenarnya bukan menggambarkan dorongan murni manusia untuk
mencapai kenikmatan itu sendiri. Gejala tersebut muncul sebagai reaksi terhadap
berbagai penindasan yang dialami oleh kelas pekerja selama berabad-abad. Kelas
pekerja pun kini meluas. Profesi guru dan artis, yang mengembangkan musik,
lukisan, ataupun tulisan, pun kini dianggap sebagai profesi terhormat. Di
negara-negara maju profesi sebagai guru dan artis mampu memberikan penghidupan
yang layak. Namun di beberapa negara berkembang, profesi semacam itu masih
dianggap kelas dua.
Banyak orang benci untuk bekerja. Mereka bermimpi untuk memiliki
uang banyak, sehingga tidak lagi perlu bekerja. Namun pandangan itu tidak
sepenuhnya tepat. Orang yang tidak bekerja, walaupun memiliki uang banyak, juga
sulit untuk merasa puas dengan hidupnya. Mereka akan mengalami krisis
identitas, karena pekerjaan membantu orang merumuskan identitasnya, walaupun
tidak secara keseluruhan. Dalam ari ini dapatlah dikatakan, bahwa kerja
memiliki dimensi psikologis yang mendalam, yang membantu orang untuk menentukan
siapa dirinya.[10]
Dimensi Sosial Kerja
Drucker juga berpendapat bahwa kerja memiliki dimensi sosial.
Kerja menyatukan orang dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan menjalin
relasi. Profesi seseorang menentukan tempatnya di masyarakat. Dengan mengatakan
bahwa saya adalah guru, anda sudah menegaskan posisi anda di masyarakat, dan
peran apa yang anda jalankan dalam relasi dengan orang-orang lain yang hidup
bersama di masyarakat.
Lebih jauh juga dapat dikatakan, bahwa setiap orang butuh untuk
bekerja, karena ia memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok,
dan menjalin relasi yang bermakna dengan orang-orang yang ada di sana.
Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang berpolis.
Artinya manusia adalah mahluk yang membutuhkan kelompok untuk menegaskan jati
dirinya. Bekerja adalah cara terbaik untuk menjadi bagian dari suatu kelompok.
Seringkali orang memiliki beberapa komunitas dalam hidupnya. Bisa
saja ia adalah pegawai rendahan di kantor, namun dianggap bijaksana dan layak
pemimpin oleh teman-temannya di lingkungan rumah. Namun hal yang sama
sebenarnya berlaku. Menurut Drucker orang-orang semacam itu membutuhkan
pekerjaan untuk mengisi kebutuhannya akan pertemanan dan persahabatan dan juga
tentu saja memenuhi kebutuhan ekonomi.
Di banyak perusahaan muncul banyak kebiasaan untuk mempekerjakan
wanita yang sudah cukup dewasa (dalam arti sudah memiliki suami yang bekerja
dan anak yang cukup mandiri) sebagai pekerja paruh waktu. Bagi Drucker wanita
paruh baya tersebut menjadikan lingkungan kerja sekaligus sebagai tempat
pencari (atau penambah) nafkah, komunitas sosial, dan tempat untuk mengobati
kesepian yang mungkin saja mereka alami. Inilah tipe pekerja yang biasanya
sangat setia pada perusahaan. [11]
Dalam arti ini ikatan emosional yang dibentuk di dalam pekerjaan
tidak kalah kuatnya dengan ikatan keluarga. Ikatan pekerjaan muncul karena
orang sering bekerja sama, walaupun mungkin mereka tidak terlalu suka satu sama
lain. Dengan kata lain menurut Drucker, ikatan kerja memiliki dimensi yang
obyektif. Dan dimensi itu bisa menjadi peluang yang sangat besar untuk
membentuk suatu komunitas kerja yang bermakna. Di dalam komunitas semacam ini,
keuntungan bukan lagi sebuah tujuan, melainkan hanyalah akibat dari ikatan
antar pekerja yang kuat.
Dimensi Ekonomis Kerja
Untuk hidup orang perlu untuk bekerja. Sudah sejak dulu pernyataan
ini berlaku universal. Hal ini sebenarnya menurut Drucker berakar pada fakta,
bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri. Ia tidak mampu mencukupi kebutuhannya
sendiri. Maka ia memerlukan orang lain. Dalam kerangka yang lebih besar,
manusia yang satu melakukan perdagangan dengan manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhannya masing-masing, dan membentuk apa yang disebut sebagai jaringan ekonomi
(economic network). Di satu sisi jaringan ini memperkuat hubungan sosial
antar manusia, terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda,
namun saling membutuhkan satu sama lain. Di sisi lain jaringan ini memiliki
potensi untuk mendorong terjadinya konflik sosial, sebagai akibat dari
perdagangan yang tidak mencerminkan nilai keadilan.
Ekonomi sudah selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Sekarang ini orang tidak mungkin melepaskan diri dari itu. Di dalam perjalanan
waktu, ekonomi mengalami perubahan tujuan, yakni bukan lagi untuk pemenuhan
kebutuhan murni, tetapi untuk mengumpulkan dan mengembangkan modal (capital).
Modal menjadi tujuan utama. Uang pun kehilangan akarnya, yakni sebagai
pemenuhan kebutuhan manusia. Uang dikejar demi uang itu sendiri, dan bukan lagi
demi kesejahteraan manusia. Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari
ini, tetapi juga memiliki orientasi ke masa depan. Saya bekerja untuk pemenuhan
kebutuhan saya 10 tahun lagi.
Upaya pengembangan modal tentu saja baik. Namun upaya itu menjadi
merugikan, ketika modal dikejar demi dirinya sendiri, dan di dalam perjalanan
melupakan apa yang sesungguhnya penting, yakni pemenuhan kebutuhan dasar
manusia untuk bisa hidup dan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Karl Marx seorang
filsuf asal Jerman pernah berpendapat, bahwa ekonomi demi pengumpulan dan
pengembangan modal tidaklah perlu dilakukan, karena di dalam perjalanannya,
eksploitasi kaum pekerja adalah proses yang tidak dapat dihindarkan. Pemikiran
Marx tersebut kemudian direvisi oleh para pengikutnya. Pengumpulan dan
pengembangan modal tetap diperlukan sambil tetap memperhatikan kebutuhan dasar
para pekerja.
Dimensi Kekuasaan Kerja
Di dalam organisasi selalu ada relasi-relasi kekuasaan, baik
secara implisit ataupun eksplisit. Secara eksplisit kekuasaan paling tampak di
dalam hubungan antara atasan dan bawahan, serta hubungan antara konsumen dan
produsen. Di sisi lain ada kekuasaan yang sifatnya implisit, namun efeknya
sangat terasa, seperti krisis global di pasar internasional, bencana alam, dan
perubahan iklim yang mempengaruhi proses produksi, distribusi, ataupun
konsumsi.
Dahulu kala orang tidak memiliki jam kerja. Konsep jam kerja baru
ditemukan pada masyarakat industrial pertama di Eropa. Sekilas konsep ini
memang tampak tidak relevan. Namun pada awalnya penerapan jam kerja
mengakibatkan terjadinya culture shock di masyarakat di seluruh
dunia. Di dalam organisasi modern, kerja haruslah direncanakan dan diatur dalam
jadwal yang tepat. Mereka yang bisa bertahan di dalam rencana dan pengaturan
tersebut akan memperoleh kenaikan pangkat. Tentu saja semua ini membutuhkan
kontrol. Dan menurut Drucker kontrol adalah bentuk kekuasaan.[12]
Banyak pemikir yang berpendapat, bahwa organisasi modern adalah
suatu bentuk alienasi (keterasingan). Orang menjadi tidak mengenal dirinya
sendiri, orang lain, dan hasil kerjanya, jika mereka bekerja di
perusahaan-perusahaan yang ditata secara modern. “Masyarakat modern”, demikian
Drucker, “adalah masyarakat pekerja dan akan tetap seperti itu.”[13] Oleh karena itu relasi-relasi kekuasaan di dalam pekerjaan
pun tidak akan pernah hilang. Otoritas adalah sesuatu yang sangat esensial di
dalam organisasi modern. Dengan lugas dapat dikatakan, selama ada otoritas,
selama itu pula ada relasi-relasi kekuasaan. Otoritas adalah sesuatu yang
inheren di dalam sistem organisasi modern yang banyak digunakan sekarang ini.
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA
Widya Mandala, Surabaya
[1] Lihat Drucker, Peter, Management: Tasks,
Responsibilities, and Practices, New York: Truman Talley Books, 1993.
[2] Dikutip oleh Drucker, 1993, 130.
[3] Lihat, Magnis-Suseno, Franz, Kota dan Kerja,
Jakarta: Rangkaian Studium Generale, 2009, 4.
[4] Lihat, ibid, 5.
[5] Lihat, ibid, 131.
[6] Ibid.
[7] Lihat, ibid, 132.
[8] Ibid, 33.
[9] Lihat, ibid, 134.
[10] Lihat, ibid.
[11] Lihat, ibid, 135.
[12] Lihat, ibid, 138.
[13] Ibid
http://rumahfilsafat.com/2011/03/07/makna-kerja-dalam-hidup-manusia/
0 Response to "MAKNA KERJA DALAM HIDUP MANUSIA"
Post a Comment