(Diskursus Deskrpsi-Analitik
Tasawuf Falsafi)
(1165-1245 M)
Oleh: Shohibul
Kafi, S.Fil.I.[1]
Cakupan pembahasan
v Sketsa Biografi Ibn
Arabi
v Latar Belakang Tasawuf
Ibn Arabi
v Memahami Tasawuf
v Memahami Sejarah
Kemunculan Wahdatu Al-Wujud
v Wahdatu Al-Wujud
Sebagai Tasawuf Ibn Arabi
v Pengaruh Tasawuf Ibn
Arabi
A. Sketsa Biografi Ibn Arabi
1. Perjalanan Ibn
Arabi
Nama lengkap Ibn ’Arabi adalah Abu Bakr
Muhammad ibn ’Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
’Abdillah al-Ta’iy al-Hatimy, lebih dikenal dengan sebutan Ibn ’Arabi.[2] Ada yang menyebutnya dengan
nama Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali Muhy al-Din al-Hatimi al-Ta’iy al-Andalusi, dan oleh para pengikutnya digelari dengan al-Syaikh al-Akbar.[3] Di Spanyol ia juga dipanggil dengan Ibn Suraka, tetapi di Timur, biasanya, ia dipanggil tanpa artikel
(al-) untuk membedakannya dari al-Qadhi Abu Bakr Ibn
al-’Arabi.[4] Ia
dilahirkan di Murcia,
Spanyol, pada
tanggal 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1165 M., dari keluarga dermawan dan
ahli zuhud yang saleh dan memiliki banyak karamah.[5]
Ayahnya bernama ’Ali ibn Muhammad, seorang imam fiqh dan hadis, seorang tokoh
zuhud dan ahli tasawwuf.[6] Ia adalah
tokoh yang sangat terkenal dan berpengaruh dalam bidang politik.[7] Ia bersahabat
akrab dengan para filosof.[8] Ia juga sebagai
pegawai pemerintah di masa Muhammad ibn Mardanish, penguasa
Murcia.[9] Pada umur 8
tahun (568 H./1173 M.), Ibn ’Arabi dikirim oleh ayahnya ke Sevilla untuk
mengikuti pendidikan secara formal di bawah bimbingan guru-guru tradisional. Ia
belajar al-Qur’an dan tafsir dari Abu Bakr ibn Khalaf, belajar hadis kepad Ibn
Sarih al-Ru’aini dan belajar fiqh di bawah bimbingan Abu al-Qasim al-Saraf
dari Cordova.[10]
Muhammad Luthfi Jum’ah menyebut sebanyak 17 orang
sebagai guru Ibn ’Arabi.[11] Ada cerita lain
bahwa Ibn ’Arabi tinggal di tanah kelahirannya, Murcia, selama 8 tahun.
Selama itu ia belajar membaca kaidah-kaidah bahasa dan sastra serta mempelajari
agama. Pada tahun 568 H., ia pergi ke Sevilla setelah orang-orang Muwahhidin
menduduki Murcia.. Di Sevilla inilah ia menghabiskan masa kecil dan masa
mudanya. Di sini ia mempelajari al-Qur’an, hadis dan fiqh di bawah bimbingan salah seorang murid Ibn Hazm
al-Zahiry. Ia menikah dengan Maryam binti ’Abdun ibn ’Abd al-Rahman al-Bazy.[12]
Pada awal kehidupannya, Ibn ’Arabi bekerja sebagai sekretaris gubernur
di sana.[13] Ibn ’Arabi
pernah mengikuti pelajaran hadis dari Abu al-Qasim al-Khozastani dan
para ulama lain, dan khususnya mempelajari kitab Sahih Muslim kepada Syeikh
Abu al-Hasan ibn Abi Nasr dalam bulan Syawwal 606 H. Konon ia juga
mendapat ijazah dari Abu Tahir al-Salafi.[14] Pada usianya
yang relatif muda, ia bertemu dengan dua orang wali wanita,
yaitu Yasmin
Mursianiyah dan Fatimah Qurtubiyah. Keduanya berpengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian dan kehidupan Ibn ’Arabi, khususnya Fatimah
Qurtubiyah yang sudah lanjut usianya. Wanita ini berpengaruh
dan berperan
sebagai pembimbing ruhani bagi Ibn ’Arabi selama dua tahun.[15]
Ketika berusia 20 tahun, mulai nampaklah kecenderungan Ibn ’Arabi
pada
tasawwuf.
Sebagai pemuda yang cerdas dan memiliki pandangan spiritual yang dalam, Ibn
’Arabi pergi meninggalkan Sevilla untuk mengelilingi Andalusia, dari satu kota
ke kota lainnya. Ia menemui orang-orang saleh dan salihah, yang dijumpainya
selama perjalanannya[16] Pada salah satu
perjalanannya, ketika muqim (singgah) di Cordova, Ibn ’Arabi bertemu dengan Ibn Rusyd, pengulas
terbesar filsafat Aristoteles. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog antara keduanya,
yang masing-masing memetik manfaat daripadanya.[17]
Setelah beralih ke dunia sufi, hampir seluruh sisa hidup Ibn ’Arabi dicurahkan
untuk mempelajari dan mendalami tasawwuf. Dengan kesungguhan dan
ketekunannya, maka dalam usia 30 tahun namanya sudah dikenal di kalangan ahli
sufi dan juga di kalangan ulama-ulama fiqh di berbagai wilayah yang tersebar
di seluruh Andalusia dn Maghrib.[18] Selanjutnya
sekitar tahun 590 H. atau tahun 1201, 1202 M. Ibn ’Arabi mengadakan
perjalanan ke wilayah Timur hingga sampai di Mekkah tahun 600H., dan menetap
di sana selama 12 hari untuk menunaikan ibadah haji.
Pada saat itu ia menulis surat untuk sahabatnya, Muhammad ibn ’Abd al-’Aziz
Abi Bakr
al-Qusyairy
al-Mehdawy dari Tunis, juga untuk sahabatnya yang lain Abi ’Abdillah ibn
al-Murabith.[19] Pada tahun 601
H. Ibn ’Arabi melanjutkan pengembaraannya ke Bagdad dan menetap di
sana kurang lebih selama 7 tahun. Lalu ia kembali ke tanah suci Mekkah dan
menetap di sana beberapa bulan lamanya. Kemudian pada akhir tahun berikutnya ia sampai di Asia Kecil. Di sini Ibn ’Arabi
menerima hadiah
sebuah rumah
yang indah dari penguasa Nasrani. Namun rumah itu kemudian ia hadiahkan
kepada seorang pengemis yang datang meminta-minta kepadanya.[20]
Selanjutnya Ibn ’Arabi pergi ke Aleppo dan
kemudian ke wilayah Damsyiq untuk menziarahi masjid Bait al-Maqdis. Pada masa
inilah Ibn ’Arabi pulang pergi antara Syam dan Hijaz. Akhirnya pada tahun 620
H., ketika telah berusia sekitar 60 tahun, ia menetap di Damaskus. Di sini pulalah
ia menghabiskan sisa hidupnya untuk mengarang serta menyusun
karya-karyanya, terutama dalam bidang tasawwuf.[21] Di akhir
hayatnya, ia menyusun tafsir al-Qur’an dengan nama Tafsir al- Kabir, yang
merupakan karya terakhirnya dan sekaligus merupakan satu-satunya karya yang tidak sempat ia rampungkan, karena ia
meninggal di saat ia menulis ayat 65 surat al-Kahfi, yang terjemahannya:
”Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.[22]
Di saat itu pulalah Ibn ’Arabi meletakkan
penanya yang masih basah dan berhenti menulis untuk selamanya.[23] Ibn ’Arabi
wafat pada hari Jum’at tanggal 28 Rabi’ al-Awwal 638 H. bertepatan dengan tanggal 16 Nopember 1240
M., di rumah salah seorang muridnya yang bernama al-Qadhi Muhy al-Din ibn al-Zakiy. Kemudian jenazahnya
dimandikan oleh al-Jamal ibn ’Abd al-Khaliq, ’Imad al-Din ibn al-Nuhhas dan Muhy
al-Din sendiri. Murid-muridnya ini pulalah yang membawa jenazah Ibn
’Arabi ke lereng gunung Qasiyun, di luar Damaskus, untuk
2. Karya-karya Ibn
Arabi
Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat
al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip
metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya
pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi,
bukanlah satu karya individualis, tetapi,[25]
“Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah
hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang
telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”
Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri.
“Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam, dalam satu penglihatan batin (“mubasysyirah”) yang telah
diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627
di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata
kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan
sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar
dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana
yang telah diperintahkan kepada kami.’”
Selain dari dua kitab ini, Ibn ‘Arabi telah menulis banyak sekali
risalah-risalah tentang kosmologi seperti:
1. Insha
al-Dawair (The Creation of the Spheres)
2. ‘Uqlat
al-mustawfiz (The Spell of the Obedient Servant), dan
3. al-Tadbirat
al-Ilahiah (The Divine Directions);
Mengenai metode praktis yang harus diikuti para murid dan salik
tarikat (thariqah), seperti al-Risalat al-Khalwah (Treatise on
the Spiritual Retreat) dan al-Washaya (Spiritual Counsels).
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk
simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan
hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual.
Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman al-Asywaq
(The Interpreter of Desires) dan juga Diwan.
Secara
kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibn ‘Arabi.
- Mashahid
al-Asrar al-Qudsiyya (Contemplations of the Holy Mysteries)
(Written in Andalusia, 590/1194).
- Al-Tadbirat
al-Ilahiyya (Divine Governance of the Human Kingdom).
Written in Andalusia.
- Kitab
Al-Isrâ’ (The Book of Night Journey). Written in
Fez, 594/1198.
- Mawaqi
al-Nujûm (Settings of the Stars). Writen in
Almeria, 595/1199.
- ‘Anqa`
Mughrib (The Fabulous Gryphon of the West),
Written in Andalusia, 595/1199.
- Insha’
al-Dawa’ir (The Description of the Encompassing
Circles). Written in Tunis, 598/1201.
- Mishkat
al-Anwâr (The Niche of Lights). Written in Mecca,
599/1202/03.
- Hilyat
al-Abdal (the Adornment of the Substitutes).
Written in Taif, 599/1203.
- Rûh
al-Quds (The Epistle of the Spirit of Holiness).
Written in Mecca, 600/1203.
- Taj
al-Rasâil (The Crown of Epistles). Written in Mecca,
600/1203.
- Kitab
al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem,
601/1204.
- Tanazzulat
al–Mawsiliyyai
(Descents of Revelation). Written in Mosul, 601/1205.
- Kitab al–Jalal
wa al-Jamâl (The Book of Majesty and Beauty). Written in Mosul,
601/1205.
- Kitab Kunh
ma la budda lil murid minhu (What is essential for the Seeker). Mosul,
601/1205.
- Fusûs al-Hikam (Vessels
of Wisdom). Damascus, 627/1229.
- al-Futûhât
al-Makkiyya (Meccan Illuminations). Mecca, 1202-1231
(629)
B. Latar Belakang Tasawuf Ibn Arabi
Secara umum telah terbukti bahwa tasawuf merupakan fenomena spiritual
dan kultural yang tunduk kepada berbagai faktor dan pengaruh yang melingkupi
realitas sosial. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa ajaran dan prinsip Islam
memiliki peran utama di mata kaum muslimin yang dipegang dan dijadikan pedoman
asasi, tetapi lingkungan Islam tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang masuk
kemudian mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran tasawuf. Menurut
Ibrahim Madkour, ada dua klasifikasi besar yang menjadi faktor yang
mempengaruhi tasawuf Islam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Secara internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para
sahabatnya yang berlandaskan pada hikmah dan mauidzah yang terdapat dalam Al
qur’an dan Al sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil
untuk justifikasi atas tindakan maupun perilaku mereka. Misalnya saja Al Muzammil:
1-8 yang mengajak untuk berdzikir dan beribadah. Atau surat Al Mujadalah: 7
yang menggambarkan kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Adapun
hadist-hadist yang dijadikan dasar pemikiran mereka tentang tujuan dari
penciptaan makluk, seperti hadist qudsi yang berbunyi:
“Aku (bagaikan)
gudang yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenali, untuk itu aku menciptakan
makluk,
kemudian mereka mengenalku”
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tasawuf diantaranya
adalah tradisi Kristen yang sudah lebih dulu muncul di Jazirah Arab sebelum
Islam datang. Peradaban India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam
faktor eksternal ini adalah pengaruh dari filsafat Yunani, terutama Plato, Aristoteles
dan Neoplatonisme. Klasifikasi faktor internal dan eksternal ini ditujuakan untuk
tasawuf secara umum, meski demikian pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak
dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang telah disebut di atas.
Secara eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang
mempengaruhi pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu :
sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non-Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan
ada tujuh macam yaitu:
1.
Qur’an dan
Hadist-hadist Nabi
2.
Sufi-sufi
pantheistik, seperti Hallaj, Yazid dan sebagainya.
3.
Asketik-asketik
muslim.
4.
Theologia-theologia
skolastik seperti Asy’ari dan Mu’tazilah.
5.
Carmathian dan
Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa)
6.
Aristotelian dan
Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina
7.
Isyraqiyah
Sedangkan sumber-sumber non Islam adalah filsafat hellenistik,
terutama Neoplatonik dan filsafat Pilo dan Stoies. AE. Affifi tidak memberi penjelasan secara rinci mengenai
unsur-unsur tersebut, tetapi menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi lebih merupakan
seorang Neoplatonis sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus Shafa.
Pada sisi mistis gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam emosionalnya,
karena Ibnu ‘Arabi jauh lebih besar sikap intelektualnya. Pada sisi logika
serta dalam hal etika dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi menggunakan banyak sekali
theologia-theologia muslim.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang
berusaha memadukan berbagai unsur – unsur pemikiran. Disamping ajaran Islam
yang menjadi unsur fundamental dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga
berasal dari ajaran Kristen kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita
harus mengakui bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa
adanya atau asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang
diambil disesuaikan dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di
analisa sehingga menghasilkan formula yang dapat diklaim otentik sebagai hasil
pemikirannya. Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung
tidak beraturan dan sangat sulit dipahami, ajaran Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh
banyak pemikir sebagai doktrin yang paling lengkap dan matang. Pemikiran Ibnu
‘Arabi digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual
dari tokoh tokoh sebelumnya.
C. Memahami Tasawuf
1. Definisi Tasawuf
Memahami segala sesuatu yang menempati posisi akademik,
tentu membutuhkan suatu metode yang sebisa mungkin menyinkap secara utuh sejauh
kemampuan peneliti atau penelaah. Oleh karenanya diskursus pagi ini penelaah mencoba menyajikan
secara konseptual dan sistematis atas ijtihad penelaah. Diantaranya ialah
menggali makna universal tasawuf sendiri, karena makna universalnya nantinya
akan menjadi titik pijak untuk menyelami tasawuf secara general lalu spesifik.
Peneliti menyajikan bebarapa pandangan makna universal tentang tasawuf
diantaranya ialah;
Pertama, Lafal
tasawuf adalah kata jadian yang berasal dari ; تَصَوَّفَ,
يَتَصَوَّفُ ,تَصَوُفاً Dari perubahan
kata صَوْفًا,يَصُوفُ, صَافَ yang artinya
berbuluh yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah sufi, yang ciri khas
pakainnya selalu terbuat dari bulu domba. Menurut Syeh Muhamad Amin Al-Kurdi
tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ikhwal kebaikan
dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat yang buruk dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju
keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya menuju kepada perintah-Nya.[26]
Kedua, menurut
Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapatnya Abu Bakar Al-Kattany, tasawuf
adalah budi pekerti, barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu,
berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk
dengan nur (petunjuk) islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (perintah)
untuk melakukan beberapa akhlak terpuji, karena mereka telah melakukan suluk
dengan nur (petunjuk) imannya.[27]
Dari pengertian
tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah
seorang tokoh sufisme. Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya,
adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat
kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan
ditinggalkannya demi mencari kabahagiaan hakiki. Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan
dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada
yang menyebutnya sebagai seorang filosof seperti halnya AE. Affifi yang
memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat maka tidaklah mudah untuk
menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara
tasawuf dan filsafat.
Dari segi
epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujahadah
(mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi. Sedangkan
filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat.
Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta
perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan
tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir rasional
transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya adalah
terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.
Namun bagi penelaah,
tasawuf secara definisi ialah, suatu metode pengetahuan yang digunakan untuk
menyingkap sebuah pengetahuan secara utuh dan sistematis. Motif penelaah atas
definisi diatas disandarkan pada dua ruang satu ruang fenomena dan ruang
nomena. Dimana satu sama lain saling mempunyai hubungan yang sangat lekat untuk
mencapai sebuah bentuk/materi yang bersifat hasil/capaian akhir.
2. Cakupan Tasawuf
menurut Ibn Arabi
Mengapa
harus mengunakan kata cakupan dalam tasawuf, bukankah tasawuf lautan yang yang
tak berdarat? Tentu kita akan bertanya hal itu bukan, ketika terdapat
pernyataan diatas. Namun hemat penelaah cakupan tasawuf menjadi penting dalam
konteks studi tasawuf, hal ini disandarkan pada pemahaman konseptual. Suatu
pengetetahuan yang sudah berdiri sendiri tentu mempunyai sebuah cakupan agar
tidak salah dalam memahami suatu pengetahuan.
Dalam
konteks studi tasawuf penelaah mencoba membuat klasifikasi cakupan tasawuf
menjadi dua. Pertama fenomena dan yang kedua nomena. alasan
penelaah atas stitmen diatas dikarenakan tasawuf sendiri tidak mungkin menjadi
ilmu tasawuf tanpa di demonstrasikan menjadi pengetahuan dan prilaku social
pada waktu itu hingga sekarang. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa sufisme
hidup didunia nyata dan juga mencoba menembus dunia ghaib terlepas
mendealektikan antara realitas dan metafisika. Maka sah-sah saja hal ini
dikemukakan dan menjadi basis yang cukup penting dalam menelaah tasawuf, yang
sehingganya tasawuf tidak terlalu melangit namun sangat elastis dan mudah
dipahami oleh setiap insan.
D. Memahami Sejarah kemunculan Wahdāt al-Wujūd
Doktrin tentang Wahdāt al-Wujūd selalu dihubungkan dengan Ibn `Arabī, karena Ia dianggap sebagai pendirinya. Meskipun doktrin Wahdāt al-Wujūd dihubungkan dengan aliran Ibn `Arabī, doktrin yang kira-kira sama atau
senada denganya telah diajarkan oleh beberapa
sufi jauh sebelum Ibn `Arabī. Adapun Ibn `Arabī sendiri tidak pernah menggunakan istilah Wahdāt al-Wujūd, dianggap sebagi pendiri Wahdāt al-Wujūd dikarenakan ajaran-ajarannya yang mengandung teori ide tentang Wahdāt al-Wujūd.[28] Jauh sebelum perkembangan mistisisme Islam (tasawwūf), para filosof klasik sudah terlebih dulu membicarakan tentang yang satu, wājib al Wujūd (Tuhan), pluralisme
maupun dualism hubungan
antara Tuhan dengan alam.
Al-Kindî (wafat 873 M), menurutnya Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan
Maha Esa, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Tuhan adalah wujûd yang sempurna dan tidak didahului wujûd lain. Wujud-Nya tidak
berakhir, sedangkan wujûd lainnya disebabkan wujûd-Nya.[29] Hakekat Tuhan
adalah wujûd yang benar (al-Haqq) adalah satu-satunya sebab, bukan yang asalnya tidak
ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada, Ia selalu
ada dan akan selalu
ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujûd sempurna yang tidak didahului oleh wujûd lain,
tidak berakhir
wujûd-Nya dan tidak ada wujûd kecuali dengan-Nya.[30]
Ibnu Sina (wafat 1027 M), dalam filsafat wujûd-nya, segala yang ada
ia bagi pada tiga tingkatan sebagai berikut: (1) Wajib al-wujûd,
esensi yang
mesti mempunyai wujûd. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujûd;
keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujûd, tetapi Ia wajib dan
mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibn Sina membagi wajib
al-wujûd ke dalam wajib al-wujûd bi dzati dan wajib al- wujûd
bi ghairihi.
kategori
yang pertama ialah yang wujûd-Nya dengan sebab dzat-Nya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah
wujûd yang
terkait dengan
sebab adanya sesuatu yang lain di luar dzat-nya,
(2) Mumkin
al-wujûd, esensi
yang boleh mempunyai wujûd dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan
ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak
ada.
Mumkin al-wujûd jika dilihat dari dari segi esensinya, tidak harus ada dan tidak harus tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkinal-wujûd
bi dzatî.
Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujûd bi dzatihi dan wajib al-wujûd
bi ghairihi.
Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah, (3) Mumtani’al-wujûd,
esensi yang tidak dapat mempunyai wujûd, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain selain kosmos
yang ada ini.[31]
Hanya Tuhan saja yang memiliki wujûd Tunggal,
secara mutlak,
sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Tuhan
sebagai sebab pertama, Ia bebas materi, Esa, dan Tunggal dalam
segala hal. Ia tidak memiliki genus dan deferensia, dua unsur wajib
dari sebuah definisi, oleh karena itu tidak ada definisi
baginya, yang ada hanya nama. Bersifat imateriil, Ia murni baik, karena
hanya dalam materilah sumber segala kekurangan, terletak
kejahatan (keburukan).
Tuhan adalah yang dicintai dan pecinta, yang
disenangi dan
yang menyenangi, Ia adalah Keindahan tertinggi karena tidak ada Keindahan yang lebih tinggi daripada
menjadi intelek murni, jauh dari segala kekurangan. Adanya segala
makhluk, dapat
dibenarkan pendapatnya sebagai bukti tentang adanya Tuhan.Tuhan adalah sebab
yang efisien dari alam, tidak didahului oleh waktu. Dengan kata lain, hubungan antara sebab
dan akibat dan dari manapun sebab itu, datangnya akan sampai
kepada Allah sebagai sebab, bertindak dalam alam yang bergerak
terus-menerus dalam wujudnya yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[32]
Perkembangan mistisisme Islam yakni pada awal abad ke-7, yaitu
munculnya sufi-sufi yang mengabdikan diri mereka bagi kesucian hidup
(warā`), ketekunan beribahdah
(khusyû`) dan perenungan (fikr) terhadap kedaan manusia dan hubunganya dengan
Tuhan-nya, mereka menjahui kemegahan duniawi, semisal Hasan Al-Bashri
(w.728) dengan konsep nya Khaûf dan Raja`,dan salah satu
tokoh ascetic perempuan yang tak terlupakan sampai hari ini, yaitu
Rābi’ah Al-‘Adawiyyah
(w.801), dialah yang pertama kalinya yang memperkenalkan konsep tentang cinta ilahi sebagai sendi
utama bagi kehidupan keagamaan, suatu ketika, ia ditanya tentang
apakah dia mencintai Tuhan atau membenci setan, Rabiah-pun
menjawab
“cintaku kepada Tuhan telah memenuhi segenap hatiku,
sehingga tak tersisa lagi ruang untuk mencintai atau membenci
selain-Nya.[33]
Pada abad berikutnya, pusat gerakan mistis ini berpindah ke Baghdad dan
beberapa figur
terkemuka pada awal sejarah sufisme, diantaranya yaitu Al-Muhāsibi (w.857), Ibn Abi Dunya (w.894), Ma`rûf
Al-Karkhi (w.815)
dan Abû Qāsim Al-Junaid (w.911). mistisisme Al-Muhāsibi didasarkan pada dua pilar yaitu menghisab diri
sendiri (muhāsabah) dan kesedihan
menanggung derita
dan musibah demi Tuhan, kekasih utamanya. Ujian keimanan yang
sejati menurutnya yaitu kerelaan untuk mati dan ketabahan (shabr)
menanggung penderitaan
yang sangat menderita, Al-Junaid (murid Al-Muhāsibi), Al-Saqati (w.870) dan Abû Hafs
Al-Haddād
(w.873) sangat berpengaruh dalam perkembangan mistisisme Islam, pemikiran Al-Muhāsibi ditandai oleh rasa
(sense)
yang tinggi
akan transendensi dan keesaaan Tuhan, esensi kehidupan
manusia adalah keinsafan hamba atas jarak yang terbentang antara Tuhan dan dirinya, ia menyebut keinsafan ini sebagai
pemisahan (ifrād) yang abadi
dari yang fanā’,
sekaligus sebagai
pengakuan atas keesaan Tuhan (tauhid).[34]
Ma`rûf Al-Karkhi (w.200/815), seorang sufi terkenal di Baghdad yang
hidup empat abad
sebelum Ibn `Arabī, dianggap pertama kali yang mengungkapkan syahadat dengan
kata-kata “tiada
sesuatupun dalam wujud kecuali Allah”, Abû al-‘Abbās Qassāb (abad ke
4/10)
mengungkapkan kata-kata yang senada:”tiada sesuatupun dalam dua dunia kecuali Tuhanku, segala sesuatu yang
ada (maujudāt) segala
sesuatu selain wujud-Nya adalah tiada (ma`dûm)”. Sedangkan Al-Qûnawī menggunakan istilah wahdāt al-wujûd untuk menunjukan bahwa keesaan Tuhan, dan tidak
mencegah keanekaan
penampakanya. Meskipun Esa dalam Zat-Nya atau dalam hubungannya dengan tanzīh-Nya, wujud adalah banyak dalam penampakannya atau dalam hubunganya
dalam tasybīh-Nya.[35]
Sufi lain sebelum Ibn `Arabī yang lebih kurang mengemukakan
pernyataan-pernyataan
yang dianggap mengandung
doktrin wahdāt al-wujûd ialah
Abû Hāmid Al-Ghazālī
(w.505 H/1111 M),[36] dalam
salah satu karyanya ia berkata”sesuatu yang maujûd dengan sebenar-benarnya adalah Allah SWT,
sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah SWT”, ”tidak ada wujud
kecuali Allah dan wajahNya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali
wajahNya secara
azali dan abadi”[37]
Tokoh yang kiranya paling berperan dalam mempopulerkan
istilah wahdāt al-wujûd adalah
Taqī al-Dīn Ibn Taimiyyah (w.728 H/1328 M), ia adalah pengecam keras Ibn `Arabī dan pengikutnya, sejak
zaman Ibn Taimiyyah dan seterusnya, istilah wahdāt al-wujûd secara umum digunakan untuk menunjukan seluruh doktrin yang diajarkan Ibn `Arabī dan para pengikutnya. Pengertian wahdāt al-wujûd menurut Ibn Taimiyah
berbeda
dengan pengertian wahdāt al-wujûd Ibn
`Arabī.
Menurut Ibn Taimiyyah wahdāt al-wujûd adalah
penyamaan Tuhan denga alam, perbedaanya dengan Ibn `Arabī ialah bahwa dia tidak melihat aspek tanzīh dalam ajaran yang sama, dia hanya melihat dari sisi tasybīh dalam ajaran Ibn `Arabī. Padahal kedua aspek (tanzīh dan tasybīh) ini berpadu
menjadi satu dalam ajaran Ibn `Arabī.[38] Melalui sufi
dari Gujarat, India, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029), ajaran tasawuf Ibn’Arabî menyebar di Asia
Selatan.
Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan
oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî,
Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya[39] Dalam studi
modern di Barat, doktrin ini lebih dikenal dengan istilah panteisme, monism, monism panteistik, dimana dalam dunia
kejawen istilah wahdāt al-wujûd mempunyai arti
yang
sama dengan manunggaling
kawulo lan gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan), pamoring kawulo lan gusti, jumbuhing kulo lan gusti. Istilah wahdāt al-wujûd, maupun istilah manunggaling kawulo gusti (dalam bahasa
Jawa) mempunyai arti yang sama
E. Wahdatu Al-Wujud Sebagai Tasawuf Ibn Arabi
Secara etimologi (bahasa), kata Wahdāt al-Wujūd adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata
yakni Wahdāt dan al-Wujūd.Wahdāt artinya tunggal atau kesatuan, sedangkan Wujūd artinya ada, keberadaan atau eksistensi.[40] Secara terminology (istilah) Wahdāt al-Wujūd berarti kesatuan eksistensi. Tema sentral pembicaraan Wahdāt al-Wujūd dalah mengenai bersatunya Tuhan dengan alam atau dengan kata lain Tuhan meliputi alam, dengan demikian pengertian secara radix, kata Wahdāt al-Wujūd berarti paham yang cenderung menyamakan Tuhan dengan alam semesta, paham ini mengakui tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, kalaupun ada maka hanya pada keyakinan bahwa Tuhan itu adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah bagian dari totalitas tersebut, dan Tuhan (Allah SWT) menampakkan Diri pada apa saja yang ada di alam semesta, semuanya adalah penjelmaan-Nya, tidak ada sesuatu apapun di alamini kecuali Dia.[41]
Kata Wujūd, bentuk masdar dari wajada atau wujida, yang berasal dari akar w j d, tidak terdapat dalam al-Quran bentuk masdar dari akar yang sama, yang
terdapat dalam al-Quran adalah wūjd (Qs. 65:6), adapun bentuk fi`il dari akar yang sama banyak terdapat dalam al-Quran (Qs. 3:37, 18:86, 27:23, 93:7, 4:43, 18:69 dan 7:157). Kata Wujūd mempunyai pengertian obyektif dan juga subyektif.
Dalam pengertian obyektif, kata Wujūd adalah masdar dari kata wujida=ditemukan, biasanya diartikan dalam bahasa Inggris dengan being atau existence. Sedang dalam pengertian subyektifnya, kata Wujūd adalah masdar dari kata wajada, yang berarti
menemukan, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan finding.[42]
Istilah Wujūd yang
biasanya diterjemahkan sebagai keberadaan, eksistensi, pada dasarnya berarti menemukan, ditemukan,
dengan demikian lebih dinamis dari pada eksistensi biasa. Maka Wahdāt al-Wujūd bukan
sekedar kesatuan keberadaan, tetapi juga kesatuan eksistensialisasi dan
persepsi tindakan itu, istilah ini terkadang menjadi sinonim
semu
Syuhūd (perenungan,
penyaksian).
[43] ada dua
pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami istilah Wujūd: (1) Wujūd sebagai suatu
konsep;, ide tentang Wujūd eksistensi (Wujūd bil ma’nā al-masdari), dan (2) Wujūd yang berarti bisa mempunyai Wujūd yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsist) (Wujūd bil ma’nā maujūd).[44]
Kata Wujūd dalam sistem
Ibn `Arabī digunakan untuk menyebut wujud
Tuhan, yaitu satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nyayang berarti apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, akan
tetapi pada waktu yang lain
Ibn `Arabī juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk
pada selain Tuhan. Tetapi Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud
hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya. Seperti halnya cahaya hanya milik
matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni bumi.Hubungan antara Tuhan dengan alam sering digambarkan
seperti hubungan antara
cahaya dan kegelapan.[45]
Pada tingkatan tertinggi wujud adalah realitas Tuhan yang absolute dan tak terbatas yakni wājib al Wujūd. Dalam pengertian ini wujud menandakan esensi Tuhan
atau hakikat satu-satunya
realitas yang nyata disetiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud merupakan subtansi
yang meliputi segala sesuatu
selain Tuhan, dalam pengertian ini wujud menunjuk pada keseluruhan kosmos, kepada segala sesuatu yang eksis, karena wujud juga dapat
digunakan untuk merujuk pada eksistensi
setiap dan segala sesuatu yang ditemukan dalam jagat raya ini.[46]
1.
Konsep Tajallī al-Haqq Ibn `Arabī
Alam semesta merupakan wujud yang baru yang keluar dari Yang
Qodim, dengan kehendak Tuhan untuk membedakan sesuatu dari lainnya.[47]
Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya bisa memiliki waktu tertentu, bukan waktu
lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya, karena sebab adalah kehendak-Nya itu sendiri.
Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak
lagi bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas mutlak.[48]
Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam, alam Ia ciptakan
dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi
segala yang ada (al-Maujûdat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara bendabenda.[49]Dia
tidak terbatasi dengan ukuran, tidak juga bertempat
pada
penjuru dan mata angin, dan tidak pula bernaung di bumi dan di langit. Tuhan
tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu yang menempati-Nya. Allah
Maha Suci dari naungan tempat sebagaimana Maha Suci dari ketentuan waktu.
Bahkan sebelum menciptakan masa dan tempat, Dia seperti apa
adanya sejak dahulu. Tuhan berbeda dengan makhluk yang Dia ciptakan lantaran
sifat-sifat-Nya, tidak ada di dalam dzat-Nya selain-Nya, dan tiada dalam
selain-Nya selain dzat-Nya.[50]
Allah adalah al-wujud, Allah adalah kenyataan yang hakiki. Tiap-tiap sesuatu
musnah, dan hanya wajah-Nya yang kekal, abadi selamanya.[51]
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan;tidak ada wujud selain wujud-Nya artinya
yaitu bahwa apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, secara logis berarti
kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (mā siwā Allāh), alam dan segala sesuatu yang didalamnya.
Tetapi di lain waktu, Ibn `Arabī juga menggunakan
kata wujud untuk menunjuk pada selain Tuhan, Ia menggunakanya
dalam pengertian metaforis (majāz) untuk
mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada
alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya. Seperti halnya
cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni umi.
Hubungan antara Tuhan dengan alam sering digambarkan seperti hubungan antara
cahaya dan kegelapan, karena wujud hanya milik Tuhan, maka adam (ketiadaan)
adalah “milik” alam. karena itu Ia mengatakan bahwa wujud hanya milik cahaya
dan ‘adam adalah kegelapan.[52]
Ibn `Arabī membedakan wujud yang bermakna idea atau wujud
yang bermakna masdār dan
wujud yang berarti ada (eksis) atau yang hidup (subsist) bil ma’na wujûd, yakni
yang dimaksud adalah wujûd mutlāq yang
merupakan puncak realitas semua yang ada di dunia.[53]
menurutnya hanya ada satu realitas dalam eksistensi, realitas yang
dipandang dari dua sudut, pertama yakni al-Haqq sebagai esensi dari
semua fenomena,
dan
kedua adalah khalq yang memanifestasikan esensi.
Al-Haqq dan khalq, antara realita dan penampakan, yang satu
dengan yang banyak. Realitas ini adalah Tuhan,[54]
Ia membedakan tiga jenis kategori ontologis;
(1) yang ada dengan zatnya sendiri dalam entitasnya,
wujud-Nya mustahil dari tiada, Ia mewujudkan segala sesuatu Ia adalah wujud absolute
(alwujûdal-mutlāq),
Dialah Allah, tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, ia adalah Maha Mendengar
dan Maha Melihat.
(2) yang ada dengan Tuhan (diwujudkan oleh Tuhan), Ia adalah
wujud yang terikat dan terbatas (al-Wujûd al-Muqayyād) yang
berwujud hanya karena Tuhan, tidak mempunyai wujud sendiri tetapi dari Tuhan,
kategori ini disebut oleh Ibn `Arabī dengan alam material dan segala yang ada
di dalamnya.
(3) yang tidak berwujud tidak pula adam, tidak bersifat huduts
dan tidak pula qidam, Ia sejak azali ada bersama alam dan Ibn
`Arabī, secara ontologys Ia adalah Tuhan dan alam, tetapi pada saat yang
sama Ia bukan Tuhan dan juga bukan alam, Ia mempunyai posisi tengah antara
Tuhan dan alam.[55] Alam
tidak sendiri kecuali dengan wujud pinjaman atau wujud yang berasal dari Tuhan.
al-Haqq (Tuhan) dan al-Khalq (alam) adalah satu tetapi
berbeda, alam adalah tajallī Tuhan, dengan
demikian segala sesutau yang ada di dalamnya adalah entifikasi-Nya.
Tuhan dan alam tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kesatuan
kontradiksi-kontradiksi ontologis yang bersifat horizontal juga vertical,
kesatuan ontologis antara Yang Tampak (az-zahīr) dan Yang Bathin (albathīn), antara Yang Awwal (al-awwāl) dan Yang Akhir (al-akhīr), antara Yang Satu (al-wahīd) dan Yang Banyak (alkasīr) dan antara ketidaksetaraan (tanzīh) dan keserupaan (tasybīh). Ia memandang, realitas adalah satu,
tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan,
yang keduanya hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.[56]
Konsep sentral yang berkaitan dengan paham Wahdāt al-Wujūd Ibn
`Arabī ialah konsep Tajallī
(penampakan
diri) al-Haqq, konsep Tajallī
adalah
dasar pandangan dan merupakan keseluruhan filsafat Ibn `Arabī, bahkan Tajallī adalah
tiang filsafatnya tentang Wahdāt al-Wujūd karena
ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari yang satu tanpa
akibat, yang satu itu menjadi yang banyak.
Tajallī
diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan “self disclosure” (penyingkapan diri,
pembukaan diri), “selfrevelation” (pembukaan diri, pernyataan diri), “selfmanifestation”
(penampakan diri) dan theophany (penampakan Tuhan), Tajallī berarti
manifestasi, penampakan, penyingkapan, ketersingkapan, theophany, epifani,
ketampakan, pembukaan, keterbukaan, pemancaran, penyinaran atau pernyataan,
sebuah pengungkapan dari al-wujūd yang
misterius , tak dikenal, yakni pengungkapan Tuhan pada makhluk-Nya agar Dia
dikenali oleh sang makhluk,[57][58]
yang digunakan oleh Ibn `Arabī untuk Tajallī adalah
“fayd” (emanasi, pemancaran, pelimpahan), “zuhūr” (pemunculan, penampakan, pelahiran),
“tanazzul” (penurunan,turunya) dan “fath” (pembukan).
Cara untuk dikenal ialah dengan menciptakan alam, Tajallī al-Haqq adalah
penampakan diri-Nya dengan menciptakan alam, alam adalah lokus penampakan
diri-Nya. Karena alam ia umpamakan sebagai cermin, tempat dimana Tuhan melihat
diri-Nya. Tajallī terjadi
secara terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir yang selamalamanya ada dan akan
terus ada, (al-dā’īm
allazī lam yazal wa lā
yazāl).[59]
adalah pemberian-Nya yang telah ditetapkan-Nya sejak azali persis sebagaimana
yang ada dalam entitas-entitas permanen (a’yān sābitah). ”pemberian
Tuhan tidak pernah bias dihalangi”[60],
Ibn `Arabī mengumpamakannya seperti halnya matahari yang memeancarkan cahaya
kepada benda-benda, dan benda-benda tersebut menerima cahaya sesuai dengan kesiapanya.
Seperti yang Ia katakan dalam Futūhāt: ”hal yang sama berlaku pula pada tajallīyat (penampakan-penampakan
diri) Tuhan. Pelaku tajallī
(al-mutajallī) dari
segi Dia sebagai diri-Nya sendiri adalah satu dalam entitas, sedangkan tajallīyat (penampakan-penampakan
diri-Nya), berbeda sesuai dengan perbedaan
kesiapan lokus-lokus tajallī, sifat
pemberianpemberian Tuhan
adalah sama”[61]
Wujud Tuhan adalah Esa di dalam-Nya, namun terejawantahkan ke
dalam berbagai wujud melalui penyingkapan diri, esensi Tuhan tak terpahami dan
tak terjangkau, Ia adalah Yang Maha Wujud, yang mewujud melalui diri-Nya
sendiri, pluralitas pengejawantahan bertumpu
pada
nama-nama Tuhan , yang dalam satu waktu bersamaan adalah satu sekaligus banyak.[62]
menunjuk pada firman-Nya
“Dia-lah Tuhan yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu.Dia tidak beranak dan tidak
pula diperanakkan. Dan tiada sesuatu-pun yang setara dengan Dia”[63]
kami yang banyak, berasal dari satu
entitas yang tak bisa diakses dan tersendiri sebagai Dia, itulah entitas yang terkait
dengan kiat yang memberi kita eksistensi, dan kita terkait dengan-Nya melalui
eksistensi, demikianlah ia yang mengenal dirinya sebagai makhluk dan hal yang
eksisten mengenal yang nyata sebagai pencipta dan sesuatu yang memberinya
eksistensi”, “ia yang mengenal dirinya berarti telah mengenal Tuhannya, karena
ciptaan yang paling mengenal halihwal makhluk adalah yang paling mengenal
hal-ihwal Tuhan.[64]
Sesungguhnya ia yang
mengenal dirinya berarti mengenal Tuhan-nya, ini berarti bahwa ia yang mengenal
Tuhan spesifiknya, yang merupakan Tuhan sebagaimana Dia mengungkpakan diri-Nya
pada jiwa, lebih dijelaskan oleh Ibn `Arabī dalam Fusûs: “katakanlah
bahwa Dia yang disebut “Tuhan” adalah satu dalam hakikat tetapi menyeluruh (al-kull)
melalui nama-nama. Tidak ada hal yang eksisten memiliki sesuatu dari
Tuhan kecuali Tuhannya sendiri, Ia tidak mungkin memiliki keseluruhan, yang
ditunjukanya dari keseluruhan hanyalah yang berkenaan dengan-Nya, dan itulah
Tuhannya sendiri.
Tak ada yang mengambil dari-Nya berkenaan dengan keEsaan-Nya,
itulah mengapa cerita tentang Allah yang menyatakan penyingkapan diri dalam
kesatuan adalah mustahil”.[65]
Tajallī al-Haqq
menjadikan
proses penampakan diri yang terus-menerus tanpa awal dan akhir, yang selamalamanya
akan ada dan selalu ada. Emanasi (fayd), merupakan teori yang ia
(Ibn `Arabī) sebut juga dengan tajalli, Ibn `Arabī membedakannya menjadi dua
tipe yaitu:
1. Emenasi paling suci (al-fayd
al-aqdās),
disebut pula penampakan diri esensial (tajallī
al-dzatī) dan penampakan diri ghayb (al-tajallī al-ghaybī),
dalam taraf ini, al-Haqq tidak menampakan diri-Nya pada sesuatu yang
lain tetapi kepada diri-Nya sendiri, dalam bentuk potensial (bi al-quwwah)
belum secara actual (bi al-fi`l). al-Haqq menyebut diri-Nya
dengan Dia ketika melakukan tajallī
pertama,
artinya Ia telah membagi diri-Nya menjadi dua, diri-Nya sebagai
subyek sekaligus sebagi obyek, kedua-Nya masih satu karena Dia
menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, bukan kepada yang lain.[66]
Realitas-realitas yang hanya ada pada ilmu Tuhan dan tidak ada di dalam alam
nyata.[67]
2. Emanasi suci (al-fayd al-muqāddas),
disebut juga dengan penampakan diri eksistensial (al-tajallī al-wujūdī) dan
penampakan diri inderawi (al-tajallī al-syuhūdī). Penampakan
diri dari Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan eksistensial,
yaitu penampakan entitas-entitas permanen dari alam yang ada hanya dalam
pikiran kepada alam yang dapat diindera. Tidak sesuatu-pun dalam wujud
penampakanya menyalahi apa yang ada dalam kepermanenannya sejak
azali.[68]
Ia berkata pada suatu bagian dalam Fusûs: ”bahwasanya Allah
mempunyai dua tipe tajallī: tajallī ghayb dan tajallī syahadah.
Dengan tajallī ghayb ia
memberikan kesiapan yang menentukan sifat Qalb.
Dan Ini adalah tajallī dzatī (penampakan diri esensial). Yang
hakikat realitas-Nya tidak terlihat. Ini adalah ke-Dia-an (al-huwiyyah)
yang dimiliki-Nya sehingga Dia menyebut diri-Nya dengan “Dia” (huwa).
Allah adalah Dia terus-menerus selama-lamanya..maka apabila kesiapan untuk Qalb
sesuai dengan itu, tajallī
syuhūdī menampakan
diri kepadanya dalam alam yang dapat dilhat. Maka Qalb itu melihat Allah
dalam bentuk yang ditampakkan-Nya kepada Qalb tersebut. Dia (allah)
memberikan kesiapan kepada Qalb sesuai dengan firman-Nya,
“Dia memberi setiap sesuatu bentuk
kejadiannya.[69] Maka
dari diri-Nya ia mengetahui diri-Nya, dirinya sendiri tidak lain dari ke-Dia-an
al-Hāqq,
begitu pula tidak sesuatu-pun pada alam yang ada ini yang bukan ke-Dia-an al-Hāqq, Dia adalah ke-Dia-an itu sendiri.
Sesuai dengan hadits yang mengatakan
bahwa:
“barang siapa yang mengenal dirinya
maka ia telah mengenal Tuhannya, (man
‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa
rabbahu).
2.
Hubungan antara al-Haqq dengan al-Khalq
Melihat kembali konsep tentang nasût
dan lahût al-Hallaj, yaitu bahwa Tuhan mempunyai dua sifat yang
berbeda (sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan), yang hadir dalam segala
sesuatu yang ada di alam ini.Sifat ketuhanan dalam konsep al-Hallaj hanya hadir
pada manusia, tidak pada makhluk-makhluk lain, dan sifat kemanusiaan hadir pada
Tuhan. Hubungan
antara manusia dan Tuhan (dualitas), sementara dalam konsep Ibn `Arabī lahût
dan nasût diganti dengan al-Haqq dan al-khalq, dimana
tidak ada lagi dualitas kecuali dualitas nisbi; yang ada hanya ke-Esaan(monism).[70]
Monisme Ibn `Arabī merupakan kombinasi dari tiga teori pendahulunya
yaitu: teori Ash`ari tentang subtansi Universal, teori al-Hallaj tentang
lahût dan nasût, dan teori Neo-Platonik (Plotinus) tentang yang
satu. Hanya ada satu realitas dalam wujûd yang dipandang dari dua aspek
yang berbeda, karena tidak ada dalam wujûd kecuali satu realitas, dipandang
dari satu aspek, realitas itu kita sebut yang benar, pelaku dan pencipta.
Dipandang dari aspek lain Ia kita sebut ciptaan, penerima dan makhluk. Tetapi al-Haqq
dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud yang satu atau realitas
yang satu. Baik al-Haqq maupun al-khalq dapat di pandang dari dua
aspek. Di dalam Fusûs al-Hikam Ibn `Arabī berkata:
“tidakkah anda memahami bahwa al-Haqq
tampak melalui sifat-sifat segala sesuatu yang baharu, ketika Dia memberitakan
diri-Nya dengan demikian bahkan melalui sifatsifat kekurangan dan
sifat-sifat kesalahan atau celaan?Tidakkah anda memahami bahwa al-makhluq
tampak melalui sifat-sifat al-Haqq dari awalnya sampai akhirnya, semuanya
itu adalah benar baginya sebagaimana sifat-sifat segala sesuatu yang
baharu adalah benar bagi al-Haqq”[71]
Allah, jika dilihat dari satu aspek, Dia adalah satu, tetapi
bila dilihat dari aspek yang lain Dia adalah semuanya (kull) yang
mengandung keanekaan.Apa yang dinamakan Allah jika dilihat dari segi zat-Nya
adalah ke-Esa-an, tetapi Dia jika dilihat dari segi penampakan-Nya dalam segala
yang ada (mawjûdat) dengan bentuk nama-nama adalah keanekaan. Inilah
yang dinamakan kull yaitu Yang Esa yang mencangkup keanekaan.
Menjelaskan
hubungan antara al-Haqq denga al-khalq, Ibn `Arabī menggunakan
beberapa symbol diantaranya:
1.
Symbol makanan (al-ghidzā) dan yang memakan (almutaghadzdzī), “tatkala Tuhan menghendaki rezki, bagi-Nya
keseluruhan alam adalah makanan-Nya, jika Tuhan menghendaki rezki, bagi kita
Dia adalah makanan kita seperti yang Dia kehendaki.”, “maka anda (hamba) adalah
makanan-Nya dengan hukum-hukum dan Dia al-Haqq adalah makanan anda
dengan wujûd”.
Al-Haqq memakan alkhalq dari segi bahwa
tidak ada penampakan bagi al-Haqq kecuali dalam bentuk kreatif perbuatan
makanan dengan sifat-sifatnya. Al-khalq adalah tempat penampakan (mazhar) dan yang
tampak (az-Zāhir)
melaluinya adalah al-Haqq.[72]
Yang satu meresap ke dalam yang banyak laksana makanan yang meresap
ke dalam tubuh, yang banyak meresap pada yang satu, sebagaimana warna meresap
pada subtansi, Tuhan adalah makanan spiritual yang memberi hidup
kita, karena Ia adalah esensi kita.[73]
2.
Symbol cermin, al-khalq adalah cermin
bagi al-Haqq dan al-Haqq adalah cermin bagi al-khalq.
Karena Tuhan ingin melihat diri-Nya maka ia menciptakan alam sebagai
cermin-Nya, seperti yang ia nyatakan dalam karyanya Fusûs:“ al-Haqq ingin
melihat entitas dari nama-nama terindah-Nya yang jumlahnya tidak
terbatas, dan jika anda senang, anda dapat mengatakan bahwa Dia ingin
melihat entitas diri-Nya sendiri, Dia menciptakan keseluruhan
alam sebagai wujud kekaburan yang tidak berbentuk tanpa ruh padanya,
karena itu ia laksana cermin yang tidak jelas, maka perintah Tuhan mengharuskan
kebeningan cermin alam, dan Adam adalah entitas kebeningan cermin alam
itu dan ruh bentuk itu”[74].
Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan
hanya untuk melihat diri-Nya, juga untuk memperlihatkan diri-Nya dan juga ingin
memprkenalkan diri-Nya lewat alam, karena ia adalah harta simpanan yang
tak dikenal, dan Dia rindu untuk dikenal, dan Dia ciptakan makhluk dan
Dia perkenalkan diri-Nya kepada makhluk sehingga mereka (makhluk)-pun mengenal-Nya.[75]
”Aku adalah harta simpanan yang terpendam,
Aku tidak dikenal, maka aku ingin (hubb, rindu) dikenal—kuntu kanzan lam
u’raf fa ahbabtu ‘an ‘urafa) “maka para Nabi as, adalah
cermin yang paling sempurna diantara anda (hamba), kemudian seharusnya
anda mengetahui bahwa sebagian para Nabi melebihi sebagian yang
lain. Maka
mesti cermin-cermin para Nabi itu satu sama lain saling melebihi, dan
cermin yang paling utama, sempurna dan kokoh adalah cermin Muhammad Saw.
Maka al-Haqq menampakan diri-Nya pada cermin Muhammad
itu dengan penampakan diri-Nya yang paling sempurna, maka berusahalah untuk
melihat al-Haqq yang menampakan diriNya pada cermin Muhammad Saw, supaya
al-Haqq tercetak pada cermin anda, lalu anda akan melihat al-Haqq
pada cermin Muhammad dengan penglihatan Muhammad dan anda tidak akan
melihat-Nya dalam bentuk anda”. Karena alam merupakan tempat penampakan diri al-Haqq
maka manusia dapat melihat al-Haqq melalui alam, akan tetapi yang ia
lihat bukanlah al-Haqq itu sendiri melainkan bentuknya sendiri dalam
cermin al-Haqq. Alam dan apa yang ada di dalamnya adalah tanda-tanda al-Haqq,
al-Haqq dapat diketahui melalui alam, tanpa alam al-Haqq tidak
dapat diketahui.[76]
Sesungguhnya al-Haqq adalah cermin bagi alam, maka
mereka tidak melihat dalam cermin itu selain bentuk-bentuk mereka sendiri, dan
mereka itu dalam bentuk-bentuk mereka bertingkat-tingkat.[77]
Maka Dia (al-Haqq) adalah cermin bagi anda ketika anda melihat diri anda
yang sebenarnya dan anda adalah cermin bagi-Nya ketika Dia melihat namanama-Nya
dan penampakan sifat-sifat dari nama-nama itu, yang tidak lain dari diri-Nya
sendiri.[78]
Al-Haqq dan al-khalq, keduanya adalah subyek dan juga obyek
secara serentak, keduanya adalah satu dan mempunyai peran yang sama secar
timbal balik, dan tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain, akan tetapi al-Haqq
mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-khalq mempunyai
wujud dan peran
yang
relative.[79]
3.
Symbol matahari dan cahaya, dan juga symbol
pelangi, yakni symbol ini melukiskan bahwa cahaya matahri seperti nyala api
lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala, mata kita tertipu karena
sebenarnya nyala api muncul dan lenyap, setiap ada nyala yang baru, yang
kemudian hilang dan di susul oleh nyala api yang lain pula, begitu seterusnya. Seprti
halnya alam, wujudnya dating dan menghilang, menjadi dan hancur, secara
terus-menerus. Karena al-muhdatsat dengan berbagai bentuk tidak
mempunyai wujud, yaitu wujud hakiki, karena satu- satunyawujud hanyalah wujud al-Haqq.[80]
4.
Symbol dari tempat (vessels) dan tempat
kembli, ini merupakan adanya dualitas dari wujud. Yang satu adalah sumber
tempat muncul dan tempat kembalinya yang banyak, dan yang banyak itu bagi yang
satu seperti sebuah tempat di dalam dimana esensi-Nya berada (subsist).[81]
3.
Konsep Tanzīh (Transendensi) dan Tasybīh (Immanensi)
“Tidak
ada sesuatu-pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha mendengar, Maha
Melihat”,[82]
Ibn `Arabī memberikan dua penafsiran pada ayat ini yakni “Laysa
ka misl hī syay”
menyatakan tanzīh, dan
bagian kedua “wa huwa alsamī’al-basīr” menyatakan tasybīh. “Allah ta’alā berfirman :Laysa ka mitsli hī syay, maka dengan demikian ia menyatakan tanzīh-Nya;wa huwa al-samī’ al-basīr, maka dengan demikian Dia menyatakan tasybīh-Nya. Dia berfirman: Laysa ka mitsli
hī syay, maka
dengan demikian Dia menyatakan tasybīh dan dualitas-Nya;
wa huwa al-samī’ al-basīr, maka dengan demikian Dia menyatakan tanzīh dan
individualitas-Nya”[83]
“Dia dan bukan Dia”, karena Dia adalah yang Nampak maka itu
adalah Dia, tetapi perbedaan antara yang mawjudat ditangkap oleh akal dan
indera karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas maka itu bukan
Dia”[84]
Tanzīh bisa
diartikan ketakterbandingan, trandensensi,
ketakterjangkauan
atau mungkin keterjauhan, Tanzīh menyatakan
bahwa Allah melampaui segala kualitas dan sifat-sifat makhluk-Nya, kata Tanzīh berasal
dari kata kerja nazzaha yang berarti menjaga sesuatu agar tidak
bercampur dengan sesuatu yang lain[85],
atau juga berarti menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang
mengotori, sesuatu yang tidak murni, yang oleh mutakallimin digunakan
untuk menyatakan bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan
yaitu semua sifat yang serupa dengan sifat-sifat makhluk meskipun dalam kadar
yang paling kecil.
Adapun tasybīh
berasal
dari kata syabbahā yang
berarti menyerupakan atau menganggap sesuatu serupa dengan yang lain, yang
dalam ilmu kalam berarti menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya.[86]
Dilihat dari segi zat-Nya Tuhan adalah munazzāh, bersih dari dan tidak dapat diserupakan
dengan alam dan ketidaksempurnaa-Nya jauh dari dan tinggi diatas segala sifat
dan segala keterbatasan dan keterikatan, Tuhan tidak dapat di ketahui, tidak
dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan. Tanzīh menunjukan aspek kemutlakan “itlaq”
pada Tuhan, sedang tasybīh menunjukan
aaspek keterbatasan (taqayyud) pada-Nya.“Dia adalah transenden,
satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya adalah “kemutlakan”. Dalam Futūhāt Ia berkata “tanzīh adalah mendeskripsikan bahwa al-Haqq
tidak mempunyai hubungan dengan segala sifat-sifat sesuatu yang baru
(diciptakan).[87]
Dilihat dari segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dengan
bentuk-bentuk alam, Tuhan adalah musyabbah, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya
pada tingkat tertentu. Tuhan adalah yang menampakan diri, Dia memiliki
keserupaan dengan lokus penempakan diri-Nya yaitu alam. al-Haqq mempunyai
sifat-sifat al-muhdatsat dan makhluk mempunyai sifat-sifat al-Haqq,
jika al-Haqq adalah yang tampak maka al-khalq tersembunyi di dalam-Nya
dan al-khalq merupakan semua nama al-Haqq,
pendengara-Nya,
penglihatan-Nya, dan semua hubungan-Nya dan pengetahuan-Nya.
Sebaliknya jika al-khalq yang tampak maka al-Haqq tersembunyi
di dalamnya dan karena itu al-Haqq menjadi pendengaran al-khalq,
penglihatannya, tanganya, kakinya dan semua dayanya. Dikatakan sebelumnya bahwa
penafsiran Ibn `Arabī sejalan dengan prinsip al-jam’bayn al-addad (coincidentia
oppositorum) yang memadukan kontradiksi-kontradiksi antara yang satu dan
yang banyak, yang lahir dan yang bathin. Ibn`Arabī mengartikan al-Quran dengan
arti “penyatuan”, pemaduan atau penggabungan yakni penyatuan antara tanzīh dan tasybīh. Maka “Dia (al-Haqq) terbatas
oleh batasan yang terbatas dengan sesuatu tidak dibatasi kecuali ia adalah
batasan al-Haqq. Dalam Fusûs Ia berkata:“al-Haqq terbatas
oleh setiap batasan”[88] yakni berarti bahwa definisi mencangkup
definisi-definisi segala sesuatu, akan tetapi definisi al-Haqqyang
sempurna mustahil dicapai karena keterbatasan kemampuan
manusia
mengatahui bentuk-bentuknya yang tidak terbatas secara detail. Ibn `Arabī dalam
syairnya:
“jika engkau berkata tanzīh, engkau mengikat-Nya, Jika engkau
hanya berkata dengan tasybīh,
engkau membatasi-Nya, Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau benar dan
engkau adalah Imam dalam (beberapa) pengetahuanpengetahuan, Barangsiapa yang
berkata dengan dualitas Tuhan dan alam adalah musyrik, Dan barangsiapa
yang berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah Muwahhid (mengEsakan).
Berhati-hatilah terhadap tasybīh jika engkau
mengakui dualitas, Dan berhati-hatilah dengan tanzīh jika
engkau mengakui mufarridan Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia
dan engkau melihat-Nya dalam ‘ain segala
sesuatu, baik yang tidak terbatas maupun yang terbatas”.[89]
F. Pengaruh Tasawuf Ibn Arabi
Tasawuf Ibn ‘Arabi menarik antusiasme para sufi dan
salik di Dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis,
penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah
Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Mu`yid al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291),
‘Abd al-Razzâq al-Q(K)âsyânî (w. 730/1330), Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w.
751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah 787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî
(w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî (w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb
al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan
lain-lainnya.
Melalui sufi dari Gujarat, India, Yunasril Ali (2002:
50) mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029), ajaran tasawuf
Ibn’Arabî menyebar di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan
diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn
al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs
al-Banjârî, dan yang lainnya.
Rupanya pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di
lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang
mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn
’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang
disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-Muta’âliyah, terdapat
seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah
mazhab independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang
pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya, atau filsafatnya sebagai
pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Pendek kata,
mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.
Filsafat Shadra merupakan “perpaduan” dari berbagai
aliran pemikiran seperti aliran filsafat Ibn Sina, kalam Syi’ah, dan tasawuf
Ibn ‘Arabi. Mengenai hal ini, seorang periset Prancis mengatakan,
“If
we regard him as a Sinean, we have to add that he is, actually, Illuminationist
as well; at the same time, he is full of Ibn ‘Arabi’s thought. Mulla Sadrâ is
one of the most important Iranian Muslim Neo-Platonists … and that same time,
he is a Shî’î thinker.”[90]
G. Kesimpulan Sementara
Pertama, Ibn Arabi yang mempunyai Nama lengkap Ibn ’Arabi adalah Abu Bakr Muhammad
ibn ’Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
’Abdillah al-Ta’iy al-Hatimy, lebih dikenal dengan sebutan Ibn ’Arabi. Ada yang menyebutnya dengan nama Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali Muhy al-Din al-Hatimi al-Ta’iy al-Andalusi, dan oleh para pengikutnya digelari
dengan al-Syaikh al-Akbar. Di Spanyol ia juga dipanggil dengan Ibn Suraka, tetapi di Timur, biasanya, ia dipanggil tanpa artikel
(al-) untuk membedakannya dari al-Qadhi Abu Bakr Ibn
al-’Arabi. Ia
dilahirkan di Murcia,
Spanyol, pada
tanggal 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1165 M., dari keluarga dermawan dan
ahli zuhud yang saleh dan memiliki banyak karamah.
Kedua, sumber-sumber yang mempengaruhi pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam
dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non-Islam.
Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu: Qur’an dan Hadist-hadist
Nabi, Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Yazid dan sebagainya,
Asketik-asketik muslim, Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan
Mu’tazilah, Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa), Aristotelian
dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina, dan Isyraqiyah.
Ketiga, tasawuf secara definitif ialah, suatu metode pengetahuan
yang digunakan untuk menyingkap sebuah pengetahuan secara utuh dan sistematis.
Motif penelaah atas definisi diatas disandarkan pada dua ruang satu ruang
fenomena dan ruang nomena. Dimana satu sama lain saling mempunyai hubungan yang
sangat lekat untuk mencapai sebuah bentuk/materi yang bersifat hasil. (Ijtihad
penelaah).
Keempat, Kata Wujūd dalam sistem
Ibn `Arabī digunakan untuk menyebut wujud
Tuhan, yaitu satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nyayang berarti apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, akan
tetapi pada waktu yang lain
Ibn `Arabī juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk
pada selain Tuhan. Tetapi Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud
hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya.
Kelima, Konsep sentral yang berkaitan dengan paham Wahdāt al-Wujūd Ibn
`Arabī ialah konsep Tajallī
(penampakan
diri) al-Haqq, konsep Tajallī
adalah
dasar pandangan dan merupakan keseluruhan filsafat Ibn `Arabī, bahkan Tajallī adalah
tiang filsafatnya tentang Wahdāt al-Wujūd karena
ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari yang satu tanpa
akibat, yang satu itu menjadi yang banyak.
Tajallī
diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan “self disclosure” (penyingkapan diri,
pembukaan diri), “selfrevelation” (pembukaan diri, pernyataan diri), “selfmanifestation”
(penampakan diri) dan theophany (penampakan Tuhan), Tajallī berarti
manifestasi, penampakan, penyingkapan, ketersingkapan, theophany, epifani,
ketampakan, pembukaan, keterbukaan, pemancaran, penyinaran atau pernyataan,
sebuah pengungkapan dari al-wujūd yang
misterius , tak dikenal, yakni pengungkapan Tuhan pada makhluk-Nya agar Dia
dikenali oleh sang makhluk, yang digunakan oleh Ibn `Arabī untuk Tajallī adalah
“fayd” (emanasi, pemancaran, pelimpahan), “zuhūr” (pemunculan, penampakan, pelahiran),
“tanazzul” (penurunan,turunya) dan “fath” (pembukan).
Keenam,
pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni,
tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah
seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia
membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah
al-Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam
sebelum yang membentuk sebuah mazhab independen. Karena itu, mereka yang
menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya,
atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat
yang keliru. Pendek kata, mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.
H. Daftar Pustaka
Hilal, Ibrahim.
2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Nata, Abuddin.
2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin,
Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia Modern. Malang:
UIN-Malang Press.
Abd. Haq
Ansari, Muhamad. Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1, Jakarta;
Grafindo Persada, 1997.
Arabi, Ibn.
Relung Cahaya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988.
Abdullah dkk,
Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, Jakarta; PT Ichtiar
Baru Van Hoeve. 2002.
Chittick,
William C. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi (Kreativitas Imajinasi dan persoalan
diversitas Agama, cet.1, Surabaya, 2001.
________________.
The Sufi Path Of Knowledge (Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu),
Yogyakarta; Penerbit Qalam, 2001.
Corbin, Henry.
Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1, Yogyakarta; el-Kis, 2002.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta; PT Ichtiar Baru
Van Hoeve. 1997.
Faqih Sutan,
Nurasiah. Meraih Hakikat Melalui Syariat Telaah Pemikiran Syeh Al-Akbar Ibnu
‘Arabi, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005.
Kartanegara,
Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006.
Mahjuddin. Akhlak
Tasawuf 1 Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifat Sufi,Jakarta. Kalam
Mulia, 2009.
Nasution, Harun.
Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Pujiono,
Abd.Hamid. Manusia Menyatu Dengan Tuha, Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid
Al-Bustami, Surabaya. Target Press Surabaya, 2003.
Permadi. Pengantar
Ilmu Tasawuf, Jakarta; PT Renika Cipta. 2004.
Yunus, Muhamad.
Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1990.
Zaini, M.
Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, Surabaya; Risalah
Gusti. 2000.
[1]
Mahasiswa Pasca Sarjana Kosentrasi Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Semester
II. Makalah ini dibuat pada mata kuliah Tasawuf: Studi Perbandingan
Konsep yang diampu oleh syaikh Akbar Dr. Syaifan Nur M.A. Guru Besar
Tasawuf Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga.
[2]
Aboebakar Atjeh, Ibn ‘Arabi: Tokoh Tasawwuf dan Filsafat Agama (Jakarta:
Tintamas, 1969), hlm. 7.
[3] H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter
Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974), hlm.146.
[4] H.A.R.
Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1974), hlm.146.
[5] Ibn ‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Beirut:
Dar al-Yaqdziyah al-‘Arabiyah, 1367 H.), hlm. 1.
[6] Muhammad
Ghallab, al-Ma’rifah ‘inda Mufakkiry al-Muslimin (T.kt.: Dar
al-Mishriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.th.), hlm. 340.
[7] Ibn
‘Arabi, The Bezels of Wisdom (Fusus al-Hikam), translated by R.W.J.
Austin (New York: Pauli Press, 1980), hlm.1.
[8] Henry Corbin, Creative Imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabi, translated by Ralp Menheim (Princeton: Princeton
University Press, 1961) hlm. 41.
[9] William
C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (New York; State University 0f
New York Press, 1989), hlm. X.
[10] Moulvi
S.A.Q. Husaini, Ibn ‘Arabi: The Great Muslim Mystic and Thinker (Lahore:
Muhammad Ashraf. 1931), hlm. 2.
[11] Muhammad
Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam fi al-Masyriq wa al-Maghrib (Mesir:
Najib Muntaza, 1927), hlm. 293-294.
[12] ‘Abbas Fadhil Asyu’da, al-Aqlam,
no.12, 1385 H./1965 M., hlm. 153.
[13] William C. Chittick, op. cit., hlm.
xi.
[14] Ibn
‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, juz: IV (Mesir: Dar al-Kutub
al-‘Arabiyyah al-Kubra, t.th.), hlm. 555.
[15] Sayyed
Husein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press,
1969), hlm. 92.
[16] Ibn
‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, op.cit., hlm. 154-155.
[17] Ibn
‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, op.cit., hlm. 154-155.
[18] Ibn
‘Arabi, Tafsir, op.cit., hlm. dal.
[19]
Muhammad Luthfi Jum’ah, op. cit., hlm. 921.
[20]
Muhammad Tsabit al-Fandi (et.al), Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, juz:
I (Kairo: Intisyarat Jihan,1933), hlm. 232.
[21] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, juz: IV, op.
cit., hlm. 560.
[22] Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah:
Majma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain, t.th.), hlm. 454.
[23] Aboebakar Atjeh, op. cit., hlm. 22.
[24]
Muhammad Luthfi Jum’ah, op. cit., hlm. 292.
[25] Futuhat
al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi, jilid 1, hal 709
[26] Abd.Hamid Pujiono. Manusia Menyatu Dengan Tuha,
Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, (Surabaya. Target Press
Surabay, 2003). 10.
[28] Kautsar
Azhari Noer, Ibn
`Arabī;Wahdātal-Wujūd …..h.35.
[29] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), h. 19
[30] Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 77
[31]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta:Rajawali Press,2017), h. 96-97
[33] Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam:Sebuah Peta Kronologis, (Terj:Zaimul Am, Bandung:Mizan,
2001), H.85.
[34] Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat…… H.86.
[37] Imam
Al-Ghazali, Misykāt Al-Anwār, (Terj:Muhammad Bagir, Bandung:Mizan, 1984),
H.39.
[38] Kautsar Azhari Noer, ,Ibn `Arabī.;wahdāt al-wujûd …..h.40.
[39] Yunasril,
Ali, Manusia Citra Ilahi;Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn `Arabī Oleh Al-Jillī(Jakarta:
Paramadina, 1997), h.20.
[43] Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Terj:Supardi Djoko Damono Dkk,
Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), h.275.
[44] A.E.
Afifi, Filsafat Mistis Ibn `Arabī, (Terj:Sjahrir
Mawi, Nandi Rahman, Jakarta:Gaya Media Pratama, 1989), h.13.
[46] William
C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn `Arabī:
Kreativitas Imajinasi Dan Persoalan Diversitas Agama, (Terj:Achmad
Syahid, Surabaya:Risalah Gusti, 2001), H.28.
[48] Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 146
[49] Ibrahim
Madkour, Aliaran dan Teori dalam Islam, (Terj, Yudia Wahyudi Asmia,
Yogjakarta:Bumi Aksara, 2004), h. 75
[51]
Al-Qashāsh (28):88.
[52] Kautsar
Azhari Noer ,Ibn
`Arabī …..h. 43.
[53] A E
Afifi, Filsafat Mistis…..h.13.
[54] A E
Afifi, Filsafat Mistis…..h.25.
[58]
Muhammad al-Fayyadl, Teologi Negative Ibn `Arabī:Kritik Metafisika
Ketuhanan, (Yogyakarta:Lkis, 2012), h.169.
[60] Qs.
Al-Isrā’:20.
[61]
William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.262.
[63] Qs.
Al-Ikhlās, I-IV.
[64]
William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.282..
[65]
William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.286.
[70] A E
Afifi, Filsafat Mistis…..h.29.
[71] Dalam
Kautsar Azhari Noer, Ibn`Arabī:Wahdat
al-Wujûddalam perdebatan, (Jakarta:Paramadina,1995, h.50).
[73] A E
Afifi, Filsafat Mistis…..h.33.
[74] Muhyi
al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, I:48-49.
(lihat juga, Kautsar Azhari, h.54).
[75] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt al-makiyyah, ed. Ahmad Syamsuddin, (Beirut:Dar al-Kutub
al-`Ilmiyyah, cet. II, 2006) Vol:III h.167,Vol:II h.232;399. 56Muhyi al-Dīn Ibn
`Arabī, Futūhāt, ..Vol:III,
h.466.
[77] Muhyi
al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt ….Vol:IV, h.42.
[78] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs al-Hikam, (Beirut:Dar
al-Kutubal-`Ilmiyyah, cet. II, 2006)I:h.62.
[81] A E
Afifi, Filsafat Mistis…..h.33.
[82] Qs.Asy-Syūrā:11.
[83] Muhyi
al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs…..., I:70.
[84] Futūhāt, II,
h.160.
[86] Azyumardi
Azra dkk, Ensiklopedi
……, jilid:III,
h.1303.
[90] Seyyed
Hossein Nasr. Three Muslim Sages. Delmar NY, Caravan Books, 1975,
hal.92. Dalam edisi bahasa Arab buku ini diberi judul Tsalatsah Hukama
Muslim, Penerbit Dar al-Nahar, Beirut, 1971.
0 Response to "CERITA DAN ANALISA TASAWUF IBN ARABI"
Post a Comment