KRITIK KONSEP METAFISIKA ABU BAKAR AR-RAZI


Oleh: Shohibul Kafi, S.Fil.I.[1]

Abstrak
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Ibn Yahya ar-Razi yang dikenal Abu Bakar Ar-Razi. Ialah sosok yang sangat terkenal dalam kajian Kedokteran, Kimia,Filsafat, logika, dll. Juga Merupakan tokoh yang sedikit asing dikalangan Indonesia, dibuktikan dengan adanya sedikit sekali minat untuk mengkaji Pemikiran Metafisika atau filsafatnya dibangku Ilmiah. Lewat konsep Metafisikanya beliua merupakan tokoh yang mempunyai pemikiran modern pada waktu itu, dan hal ini juga terbukti hasil Ijtihadnya yang tertuang dalam konsep lima kekekalan mempunyai ansih dalam perkembangan sains modern.

I.      Pendahuluan
Sebagai latar belakang pintu memahami Ar-Razi dalam segala bidang, dan khususnya dalam bidang Metafisikanya, ada beberapa hal yang harus dipahami, latar sosio-kultural yang mempunyai dampak dalam perjalanan seorang tokoh. Telah diketahui bahwa beliau hidup diantara Al-Farabi dan Ibn Sina dan ada sebuah kemungkinan bahwa Ibn Sina juga mengkaji beberapa karya-karya Abu Bakar Ar-Razi, sebagaimana yang maklum kita pahami zaman itu, lebih dekat dengan naik daunnya khazanah ilmu pengetahuan dan gerakan penerjemahan karya-karya Yunani Klasik.
Selanjutnya secara keberadaan, beliau berada di bagian timur yang menjadi penyerap pertama filsafat Yunani melalui injeksi penaklukan Alexander The Great.  Dan masa hidupnya berada pada awal dan hangatnya semangat pertumbuhan peradaban (keilmuan) Islam atau pada gelombang Hellenisme pertama (750-950) Dia berguru penting Hunayn bin Ishaq (809-873), seorang Kristen Nestorian dari Hira, penerjemah pertama yang paling terkenal dan guru ilmu kedokteran dan dokter istana
Tentu hasil yang begitu brilian, tidak mudah diraih dengan tangan kosong dan semangat kosong, telah diceritakan bahwa beliau, adalah seorang manusia yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini bisa kita lihat ketika beliau berada di Rey dan juga ketika beliau hijrah Ke Bagdad. Beliau berujar, saya akan tetap mencari pengetahuan sebanyak-bayaknya, lalu akan saya manfatkan untuk umat manusia.
Korelasi dengan masa kekinian, hemat Dr. Zuhri seorang Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, khazanah keilmuan Islam pada awal renaisance hingga sekarang, melalui tangan para Orientalis banyak perpustakan Muslim terlengkap dan terbesar di dunia yang amankan/dikuasai. Yang sehingganya para sarjana atau mahasiswa sangat sulit mencari refrensi tentang tokoh-tokoh muslim yang berpengaruh di dunia. Dan kemudian dunia menyuguhkan hasil cipta karsa negara imperium dunia, maka terjadilah kejumudan panjang dalam pengembangan Filsafat Islam. Bahkan terjadi distorsi geneologi intelektual muslim dunia. Lewat studi tokoh dan pemikirian seorang Ar-Razi dengan metode kritik ini, hemat peneliti satu upaya melanjutkan dan menciptakan khazanah Intelektual Muslim dunia.

II.    Biografi dan karyanya[2]
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Ibn Yahya ar-Razi, yang kemudian disebut dengan Ar-Razi. Di Barat dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada masa pemerintahan Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang (money Changer), dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Ar-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tidak heran kalau ia tampak menonjol dibanding rekan-rekan semasanya, bahkan ia sangat tenar. Di kota Ray ini ia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H/808-855 M), belajar filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang senang mengembara, menguasai filsafat, dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia.[3]
         Pada masa Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn As’ad sebagai Gubernur Ray, Ar-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-296 H). Pada masa ini juga Ar-Razi menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad. Dari Ray kemudian Ar-Razi pergi ke Baghdad, dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafi (289-295 H), yang berkuasa pada waktu itu, ia memimpin lembaga ilmiah dan rumah sakit Maristan di Baghdad.[4] Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan pengobatan kepada mereka secara cuma-cuma. Hitti mengatakan bahwa Ar-Razi adalah seorang dokter dan pendidik yang paling besar dan paling orisinil dari seluruh dokter muslim,  pendidik yang sangat perhatian terhadap murid-muridnya, dan juga seorang penulis yang paling produktif.[5] Sarton dalam Introduction to the History of Science memberikan komentar; orang kreatif terbesar abad ini adalah Zakaria Ar-Razi, seorang Muslim Persia, seorang dokter dan juga pengajar terbesar Islam dari seluruh ilmuan abad pertengahan.[6]
         Kemasyhuran Ar-Razi sebagai seorang dokter tidak saja di Dunia Timur, tetapi juga di Barat; ia kadang dijuluki The Arabic Galen. Setelah Khalifah Al-Muktafi wafat, Ar-Razi kembali ke Ray dan meninggal pada 5 Sya’ban 313 H (27 Oktober 925 M) setelah menderita sakit katarak yang dia tolak untuk diobati dengan pertimbangan, sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya lagi.[7]
         Diberitakan, Ar-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid dan pasiennya, di samping belajar dan menulis. Karena keseriusannya dalam belajar menjadi salah satu penyebab katarak yang dideritanya. Ar-Razi dikenal seorang pemberani dalam menentang beberapa kepercayaan Islam yang fundamental, atas dasar sikap yang dipilihnya sebagai seorang rasionalis dan pendukung pandangan kaum naturalis kuno, sehingga ia banyak mendapat kecaman dari pengarang kemudian.[8]
         Lawan-lawan Ar-Razi yang patut dicatat adalah (1) Abu Hatim Ar-Razi (w. 322 H/933 M), lawan paling penting mengingat kepiwaiannya berdakwah dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah. Perbedaan pendapatnya dengan Ar-Razi terutama tentang agama dan kenabian ia tulis dalam bukunya ‘Alam al-Nubuwwah. Menurut Abu Hatim, Ar-Razi lebih mengutamakan filsafat dari pada agama yang dianggapnya sebagai khurafat dan membawa kepada kebodohan dan taqlid. (2) Abu Qasim al-Balkhi, pimpinan kaum Mu’tazilah Baghdad. Perbedaannya dengan Ar-Razi terutama mengenai waktu yang terdapat dalam buku al-‘Ilm al-Ilahi, dan (3) Ibn Tammar, yang menolak tulisan Ar-Razi dalam al-Thibb al-Ruhani.[9]
         Diperkirakan karya Ar-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Ar-Razi dimaksud adalah:
1.      Al-Asrar (bidang kimia),
2.      Al-Hawi (merupakan ensiklopedi kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa),
3.      Al-Mansuri Liber al-Mansories (bidang kedokteran, 10 jilid),
4.      Al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya),
5.      Al-Thibb al-Ruhani,
6.      Al-Sirah al-Falsafiyyah,
7.      Amarah al-Iqbal al-Dawlah,
8.      Al-Ladzdzah,
9.      Al-‘Ilm al-Ilahi,
10.  Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah, dan
11.  Al-Shukuk ‘ala Proclus.[10]

III.   Konsep metafisika abu bakar ar-razi
Pemikiran metafisika ar-Razi dituangkan dalam karyanya al-Ilmu al-Ilahi, namun karya tersebut tidak diketemukan lagi selain dalam bantahan para kritikusnya, sebagaiamana yang dapat dikumpulkan Kraus dalam Al-Rasa’il Falsafiyyah, pada bagian min Kitab al-Kitab al-Ilahi. Maqalah fi ma ba’da at-tabi’ah dan al-Qaul fi al-Qudama al-Khamsah. Filsafat ar-Razi terkenal dengan doktrin  lima hal yang kekal (al-Qudama al-Khamsah) yang menyajikan beberapa persoalan sekitar ruang, kehampaan waktu, materi, perpindahan jiwa, kenabian, kebahagiaan, dan Manichaisme.[11]
         Ar-Razi tidak mengikuti aliran filsafat tokoh tertentu secara konsisten. Abdurrahman Badawi menyebutnya tidak memiliki sistem filsafat yang teratur (no organized system of philosophy).[12] Dalam beberapa kesempatan ar-Razi menyebut Plato sebagai imamnya, tapi ternyata tidak seluruh pemikirannya diterima. Pemikiran Aristoteles, Galen, atau Sokrates, yang banyak dikritik, dalam kesempatan lain justru dikembangkan dan dipadukan satu sama lain.
         Kalangan ilmuan klasik menisbatkan doktrin Al-Qudama Al-Khamsah pada ajaran as-Sabi’iyyah dan Harraniyyah yang berkembang di sebuah pusat studi pra Islam. Belakangan diketahui bahwa doktrin tersebut merupakan pengaruh filosof Yunani periode awal, terutama Demokritos dan Phythagoras.[13] Melalui doktrin lima hal yang kekal (Al-Qudama’ Al-Khamsah), ar-Razi menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan (Al-Bari Subhanah), ruh universal (An-Nafs Al-Kulliyah), materi pertama (Al-Huyula Al-Awwalah), ruang mutlak (Al-Makan Al-Mutlaq) dan waktu mutlak (Az-Zaman Al-Mutlaq).[14]

1.      Tuhan (Al-Bari Subhanah)
         Dasar keyakinan atas kekekalan Tuhan adalah keyakinan bahwa adanya alam ini karena ada yang menciptakan. Ar-Razi tidak mengajukan pembuktian tentang kekekalan Pencipta. Tidak sebagaimana Plato yang memandang dunia diciptakan dan abadi untuk selamanya (everlasting), ar-Razi memberikan proposisi aksiomatik dengan mempercapai bahwa dunia ini diciptakan dalam interval waktu tertentu dan bersifat sementara (transient).[15]  Pencipta alam tiada lain selain Zat Yang Maha Kekal (Qadim), Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Pandai dan Maha Bijaksana (tam al-‘ilm wa al-hikmah), Yang tiada lalai dan alpa (la sahw wa gaflah), yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan terpancarkan dari hadirat Maha Pencipta laksana cahaya yang terpencar dari sinar mentari. Tuhan memancarkan karunia-Nya berupa kesempurnaan akal serta jiwa yang menerangi kehidupan hingga dapat mengatasi kebodohan, sekaligus mengatasi kepasifan (la fi’l wa la infi ‘al) materi.[16]
2.      Ruh (Jiwa Universal), (An-Nafs Al-Kulliyah)
         Di antara lima hal yang kekal terdapat dua dzat yang hidup dan bergerak (hayyani fa ‘ilani), yakni Tuhan dan ruh (al-Bari wa an-Nafs),   ar-Razi tidak berusaha membuktikan kekekalan ruh maupun Tuhan. Ruh dipandang sebagai keabadian lain selain Tuhan karena berasal dari jiwa universal yang bersifat kekal. Ruh adalah substansi murni, tak tersusun substansi lain (jauhar mujarrad). Ruh memiliki sifat bodoh., dan hanya dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman. Kebodohan menyebabkan ruh tertarik kepada materi (tamil ila at-ta’alluq bi al-huyula) dan berupaya membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan kebendaan (tathlub al-ladzdzah), tetapi materi menolak.[17]
         Tuhan tahu bahwa ruh membutuhkan kesenanagan materi. Tuhan yang semula tidak berkehendak mencipta kemudian membentuk alam untuk menolong ruh agar ia beroleh kesenangan materi (al-ladzdzah) di dalamnya. Namun demikian bukan berarti kehendak Tuhan berlangsung atas dorongan pihak lain (ruh). Di tengah alam Tuhan menciptakan bentuk-bentuk yang kuat, termasuk manusia agar ruh dapat bertempat di dalamnya serta memperoleh kebahagiaan jasmani.[18]
         Kesenangan dalam dunia benda tidak akan membebaskan ruh dari rasa sakit (la tanfakk ‘an al-alam). Kebodohan menyebabkan ruh tidak mengetahui bahwa kesenangan sejati yang bebas dari penderitaan (al-ladzdzah al-khaliyyah ‘an al-alam) bukan terletak pada materi, tapi ketika terbebas dari jeratan materi. Guna mengingatkan ruh agar senantiasa menyadari dunia sejatinya. Tuhan memancarkan Jiwa Rasional berupa kecerdasan akal (al-‘aql/intelegensi).[19] Iluminasi akal atas ruh menyadarkannya atas tempat kebahagiaan sejati, yang dapat dicapai dengan mempelajari filsafat sebagai pengasah pikiran. Keyakinan atas keabadian, doktrin perpindahan jiwa (metempsvchosis) serta peran filsafat sebagai jalan tembus (path way) ke arah purifikasi dan pembebasan jiwa dari belenggu materi (tubuh) merefleksikan pengaruh pemikiran platonic-phytagorean.[20]
         Dengan mempelajari filsafat, ruh dapat mengetahui dunia sejatinya, memperoleh pengetahuanm, serta dapat membersihkan diri. Bila tidak demikian, maka ruh tidak akan selamat dari keadaan buruk, tidak dapat kembali ke tempat asalnya, serta akan selalu tinggal di alam materi. Ruh akan tetap di dunia materi hingga disadarkan kembali oleh filsafat tentang rahasia dirinya. Bila seluruh ruh sudah bersih, alam ini akan hancur, dan seluruh materi kembali ke tempat asalnya.[21]
         Tuhan mengarahkan pada kemurnian ruh dari materi melalui penganugerahan akal, sebab keterperangkapan ruh pada materi merupakan bibit-bibit kejahatan. Pembebasan ruh dari unsur-unsur materi berarti menghapus keraguan akan kekekalan dunia sekaligus menghapus kejahatan. Namun demikian, bukan berarti kejahatan akan hapus sama sekali, dikarenakan keterperangkapan ruh pada materi tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan.
3.      Materi Absolut (Al-Huyula Al-Awwalah)
         Pandangan ar-Razi tentang materi mengacu pada pandangan platonic dan pra-Sokratik. Pandangan ar-Razi cenderung atomistis, terutama lebih dekat pada pemikiran Demokritos.[22] Ar-Razi meyakini bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya diciptakan Allah dari sesuatu (unsur-unsur) yang lain. Ia menolak pandangan creation ex nihilo, sebab menurutnya segala sesuatu pasti diciptakan dari bahan atau materi lain.
         Setiap materi tersusun oleh partikel-partikel atom yang mempunyai volume tertentu hingga dapat disusun dan dibentuk. Atom-atom tersebut menghasilkan lima unsur, yaitu: bumi, udara, api, air dan unsur eter (celestial element). Sifat-sifat unsur tersebut; terang, berat, buram, padat, dan transparan, digunakan untuk menjelaskan komposisi materi berdasarkan proporsi unsur dan kehampaannya. Unsur bumi (jauhar al-ardl) tersusun oleh substansi yang lebih padat. Substansi yang lebih renggang menjadi unsur air (jauhar al-ma’), kemudian lebih renggang lagi unsur udara (jauhar al-hawa’), dan unsur api (jauhar al-nar) merupakan unsur paling renggang.[23]
         Hancurnya materi ataupun dunia ini tidak akan menjadikan substansi penyusunnya musnah tanpa bekas, melainkan hanya menjadi serpihan-serpihan materi yang lain. Bila serpihan tersebut terus terurai, maka akan sampai pada partikel atom, partikel terkecil yang tidak bisa dibagi lagi. Konsep kekekalan materi ini tidak bertentangan dengan barunya alam, sebab penciptaan alam dimulai sejak penyusunan materi, bukan sejak penciptaannya. Karena itulah materi dipandang sebagai sesuatu yang kekal.[24]
         Kekekalan materi dicoba dibuktikan oleh ar-Razi dengan memberikan dua argumentasi:
1.      Penciptaan dari tiada adalah mustahil. Berdasarkan pengamatan (al-istiqra’ al-kulli), segala sesuatu terjadi dengan susunan, melalui proses, bukan dengan cara sekejap mata. Karena itu Tuhan tidak mungkin membuat sesuatu tanpa bahan (creation ex nihilo).
2.      Bila alam ini diciptakan, tentu saja ada Penciptanya. Tuhan menciptakan sesuatu dengan materi yang terbentuk. Kekuatan Pencipta (Tuhan) diperlukan guna membentuk dan menyusun materi itu. Jika Penciptanya kekal, maka materi yang dikenai kekuatan Pencipta juga kekal.[25]
4.      Ruang (Al-Makan Al-Mutlaq)
         Berbeda dengan Aristoteles, ar-Razi memahami ruang (al-makan/locus) sebagai konsep abstrak, di mana ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh (inseparable from body).[26] Setiap wujud (al-mutamakkin) memerlukan ruang sebagai tempat berwujud, karena itu ruang pasti ada. Ruang merupakan tempat bagi setiap yang wujud maupun yang bukan wujud. Karena materi yang menempati ruang bersifat kekal, maka ruang tempat materi berada juga kekal.
         Ar-Razi membedakan ruang ke dalam dua bagian, yaitu ruang relatif (al-makan al-mudaf) dan ruang absolut (al-makan al-mutlaq). Ruang relatif adalah ruang yang terbatas, yang adanya tergantung pada adanya wujud yang menempati. Bila tidak ada yang menempati, maka ruang itu tidak ada.[27]
         Sedangkan ruang absolut adalah ruang yang ditempati oleh seluruh materi. Ruang absolut merupakan tempat beredarnya materi, baik sebelum atau sesudah diciptakan, bahkan setelah hancurnya alam menjadi materi-materi yang lain. Keberadaan ruang ini tidak tergantung adanya benda-benda angkasa. Tanpa benda apapun ruang tetap ada. Ar-Razi mencontohkan ruang absolut dengan sebuah bejana yang berisi benda-benda. Bila benda-benda tersebut diangkat dari bejana, maka bejananya tidak terangkat.
         Ar-Razi juga menjadikan kekekalan materi sebagai dasar keyakinan atas kekalnya ruang. Ruang adalah tempat adanya wujud fisik (al-jism). Setiap yang wujud pasti menempati ruang, sedang yang di luar wujud tersebut ada ruang dan bukan ruang, karena itu yang menempati ruang terdiri dari yang wujud dan yang bukan wujud. Jika bukan ruang, sesuatu itu pasti wujud yang terbatas, dan jika bukan wujud sesuatu itu tentu ruang. Wujud itu terbatas karena ia ada dalam ruang, mengingat ruang itu tidak terbatas, dan ketidakterbatasannya menunjukkan bahwa sesuatu itu kekal (qadim).[28]

5.      Waktu Absolut (Az-Zaman Al-Mutlaq)
         Waktu adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri), merentang (mumtadd) dan kekal (qadim). Waktu tudak dapat dipahami sebagai jumlah gerak benda (‘adad harakah al-jism) sebagaimana pendapat Aristoteles dan para pengikutnya. Dua benda yang begerak dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin menghasilkan jumlah waktu yang berbeda. Ini selaras dengan Transyahri yang memandang bahwa zaman (az-Zaman), keberlangsungan (ad-dahr) dan materi (al-maddah) tidak lain hanyalah nama yang maknanya kembali pada substansi yang satu.[29]
         Ar-Razi membedakan waktu menjadi dua: waktu mutlak atau waktu absolut (ad-dahr) dan waktu terbatas (al-mahsur). Waktu yang terbatas (al-waqt/time) ditentukan berdasarkan pergerakan falak, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, sehingga bisa diukur (measurable). Perhitungan atas gerakan planet tersebut menyebabkan waktu terbatas dapat dibagi-bagi menjadi segmen-segmen waktu, mulai dari hari, bulan, tahun dan seterusnya. Waktu yang hanya ditentukan berdasarkan rotasi maupun gerak bola bumi mengitari matahari merupakan waktu terbatas.[30]
         Adapun waktu absolut yang disebut juga dengan al-dahr (keberlangsungan) akan senantiasa kekal dan bergerak, tanpa harus tergantung pada pergerakan falak. Waktu absolut ini digunakan ar-Razi untuk menjelaskan waktu sebelum dan sesudah diciptakan dan fananya alam ini.[31] Waktu mutlak dapat dipahami dari kekekalan gerak dan perubahan materi dalam ruang yang tak terbatas dan kekal, karena itu waktu absolut juga kekal.
IV.  Kritik konsep metafisika atas pemikiran abu bakar ar-razi
Menjadi penting untuk menghantarkan pada kritik yang filosofis ialah memberikan pemaknaan terhadap Metafisika sendiri, dimana metafisika dalam diskursus kali ini menjadi tranding topik. Adapun untuk sampai pada pemaknaan filosofis terhadap metafisika tentu membutuhkan beberapa tahapan diantaranya ialah; pertama, metafisika general. Kedua metafisika dalam pandangan Islam. Ketiga Metafisika dalam pandangan Abu Bakar Ar-Razi[32]
Pertama, metafisika general. Dalam konten ini, peneliti mengunakan istilah yang dipaparkan oleh Loren Bagus. Nama metafisika muncul pertama kali dalam arti sekarang dalam karya filsuf Neo-Platonis, Simplicus. Ilmu yang dilukiskan oleh istilah ini sudah dimulai secara sistematis dalam abad ke-4 SM oleh Aristoteles. Metafisika bergelut dengan yang metafisis, dengan apa yang melampaui yang fisis. Namun fisis disini sama sekali tidak mengartikan hal yang sama bagi orang Yunani sebagaimana di artikan oleh ahli-ahli fisika modern. Karena fisis berarti seluruh dunia pengalaman ragawi sejauh dia tunduk terhadap alam. Yakni ia tunduk pada proses menjadi atau dilahirkan dengan cara tertentu. Karenanya disebut metafisis apa yang secara hierarki tidak dapat dialami oleh pancaindera, tidak dapat berubah dan sedikit banyak rohani. Tetapi yang disebut metafisis bukan tidak dapat diketahui, sebagaimana dikukuhkan oleh Nicolai Hartmann[33]
Kedua, metafisika dalan pandangan Islam. Secara umum metafisika dalam Islam bisa dipahami sebagai berikut, metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang penjelasan asal atau hakikat obyek fisik yang ada di dunia dimana didalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan atau realitas. Dalam hal pencipta dapat saya simpulkan bahwa Islam lebih cendrung kompromis antara konsepsi pewahyuan dan konsepsi pemaknaan manusia. Semisal bahwa alam semesta berserta isinya merupakan ciptaan Tuhan/ Allah SWT. Yang dalam hal ini telah diatur dalam Undang-undang Kitab Suci Al-Qur’an.          
Ketiga, metafisika dalam pandangan Abu Bakar Ar-Razi. Pada pemaparan diatas telah disinggung tentang doktrin Al-Qudama Al-Khamsah (Prinsip Lima Kekal) Penuturan tentang doktrin lima hal yang kekal tidak dijumpai sebelum ar-Razi mengungkapkannya. Ar-Razi sendiri menyatakan doktrin tersebut sebagai doktrin filsafat Yunani (mazhab al-falasifah al-yunaniyyah) pra Aristoteles.[34]
Dari rangkaian di atas, peneliti memiliki sebuah pandangan bahwa sebenarnya Abu Bakar Ar-Razi dalam konten metafisika dan filsafat. Lebih cendrung pada kritik atas pemikiraan filosof yunani, hal ini didukung oleh para pakar sejarah sepakat bahwa Abu Bakar Ar-Razi hidup diantara Al-Farabi dan Ibn Sina, maka kemungkinan yang paling besar ialah maraknya kebangkitan pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Di zaman Ar-Razi lebih tepatnya zaman suburnya pendalaman ilmu pengetahuan baik yang secara epietemologi bersandar pada al-Qur’an dan Hadits atau pun ilmu dan pengetahuan yang lahir dari hasil penerjemahaan karya-karya Yunani klasik.
Pendapat diatas juga diperkuat oleh tingkat popularitas Abu Bakar Ar-Razi yang lebih dikenal sebagai Tabib atau dokter baik di Rey (Teheran) ataupun di Bagdad. Selintas terbayangkan bahwa yang memicu Ar-Razi untuk bergelut pada ruang metafisika dan filsafat ialah bekal ilmu yang dia peroleh dari beberapa guru dan sampai pada basis penyingkapan pengetahuan dan metode penyingkapan pengetahuan, apabila kita cermati kajian kedokteran sangat kental dengan penyingkapan pengetahuan melalui empiris-logis, atau rasional-empirik.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini, tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di Bagdad  dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang menghantarkan pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.
Apabila analisis ini mendekati kebenaran maka sangat wajar apabila beliau sangat mendewakan Al-Aqlu/Rasionalitas. Apalagi beliau juga sedikit banyak bersinggungan dengan para teolog dari kalangan Mu’tazilah, Sunni, maupun Syiah. Sebagai upaya pemahaman terhadap konsep metafisika beliau Ar-Razi, analisis yang sangat kuat bahwa beliau termakan isu wahana pengetahuan yang tidak tuntas yang dipelopori oleh filsuf Yunani terutama dalam hal Jiwa dan atomistik. Kedua hal ini juga yang menjadi basis ontologis, sebuah pijakan Ar-Razi masuk dalam penghayatan filsafat.
V.   Hipotesa baru atas pemikiran abu bakar ar-razi
Dari telaah diatas, biografi sampai pada kritik, peneliti menemukan beberapa catatan penting. Dimana catatan ini menjadi urgent untuk dipahami dan dikembangkan sebagai upaya mengsistematiskan pemikiran yang terutama para pengkaji ar-Razi. Hipotesa yang dibangun oleh peneliti pertama, peneliti meyakini bahwa beliau ar-Razi tergolong sebagai pemikir liar, yang tidak kenal kompromi dalam hal pengetahuan terutama yang beraliran rasionalis.
Yang kedua, hipotesa peneliti, dalam membranding pengetahuannya, Ar-Razi bisa jadi meninggalkan Al-Qur’an dan Hadits, beliau asyik bermain dengan pemikiran Neo-Platonik dan filsuf-filsuf peripatetik Yunani, sehingga rujukan utamanya bukan lagi al-Qur’an ataupun Hadits melainkan Mereka filsuf Yunani.
Hipotesa yang ketiga, dalam konteks Metafisika, beliau mencoba ingin menemukan konsep yang paling dasar atas terciptanya sebuah realitas, sedikit berbeda dengan al-Farabi, jika al-Farabi menyingkap proses penciptaan melalui Emanasi maka ar-Razi mengunakan lima kekekalan Al-Qudama Al-Khamsah yang paling mendasari. Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas.[35]
Hemat peneliti, bahwa lima kekekalan yang dikonsepsikan sebagai konsep metafisika ar-Razi. Lebih menempati posisi urutan atau semacam rotasi penciptaan. Dengan model pemaknaan yang maklum atau mudah dimengerti oleh manusia ketika manusia mencari arti tentang proses penciptaan. Benar jika dalam bentuk rotasi tersebut disertai dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini dikarenakan beliau sangat  kuat dalam pendalaman rasionalitas-logis.
VI.  Kesimpulan sementara
 Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.
Secara umum konsep metafisika yang dibangun oleh Ar-Razi tertuang dalam doktrin lima hal yang kekal (Al-Qudama’ Al-Khamsah), ar-Razi menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan (Al-Bari Subhanah), ruh universal (An-Nafs Al-Kulliyah), materi pertama (Al-Huyula Al-Awwalah), ruang mutlak (Al-Makan Al-Mutlaq) dan waktu mutlak (Az-Zaman Al-Mutlaq).
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi. Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
lima kekekalan yang dikonsepsikan sebagai konsep metafisika ar-Razi. Lebih menempati posisi urutan atau semacam rotasi penciptaan. Dengan model pemaknaan yang maklum atau mudah dimengerti oleh manusia ketika manusia mencari arti tentang proses penciptaan. Benar jika dalam bentuk rotasi tersebut disertai dengan dalih-dalih rasio-empirik, hal ini dikarenakan beliau sangat  kuat dalam pendalaman rasionalitas-logis.
Tentu bekal ini juga yang menghantarkan Ar-Razi untuk masuk dalam ruang filsafat ataupun ruang metafisika. Hal ini bisa dilihat pada pemikirannya yang sangat kental rasionalis, semisal dalam konteks pemikiran kenabian, al-Qur’an, moral, logika. Untuk sampai pada hal ini, tentunya ada faktor yang paling mendorong, diantaranya faktor yang paling mempengaruhi Ar-Razi ialah pertama, semangat mencari ilmu pengetahuannya yang sangat tinggi. Kedua, ketika ia belajar dengan Ali Ibn Rabban al-Tabari di Bagdad  dan Hunayn Ibn Ishaq di Rey. Dua faktor ini juga lah yang menghantarkan pada briliannya atas gagasan-gagasannya dalam semua bidang.
Sampai hari ini, peneliti masih meragukan sistematika berfilsafatnya beliau Ar-Razi, hal ini juga banyak dirasakan oleh pengamat beliau. Bahwa beliau sangat cinta terhadap pengetahuan itu iya. Akan tetapi dari mana beliau berangkat dalam nuasa berfilsafat, ini masih dalam bentuk bertanyaan besar, hal ini juga pandangan subyektif peneliti terhadap beliau dikarenakan beliau mengenyam nuasa studi filsafat pasca beliau mempelajari al-ilmu al-thibb atau ilmu kedokteran. Terdapat sebuah kemungkinan bahwa beliau termakan isu wacana pengetahuan dimana pada zaman itu kentalnya nuasa filsafat dan penerjemahan karya filsafat yunani.
VII. Daftar Pustaka
Ar-Razi, Muhammad Ibn Zakariya. 1978. Ar-Razi, al-Thibb al-Ruhani. Maktabah An-Nadhah Al-Mishriyah, Kairo.
                       Muhammad Ibn Zakariya. As-Sirah al-Falsafiyah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Araby, ed., Al-Rasa’il Falsafiyyah
Nasr, Sayyed Hossein. 2001. Pengetahuan Dan Kesucian. Terj. Suharsono. Yogyakarta: Pustaka pelajar,
                       dan Leaman, Oliver (ed.). Ensiklopedia Tematik Filsafat Islam II. Bandung: Mizan, 2003.
Lenn E. Goodman, Muhammad Ibn Zakariyya al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, eds., 1996.  History of Islamic Philosophy, Part I,  London and New York, Routledge,
Baker, Anton, dan Zubair, Achmad Charis.  Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Baker, Anton. Antropologi Metafisik. (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
Bagus, Lorens. 1996.).  Kamus Filsafat.  (Jakarta: Gramedia,
H. Harold, Titus. (dkk). Persoalan-persoalan Filsafat, alihbasa H.M. Rasjidi (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo,1984.)
Badawi, Abdurrahman. Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi, dalam M.M. Sharif (ed), 1963. A History of Muslim Philosophy, Vol. I, Otto Harrassowitz, Wisbaden.
Al-Jumbulati, Ali. 1994. Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah, Terj. Prof. HM. Arifin M.Ed., Rineka Cipta, Jakarta.
Hitti, Philip K. 1974. History of the Arabs.  Macmillan London.
Nakosteen, Mehdi. 1996,  Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Terj Joko S. Kahhar, Risalah Gusti, Surabaya.
Fakhri, Majid 1983.  A History of Islamic Philosophy, New York, Columbia University Press
Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah.
Nasution, Harun. 1983. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
Parviz Morewedge, ed., 1981. Islamic Philosophy and Mysticism, New York, Baruch College of State University of New York.
Madkour, Ibrahim. 1993. Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, Bagian I, Terj. Yudian W., Asmin, Ahmad H.M., Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.





[1] Mahasiswa Pasca Sarjana Kosentrasi Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Semester II.

[3] Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi, dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, 1963,Vol. I, Otto Harrassowitz, Wisbaden, hal. 435
[4] Di lembaga Maristan ini Ar-Razi mengajar ilmu kedokteran dengan metode yang paling modern pada masa itu, yaitu mengintegrasikan studi teori dengan studi lapangan, antara tempat belajar ilmu kedokteran dan rumah sakit menjadi satu kesatuan. Metode studi ilmu kedokteran Maristan menjadi standar kedokteran yang progressif dan orsinil Islam, dimana pembelajaran ilmu kedokteran secara ilmiah dan praktik amaliah secara langsung. Metode ini kemudian berkembang di Barat dan di Rimur. Ali Al-Jumbulati, Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah, terjemahan Prof. HM. Arifin M.Ed., 1994, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 34
[5] Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1974, Macmillan London, hal. 365-6
[6] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Terjemahan Joko S. Kahhar, 1996, Risalah Gusti, Surabaya, hal. 213
[7] Abdurrahman Badawi, Op.Cit.,hal. 436
[8] Abdurrahman Badawi, Op.Cit.,hal. 436
[9] Abdurrahman Badawi, Op.Cit.,hal. 437
[10]  Abdurrahman Badawi, Op.Cit.,hal. 439
[11] Badawi, Muhammad Ibn Zakaria, hal. 441. Karena doktrin Al-Qudama al-Khamsah ini menyebabkan beberapa pemikir muslim menyebutnya sebagai al-Mulhid (Atheis). Dalam Islam, yang Qadim hanyalah Allah SWT (Al-Bari). Kalau dipermasalahkan; Allah menciptakan makhluk, berarti dalam proses menciptakan ada “masa” (waktu). Maka “waktu” ini sebenarnya adalah Sunnatullah, sehingga tidak dapat disebut waktu yang qadim.
[12] Badawi, Muhammad Ibn Zakaria, hlm. 448.
[13] Penuturan tentang doktrin lima hal yang kekal tidak dijumpai sebelum ar-Razi mengungkapkannya. Ar-Razi sendiri menyatakan doktrin tersebut sebagai doktrin filsafat Yunani (mazhab al-falasifah al-yunaniyyah) pra Aristoteles, Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 191-4. 
[14]  Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 195.
[15] Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, New York, Columbia University Press, 1983, hal. 105.
[16]  Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 197.
[17]  Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 204-205.
[18] Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 2005.
[19] Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 205-206.
[20] Fakhry, A History of Islamic Philosophy, hal. 101 dan 105.
[21] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, hal. 23  
[22]  M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, Delhi, Adam Publisher & Distributors, 1994, hal. 70
[23] Ibid., hal. 71. Simak juga Khasru, ed., al-Qaul fi al-Huyula, dalam Lajnah Ihya at-Turas al-‘Araby, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 221. Hal ini juga dijadikan dasar penjelasan mengenai gelap dan terang. Ibid., hal. 226-7. 
[24]  Khasru, ed., al-Qaul fi al-Huyula,.hlm. 222
[25] Khasru, ed., al-Qaul fi al-Huyula, 225-226.
[26] Fakhry, A History of Islamic Philosophy, hal. 103
[27]  Khasru, ed., al-Qaul fi al-Makan wa az-Zaman dalam Rasa’il Falsafiyyah, hal. 253. Al-‘Abd., Usul al-Fikr, hal. 114
[28] Khasru, ed., al-Qaul fil al-Makan wa az-Zaman, hal 253-4 dan 258-9
[29]  Bagi Allah Swt. zaman (az-zaman) menjadi dalil pengetahuan (‘ilm), tempat  (al-makan) merupakan dalil kekuasaan (qudrah), gerakan (harakah) menjadi dalil perbuatan (fi’il), dan jisim merupakan dalil kekuatan (quwwah). Khasru, ed., al-Qaul fi al-Makan wa az-Zaman, hal. 266-7.
[30] Abu Hatim ar-Razi, A’lam an-Nubuwwah, dalam Lajnah Ihya’at-Turas al-Araby, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 304.
[31] Al-'Abd, Usul al-Fikr al-Falsafi, hal. 121
[32] Kenapa harus mengunakan peta kronologis tersebut, dikarenakan dalam kajian diskursus kali ini merupakan suatu upaya untuk sampai pada kritik filosofis hal inilah yang menjadi dasar atas pemetaan kajian diskursus kali ini. Ijtihad dari peneliti. Shohibul Kafi
[33] Saya tampilkan pandangan Aritoteles. memperlonggar pembedaan penampakan-kenyataan, dengan menganggap metafisika sebagai disiplin yang berurusan dengan konsep-konsep yang terlalu umum untuk dipaparkan didalam salah satu bidang khusus pengetahuan. Problem kausalitas dan subtansi dan analisis istilah-istilah umum seperti potensialitas dan aktualitas, merupakan contoh topic atau konsep yang dipakai dalam sejumlah bidang penelitian, yang dapat diurai secara pasti hanya dalam disiplin umum metafisika. Bagaimana pun baginya metafisika merupakan study tentang ada dan sejauh ada, sementara ilmu-ilmu mempelajari bagian-bagian dari yang ada. Lorens Bagus. 1996.  Kamus Filsafat.  Hlm. 624-635.
[34] Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal. 191-4
[35] Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof sejak zaman Plato. Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa mencipta­kan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.
Kemudian, materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, yang tidak lain adalah ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan seka­ligus kekal. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang partikular/ tertentu tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati.
Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbe­da dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular dapat diukur dan terba­tas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan ter­dorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.
Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafi­sika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebin­gungan para filosof.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KRITIK KONSEP METAFISIKA ABU BAKAR AR-RAZI "

Post a Comment