GENDER DALAM BINGKAI POLITIK



(Sebuah Pendekatan Restorasi)
Oleh: Shohibul Kafi[1]



“Ibumu, Ibumu, Ibumu, Kemudian Ayahmu”
(Nabi Muhammad SAW) 
 
BAB I
PENDAHULUA 
       I.            Latar Belakang
Mengapa kaum Perempuan Berpolitik? Itu merupakan bertanyaan yang mendasari sebuah pergerakan kaum perempuan era demokrasi di Indonesia. Bertanyaan ini bukan sekedar pertanyaan? Melainkan sebuah titik tolak perjuangan perempuan, yang tidak lain tidak bukan perempuan dimata demokrasi adalah struktur penting bahkan dewasa ini muncul wacana bahwa wanita adalah “Ibu Negara”, namun karena patriarki culture lah yang mereduksi sebuah gerak kaum perempuan terutama dalam bidang politik. Alhamdulillah atas usaha dan tetesan keringat yang tiada kira banyaknya hingga hari gerakan perempuan menemukan wadahnya, menemukan arah dan tujuannya yang sehingganya perempuan kembali menjadi cahaya kesucian sebuah Negara. Seperti halnya yang disampaikan oleh Sri Mangoensarkoro dalam Konggres ke II perempuan Indonesia:
Maka Percayalah kepada Pengadilan kodrat. Walaupun sesama manusia mau menjepitkan, mau mematikan kita, akan tetapi oleh karena kodrat juga harus terpenuhi oleh perempuan, maka kodratlah yang membalaskannya dan kodrat menitahkan seorang perempuan yang diberi kekuatan luar biasa untuk merubah keadaan-keadaan yang bertentangan dengan kemanusiaan. 
Sekarang kita tidak mau mendasarkan arti keperempuanan kepada arti yang dapat dari kaum bapak. Tak mungkinlah kaum bapak memberi arti keperempuanan demikian kepada kita itu, sebab mereka tidak luput dari egoism, arti keperempuanan seakan-akan hanya didasarkan kapada kesenangan diri.
Kita sekarang harus mendasari yang tetap untuk memberi arti kepada keperempuanan. Dan arti itu tidak, tidak bukan, hanyalah didasarkan kepada kemanusiaan.[2]

Lebih lanjut, kita lihat bagaimana pandangan Aristoteles terhadap Politik.

Untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian, perlulah mengetahui tujuan yang benar dan juga memilih alat-alat yang benar. Pertama; Sejauh menyangkut tujuan, kebahagian telah didefinisikan di dalam Etika, sebagai “perwujudan dan praktik kebaikan yang lengkap, didalam pengertian mutlak, ketimbang bersyarat’. Inti kata-kata itu “dalam pengertian yang mutlak” ialah bahwa kebaikan tidak boleh dirintangi (di dalam Kasus itu gaya energinya hanya “bersyarat”), tetapi harus berlanjut menjadi tindakan yang diperlengkapi dengan keuntungan-keuntungan kesehatan yang tepat, kekayaan, dan perlengkapan umum.[3] Kedua, ada tiga alat dasar yang dapat digunakan para anggota sebuah kota untuk mencapai kebaikan pertama, sifat dasar. Kedua, Kebiasaan. Ketiga, Akal.[4]
Pada dasarnya Paragraf diatas tidak membedakan antara kaum feminis maupun laki-laki, melainkan manusia artinya bisa laki-laki juga bisa perempuan. Namun karena faktor Penulisan dan fakta sejarah, sebagai aktof politik, Pengagas politik, maupun Raja Politik adalah identik dengan kaum laki-laki, dan pada sejarah telah dicatat kaum laki-laki yang lebih dominan yang sehingganya ini menjadi sebuah konstruk sejarah dan berkembang menjadi sebuah budaya dalam sebuah kehidupan, dan sebagaimana yang kita rasakan kaum mayor selalu menindas kaum minor.
Padahal Aristoteles dengan jelas mengisyaratkan bahwa politik adalah sebuah alat yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian bagi umat manusia. Problematika tentang kesejahteraan dan kebahagian kaum perempuan dewasa ini cukup menarik perhatian kaum akademikus maupun kaum politikus. Lalu apa sebenarnya persoalan bagi kaum perempuan dalam hal peran politik? Secara umum Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan: Pertama, dalam bidang pendidikan. Kedua, dalam bidang kesehatan. Ketiga, dalam bidang ekonomi. Keempat, dalam bidang politik dan hukum.[5]
Antara kaum laki-laki dan perempuan secara ontologis mempunyai hak yang sama. Abul A’la Mawdudi, yang menulis buku berjudul Human Rights In Islam. Ia menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, HAM merupakan pemberian Allah, dan oleh karena itu tak seorang pun dan tak ada satu lembaga pun yang dapat menarik hak-hak itu. Hak-hak ini merupakan integral dan keimanan. Semua orang dan semua pemerintah yang mengklaim dirinya muslim harus menerima, mengakui dan melaksanakan hak-hak ini.[6] Akan tetapi dalam perjalanannya antar manusia mencoba membangun konsensus yang pada dasarnya mencoba untuk mencapai sebuah kesejahteraan dan kebahagian bagi umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, pembatasan lingkup kesejahteraan sudah berakibat fatal terhadap perkembanagan pengetahuan tentang gagasan-gagasan pembebasan perempuan. Mungkin kita kerap membaca sejarah secara kronologis, lalu mencari signifikasi peran perempuan dalam momen-momen penting yang dicantumkan dalam narasi arus utama.
Mungkin ada baiknya kita mendengar argumentasi Bung Akhyar[7] terkait dengan pengamatannya di Amerika. Dan Selanjutnya, Dalam pandangan Musdah[8], bahwa Selama ini, politik dan prilaku politik dipandang sebagai aktivitas maskulin. Prilaku politik yang dimaksud ialah mencakup kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif. Ketiga karakter tersebut tidak pernah dianggap ideal dalam diri perempuan. Dalam hal ini, susungguhnya terdapat sebuah konstruk yang salah, apabila kita melihat pandangan Aristoteles. Artinya kuasa bentuk mereduksi kuasa makna yang sesungguhnya keduanya saling berafiliasi dan membesarkan. Hal ini, merupakan sebuah bentuk diskriminasi secara biologis, dan sebuah konstruk yang tidak bernalar ujar Aristo.  
Lebih lamjut, Musdah menguraikan soal politik juga soal kepemimpinan. Minimal ada tiga ungsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seorang, yaitu Kekuasaan, Kompetensi Diri, dan Agresi Kreatif. Dan kekuasaan merupakan ungsur yang paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang, pada hakikatnya, kekuasaan bersifat netral, bisa digunakan untuk kebaikan dan juga untuk kejahatan.[9] Lalu, muncul persoalan, mengapa perempuan sulit menggapai kekuasaan? Jawabannya sangat sederhana. Stereotype perempuan tradisional tidak mengenal kekausaan. Kefeminiman juga tidak memuat ketegaran, keperkasaan, atau ketegasaan yang merupakan ungsur inti kekuasaa.
Lalu, persoalan norma budaya masih tetap mengklasifikasikan aktivitas politik sebagai monopoli kaum laki-laki. Perempuan ironisnya melanggengkan gagasan bahwa kekuasaan adalah tidak feminism. Bahkan banyak perempuan yang menolak kekuasaan menjadi bagian atau gambaran diri mereka. Fatalnya, laki-laki mendominasi kebudayaan kita dan menggap perempuan sebagai mahluk lemah atau tak berdaya. Secara politis, dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan perwujudan dari perebutan kekuasaan.[10]
Mengapa Kaum Perempuan takut pada kekuasaan? Untuk menjawab itu, pertama-tama hendaknya ditegaskan bahwa hal yang sangat penting bagi perempuan adalah hubungan antarmanusia. Berdasarkan data ini, Jean Baker Miller menjelaskan bahwa ketakutan perempuan terhadap kekuasaan terletak pada kepercayaan bahwa jika mereka berkuasa maka mereka akan menghancurkan hubungan dengan orang lain.[11]
Mempelajari sejarah gerakan perempuan di Indonesia akan mengiring kita pada catatan-catatan penting pergulatan dan pergumulan kaum perempuan untuk menyatakan keberadaan dirinya ditengah pergerekan kebangsaan. Dan kita dapati perempuan membutuhkan pemupukan keyakinan luar biasa bahwa organisasi merupakan medium bergerak yang tepat dan efektif. Tanpa dukungan dan pergaulan dengan pejuang-pejuang lelaki yang kebetulan adalah orang-orang terdekat dalam keluarga, bisa jadi muskil bagi perempuan untuk melakukan terobosan historis.[12]
Bila ditelusuri dalam sejarah, perempuan adalah kelompok yang ikut mengambil bagian dalam pergerakan perjuangan dalam berbagai zaman. Masalahnya perjuangan keterlibatan perempuan tidak hanya dicatat karena; Pertama, perempuan dalam lingkup sejarah nasional tidak berada dalam posisi pembuat keputusan atau pemegang posisi yang menentukan. Kedua, di dalam perjuangan nasional, perkumpulan (kini: pergerakan atau aliansi atau koalisi) perempuan tampak mengalah “untuk tidak menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki”. Ketiga, perempuan mengambil bentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dengan laki-laki sebagai tempat dimana perempuan dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum dan bebas.[13]
Era demokrasi dapat kita rasakan bahwa untuk melakukan sebuah perubahan bagi berjalannya sebuah kehidupan, maka jalur politik menjadi salah satu cara untuk sampai pada perubahan. Tentu tak sekedar politik bukan?, karena politik masih memiliki kendaraan politik yang kerap disebut partai politik. Maka memahami dan menguasai partai politik menjadi salah satu syarat bagi mereka yang menginginkan sebuah perubahan. Perlu dicatat juga, demokrasi menentut tiap-tiap manusia untuk berkompetisi baik dalam kebijakan politik, ekonomi maupun bidang-bidang yang lain.
Namun, ternyata masih terdapat sejagat persoalan terkait dengan keberlangsungan Partai Politik yang dijargonkan sebagai kendaraan politik atau kendaraan perubahan. Pertama, Politik ataupun Partai politik harusnya tidak melestarikan kepuraan-puraan, harusnya berterusterang dalam berbagai aspek (Pergolakan Kepentingan dan Kekuasaan) Kedua. Masih banyak system-sistem yang tidak berjalan sesuai dengan aturan makna dan bentuk. Ketiga. Lebih dominan mental pecundang ketimbang pejuang, yang sehingganya mampu melahirkan stigma negative bagi kendaraan politik, dan pada berjalannya banyak mengalami masalah, sebab kata Plato,[14] alat yang salah akan menghasilkan tujuan yang salah, maka antara alat dan tujuan hendaknya ceks and Balenc. Willy Adytia menawarkan Restorsi sebagai sebuah ideology perubahan sebagai sebuah sudut pandang perubahan.[15]

    II.            Rumusan Masalah
1.      Perumpuan; Ibunda Perubahan?
2.      Bagaimana Memahami Gender dan Politik?
3.      Bagaimana Kiprah Perjuangan Perempuan dalam Politik?
4.      Apa Peran Perempuan Dalam Politik?

 III.            Telaah Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan variabel terpenting dalam melakukan penelitian, sebagai alat untuk memperoleh data-data yang akurat dan obyektif, sehingga tidak terdapat sebuah manipulasi dan interpolasi data serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka dari itu dalam penelitian ini mengacu kepada beberapa buku atau karya ilmiah lainnya, sebagai pengayaan datanya baik mengacu kepada buku atau data-data yang bersifat primer maupun sumber data yang bersifat skunder. Diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Jurnal Perempuan untuk Sebuah pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63.  Ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai penulis diantaranya ialah Gusti Agung Ayu Ratih bicara mengenai “Jejak-jejak Perbincangan Perempuan dalam Sejarah”, Nia Sjarifuddin “Peningkatan Keterwakilan Perempuan;keniscayaan untuk Sebuah Perubahan”, Sri Budi Eko Wardani, “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Rene Herdiyani, “Dampak Kehadiran Perempuan di Parlemen dan Eksekutif ”, Nur Iman Subono, “Tokoh Politik Perempuan di Asia; Dinasti Politik atau Refresentatif Politik Perempuan”, Mariana Amirudin, “Demokrasi, Golongan Putih dan Potensi Gerakan Perempuan”, Rocky Gerung, “Politik Perempuan dalam Politik Mahkamah Konstitusi”, Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia”. Jurnal ini banyak menginspirasi terkait perjuangan, hambatan, kaum perempuan di ruang Politik maupun Pemerintahan.
Kedua. Siti Musdah Mulia & Anik farida. Perempuan dan Politik. Buku ini banyak bicara Realitas Politik Perempuan di Indonesia. Dimana dunia Politik sangat identic dengan kepemimpinan, dan kaum perempuan saat berada diposisi pemempimpin, kaum perempuan mengalami lebih banyak hambatan ketimbang laki-laki, hal ini dikarenkan Perempuan harus membuktikan bahwa dirinya pantas dan bisa dihandalkan.
Ketiga. Hibbah Rauf Izzat. Wanita dan Politik Pandangan Islam. Buku ini banyak mengulas Paradigma Ilmu pengetahuan, Wilayah Umat, dan Wilayah kerja Institusi Keluarga.  Pemikiran Rauf juga cenderung  mengembalikan kepemimpinan Perempuan dan apresiasi terhadap kaum Perempuan sebagai identitas Muslimah, dan bagaimana posisioning perempuan dalam sebuah kehidupan dan parisipasinya dalam politik.
Keempat. Ardhi Raditya. Sosiologi Tubuh Membentang Teori di Ranah Aplikasi. Buku ini sangat menginsipirasi dengan gaya bahasa yang ringan dan muatan makna yang besar sehingga mampu memberikan sebuah pernghormatan yang besar atas diri dan jiwa seorang perempuan, buku ini juga menawarkan sebuah sudut pandang yang unik, yaitu memandang tubuh di dalam konteks politik mikro atau politik local. Buku ini secara khusus menyoroti bagaimana tubuh menjadi ajang permainan kekuasaan dan perebutan posisi hegemoni pada tingkat local maupun nasional.
Kelima. Irsyadunnas. Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontenporer. Dalam buku ini yang mampu disingkap oleh peneliti diantaranya ialah pertama, ingin menunjuhkan bahwa Epistemologi al-Quran secara Inheren atau anti patriarki. Yang kedua. Ingin menunjuhkan bahwa al-Quran telah melegitimasi sebuah tindakan merumuskan sebuah teori kesetaraan gender.
Keenam. Willy Aditya. Indonesia di Jalan Restorasi.  Buku ini merupakan sebuah karya yang menawarkan Restorasi sebagai sebuah metode, Pendekatan, Sudut Pandang, atau Paradigma dalam rangka memahami  Realitas. Restorasi sangat Menolak akan ketidakobyektifan sebuah pengetahuan maupun dalam menyingkap tabir politik-politik yang berkembang di Indonesia.
Ketujuh. Aristoteles. Politik. Karya  Aristoteles ini dijadikan oleh peneliti sebagai pemahaman dasar mengenai Politik dan Pendidikan Politik.
Kedelapan. Ahkyar Yusuf Lubis. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Karya Ini sangat menarik dan sangat kritis menyikapi atas Gender. Bahkan buku ini menawarkan mulai dari Epistemologi, Paradigma, Hingga Metodologi Feminis.
 IV.            Teori yang digunakan
Penelitian yang kami beri judul Gender dalam Bingkai Politik (Sebuah Pendekatan Restorasi) ini lahir didasarkan refleksi atas perjalanan serta perjuangan kaum perempuan dalam menuntut hak dan kewajiban dalam kancah politik baik Regional, Nasional hingga Internasasional. Dalam penerapan penelitian Tema ini, Peneliti Mengunakan Pendekatan Restorasi[16] sebagai Pendekatan untuk membaca Realitas Peran perempaun dalam Politik. Obyek Formilnya ialah Restorasi dan Obyek Materiilnya adalah Peran Perempuan dalam Politik. 















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perempuan; Ibunda Perubahan

1.      Prempuan Laksamana Pertama
Di Indonesia, prempuan sudah berpartisipasi dalam pemilu pertama tahun 1955, padahal saat itu Indonesia memasuki ujian pertama praktek berdemokrasi sebagai Negara muda yang berumur 10 tahun.[17]
2.      Kiprah Demi Republik
Pencapaian prempuan dalam setiap ranah kehidupan mengisyaratkan ketangguhannya menanggung tanggungan jawab ganda di ruang domestic dan ruang public. Kontribusi prempuan yang luar biasa biasa diungkap secara filosofis oleh bung karno ketika menyematkan istilah De Eerste Ontdekter De Lamdbouw (penemu pertama pertanian) dan De Ontdekster Van Culture (penemu pertama kebudayaan) untuk peran prempuan.[18]
3.      Tonggak Perjuangan Kemanusian
Sejarah pergerakan prempuan Indonesia tidak memilah dan memilih medan perjuangan. Ia datang berkiprah secara menyeluruh. Gerakannya tidak hanya untuk membebaskan prempuan secara gender, tapi perjuangan kedudukan prempuan sebagai bagian dari kemanusian secara keseluruhan. Pergerakannya lebih maju dari jiwa “burgerlijk Liberalism” istilah yang dipakai bung karno untuk memaknai perjuangan feminis.[19]
Gerakan prempuan Indonesia juga tumbuh bukan sebagai perjuangan yang menantang laki-laki, sebab prinsipnya adalah kemanusiaa. Perjuangan prempuan Indonesia berakar pada perjuangan bersama-sama kaum laki-laki merebut keadilan.
4.      Pengabdian Ibunda Perubahan
Karakter bangsa merupakan keseluruhan sifat yang mencakup prilaku, kebiasaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola piker yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang bersatu.
Seorang prempuan, seorang ibu, haruslah terdidik terlebih dahulu sebelum mendidik. Terdidik secara kebangsaan, kebudayaan, nilai, moral, kebenaran, dan keindahan dan seterusnya. Sebab, generasi yang unggul lahir dari prempuan-prempuan yang unggul pula.
Bung hatta berkata, siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu prempuan berarti sedang mendidik satu generasi.[20]
5.      Gerakan Prempuan Yang Berkesadaran Kemajuan
Arah restorasi terletak pada sejauh mana internalisasi nilai-nilai dan moralitas pancasila  merasuk kedalam setiap sanubari warga bangsa.
Keberadaan Garnita adalah wujud kepaduan gerak langkah gerakan perubahan Restorasi Indonesia. Perubahan tidak hanya butuh pemuda, mahasiswa, buruh, pedang, tapi juga prempuan. Pergerakan prempuan dinilai akan lebih fleksibel, berkembang, dan bias menyesuaikan dinamika dengan kondisi bangsa saat ini. Garnita hadir dengan cita-cita menawal dan merawat bangsa dan menginisiasi perubahan.[21]

B.     Gender dan Politik
1.      Memahami Gender, Politik dan Partai Politik.
a)      Gender
Definisi gender: Gender adalah  suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Pokok Persolan Gender; Pertama, marginalisasi. Kedua, Subordinasi. Ketiga, Streotipe/Pelabelan. Keempat, Kekerasan terhadap Prempuan. Kelima, Beban kerja prempuan. Munculnya Gender dalam Islam; Pertama, munculnya budaya Patriarkhi. Kedua, Penafsiran Al-Quran. Ketiga. Bias gender dalam pemaknaan hadits. Tujuan Gender; Pertama, Keadilan Manusia Kedua, Kesejateraan Manusia

b)      Memahami Politik
Politik dalam makna yang luas, adalah aktivitas yang melalui masyarakat membuat, memelihara dan memperbaiki aturan umum yang diselenggarakan untuk mengatur kehidupan mereka.[22] Artinya politik adalah sebuah cara atau metode yang digunakan untuk sampai pada keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
Menurut willy Aditya, dalam system demokrasi untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan umat manusia harus dilakukan secara kolektifas dan kerjasama secara kolektifitas, misalnya adanya partai. Partai menempati posisi jembatan antara rakyat dan pemerintahan. Selanjutnya Willy juga menawarkan politik gagasan sebagai sarana untuk mencapai kesejateraan dan keadilan antar kelompok, baik ormas, partai, Institusi, parlemen dll.[23]

c)      Memahami Partai politik
Partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua Negara di dunia ini, dalam arti bahwa umurnya tidak setua umur masyarakat manusia. Usianya tidak lebih dari 100 tahun. Istilah partai politik itu sendiri baru muncul pada abad sembilanbelas dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga perwakilan dan meningkatnya frekuensi pemilihan umum dan meluasnya hak mereka yang bias mengambil bagian dalam pemilihan umum. Pada Tahun 1850 tidak ada satu Negara pun didunia (kecuali Amerika Serikat) mengenal partai dalam pengertian modern. Ada alur-alur pendapat, kelompok-kelompok rakyat, masyarakat-masyarakat yang dikelompokan karena memiliki aliran filsafati tertentu, ada kelompok-kelompok dalam parlamen, tetapi belum ada partai politik yang sebenarnya.
Partai politik merupakan lembaga untuk mengemukakan kepentingan, baik secara social maupun ekonomi, moril maupun materiil. Cara mengemukakan keinginan rakyat melalui parpol ini mengandung pengertian adanya demokrasi. Dengan demikian suatu partai politik hanya dapat ada jika sekurang-kurangnya satu kelompok yang lain menyainginya. Menurut Carl J. Friedrich partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahanakan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan penugasan ini ia memberikan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil kepada para anggotanya.
Fungsi-fungsi Partai Politik
Diantara fungsi-fungsi Partai Politik yang biasanya paling umum dikemukakan adalah: representasi (perwakilan), konversi dan agregasi; integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi); persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan, serta control terhadap pemerintah.
d)     Relasi Gender & Politik
Lalu bagaimana hubungan gender dan politik? Apabila dilihat dalam aspek tujuan, maka antara gender dan politik mempunyai tujuan yang sama, sebut saja dalam aspek keadilan dan kesejateraan. Persoalan gender dalam bingkai politik? Dalam dunia perpolitikan, disadari atau tidak, terdapat jurang pemisah antara laki-laki dan prempuan. Bahkan pernah terjadi, kaum wanita dipandang sebelahmata oleh kaum laki-laki, terkecuali wanita yang memiliki otoritas. Dalam perjalanan Indonesia, kaum prempuan atau gender memilki pertumbuhan yang cukup signifikan hal ini bias dibuktikan dengan adanya representatif kaum wanita didalam parlemen. Bahkan telah diataur dalam undang-undang.

C.    Kiprah Perjuangan Gender dalam Politik

1.      Kebijakan afirmatif dalam UU bidang politik
Beberapa kecenderungan untuk khawatir akan demokratisasi yang dilalui saat ini sangat jelas terpapar: Pertama, ada kecendrungan bahwa demokrasi yang dilaksanakan selama ini nyaris tanpa jiwa. Kedua, demokrasi lebih disikapi langkah procedural belaka dengan mengedepankan suara terbanyak 50 plus 1 yang belum tentu mengambarkan keinginan semua pihak. Ketiga, wajah demokrasi kita pasca ORBA kerap dicerminkan dengan perilaku para elit politik dipentas nasional maupun local.[24]
Kondisi perempuan Indonesia yang masih terpuruk menjadi pendorong kuat untuk memperjuangakan peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia. Beberapa fakta suram dapat disebutkan disini: Pertama, tingkat kematian ibu dalam tiga tahun terakhir ini paling tinggi di Asia Tenggara belum ada kebijakan efektif untuk mengatasi masalah itu. Kedua, komposisi tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan sampai pendidikan menenggah dapat dikatakan seimbang namun semakin tingkat tinggi pendidikan, kesengangan perbedaan itu semakin besar. Ketiga, tenaga kerja Perempuan, baik domestic maupun imigran, masih kurang mendapat perlindungan hukum. Keempat, jumlah perempuan dalam posisi legislative, eksekutif dan birokrasi masih rendah.[25]
Tindakan afirmatif merupakan terobosan bagi partisipasi aktif perempuan; sudah saatnya memaksa partai politik untuk lebih memperhatikan kaderisasi perempuan; tindakan afirmatif ini harus dilakukakan untuk mendorong perempuan masuk dalam partai politik.[26] 
Pertama, kondisi yang tidak nyaman adalah partai politik. Institusi politik yang salah satu fungsi strategisnya adalah mencetak-cetak calon pemimpin bangsa ini, justru dalam prilakunya masih bias gender. Partai politik menjadi pintu yang penting untuk mendorong keterwakilan politik perempuan yang lebih tinggi di lemabaga pengambilan kebijakan. Namun, keterlibatan perempuan dalam partai politik masih rendah. Di sisi lain, partai politik juga belum serius membuat program-program untuk mendorong partisipasi aktif perempuan di dalam partai politik. Akibatnya perempuan jarang yang masuk partai, dan sering kali alasan inilah yang digunakan partai untuk mengklaim bahwa perempuanlah yang tidak mau masuk partai sementara kesempatan itu menurut kalangan partai politik telah dibuka.
Hingga akhirnya, diloloskan pasal 65 ayat 1 UU No.12/2003 yang membuka akses bagi kaum perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk dicalonkan sebagai anggota legislatife. Ini adalah kebijakan afirmatif dalam bidang politik yang pertama sejak Indonesia merdeka. Yang berbunyi:
“Setiap Partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilahan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”[27]
Kedua, peluang perempuan untuk dicalonkan dan kemudian terpilih lebih terbuka pada partai-partai dengan perolehan suara yang besar.
2.      Strategi Afirmatif dari Hulu ke Hilir
Beberapa Evaluasi yang dilakukan menyimpulkan beberapa hal: Pertama. Pasal 65 ayat 1 UU.12/2003 belum memberikan jaminan bagi perempuan untuk dicalonkan oleh partai politik disebabkan rumusan yang longgar dan tidak ada  mekanisme. Kedua. Kebijakan afirmatif pasal 65 ayat 1 UU pemilu didukung oleh UU lainnya yaitu UU tentang Partai. Ketiga. Penerapan pasal 65 di sisi lain juga membuka masalah kentalnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam internal Partai. [28]
Langkah-langkah advokasi kebijakan afirmatif dalam UU politik: Pertama, Membuat Evaluasi dan menyusun Rekomendasi untuk revisi UU partai politik dan UU pemilu. Kedua, merancang grand design kebijakan afirmatif peningkatan keterwakilan politik perempuan secara komprehensif. Ketiga, melakukan advokasi “rekomendasi perempuan tentang RUU partai Politik dan RUU pemilu” kepada fraksi-fraksi DPR
Strategi Afirmatif
Hulu ke Ilir. Hulu: RUU Partai politik Pertama, Mendorong jumlah perempuan minimal 30% dalam kepengurusan (khususnya dalam pengurus harian) partai politik berbagai tingkatan. Kedua. Mendorong pemilihan pengurus partai politik melalui mekanisme pemilihan yang demokratis, terbuka dan akuntabel.
Hilir: RUU Pemilu. Pertama, mendorong aturan yang tegas (dengan saksi) dalam menominasikan paling sedikit 30% perempuan sebagai caleg oleh partai politik. Kedua, mendorong penempatan calon perempuan dalam calon daftar yang peluang keterpilihannya besar. (zipper System). Ketiga, mendorong mekanisme penetapan calon terpilih yang kondusif bagi keterpilihan-keterpilihan yang lebih besar (Proporsional semi terbuka)[29]

D.    Peran Perempuan Dalam Politik
Bila ditelusuri dalam sejarah, perempuan adalah kelompok yang ikut mengambil bagian dalam pergerakan perjuangan dalam berbagai zaman. Masalahnya perjuangan keterlibatan perempuan tidak hanya dicatat karena;
Pertama, perempuan dalam lingkup sejarah nasional tidak berada dalam posisi pembuat keputusan atau pemegang posisi yang menentukan. Kedua, di dalam perjuangan nasional, perkumpulan (kini: pergerakan atau aliansi atau koalisi) perempuan tampak mengalah “untuk tidak menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki. Ketiga, perempuan mengambil bentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dengan laki-laki sebagai tempat dimana perempuan dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum dan bebas.[30]
Refpresentasi Perempuan di Parlemen: sebelum Kemerdekaan hingga reformasi Isu Perempuan dalam Politik telah dibahas sejak dalam Konggres Perempuan Indonesia I, 22 Desember 1928, akan tetapi secara khusus partisipasi perempuan dalam politik mulai meyuarakan dan dibahas dalam Konggres Perempuan Indonesia V, Juli 1938.. dalam Konggres ini dibahas diantaranya  hak dipilih dan duduk di Parlemen dan Eksekutif.
UUD 1945, Pasal 27 yang isinya; “bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan”[31]
Kenapa perlu wakil Perempuan di Parlemen
Prempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami oleh perempuan sendiri karena pengalaman hidup dan kondisi biologisnya, dalam banyak kasus dengan jumlah yang memadai di lembaga-lembaga pengambilan keputusan, akan mampu memperbaiki masalah-masalah yang sering menghambat kesejahteraan warga Negara dan khususnya msalah perempuan.
Sebagai contoh; Negara Skandinavia dengan keterwakilan legislative maupun eksekutif lebih dari 40%, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat lebih baik karena korupsi sangat rendah, pemerintahannya efisien dan penegak hukumnya jelas.[32]
Strategi Menuju Peruatan Keterwakilan Perempuan
Upaya perempuan untuk menyuarakan isu perempuan dan memperjuangan kepentingan perempuan di parlemen, sering kali harus menghadapi berbagai kendala. Menurut shanti, perempuan di parlemen sering terjebak dalam friksi antara kepentingan partai dengan kepentingan perempuan. Kepentingan partai yang kental dengan nuasa maskulinitas terkadang berbanding berbalik dengan kepentingan prempuan. Mau tidak mau perempuan anggota parlemen yang memiliki ikatan lebih kuat dengan partainya akan lebih memperjuangkan kepentingan partai.
Perlu adanya pembagian peran perempuan dan kerjasama sinergis antar partai, perempuan di parlemen dan eksekutif, gerakan perempuan/masyarakat sipil, lembaga-lembaga donor, pemerintahan dan media. Sebagai berikut:
Pertama, partai politik harus menciptakan system pengkaderan yang adil dan terbuka untuk prempuan, memperioritaskan pendidikan politik bagi kader-kader prempuan, serta melakukan penyadaran gender kepada seluruh pengurus dan anggota partai politik.
Kedua, anggota parlemen perempuan perlu membangun komunikasi politik yang efektif dengan konstitennya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja mereka dalam memperjuangkan nasib rakyat kecil dan hak-hak perempuan.
Ketiga, gerakan prempuan masyarakat sipil juga harus membangun konsolidasi dan kerjasama intensif dengan anggota parlemen perempuan terkait dengan perjuangan-perjuangan agenda politik perempuan. Informasi terkait dengan persoalan-persoalan perempuan terkini, fakta lapangan, dan data sangat penting diberikan oleh kelompok permpuan kepada anggota parlemen sebagai bahan masukan argumentasi politik mereka.
Keempat, lemabaga-lembaga donor perlu mendukung program-program untuk meningkatkan kapasitas politik anggota parlemen dan eksekutif perempuan. Kelima, pemerintah tingkat pusat dan daerah harus memiliki komitmen dan political will yang kuat untuk mendorong kebijkan dan program-program yang sensitive gender.
Kelima, media melakukan peran strategisnya untuk membangun kesadaran public akan pentingnya keterwakilan perempuan di berbagai tingkatan politik, serta mengankat wacana tentang keberhasilan kerja-kerja politik anggota parlemen dan eksekutif dalam mendorong peraturan perundang-undangan, kebijkan, dan program untuk kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.
Upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen
Affirmatif Action sebagai langkah yang cukup realistis untuk model advokasi, selebihnya adalah maksimalisasi terhadap kaum prempuan. Strategi untuk mencapai langkah afirmatif dalam pemilu legislatif 2009 adalah melalui advokasi kuota 30% keterwakilan prempuan dalam UU 10/2008 tentang pemilihan umum anggota DPD, DPRD dan DPR, dan UU 2/2008 tentang partai Politik. [33]
Sebagai basis ontologis advokasi bias bertitik tolak pada UU 7/1984 tentang pengahapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), yang kemudian di tegaskan pada pasal 4 bahwa; pengunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk mengacu kesetaraan laki-laki dan prempuan secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi. Tetapi hal ini tidak boleh dilestarikan karena sama dengan memilihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan dan tindakan telah dicapai. [34]














BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan Sementara
Di Indonesia, prempuan sudah berpartisipasi dalam pemilu pertama tahun 1955, padahal saat itu Indonesia memasuki ujian pertama praktek berdemokrasi sebagai Negara muda yang berumur 10 tahun. Pencapaian prempuan dalam setiap ranah kehidupan mengisyaratkan ketangguhannya menanggung tanggungan jawab ganda di ruang domestic dan ruang public. Kontribusi prempuan yang luar biasa biasa diungkap secara filosofis oleh bung karno ketika menyematkan istilah De Eerste Ontdekter De Lamdbouw (penemu pertama pertanian) dan De Ontdekster Van Culture (penemu pertama kebudayaan) untuk peran prempuan. Sejarah pergerakan prempuan Indonesia tidak memilah dan memilih medan perjuangan. Ia datang berkiprah secara menyeluruh. Gerakannya tidak hanya untuk membebaskan prempuan secara gender, tapi perjuangan kedudukan prempuan sebagai bagian dari kemanusian secara keseluruhan.
Pergerakannya lebih maju dari jiwa “burgerlijk Liberalism” istilah yang dipakai bung karno untuk memaknai perjuangan feminis. Era demokrasi dapat kita rasakan bahwa untuk melakukan sebuah perubahan bagi berjalannya sebuah kehidupan, maka jalur politik menjadi salah satu cara untuk sampai pada perubahan. Tentu tak sekedar politik bukan?, karena politik masih memiliki kendaraan politik yang kerap disebut partai politik. Maka memahami dan menguasai partai politik menjadi salah satu syarat bagi mereka yang menginginkan sebuah perubahan. Perlu dicatat juga, demokrasi menentut tiap-tiap manusia untuk berkompetisi baik dalam kebijakan politik, ekonomi maupun bidang-bidang yang lain.
Namun, ternyata masih terdapat sejagat persoalan terkait dengan keberlangsungan Partai Politik yang dijargonkan sebagai kendaraan politik atau kendaraan perubahan. Pertama, Politik ataupun Partai politik harusnya tidak melestarikan kepuraan-puraan, harusnya berterusterang dalam berbagai aspek (Pergolakan Kepentingan dan Kekuasaan) Kedua. Masih banyak system-sistem yang tidak berjalan sesuai dengan aturan makna dan bentuk. Ketiga. Lebih dominan mental pecundang ketimbang pejuang, yang sehingganya mampu melahirkan stigma negative bagi kendaraan politik, dan pada berjalannya banyak mengalami masalah, sebab kata Plato,[35] alat yang salah akan menghasilkan tujuan yang salah, maka antara alat dan tujuan hendaknya ceks and Balenc. Willy Adytia menawarkan Restorsi sebagai sebuah ideology perubahan sebagai sebuah sudut pandang perubahan

B.     Daftar Pustaka
Aristoteles. 2004.  Politik. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Heywood, Andrew. 2013. Politik. (Edisis IV) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Izzat, Hibbah Rauf.1997. Wanita dan Politik Pandangan Islam. Bandung: PT. Remaja Roedakarya. 
Farida Anik dan Mulia Siti Musdah. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Irsyadunnas.2014. Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontenporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Gaus, Gerald F. dan Kukathas, Chandran. 2004. Handbook Teori Politik. Terj. Desta Sri Widowatie. 2012. Bandung: Nusa Media.
Raditya, Ardhi. 2014. Sosiologi Tubuh Membentang Teori di Ranah Aplikasi. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Ratih, Gusti Agung Ayu.  “Jejak-jejak Perbincangan Perempuan dalam Sejarah”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Sjarifuddin, Nia. “Peningkatan Keterwakilan Perempuan;keniscayaan untuk Sebuah Perubahan”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Herdiyani, Rene. “Dampak Kehadiran Perempuan di Parlemen dan Eksekutif”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Subono, Nur Iman. “Tokoh Politik Perempuan di Asia; Dinasti Politik atau Refresentatif Politik Perempuan”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Amirudin, Mariana. “Demokrasi, Golongan Putih dan Potensi Gerakan Perempuan”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Gerung, Rocky. “Politik Perempuan dalam Politik Mahkamah Konstitusi”,Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan.



[1] Mahasiswa PascaSarjana Kosentrasi Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Materi ini disajikan pada matakuliah Gender dalam Perspektif Islam. Yang diampuh oleh Dr. Inayah Rahmaniyah. MA
[2] Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi. 63. Gusti Agung Ayu Ratih  (Jejak-jejak perbincangan Prempuan dalam Sejarah) hlm. 14.
[3] Aristoteles. 2004. Politik. Terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta; Bentang Budaya). Hlm. 345
[4] Aristoteles. 2004. Politik. Terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta; Bentang Budaya). Hlm. 346.
[5] Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi. 63. Nia Sjarifuddin.  Peningkatan Keterwakilan Prempuan; keniscayaan Untuk sebuah perubahan.
[6] Abul A’la Mawdudi, Human Rights In Islam. (Leicester: The Islamic Foandation,1976), hlm. 15-16.
[7] Pada tahun 1980 an perhatian pada gerakan politik  menekankan pada masalah politik gender, Ras, Etnis, Agama, posisi subyek (kelompok) yang terpinggirkan. Pembahasan tentang hal ini kerap disebut sebagai rubric “politik Posmodernism” yang kerap dibicarakan dibawah topic “politik identitas”  dan “politik berbedaan”. Ketidakadilan social terhadap kaum perempuan berkaitan dengan seks dan gender, disebabkan oleh karena perbedaan gender (gender differences) yang kemudian menyebabkan ketidakadilan didalam kehidupan social. Lalu dihubungankan dengan ketidakadilan structural didalam kehidupan social yang juga merupakan analisis yang cukup baru dan juga sebagai lanjutan analisis kritis Marx terhadap system kapitalisme dan analisis hegemoni dari Antonio Gramsci yang sama sekali belum menyentuh riset yang berdimensi gender. Kata Akhyar, untuk mengubah kondisi dan membebaskan kaum perempuan dari kondisi yang tidak adil ini, maka kita harus mengubah cara berfikir kita dengan mengintergrasikan kembali pemikiran bawah sadar, pemikiran subyektif dan emonional dengan strtuktural, rasioanl dan intelektual. Charlene Spretnak, seorang spiritualis yang mempelajari tradisi spiritualitas dan meditasi Budha serta pengalamannya sebagai seorang perempuan, memadukan antara feminis, spiritualisme, dan ekologi. Perpaduan ketiganya itu disebut dengan “spiritualitas perempuan” yang menekankan kesatuan dari semua realitas.  Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Hlm. 94.
[8] Siti Musdah Mulia & Anik Farida. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1.
[9] Siti Musdah Mulia & Anik Farida. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm.2.
[10] Siti Musdah Mulia & Anik Farida. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm.8
[11] Siti Musdah Mulia & Anik Farida. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 9.
[12] Gusti Agung Ayu Ratih , menegaskan untuk memahami persoalan-persoalan perempuan dan gerakannya secara hostoris. Sejarah tidak lagi tampil sebagai bagian terpisah dari kekinian, tapi sebagai sebuah perbincangan yang tak pernah selesai. Ujarnya, salah satu tujuan jalan agar proses feminism sejarah dan repeblik dapat berjalan secara simultan. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi. 63. Gusti Agung Ayu Ratih  (Jejak-jejak perbincangan Prempuan dalam Sejarah) hlm. 11-15.
[13] Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi. 63. Masruchah. Partisipasi Prempuan dalam Politik di Indonesia. Hlm. 113.
[14] Aristoteles. 2004. Politik. Terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta; Bentang Budaya). Hlm. 346.
[15] Willy Aditya. 2014. Indonesia di Jalan  Restorasi.  (Edisi II)  Jakarta: Populis Institute.  
[16] Penerapan Metode Pertama, harus ada kekuatan pelopor yang menyerukan untuk kembali kepada spirit awal kemerdekaan dan membuat suatu strategic cammon goal of the nation state. Kedua, terbangunnya konsolidasi kekuatan dan kesadaran kolektif bangsa. Dan ketiga, peran sentral Negara yang konsisten terhadap gerakan untuk kejayaan bangsa. Willy Aditya. 2014. Indonesia di Jalan  Restorasi.  (Edisi II)  Jakarta: Populis Institute. 
[17] Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut. Hlm. 109.
[18] Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut. Hlm. 111.
[19] Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut. Hlm. 115.
[20] Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut. Hlm. 118. 
[21] Aditya, Willy. 2013. Indonesia di Jalan Restorasi. Jakarta: Popolis Institut. Hlm. 120. 
[22] Andrew Heywood. 2013. Politik. (Edisis IV) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 02
[23] Willy Aditya. 2014. Indonesia di Jalan  Restorasi.  (Edisi II)  Jakarta: Populis Institute.
[24] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 42-43.
[25] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 44.
[26] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm.46.
[27] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 47
[28] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 48
[29] Wardani, Sri Budi Eko. “Perjuangan Mengagas Kebijakan Afirmatif bagi kaum Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm.49-53.
[30] Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 113.
[31] Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 114-115.
[32]  Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 115-116.
[33] Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 116.
[34] Masruchah, “Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia” Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Edisi 63. Jakarta: Jurnal Perempuan. Hlm. 117. 
[35] Aristoteles. 2004. Politik. Terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta; Bentang Budaya). Hlm. 346.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "GENDER DALAM BINGKAI POLITIK"

Post a Comment