KRITIK PERSOALAN POLITISASI AGAMA MASA KINI




Oleh : Pangeran Mudho Kafi
Jauh sebelum kita meninjau kembali perjalanan politisasi agama di Indonesia, sekiranya perlu kembali memberikan definisi serta pemahaman Politisasi agama itu sendiri. Menurut pemahaman Nahdlatul Ulama yakni "Politisasi agama pertama ialah resolusi jihad pada Oktober 1945 untuk mendorong pemuda muslimin berjihad mempertahankan tanah air melawan sekutu. Pada saat itu politisasi agama adalah sebuah keharusan," oleh K.H. Hasyim As’ari. Sementara Buya Syafi’i mendefinisikan Politisasi agama ialah pengunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, serta akal sehat definisi banyak didasarkan oleh maraknya fenomena pengunaan agama dalam rangka tujuan politik yang tidak mempertimbangkan moral, etika kira-kira fenomena yang terjadi sejak tahun 2017 hingga sekarang. Semetara pandangan dari K.H. Hasyim As’ari lebih pada kebangsaan guna mengajak seluruh muslim untuk mempertahkan kemerdekaan Indonesia.      
Melihat ulang Indonesia yang sudah memiliki usia 74 tahun menjadi biasa apabila menghadapi kian banyak tantangan. Baik tantangan yang bersifat ringan, berat ataupun sedang.  Khususnya dalan ihwal keagamaan Indonesia cukup akut dan nyaris selalu bertemu dalam pelbagai ledakan perkembangan. Misalnya persoalan berat yang pernah dialami oleh bangsa ini adalah konflik panjang yang dimotori oleh Revolusi Tiga Imam atau yang sering dikenal Revolusi DI-TII, dalam konflik ini cukup banyak sudah darah mengalir sebuah tragedi epik pemberontakan anak bangsa terhadap konstitusi era Orde lama.
Kemudian Tantangan berat selanjutnya juga terjadi di era transisi dari Presiden Soekarno menuju Presiden Soeharto yang kita kenal dengan Pemberontakan Komunis, yang muara persoalamnya adalah  Negara vis a vis Ideologi Komunis. Nyaris hampir serupa pada pemberontakan pada DI TII sekelompok orang yang ingin mengantikan ideolologi Pancasila menjadi Ideologi Komunis. Selanjutnya, Era Orde Baru era ini kemelut agama tidak cukup dominan menguasi publik. Melalui kecerdikannya Presiden Soeharto persoalan agama mampu diredam dengan baik.
Persoalan berat selanjutnya ialah era reformasi, tepat dibawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, terjadi gerakan kudeta pemerintahan Gus Dur, muncul pula sekelompok yang mengatasnamakan Umat Islam yang mencoba melobby Presiden Gus Dur, sebagaimana yang disampaikan Mahfud MD dalam acara khoul Gus Dur Kelompok tersebut menurut data yang disampaikan Pak Mahfud menawarkan kepada Gus Dur, “nanti tolong sampaikan dengan presiden. Presdien jangan mengeluarkan dekrtit pembubaran DPR dan MPR, tapi mengeluarkan dekrtit negara Indonesia ini menjadi negara Islam mengganti pancasila dengan negara Islam”, kemudian Gus Dur menjawab, “Saya lebih jatuh, daripada saya menghianati Republik ini melanggar konstitusi” (Youtobe- Mahfud MD Blak-blakan di Balik Turunnya Gus Dur)
Tampaknya gerakan dan peran ulama pasca reformasi mulai memainkan peran yang cukup signifikan dalam medan politik praktis. Hal tersebut misalnya masing-masing ormas Islam di Indonesia mulai bermunculan dan relatif cukup banyak. Misalnya NU di wakili oleh Gus Dur, Hasyim Muzadi, Muhammadiyah diwakili oleh Amin Rais,  dan ormas-ormas lainnya yang sudah berkembang sejak lama. Seiring data tersebut menurut As’ad Said Ali pasca reformasi juga ditandai dengan adanya kelahiran Gerakan Islamis di Indonesia yakni Front Pembela Islam (FPI), Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HTI), Salafi-Wahabi, Salafi Jihadi, Jama’ah Tabligh, Syi’ah, Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jama’ah, Majelis Mujahidin Indonesia, serta Jama’ah Ansharut Tauhid. (Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: 73-143) Sampai disini maka tidak mengherankan jika muara persoalan Ke-agamaan politisasi Agama atau agamisasi politik meminjam Istilah Prof. Nurhaidi Hasan mulai bersemi dan berkembang.
Betapapun terjadinya pertentangan dalam ihwal Keagamaan antara NU dan Muhammadiyah terjadi pada umumnya akan disatukan kembali oleh semangat keindonesiaan, dan itu sudah biasa terjadi sepanjang terbentuknya Negara. Namun dengan adanya pendatang baru sebagaimana yang diuraikan oleh As’ad menjadi berbeda dalam seni berkonflik dan penyelesaian masalah hal ini disebabkan oleh cara pandang ber-Negara. Jika NU dan Muhammadiyah lebih pada cara pandang Subtantif maka Gerakan Islamis lebih pada cara pandang Integralistik. (Munawir Sajali: Islam dan Tata Negara Ajaran,1)
Pasca reformasi gerakan ke-Islaman khususnya NU dan Muhammadiyah telah mampu memperbaiki arah gerak khususnya pula didalam politik pratis, jika di era orde baru NU dan Muhammadiyah berada dalam satu berahu yakni PPP maka Reformasi Mereka mencoba mendisiplinkan dengan pendirian partai-partai berbasis Islam atau Islam Ke Indonesian. NU dengan PKB, Muhammadiyah dengan PAN, aliran Islamis dengan PKS dan PBB. Bersama dengan adanya partai-partai tersebut telah mampu mewarnai keragaman demokrasi meski konsekuensi logisnya kelembagaan yang berpatron dengan partai, lambat laut cukup mengoda secara serius di internal masing-masing. Pada titik ini, maka terjadilah proses politisasi agama ataupun agamaisasi politik, barat seseorang yang menyemai benih tanaman, maka hari ini kiranya gerakan Islamis telah bertumbuh subur.
Jika kita potret dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak tahun 2004-2014 politisasi agama tidak begitu mencuat secara serius, sangat berbeda dengan kepemimpinan Presiden Gus Dur sebagaimana uraian diatas. Selanjutnya dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo pada tahun 2014-2019, periode ini sangat mencuat persoalan-persoalan politisasi agama, bahkan pada periode bisa dibilang yang paling keras sejak pasca reformasi. 2018 hingga 2019 negeri Indonesia seolah terbelah dua khususnya diranah pemilu capres-cawapres sementara pileg dan pilkada terhitung berjalan dengan damai kecuali Jakarta pilgub 2018. Persoalan Politisasi agama sendiri memiliki dampak yang sangat kurang baik bagi berjalannya sistem demokrasi negara Indonesia. sangat mengikis ke-bhineka-an dan persatuan berbangsa dan bernegara, politasasi agama dapat memecah secara serius keutuhan berbangsa dan bernegara. mendorong pemilih untuk tidak memilih (Golput) kandidat.
Lahirnya politisasi agama masa kini cendrung dimotori oleh politik kekuasaan semata, Politisasi agama digemari karena ia cara paling praktis, murah, dan gampang untuk merebut emosi dan simpati rakyat, tetapi rasionalitasnya diragukan. Kandidat juga enggak perlu hebat-hebat amat. Yang penting didukung tokoh-tokoh agama yang siap menjajakan ayat dan fatwa untuk kepentingan politik, seorang kandidat bisa terpilih. Atau, bila piawai mencitrakan diri sebagai penganut agama yang taat, kandidat bisa merebut kekuasaan. Maka bersamaan dengan kondisi tersebut maka lahirlah UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba. Sementara itu politisasi agama ditahun 1945 sebuah upaya kebangsaan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan Negara dari penjajahan. 
Meski politisasi agama lahir karena politik kekuasaan yang kemudian perlu kita kritisi ialah pertama pelaku/dalang atau aktor atas narasi tersebut sekiranya harus lebih arif dan bijaksana dalam berpolitik atau wajib mengunakan politik kebangsaan sebagai tabir batar kebebasan berekpresi politik. Kedua ketidak jelasan sistem demokrasi indonesia pasca reformasi juga menjadi persoaan utama dalam sendi perpolitikan, maka sangat diharapkan pasca pilpres 2019 ini terjadinya ruang rekonsialisasi gagasan demokrasi indonesia dengan kilas balik sejarah, orde lama ada demokrasi Terpimpiin, Orde Lama ada demokrasi Pancasila, maka reformasi serta pasca reformasi bangsa ini tidak mengerti berjalan diatas demokrasi yang bagaimana?
Ketiga narasi politisasi agama sekiranya tidak dilakukan kembali didalam politik dalam negeri. Politisasi agama Hanya akan digunakan apabila negeri dalam situasi kegentingan yang diakibatkan serangan dari luar. Sementara politisasi agama hari ini harus direduksi misalnya dengan politik gagasan. Keempat paham-paham Islam radikal, Islam ektrimis hendaknya segera dilumpuhkan dan dibubarkan sebab sejauh ini muara politisasi agama berasal dari ormas tersebut yang kemudian disinyalir oleh partai politik, narasi ormas tersebut sungguh tidak akan pernah sejalan dengan Pancasila sehingga dalam hal ini ormas tersebut dapat kita anggap benalu republik Indonesia dan harus ditiadakan.
Kelima segenap guru bangsa, tokoh bangsa, politisi, serta seluruh pemangku kebijakan hari hendaknya bertanggungjawab penuh dalam rangka pemulihan atas terkikisnya nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai keagamaan, serta budaya bangsa warisan leluhur anak bangsa. Keenam, Media cetak, media online sebagai pembawa berita dan opini publik hendaknya kembali pada kode etik pers dan jurnalistik dan harus menyudahi kabar serta opini yang dapat menghidupkan kembali politisasi agama ataupun politik identitas.

( Anak Bangsa Indonesia)           


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KRITIK PERSOALAN POLITISASI AGAMA MASA KINI"

Post a Comment