CERITA DAN ANALISA TASAWUF IBN ARABI


(Diskursus Deskrpsi-Analitik Tasawuf Falsafi)
(1165-1245 M) 
Oleh: Shohibul Kafi, S.Fil.I.[1]
            Cakupan pembahasan
v  Sketsa Biografi Ibn Arabi
v  Latar Belakang Tasawuf Ibn Arabi
v  Memahami Tasawuf
v  Memahami Sejarah Kemunculan Wahdatu Al-Wujud
v  Wahdatu Al-Wujud Sebagai Tasawuf Ibn Arabi
v  Pengaruh Tasawuf Ibn Arabi

A.   Sketsa Biografi Ibn Arabi
1.    Perjalanan Ibn Arabi
Nama lengkap Ibn ’Arabi adalah Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ’Abdillah al-Ta’iy al-Hatimy, lebih dikenal dengan sebutan Ibn ’Arabi.[2] Ada yang menyebutnya dengan nama Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali Muhy al-Din al-Hatimi al-Ta’iy al-Andalusi, dan oleh para pengikutnya digelari dengan al-Syaikh al-Akbar.[3] Di Spanyol ia juga dipanggil dengan Ibn Suraka, tetapi di Timur, biasanya, ia dipanggil tanpa artikel (al-) untuk membedakannya dari al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-’Arabi.[4] Ia dilahirkan di Murcia, Spanyol, pada tanggal 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1165 M., dari keluarga dermawan dan ahli zuhud yang saleh dan memiliki banyak karamah.[5]
Ayahnya bernama ’Ali ibn Muhammad, seorang imam fiqh dan hadis, seorang tokoh zuhud dan ahli tasawwuf.[6] Ia adalah tokoh yang sangat terkenal dan berpengaruh dalam bidang politik.[7] Ia bersahabat akrab dengan para filosof.[8] Ia juga sebagai pegawai pemerintah di masa Muhammad ibn Mardanish, penguasa Murcia.[9] Pada umur 8 tahun (568 H./1173 M.), Ibn ’Arabi dikirim oleh ayahnya ke Sevilla untuk mengikuti pendidikan secara formal di bawah bimbingan guru-guru tradisional. Ia belajar al-Qur’an dan tafsir dari Abu Bakr ibn Khalaf, belajar hadis kepad Ibn Sarih al-Ru’aini dan belajar fiqh di bawah bimbingan Abu al-Qasim al-Saraf dari Cordova.[10]
Muhammad Luthfi Jum’ah menyebut sebanyak 17 orang sebagai guru Ibn ’Arabi.[11] Ada cerita lain bahwa Ibn ’Arabi tinggal di tanah kelahirannya, Murcia, selama 8 tahun. Selama itu ia belajar membaca kaidah-kaidah bahasa dan sastra serta mempelajari agama. Pada tahun 568 H., ia pergi ke Sevilla setelah orang-orang Muwahhidin menduduki Murcia.. Di Sevilla inilah ia menghabiskan masa kecil dan masa mudanya. Di sini ia mempelajari al-Qur’an, hadis dan fiqh di bawah bimbingan salah seorang murid Ibn Hazm al-Zahiry. Ia menikah dengan Maryam binti ’Abdun ibn ’Abd al-Rahman al-Bazy.[12]
Pada awal kehidupannya, Ibn ’Arabi bekerja sebagai sekretaris gubernur di sana.[13] Ibn ’Arabi pernah mengikuti pelajaran hadis dari Abu al-Qasim al-Khozastani dan para ulama lain, dan khususnya mempelajari kitab Sahih Muslim kepada Syeikh Abu al-Hasan ibn Abi Nasr dalam bulan Syawwal 606 H. Konon ia juga mendapat ijazah dari Abu Tahir al-Salafi.[14] Pada usianya yang relatif muda, ia bertemu dengan dua orang wali wanita, yaitu Yasmin Mursianiyah dan Fatimah Qurtubiyah. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan kehidupan Ibn ’Arabi, khususnya Fatimah Qurtubiyah yang sudah lanjut usianya. Wanita ini berpengaruh dan berperan sebagai pembimbing ruhani bagi Ibn ’Arabi selama dua tahun.[15]
Ketika berusia 20 tahun, mulai nampaklah kecenderungan Ibn ’Arabi pada tasawwuf. Sebagai pemuda yang cerdas dan memiliki pandangan spiritual yang dalam, Ibn ’Arabi pergi meninggalkan Sevilla untuk mengelilingi Andalusia, dari satu kota ke kota lainnya. Ia menemui orang-orang saleh dan salihah, yang dijumpainya selama perjalanannya[16] Pada salah satu perjalanannya, ketika muqim (singgah) di Cordova, Ibn ’Arabi bertemu dengan Ibn Rusyd, pengulas terbesar filsafat Aristoteles. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog antara keduanya, yang masing-masing memetik manfaat daripadanya.[17]
Setelah beralih ke dunia sufi, hampir seluruh sisa hidup Ibn ’Arabi dicurahkan untuk mempelajari dan mendalami tasawwuf. Dengan kesungguhan dan ketekunannya, maka dalam usia 30 tahun namanya sudah dikenal di kalangan ahli sufi dan juga di kalangan ulama-ulama fiqh di berbagai wilayah yang tersebar di seluruh Andalusia dn Maghrib.[18] Selanjutnya sekitar tahun 590 H. atau tahun 1201, 1202 M. Ibn ’Arabi mengadakan perjalanan ke wilayah Timur hingga sampai di Mekkah tahun 600H., dan menetap di sana selama 12 hari untuk menunaikan ibadah haji.
Pada saat itu ia menulis surat untuk sahabatnya, Muhammad ibn ’Abd al-’Aziz Abi Bakr al-Qusyairy al-Mehdawy dari Tunis, juga untuk sahabatnya yang lain Abi ’Abdillah ibn al-Murabith.[19] Pada tahun 601 H. Ibn ’Arabi melanjutkan pengembaraannya ke Bagdad dan menetap di sana kurang lebih selama 7 tahun. Lalu ia kembali ke tanah suci Mekkah dan menetap di sana beberapa bulan lamanya. Kemudian pada akhir tahun berikutnya ia sampai di Asia Kecil. Di sini Ibn ’Arabi menerima hadiah sebuah rumah yang indah dari penguasa Nasrani. Namun rumah itu kemudian ia hadiahkan kepada seorang pengemis yang datang meminta-minta kepadanya.[20]
Selanjutnya Ibn ’Arabi pergi ke Aleppo dan kemudian ke wilayah Damsyiq untuk menziarahi masjid Bait al-Maqdis. Pada masa inilah Ibn ’Arabi pulang pergi antara Syam dan Hijaz. Akhirnya pada tahun 620 H., ketika telah berusia sekitar 60 tahun, ia menetap di Damaskus. Di sini pulalah ia menghabiskan sisa hidupnya untuk mengarang serta menyusun karya-karyanya, terutama dalam bidang tasawwuf.[21] Di akhir hayatnya, ia menyusun tafsir al-Qur’an dengan nama Tafsir al- Kabir, yang merupakan karya terakhirnya dan sekaligus merupakan satu-satunya karya yang tidak sempat ia rampungkan, karena ia meninggal di saat ia menulis ayat 65 surat al-Kahfi, yang terjemahannya:
”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.[22]
Di saat itu pulalah Ibn ’Arabi meletakkan penanya yang masih basah dan berhenti menulis untuk selamanya.[23] Ibn ’Arabi wafat pada hari Jum’at tanggal 28 Rabi’ al-Awwal 638 H. bertepatan dengan tanggal 16 Nopember 1240 M., di rumah salah seorang muridnya yang bernama al-Qadhi Muhy al-Din ibn al-Zakiy. Kemudian jenazahnya dimandikan oleh al-Jamal ibn ’Abd al-Khaliq, ’Imad al-Din ibn al-Nuhhas dan Muhy al-Din sendiri. Murid-muridnya ini pulalah yang membawa jenazah Ibn ’Arabi ke lereng gunung Qasiyun, di luar Damaskus, untuk
dimakamkan.[24]

2.    Karya-karya Ibn Arabi
Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi,[25]
“Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”
Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri.
“Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin (“mubasysyirah”) yang telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kami.’”
Selain dari dua kitab ini, Ibn ‘Arabi telah menulis banyak sekali risalah-risalah tentang kosmologi seperti:
1. Insha al-Dawair (The Creation of the Spheres)
2. ‘Uqlat al-mustawfiz (The Spell of the Obedient Servant), dan
3. al-Tadbirat al-Ilahiah (The Divine Directions);
Mengenai metode praktis yang harus diikuti para murid dan salik tarikat (thariqah), seperti al-Risalat al-Khalwah (Treatise on the Spiritual Retreat) dan al-Washaya (Spiritual Counsels).
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual.
Beliau juga pernah menulis syair sufi seperti Tarjuman al-Asywaq (The Interpreter of Desires) dan juga Diwan.
Secara kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibn ‘Arabi.
  1. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Contemplations of the Holy Mysteries) (Written in Andalusia, 590/1194).
  2. Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Divine Governance of the Human Kingdom). Written in Andalusia.
  3. Kitab Al-Isrâ’ (The Book of Night Journey). Written in Fez, 594/1198.
  4. Mawaqi al-Nujûm (Settings of the Stars). Writen in Almeria, 595/1199.
  5. ‘Anqa` Mughrib (The Fabulous Gryphon of the West), Written in Andalusia, 595/1199.
  6. Insha’ al-Dawa’ir (The Description of the Encompassing Circles). Written in Tunis, 598/1201.
  7. Mishkat al-Anwâr (The Niche of Lights). Written in Mecca, 599/1202/03.
  8. Hilyat al-Abdal (the Adornment of the Substitutes). Written in Taif, 599/1203.
  9. h al-Quds (The Epistle of the Spirit of Holiness). Written in Mecca, 600/1203.
  10. Taj al-Rasâil (The Crown of Epistles). Written in Mecca, 600/1203.
  11. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601/1204.
  12. Tanazzulat alMawsiliyyai (Descents of Revelation). Written in Mosul, 601/1205.
  13. Kitab alJalal wa al-Jamâl (The Book of Majesty and Beauty). Written in Mosul, 601/1205.
  14. Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu (What is essential for the Seeker). Mosul, 601/1205.
  15. Fusûs al-Hikam (Vessels of Wisdom). Damascus, 627/1229.
  16. al-Futûhât al-Makkiyya (Meccan Illuminations). Mecca, 1202-1231 (629)
B.   Latar Belakang Tasawuf Ibn Arabi
Secara umum telah terbukti bahwa tasawuf merupakan fenomena spiritual dan kultural yang tunduk kepada berbagai faktor dan pengaruh yang melingkupi realitas sosial. Meskipun tidak diragukan lagi bahwa ajaran dan prinsip Islam memiliki peran utama di mata kaum muslimin yang dipegang dan dijadikan pedoman asasi, tetapi lingkungan Islam tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang masuk kemudian mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran tasawuf. Menurut Ibrahim Madkour, ada dua klasifikasi besar yang menjadi faktor yang mempengaruhi tasawuf Islam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Secara internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para sahabatnya yang berlandaskan pada hikmah dan mauidzah yang terdapat dalam Al qur’an dan Al sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil untuk justifikasi atas tindakan maupun perilaku mereka. Misalnya saja Al Muzammil: 1-8 yang mengajak untuk berdzikir dan beribadah. Atau surat Al Mujadalah: 7 yang menggambarkan kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Adapun hadist-hadist yang dijadikan dasar pemikiran mereka tentang tujuan dari penciptaan makluk, seperti hadist qudsi yang berbunyi:
“Aku (bagaikan) gudang yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenali, untuk itu aku menciptakan makluk, kemudian mereka mengenalku”
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tasawuf diantaranya adalah tradisi Kristen yang sudah lebih dulu muncul di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Peradaban India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam faktor eksternal ini adalah pengaruh dari filsafat Yunani, terutama Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme. Klasifikasi faktor internal dan eksternal ini ditujuakan untuk tasawuf secara umum, meski demikian pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang telah disebut di atas.
Secara eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang mempengaruhi pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non-Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu:
1.    Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
2.    Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Yazid dan sebagainya.
3.    Asketik-asketik muslim.
4.    Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan Mu’tazilah.
5.    Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa)
6.    Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina
7.    Isyraqiyah
Sedangkan sumber-sumber non Islam adalah filsafat hellenistik, terutama Neoplatonik dan filsafat Pilo dan Stoies.  AE. Affifi tidak memberi penjelasan secara rinci mengenai unsur-unsur tersebut, tetapi menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi lebih merupakan seorang Neoplatonis sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus Shafa. Pada sisi mistis gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam emosionalnya, karena Ibnu ‘Arabi jauh lebih besar sikap intelektualnya. Pada sisi logika serta dalam hal etika dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi menggunakan banyak sekali theologia-theologia muslim.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang berusaha memadukan berbagai unsur – unsur pemikiran. Disamping ajaran Islam yang menjadi unsur fundamental dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga berasal dari ajaran Kristen kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita harus mengakui bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa adanya atau asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang diambil disesuaikan dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di analisa sehingga menghasilkan formula yang dapat diklaim otentik sebagai hasil pemikirannya. Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung tidak beraturan dan sangat sulit dipahami, ajaran Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh banyak pemikir sebagai doktrin yang paling lengkap dan matang. Pemikiran Ibnu ‘Arabi digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual dari tokoh tokoh sebelumnya.
C.   Memahami Tasawuf
1.    Definisi Tasawuf
Memahami segala sesuatu yang menempati posisi akademik, tentu membutuhkan suatu metode yang sebisa mungkin menyinkap secara utuh sejauh kemampuan peneliti atau penelaah. Oleh karenanya diskursus pagi ini penelaah mencoba menyajikan secara konseptual dan sistematis atas ijtihad penelaah. Diantaranya ialah menggali makna universal tasawuf sendiri, karena makna universalnya nantinya akan menjadi titik pijak untuk menyelami tasawuf secara general lalu spesifik. Peneliti menyajikan bebarapa pandangan makna universal tentang tasawuf diantaranya ialah;
Pertama, Lafal tasawuf adalah kata jadian yang berasal dari ;  تَصَوَّفَ, يَتَصَوَّفُ ,تَصَوُفاً Dari perubahan kata  صَوْفًا,يَصُوفُ, صَافَ  yang artinya berbuluh yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah sufi, yang ciri khas pakainnya selalu terbuat dari bulu domba. Menurut Syeh Muhamad Amin Al-Kurdi tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya menuju kepada perintah-Nya.[26]
Kedua, menurut Imam Al-Ghazali  mengemukakan pendapatnya Abu Bakar Al-Kattany, tasawuf adalah budi pekerti, barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.[27]
Dari pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh sufisme. Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kabahagiaan hakiki. Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof seperti halnya AE. Affifi yang memandang Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat.
Dari segi epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujahadah (mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi. Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat. Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir rasional transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya adalah terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.
Namun bagi penelaah, tasawuf secara definisi ialah, suatu metode pengetahuan yang digunakan untuk menyingkap sebuah pengetahuan secara utuh dan sistematis. Motif penelaah atas definisi diatas disandarkan pada dua ruang satu ruang fenomena dan ruang nomena. Dimana satu sama lain saling mempunyai hubungan yang sangat lekat untuk mencapai sebuah bentuk/materi yang bersifat hasil/capaian akhir.
2.    Cakupan Tasawuf menurut Ibn Arabi
Mengapa harus mengunakan kata cakupan dalam tasawuf, bukankah tasawuf lautan yang yang tak berdarat? Tentu kita akan bertanya hal itu bukan, ketika terdapat pernyataan diatas. Namun hemat penelaah cakupan tasawuf menjadi penting dalam konteks studi tasawuf, hal ini disandarkan pada pemahaman konseptual. Suatu pengetetahuan yang sudah berdiri sendiri tentu mempunyai sebuah cakupan agar tidak salah dalam memahami suatu pengetahuan.
Dalam konteks studi tasawuf penelaah mencoba membuat klasifikasi cakupan tasawuf menjadi dua. Pertama fenomena dan yang kedua nomena. alasan penelaah atas stitmen diatas dikarenakan tasawuf sendiri tidak mungkin menjadi ilmu tasawuf tanpa di demonstrasikan menjadi pengetahuan dan prilaku social pada waktu itu hingga sekarang. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa sufisme hidup didunia nyata dan juga mencoba menembus dunia ghaib terlepas mendealektikan antara realitas dan metafisika. Maka sah-sah saja hal ini dikemukakan dan menjadi basis yang cukup penting dalam menelaah tasawuf, yang sehingganya tasawuf tidak terlalu melangit namun sangat elastis dan mudah dipahami oleh setiap insan.
D.   Memahami Sejarah kemunculan Wahdāt al-Wujūd
Doktrin tentang Wahdāt al-Wujūd selalu dihubungkan dengan Ibn `Arabī, karena Ia dianggap sebagai pendirinya. Meskipun doktrin Wahdāt al-Wujūd dihubungkan dengan aliran Ibn `Arabī, doktrin yang kira-kira sama atau senada denganya telah diajarkan oleh beberapa sufi jauh sebelum Ibn `Arabī. Adapun Ibn `Arabī sendiri tidak pernah menggunakan istilah Wahdāt al-Wujūd, dianggap sebagi pendiri Wahdāt al-Wujūd dikarenakan ajaran-ajarannya yang mengandung teori ide tentang Wahdāt al-Wujūd.[28] Jauh sebelum perkembangan mistisisme Islam (tasawwūf), para filosof klasik sudah terlebih dulu membicarakan tentang yang satu, wājib al Wujūd (Tuhan), pluralisme maupun dualism hubungan antara Tuhan dengan alam.
Al-Kindî (wafat 873 M), menurutnya Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan Maha Esa, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Tuhan adalah wujûd yang sempurna dan tidak didahului wujûd lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujûd lainnya disebabkan wujûd-Nya.[29] Hakekat Tuhan adalah wujûd yang benar (al-Haqq) adalah satu-satunya sebab, bukan yang asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada, Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujûd sempurna yang tidak didahului oleh wujûd lain, tidak berakhir wujûd-Nya dan tidak ada wujûd kecuali dengan-Nya.[30]
Ibnu Sina (wafat 1027 M), dalam filsafat wujûd-nya, segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan sebagai berikut: (1) Wajib al-wujûd, esensi yang mesti mempunyai wujûd. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujûd; keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujûd, tetapi Ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibn Sina membagi wajib al-wujûd ke dalam wajib al-wujûd bi dzati dan wajib al- wujûd bi ghairihi.
kategori yang pertama ialah yang wujûd-Nya dengan sebab dzat-Nya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujûd yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar dzat-nya, (2) Mumkin al-wujûd, esensi yang boleh mempunyai wujûd dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujûd jika dilihat dari dari segi esensinya, tidak harus ada dan tidak harus tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkinal-wujûd bi dzatî. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujûd bi dzatihi dan wajib al-wujûd bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah, (3) Mumtani’al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai wujûd, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain selain kosmos yang ada ini.[31]
Hanya Tuhan saja yang memiliki wujûd Tunggal, secara mutlak, sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Tuhan sebagai sebab pertama, Ia bebas materi, Esa, dan Tunggal dalam segala hal. Ia tidak memiliki genus dan deferensia, dua unsur wajib dari sebuah definisi, oleh karena itu tidak ada definisi baginya, yang ada hanya nama. Bersifat imateriil, Ia murni baik, karena hanya dalam materilah sumber segala kekurangan, terletak kejahatan (keburukan).
Tuhan adalah yang dicintai dan pecinta, yang disenangi dan yang menyenangi, Ia adalah Keindahan tertinggi karena tidak ada Keindahan yang lebih tinggi daripada menjadi intelek murni, jauh dari segala kekurangan. Adanya segala makhluk, dapat dibenarkan pendapatnya sebagai bukti tentang adanya Tuhan.Tuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak didahului oleh waktu. Dengan kata lain, hubungan antara sebab dan akibat dan dari manapun sebab itu, datangnya akan sampai kepada Allah sebagai sebab, bertindak dalam alam yang bergerak terus-menerus dalam wujudnya yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[32]
Perkembangan mistisisme Islam yakni pada awal abad ke-7, yaitu munculnya sufi-sufi yang mengabdikan diri mereka bagi kesucian hidup (warā`), ketekunan beribahdah (khusyû`) dan perenungan (fikr) terhadap kedaan manusia dan hubunganya dengan Tuhan-nya, mereka menjahui kemegahan duniawi, semisal Hasan Al-Bashri (w.728) dengan konsep nya Khaûf dan Raja`,dan salah satu tokoh ascetic perempuan yang tak terlupakan sampai hari ini, yaitu Rābi’ah Al-‘Adawiyyah (w.801), dialah yang pertama kalinya yang memperkenalkan konsep tentang cinta ilahi sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan, suatu ketika, ia ditanya tentang apakah dia mencintai Tuhan atau membenci setan, Rabiah-pun menjawab
“cintaku kepada Tuhan telah memenuhi segenap hatiku, sehingga tak tersisa lagi ruang untuk mencintai atau membenci selain-Nya.[33]
Pada abad berikutnya, pusat gerakan mistis ini berpindah ke Baghdad dan beberapa figur terkemuka pada awal sejarah sufisme, diantaranya yaitu Al-Muhāsibi (w.857), Ibn Abi Dunya (w.894), Ma`rûf Al-Karkhi (w.815) dan Abû Qāsim Al-Junaid (w.911). mistisisme Al-Muhāsibi didasarkan pada dua pilar yaitu menghisab diri sendiri (muhāsabah) dan kesedihan menanggung derita dan musibah demi Tuhan, kekasih utamanya. Ujian keimanan yang sejati menurutnya yaitu kerelaan untuk mati dan ketabahan (shabr) menanggung penderitaan yang sangat menderita, Al-Junaid (murid Al-Muhāsibi), Al-Saqati (w.870) dan Abû Hafs
Al-Haddād (w.873) sangat berpengaruh dalam perkembangan mistisisme Islam, pemikiran Al-Muhāsibi ditandai oleh rasa (sense) yang tinggi akan transendensi dan keesaaan Tuhan, esensi kehidupan manusia adalah keinsafan hamba atas jarak yang terbentang antara Tuhan dan dirinya, ia menyebut keinsafan ini sebagai pemisahan (ifrād) yang abadi dari yang fanā’, sekaligus sebagai pengakuan atas keesaan Tuhan (tauhid).[34]
Ma`rûf Al-Karkhi (w.200/815), seorang sufi terkenal di Baghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn `Arabī, dianggap pertama kali yang mengungkapkan syahadat dengan kata-kata “tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah”, Abû al-‘Abbās Qassāb (abad ke 4/10) mengungkapkan kata-kata yang senada:”tiada sesuatupun dalam dua dunia kecuali Tuhanku, segala sesuatu yang ada (maujudāt) segala sesuatu selain wujud-Nya adalah tiada (ma`dûm)”. Sedangkan Al-Qûnawī menggunakan istilah wahdāt al-wujûd untuk menunjukan bahwa keesaan Tuhan, dan tidak mencegah keanekaan penampakanya. Meskipun Esa dalam Zat-Nya atau dalam hubungannya dengan tanzīh-Nya, wujud adalah banyak dalam penampakannya atau dalam hubunganya dalam tasybīh-Nya.[35]
Sufi lain sebelum Ibn `Arabī yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdāt al-wujûd ialah Abû Hāmid Al-Ghazālī (w.505 H/1111 M),[36] dalam salah satu karyanya ia berkata”sesuatu yang maujûd dengan sebenar-benarnya adalah Allah SWT, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah SWT”, ”tidak ada wujud kecuali Allah dan wajahNya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajahNya secara azali dan abadi”[37]
Tokoh yang kiranya paling berperan dalam mempopulerkan istilah wahdāt al-wujûd adalah Taqī al-Dīn Ibn Taimiyyah (w.728 H/1328 M), ia adalah pengecam keras Ibn `Arabī dan pengikutnya, sejak zaman Ibn Taimiyyah dan seterusnya, istilah wahdāt al-wujûd secara umum digunakan untuk menunjukan seluruh doktrin yang diajarkan Ibn `Arabī dan para  pengikutnya. Pengertian wahdāt al-wujûd menurut Ibn Taimiyah
berbeda dengan pengertian wahdāt al-wujûd Ibn `Arabī.
Menurut Ibn Taimiyyah wahdāt al-wujûd adalah penyamaan Tuhan denga alam, perbedaanya dengan Ibn `Arabī ialah bahwa dia tidak melihat aspek tanzīh dalam ajaran yang sama, dia hanya melihat dari sisi tasybīh dalam ajaran Ibn `Arabī. Padahal kedua aspek (tanzīh dan tasybīh) ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn `Arabī.[38] Melalui sufi dari Gujarat, India, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029), ajaran tasawuf Ibn’Arabî menyebar di Asia Selatan.
Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya[39] Dalam studi modern di Barat, doktrin ini lebih dikenal dengan istilah panteisme, monism, monism panteistik, dimana dalam dunia kejawen istilah wahdāt al-wujûd mempunyai arti yang sama dengan manunggaling kawulo lan gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan), pamoring kawulo lan gusti, jumbuhing kulo lan gusti. Istilah wahdāt al-wujûd, maupun istilah manunggaling kawulo gusti (dalam bahasa Jawa) mempunyai arti yang sama

E.   Wahdatu Al-Wujud Sebagai Tasawuf Ibn Arabi
Secara etimologi (bahasa), kata Wahdāt al-Wujūd adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yakni Wahdāt dan al-Wujūd.Wahdāt artinya tunggal atau kesatuan, sedangkan Wujūd artinya ada, keberadaan atau eksistensi.[40] Secara terminology (istilah) Wahdāt al-Wujūd berarti kesatuan eksistensi. Tema sentral pembicaraan Wahdāt al-Wujūd dalah mengenai bersatunya Tuhan dengan alam atau dengan kata lain Tuhan meliputi alam, dengan demikian pengertian secara radix, kata Wahdāt al-Wujūd berarti paham yang cenderung menyamakan Tuhan dengan alam semesta, paham ini mengakui tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, kalaupun ada maka hanya pada keyakinan bahwa Tuhan itu adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah bagian dari totalitas tersebut, dan Tuhan (Allah SWT) menampakkan Diri pada apa saja yang ada di alam semesta, semuanya adalah penjelmaan-Nya, tidak ada sesuatu apapun di alamini kecuali Dia.[41]
Kata Wujūd, bentuk masdar dari wajada atau wujida, yang berasal dari akar w j d, tidak terdapat dalam al-Quran bentuk masdar dari akar yang sama, yang terdapat dalam al-Quran adalah wūjd (Qs. 65:6), adapun bentuk fi`il dari akar yang sama banyak terdapat dalam al-Quran (Qs. 3:37, 18:86, 27:23, 93:7, 4:43, 18:69 dan 7:157). Kata Wujūd mempunyai pengertian obyektif dan juga subyektif. Dalam pengertian obyektif, kata Wujūd adalah masdar dari kata wujida=ditemukan, biasanya diartikan dalam bahasa Inggris dengan being atau existence. Sedang dalam pengertian subyektifnya, kata Wujūd adalah masdar dari kata wajada, yang berarti menemukan, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan finding.[42]
Istilah Wujūd yang biasanya diterjemahkan sebagai keberadaan, eksistensi, pada dasarnya berarti menemukan, ditemukan, dengan demikian lebih dinamis dari pada eksistensi biasa. Maka Wahdāt al-Wujūd bukan sekedar kesatuan keberadaan, tetapi juga kesatuan eksistensialisasi dan persepsi tindakan itu, istilah ini terkadang menjadi sinonim semu Syuhūd (perenungan, penyaksian). [43] ada dua pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami istilah Wujūd: (1) Wujūd sebagai suatu konsep;, ide tentang Wujūd eksistensi (Wujūd bil ma’nā al-masdari), dan (2) Wujūd yang berarti bisa mempunyai Wujūd yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsist) (Wujūd bil ma’nā maujūd).[44]
Kata Wujūd dalam sistem Ibn `Arabī digunakan untuk menyebut wujud Tuhan, yaitu satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nyayang berarti apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, akan tetapi pada waktu yang lain Ibn `Arabī juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk pada selain Tuhan. Tetapi Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya. Seperti halnya cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni bumi.Hubungan antara Tuhan dengan alam sering digambarkan seperti hubungan antara cahaya dan kegelapan.[45]
Pada tingkatan tertinggi wujud adalah realitas Tuhan yang absolute dan tak terbatas yakni wājib al Wujūd. Dalam pengertian ini wujud menandakan esensi Tuhan atau hakikat satu-satunya realitas yang nyata disetiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud merupakan subtansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan, dalam pengertian ini wujud menunjuk pada keseluruhan kosmos, kepada segala sesuatu yang eksis, karena wujud juga dapat digunakan untuk merujuk pada eksistensi setiap dan segala sesuatu yang ditemukan dalam jagat raya ini.[46]






1.    Konsep Tajallī al-Haqq Ibn `Arabī
Alam semesta merupakan wujud yang baru yang keluar dari Yang Qodim, dengan kehendak Tuhan untuk membedakan sesuatu dari lainnya.[47] Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya bisa memiliki waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya, karena sebab adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas; sedangkan kehendak itu bersifat bebas mutlak.[48]
Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam, alam Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujûdat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara bendabenda.[49]Dia tidak terbatasi dengan ukuran, tidak juga bertempat
pada penjuru dan mata angin, dan tidak pula bernaung di bumi dan di langit. Tuhan tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu yang menempati-Nya. Allah Maha Suci dari naungan tempat sebagaimana Maha Suci dari ketentuan waktu.
Bahkan sebelum menciptakan masa dan tempat, Dia seperti apa adanya sejak dahulu. Tuhan berbeda dengan makhluk yang Dia ciptakan lantaran sifat-sifat-Nya, tidak ada di dalam dzat-Nya selain-Nya, dan tiada dalam selain-Nya selain dzat-Nya.[50] Allah adalah al-wujud, Allah adalah kenyataan yang hakiki. Tiap-tiap sesuatu musnah, dan hanya wajah-Nya yang kekal, abadi selamanya.[51] Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan;tidak ada wujud selain wujud-Nya artinya yaitu bahwa apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, secara logis berarti kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (mā siwā Allāh), alam dan segala sesuatu yang didalamnya. Tetapi di lain waktu, Ibn `Arabī juga menggunakan
kata wujud untuk menunjuk pada selain Tuhan, Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya. Seperti halnya cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni umi. Hubungan antara Tuhan dengan alam sering digambarkan seperti hubungan antara cahaya dan kegelapan, karena wujud hanya milik Tuhan, maka adam (ketiadaan) adalah “milik” alam. karena itu Ia mengatakan bahwa wujud hanya milik cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.[52]
Ibn `Arabī membedakan wujud yang bermakna idea atau wujud yang bermakna masdār dan wujud yang berarti ada (eksis) atau yang hidup (subsist) bil ma’na wujûd, yakni yang dimaksud adalah wujûd mutlāq yang merupakan puncak realitas semua yang ada di dunia.[53] menurutnya hanya ada satu realitas dalam eksistensi, realitas yang dipandang dari dua sudut, pertama yakni al-Haqq sebagai esensi dari semua fenomena,
dan kedua adalah khalq yang memanifestasikan esensi.
Al-Haqq dan khalq, antara realita dan penampakan, yang satu dengan yang banyak. Realitas ini adalah Tuhan,[54] Ia membedakan tiga jenis kategori ontologis;
(1) yang ada dengan zatnya sendiri dalam entitasnya, wujud-Nya mustahil dari tiada, Ia mewujudkan segala sesuatu Ia adalah wujud absolute (alwujûdal-mutlāq), Dialah Allah, tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, ia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
(2) yang ada dengan Tuhan (diwujudkan oleh Tuhan), Ia adalah wujud yang terikat dan terbatas (al-Wujûd al-Muqayyād) yang berwujud hanya karena Tuhan, tidak mempunyai wujud sendiri tetapi dari Tuhan, kategori ini disebut oleh Ibn `Arabī dengan alam material dan segala yang ada di dalamnya.
(3) yang tidak berwujud tidak pula adam, tidak bersifat huduts dan tidak pula qidam, Ia sejak azali ada bersama alam dan Ibn `Arabī, secara ontologys Ia adalah Tuhan dan alam, tetapi pada saat yang sama Ia bukan Tuhan dan juga bukan alam, Ia mempunyai posisi tengah antara Tuhan dan alam.[55] Alam tidak sendiri kecuali dengan wujud pinjaman atau wujud yang berasal dari Tuhan.
al-Haqq (Tuhan) dan al-Khalq (alam) adalah satu tetapi berbeda, alam adalah tajallī Tuhan, dengan demikian segala sesutau yang ada di dalamnya adalah entifikasi-Nya. Tuhan dan alam tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kesatuan kontradiksi-kontradiksi ontologis yang bersifat horizontal juga vertical, kesatuan ontologis antara Yang Tampak (az-zahīr) dan Yang Bathin (albathīn), antara Yang Awwal (al-awwāl) dan Yang Akhir (al-akhīr), antara Yang Satu (al-wahīd) dan Yang Banyak (alkasīr) dan antara ketidaksetaraan (tanzīh) dan keserupaan (tasybīh). Ia memandang, realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan, yang keduanya hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.[56]
Konsep sentral yang berkaitan dengan paham Wahdāt al-Wujūd Ibn `Arabī ialah konsep Tajallī (penampakan diri) al-Haqq, konsep Tajallī adalah dasar pandangan dan merupakan keseluruhan filsafat Ibn `Arabī, bahkan Tajallī adalah tiang filsafatnya tentang Wahdāt al-Wujūd karena ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari yang satu tanpa akibat, yang satu itu menjadi yang banyak.
Tajallī diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “self disclosure” (penyingkapan diri, pembukaan diri), “selfrevelation” (pembukaan diri, pernyataan diri), “selfmanifestation” (penampakan diri) dan theophany (penampakan Tuhan), Tajallī berarti manifestasi, penampakan, penyingkapan, ketersingkapan, theophany, epifani, ketampakan, pembukaan, keterbukaan, pemancaran, penyinaran atau pernyataan, sebuah pengungkapan dari al-wujūd yang misterius , tak dikenal, yakni pengungkapan Tuhan pada makhluk-Nya agar Dia dikenali oleh sang makhluk,[57][58] yang digunakan oleh Ibn `Arabī untuk Tajallī adalah “fayd” (emanasi, pemancaran, pelimpahan), “zuhūr” (pemunculan, penampakan, pelahiran), “tanazzul” (penurunan,turunya) dan “fath” (pembukan).
Cara untuk dikenal ialah dengan menciptakan alam, Tajallī al-Haqq adalah penampakan diri-Nya dengan menciptakan alam, alam adalah lokus penampakan diri-Nya. Karena alam ia umpamakan sebagai cermin, tempat dimana Tuhan melihat diri-Nya. Tajallī terjadi secara terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir yang selamalamanya ada dan akan terus ada, (al-dā’īm allazī lam yazal wa lā yazāl).[59] adalah pemberian-Nya yang telah ditetapkan-Nya sejak azali persis sebagaimana yang ada dalam entitas-entitas permanen (a’yān sābitah). ”pemberian Tuhan tidak pernah bias dihalangi”[60], Ibn `Arabī mengumpamakannya seperti halnya matahari yang memeancarkan cahaya kepada benda-benda, dan benda-benda tersebut menerima cahaya sesuai dengan kesiapanya.
Seperti yang Ia katakan dalam Futūhāt: ”hal yang sama berlaku pula pada tajallīyat (penampakan-penampakan diri) Tuhan. Pelaku tajallī (al-mutajallī) dari segi Dia sebagai diri-Nya sendiri adalah satu dalam entitas, sedangkan tajallīyat (penampakan-penampakan diri-Nya), berbeda sesuai dengan perbedaan kesiapan lokus-lokus tajallī, sifat pemberianpemberian Tuhan adalah sama”[61]
Wujud Tuhan adalah Esa di dalam-Nya, namun terejawantahkan ke dalam berbagai wujud melalui penyingkapan diri, esensi Tuhan tak terpahami dan tak terjangkau, Ia adalah Yang Maha Wujud, yang mewujud melalui diri-Nya sendiri, pluralitas pengejawantahan bertumpu
pada nama-nama Tuhan , yang dalam satu waktu bersamaan adalah satu sekaligus banyak.[62] menunjuk pada firman-Nya
“Dia-lah Tuhan yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu.Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada sesuatu-pun yang setara dengan Dia”[63]  kami yang banyak, berasal dari satu entitas yang tak bisa diakses dan tersendiri sebagai Dia, itulah entitas yang terkait dengan kiat yang memberi kita eksistensi, dan kita terkait dengan-Nya melalui eksistensi, demikianlah ia yang mengenal dirinya sebagai makhluk dan hal yang eksisten mengenal yang nyata sebagai pencipta dan sesuatu yang memberinya eksistensi”, “ia yang mengenal dirinya berarti telah mengenal Tuhannya, karena ciptaan yang paling mengenal halihwal makhluk adalah yang paling mengenal hal-ihwal Tuhan.[64]
 Sesungguhnya ia yang mengenal dirinya berarti mengenal Tuhan-nya, ini berarti bahwa ia yang mengenal Tuhan spesifiknya, yang merupakan Tuhan sebagaimana Dia mengungkpakan diri-Nya pada jiwa, lebih dijelaskan oleh Ibn `Arabī dalam Fusûs: “katakanlah bahwa Dia yang disebut “Tuhan” adalah satu dalam hakikat tetapi menyeluruh (al-kull) melalui nama-nama. Tidak ada hal yang eksisten memiliki sesuatu dari Tuhan kecuali Tuhannya sendiri, Ia tidak mungkin memiliki keseluruhan, yang ditunjukanya dari keseluruhan hanyalah yang berkenaan dengan-Nya, dan itulah Tuhannya sendiri.
Tak ada yang mengambil dari-Nya berkenaan dengan keEsaan-Nya, itulah mengapa cerita tentang Allah yang menyatakan penyingkapan diri dalam kesatuan adalah mustahil”.[65] Tajallī al-Haqq menjadikan proses penampakan diri yang terus-menerus tanpa awal dan akhir, yang selamalamanya akan ada dan selalu ada. Emanasi (fayd), merupakan teori yang ia (Ibn `Arabī) sebut juga dengan tajalli, Ibn `Arabī membedakannya menjadi dua tipe yaitu:
1. Emenasi paling suci (al-fayd al-aqdās), disebut pula penampakan diri esensial (tajallī al-dzatī) dan penampakan diri ghayb (al-tajallī al-ghaybī), dalam taraf ini, al-Haqq tidak menampakan diri-Nya pada sesuatu yang lain tetapi kepada diri-Nya sendiri, dalam bentuk potensial (bi al-quwwah) belum secara actual (bi al-fi`l). al-Haqq menyebut diri-Nya dengan Dia ketika melakukan tajallī pertama, artinya Ia telah membagi diri-Nya menjadi dua, diri-Nya sebagai subyek sekaligus sebagi obyek, kedua-Nya masih satu karena Dia menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, bukan kepada yang lain.[66] Realitas-realitas yang hanya ada pada ilmu Tuhan dan tidak ada di dalam alam nyata.[67]
2. Emanasi suci (al-fayd al-muqāddas), disebut juga dengan penampakan diri eksistensial (al-tajallī al-wujūdī) dan penampakan diri inderawi (al-tajallī al-syuhūdī). Penampakan diri dari Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan eksistensial, yaitu penampakan entitas-entitas permanen dari alam yang ada hanya dalam pikiran kepada alam yang dapat diindera. Tidak sesuatu-pun dalam wujud penampakanya menyalahi apa yang ada dalam kepermanenannya sejak azali.[68] Ia berkata pada suatu bagian dalam Fusûs: ”bahwasanya Allah mempunyai dua tipe tajallī: tajallī ghayb dan tajallī syahadah. Dengan tajallī ghayb ia memberikan kesiapan yang menentukan sifat Qalb.
Dan Ini adalah tajallī  dzatī (penampakan diri esensial). Yang hakikat realitas-Nya tidak terlihat. Ini adalah ke-Dia-an (al-huwiyyah) yang dimiliki-Nya sehingga Dia menyebut diri-Nya dengan “Dia” (huwa). Allah adalah Dia terus-menerus selama-lamanya..maka apabila kesiapan untuk Qalb sesuai dengan itu, tajallī syuhūdī menampakan diri kepadanya dalam alam yang dapat dilhat. Maka Qalb itu melihat Allah dalam bentuk yang ditampakkan-Nya kepada Qalb tersebut. Dia (allah) memberikan kesiapan kepada Qalb sesuai dengan firman-Nya,
“Dia memberi setiap sesuatu bentuk kejadiannya.[69] Maka dari diri-Nya ia mengetahui diri-Nya, dirinya sendiri tidak lain dari ke-Dia-an al-Hāqq, begitu pula tidak sesuatu-pun pada alam yang ada ini yang bukan ke-Dia-an al-Hāqq, Dia adalah ke-Dia-an itu sendiri.
Sesuai dengan hadits yang mengatakan bahwa:
“barang siapa yang mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhannya, (man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu).
2.    Hubungan antara al-Haqq dengan al-Khalq
Melihat kembali konsep tentang nasût dan lahût al-Hallaj, yaitu bahwa Tuhan mempunyai dua sifat yang berbeda (sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan), yang hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.Sifat ketuhanan dalam konsep al-Hallaj hanya hadir pada manusia, tidak pada makhluk-makhluk lain, dan sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan (dualitas), sementara dalam konsep Ibn `Arabī lahût dan nasût diganti dengan al-Haqq dan al-khalq, dimana tidak ada lagi dualitas kecuali dualitas nisbi; yang ada hanya ke-Esaan(monism).[70]
Monisme Ibn `Arabī merupakan kombinasi dari tiga teori pendahulunya yaitu: teori Ash`ari tentang subtansi Universal, teori al-Hallaj tentang lahût dan nasût, dan teori Neo-Platonik (Plotinus) tentang yang satu. Hanya ada satu realitas dalam wujûd yang dipandang dari dua aspek yang berbeda, karena tidak ada dalam wujûd kecuali satu realitas, dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut yang benar, pelaku dan pencipta. Dipandang dari aspek lain Ia kita sebut ciptaan, penerima dan makhluk. Tetapi al-Haqq dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud yang satu atau realitas yang satu. Baik al-Haqq maupun al-khalq dapat di pandang dari dua aspek. Di dalam Fusûs al-Hikam Ibn `Arabī berkata:
tidakkah anda memahami bahwa al-Haqq tampak melalui sifat-sifat segala sesuatu yang baharu, ketika Dia memberitakan diri-Nya dengan demikian bahkan melalui sifatsifat kekurangan dan sifat-sifat kesalahan atau celaan?Tidakkah anda memahami bahwa al-makhluq tampak melalui sifat-sifat al-Haqq dari awalnya sampai akhirnya, semuanya itu adalah benar baginya sebagaimana sifat-sifat segala sesuatu yang baharu adalah benar bagi al-Haqq[71]
Allah, jika dilihat dari satu aspek, Dia adalah satu, tetapi bila dilihat dari aspek yang lain Dia adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan.Apa yang dinamakan Allah jika dilihat dari segi zat-Nya adalah ke-Esa-an, tetapi Dia jika dilihat dari segi penampakan-Nya dalam segala yang ada (mawjûdat) dengan bentuk nama-nama adalah keanekaan. Inilah yang dinamakan kull yaitu Yang Esa yang mencangkup keanekaan.
Menjelaskan hubungan antara al-Haqq denga al-khalq, Ibn `Arabī menggunakan beberapa symbol diantaranya:
1.    Symbol makanan (al-ghidzā) dan yang memakan (almutaghadzdzī), “tatkala Tuhan menghendaki rezki, bagi-Nya keseluruhan alam adalah makanan-Nya, jika Tuhan menghendaki rezki, bagi kita Dia adalah makanan kita seperti yang Dia kehendaki.”, “maka anda (hamba) adalah makanan-Nya dengan hukum-hukum dan Dia al-Haqq adalah makanan anda dengan wujûd”.
Al-Haqq memakan alkhalq dari segi bahwa tidak ada penampakan bagi al-Haqq kecuali dalam bentuk kreatif perbuatan makanan dengan sifat-sifatnya. Al-khalq adalah tempat penampakan (mazhar) dan yang tampak (az-Zāhir) melaluinya adalah al-Haqq.[72] Yang satu meresap ke dalam yang banyak laksana makanan yang meresap ke dalam tubuh, yang banyak meresap pada yang satu, sebagaimana warna meresap pada subtansi, Tuhan adalah makanan spiritual yang memberi hidup kita, karena Ia adalah esensi kita.[73]
2.    Symbol cermin, al-khalq adalah cermin bagi al-Haqq dan al-Haqq adalah cermin bagi al-khalq. Karena Tuhan ingin melihat diri-Nya maka ia menciptakan alam sebagai cermin-Nya, seperti yang ia nyatakan dalam karyanya Fusûs:“ al-Haqq ingin melihat entitas dari nama-nama terindah-Nya yang jumlahnya tidak terbatas, dan jika anda senang, anda dapat mengatakan bahwa Dia ingin melihat entitas diri-Nya sendiri, Dia menciptakan keseluruhan alam sebagai wujud kekaburan yang tidak berbentuk tanpa ruh padanya, karena itu ia laksana cermin yang tidak jelas, maka perintah Tuhan mengharuskan kebeningan cermin alam, dan Adam adalah entitas kebeningan cermin alam itu dan ruh bentuk itu”[74].
Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk melihat diri-Nya, juga untuk memperlihatkan diri-Nya dan juga ingin memprkenalkan diri-Nya lewat alam, karena ia adalah harta simpanan yang tak dikenal, dan Dia rindu untuk dikenal, dan Dia ciptakan makhluk dan Dia perkenalkan diri-Nya kepada makhluk sehingga mereka (makhluk)-pun mengenal-Nya.[75]
”Aku adalah harta simpanan yang terpendam, Aku tidak dikenal, maka aku ingin (hubb, rindu) dikenal—kuntu kanzan lam u’raf fa ahbabtu ‘an ‘urafa) “maka para Nabi as, adalah cermin yang paling sempurna diantara anda (hamba), kemudian seharusnya anda mengetahui bahwa sebagian para Nabi melebihi sebagian yang lain. Maka mesti cermin-cermin para Nabi itu satu sama lain saling melebihi, dan cermin yang paling utama, sempurna dan kokoh adalah cermin Muhammad Saw.
Maka al-Haqq menampakan diri-Nya pada cermin Muhammad itu dengan penampakan diri-Nya yang paling sempurna, maka berusahalah untuk melihat al-Haqq yang menampakan diriNya pada cermin Muhammad Saw, supaya al-Haqq tercetak pada cermin anda, lalu anda akan melihat al-Haqq pada cermin Muhammad dengan penglihatan Muhammad dan anda tidak akan melihat-Nya dalam bentuk anda”. Karena alam merupakan tempat penampakan diri al-Haqq maka manusia dapat melihat al-Haqq melalui alam, akan tetapi yang ia lihat bukanlah al-Haqq itu sendiri melainkan bentuknya sendiri dalam cermin al-Haqq. Alam dan apa yang ada di dalamnya adalah tanda-tanda al-Haqq, al-Haqq dapat diketahui melalui alam, tanpa alam al-Haqq tidak dapat diketahui.[76]
Sesungguhnya al-Haqq adalah cermin bagi alam, maka mereka tidak melihat dalam cermin itu selain bentuk-bentuk mereka sendiri, dan mereka itu dalam bentuk-bentuk mereka bertingkat-tingkat.[77] Maka Dia (al-Haqq) adalah cermin bagi anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda adalah cermin bagi-Nya ketika Dia melihat namanama-Nya dan penampakan sifat-sifat dari nama-nama itu, yang tidak lain dari diri-Nya sendiri.[78] Al-Haqq dan al-khalq, keduanya adalah subyek dan juga obyek secara serentak, keduanya adalah satu dan mempunyai peran yang sama secar timbal balik, dan tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain, akan tetapi al-Haqq mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-khalq mempunyai wujud dan peran
yang relative.[79]
3.    Symbol matahari dan cahaya, dan juga symbol pelangi, yakni symbol ini melukiskan bahwa cahaya matahri seperti nyala api lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala, mata kita tertipu karena sebenarnya nyala api muncul dan lenyap, setiap ada nyala yang baru, yang kemudian hilang dan di susul oleh nyala api yang lain pula, begitu seterusnya. Seprti halnya alam, wujudnya dating dan menghilang, menjadi dan hancur, secara terus-menerus. Karena al-muhdatsat dengan berbagai bentuk tidak mempunyai wujud, yaitu wujud hakiki, karena satu- satunyawujud hanyalah wujud al-Haqq.[80]
4.    Symbol dari tempat (vessels) dan tempat kembli, ini merupakan adanya dualitas dari wujud. Yang satu adalah sumber tempat muncul dan tempat kembalinya yang banyak, dan yang banyak itu bagi yang satu seperti sebuah tempat di dalam dimana esensi-Nya berada (subsist).[81]

3.    Konsep Tanzīh (Transendensi) dan Tasybīh (Immanensi)
“Tidak ada sesuatu-pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha mendengar, Maha Melihat”,[82]
Ibn `Arabī memberikan dua penafsiran pada ayat ini yakni “Laysa ka misl hī syay” menyatakan tanzīh, dan bagian kedua “wa huwa alsamī’al-basīr” menyatakan tasybīh. “Allah ta’alā berfirman :Laysa ka mitsli hī syay, maka dengan demikian ia menyatakan tanzīh-Nya;wa huwa al-samī’ al-basīr, maka dengan demikian Dia menyatakan tasybīh-Nya. Dia berfirman: Laysa ka mitsli hī syay, maka dengan demikian Dia menyatakan tasybīh dan dualitas-Nya; wa huwa al-samī’ al-basīr, maka dengan demikian Dia menyatakan tanzīh dan individualitas-Nya”[83]
“Dia dan bukan Dia”, karena Dia adalah yang Nampak maka itu adalah Dia, tetapi perbedaan antara yang mawjudat ditangkap oleh akal dan indera karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas maka itu bukan Dia”[84] Tanzīh bisa diartikan ketakterbandingan, trandensensi,
ketakterjangkauan atau mungkin keterjauhan, Tanzīh menyatakan bahwa Allah melampaui segala kualitas dan sifat-sifat makhluk-Nya, kata Tanzīh berasal dari kata kerja nazzaha yang berarti menjaga sesuatu agar tidak bercampur dengan sesuatu yang lain[85], atau juga berarti menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang tidak murni, yang oleh mutakallimin digunakan untuk menyatakan bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan yaitu semua sifat yang serupa dengan sifat-sifat makhluk meskipun dalam kadar yang paling kecil.
Adapun tasybīh berasal dari kata syabbahā yang berarti menyerupakan atau menganggap sesuatu serupa dengan yang lain, yang dalam ilmu kalam berarti menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya.[86] Dilihat dari segi zat-Nya Tuhan adalah munazzāh, bersih dari dan tidak dapat diserupakan dengan alam dan ketidaksempurnaa-Nya jauh dari dan tinggi diatas segala sifat dan segala keterbatasan dan keterikatan, Tuhan tidak dapat di ketahui, tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan. Tanzīh menunjukan aspek kemutlakan “itlaq” pada Tuhan, sedang tasybīh menunjukan aaspek keterbatasan (taqayyud) pada-Nya.“Dia adalah transenden, satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya adalah “kemutlakan”. Dalam Futūhāt Ia berkata “tanzīh adalah mendeskripsikan bahwa al-Haqq tidak mempunyai hubungan dengan segala sifat-sifat sesuatu yang baru (diciptakan).[87]
Dilihat dari segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dengan bentuk-bentuk alam, Tuhan adalah musyabbah, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya pada tingkat tertentu. Tuhan adalah yang menampakan diri, Dia memiliki keserupaan dengan lokus penempakan diri-Nya yaitu alam. al-Haqq mempunyai sifat-sifat al-muhdatsat dan makhluk mempunyai sifat-sifat al-Haqq, jika al-Haqq adalah yang tampak maka al-khalq tersembunyi di dalam-Nya dan al-khalq merupakan semua nama al-Haqq,
pendengara-Nya, penglihatan-Nya, dan semua hubungan-Nya dan pengetahuan-Nya.
Sebaliknya jika al-khalq yang tampak maka al-Haqq tersembunyi di dalamnya dan karena itu al-Haqq menjadi pendengaran al-khalq, penglihatannya, tanganya, kakinya dan semua dayanya. Dikatakan sebelumnya bahwa penafsiran Ibn `Arabī sejalan dengan prinsip al-jam’bayn al-addad (coincidentia oppositorum) yang memadukan kontradiksi-kontradiksi antara yang satu dan yang banyak, yang lahir dan yang bathin. Ibn`Arabī mengartikan al-Quran dengan arti “penyatuan”, pemaduan atau penggabungan yakni penyatuan antara tanzīh dan tasybīh. Maka “Dia (al-Haqq) terbatas oleh batasan yang terbatas dengan sesuatu tidak dibatasi kecuali ia adalah batasan al-Haqq. Dalam Fusûs Ia berkata:“al-Haqq terbatas oleh setiap batasan”[88]  yakni berarti bahwa definisi mencangkup definisi-definisi segala sesuatu, akan tetapi definisi al-Haqqyang sempurna mustahil dicapai karena keterbatasan kemampuan
manusia mengatahui bentuk-bentuknya yang tidak terbatas secara detail. Ibn `Arabī dalam syairnya:
“jika engkau berkata tanzīh, engkau mengikat-Nya, Jika engkau hanya berkata dengan tasybīh, engkau membatasi-Nya, Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau benar dan engkau adalah Imam dalam (beberapa) pengetahuanpengetahuan, Barangsiapa yang berkata dengan dualitas Tuhan dan alam adalah musyrik, Dan barangsiapa yang berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah Muwahhid (mengEsakan). Berhati-hatilah terhadap tasybīh jika engkau mengakui dualitas, Dan berhati-hatilah dengan tanzīh jika engkau mengakui mufarridan Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihat-Nya dalam ‘ain segala sesuatu, baik yang tidak terbatas maupun yang terbatas”.[89]

F.    Pengaruh Tasawuf Ibn Arabi
Tasawuf Ibn ‘Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di Dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Mu`yid al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Q(K)âsyânî (w. 730/1330), Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah 787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî (w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.
Melalui sufi dari Gujarat, India, Yunasril Ali (2002: 50) mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029), ajaran tasawuf Ibn’Arabî menyebar di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya.
Rupanya pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah mazhab independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya, atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Pendek kata, mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.
Filsafat Shadra merupakan “perpaduan” dari berbagai aliran pemikiran seperti aliran filsafat Ibn Sina, kalam Syi’ah, dan tasawuf Ibn ‘Arabi. Mengenai hal ini, seorang periset Prancis mengatakan,
“If we regard him as a Sinean, we have to add that he is, actually, Illuminationist as well; at the same time, he is full of Ibn ‘Arabi’s thought. Mulla Sadrâ is one of the most important Iranian Muslim Neo-Platonists … and that same time, he is a Shî’î thinker.”[90]

G.   Kesimpulan Sementara
Pertama, Ibn Arabi yang mempunyai Nama lengkap Ibn ’Arabi adalah Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ’Abdillah al-Ta’iy al-Hatimy, lebih dikenal dengan sebutan Ibn ’Arabi. Ada yang menyebutnya dengan nama Abu Bakr Muhammad ibn ’Ali Muhy al-Din al-Hatimi al-Ta’iy al-Andalusi, dan oleh para pengikutnya digelari dengan al-Syaikh al-Akbar. Di Spanyol ia juga dipanggil dengan Ibn Suraka, tetapi di Timur, biasanya, ia dipanggil tanpa artikel (al-) untuk membedakannya dari al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-’Arabi. Ia dilahirkan di Murcia, Spanyol, pada tanggal 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1165 M., dari keluarga dermawan dan ahli zuhud yang saleh dan memiliki banyak karamah.
Kedua, sumber-sumber yang mempengaruhi pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan sumber-sumber non-Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu: Qur’an dan Hadist-hadist Nabi, Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Yazid dan sebagainya, Asketik-asketik muslim, Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan Mu’tazilah, Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa), Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina, dan Isyraqiyah.
Ketiga, tasawuf secara definitif ialah, suatu metode pengetahuan yang digunakan untuk menyingkap sebuah pengetahuan secara utuh dan sistematis. Motif penelaah atas definisi diatas disandarkan pada dua ruang satu ruang fenomena dan ruang nomena. Dimana satu sama lain saling mempunyai hubungan yang sangat lekat untuk mencapai sebuah bentuk/materi yang bersifat hasil. (Ijtihad penelaah).
Keempat, Kata Wujūd dalam sistem Ibn `Arabī digunakan untuk menyebut wujud Tuhan, yaitu satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nyayang berarti apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud, akan tetapi pada waktu yang lain Ibn `Arabī juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk pada selain Tuhan. Tetapi Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya.
Kelima, Konsep sentral yang berkaitan dengan paham Wahdāt al-Wujūd Ibn `Arabī ialah konsep Tajallī (penampakan diri) al-Haqq, konsep Tajallī adalah dasar pandangan dan merupakan keseluruhan filsafat Ibn `Arabī, bahkan Tajallī adalah tiang filsafatnya tentang Wahdāt al-Wujūd karena ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari yang satu tanpa akibat, yang satu itu menjadi yang banyak.
Tajallī diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “self disclosure” (penyingkapan diri, pembukaan diri), “selfrevelation” (pembukaan diri, pernyataan diri), “selfmanifestation” (penampakan diri) dan theophany (penampakan Tuhan), Tajallī berarti manifestasi, penampakan, penyingkapan, ketersingkapan, theophany, epifani, ketampakan, pembukaan, keterbukaan, pemancaran, penyinaran atau pernyataan, sebuah pengungkapan dari al-wujūd yang misterius , tak dikenal, yakni pengungkapan Tuhan pada makhluk-Nya agar Dia dikenali oleh sang makhluk, yang digunakan oleh Ibn `Arabī untuk Tajallī adalah “fayd” (emanasi, pemancaran, pelimpahan), “zuhūr” (pemunculan, penampakan, pelahiran), “tanazzul” (penurunan,turunya) dan “fath” (pembukan).
Keenam, pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah mazhab independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya, atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Pendek kata, mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.

H.   Daftar Pustaka
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.
Abd. Haq Ansari, Muhamad. Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1, Jakarta; Grafindo Persada, 1997.
Arabi, Ibn.  Relung Cahaya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988.
Abdullah dkk, Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002.
Chittick, William C. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi (Kreativitas Imajinasi dan persoalan diversitas Agama, cet.1, Surabaya, 2001.
________________. The Sufi Path Of Knowledge (Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu), Yogyakarta; Penerbit Qalam, 2001.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1, Yogyakarta; el-Kis, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997.
Faqih Sutan, Nurasiah. Meraih Hakikat Melalui Syariat Telaah Pemikiran Syeh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006.
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf 1 Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifat Sufi,Jakarta. Kalam Mulia, 2009.
Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Pujiono, Abd.Hamid. Manusia Menyatu Dengan Tuha, Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, Surabaya. Target Press Surabaya, 2003.
Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta; PT Renika Cipta. 2004.
Yunus, Muhamad. Kamus Arab Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1990.
Zaini, M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, Surabaya; Risalah Gusti. 2000.





[1] Mahasiswa Pasca Sarjana Kosentrasi Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Semester II. Makalah ini dibuat pada mata kuliah Tasawuf: Studi Perbandingan Konsep yang diampu oleh syaikh Akbar Dr. Syaifan Nur M.A. Guru Besar Tasawuf Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga.
[2] Aboebakar Atjeh, Ibn ‘Arabi: Tokoh Tasawwuf dan Filsafat Agama (Jakarta: Tintamas, 1969), hlm. 7.
[3]  H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974), hlm.146.
[4] H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974), hlm.146.
[5]  Ibn ‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Yaqdziyah al-‘Arabiyah, 1367 H.), hlm. 1.
[6] Muhammad Ghallab, al-Ma’rifah ‘inda Mufakkiry al-Muslimin (T.kt.: Dar al-Mishriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.th.), hlm. 340.
[7] Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom (Fusus al-Hikam), translated by R.W.J. Austin (New York: Pauli Press, 1980), hlm.1.
[8]  Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, translated by Ralp Menheim (Princeton: Princeton University Press, 1961) hlm. 41.
[9] William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (New York; State University 0f New York Press, 1989), hlm. X.
[10] Moulvi S.A.Q. Husaini, Ibn ‘Arabi: The Great Muslim Mystic and Thinker (Lahore: Muhammad Ashraf. 1931), hlm. 2.
[11] Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam fi al-Masyriq wa al-Maghrib (Mesir: Najib Muntaza, 1927), hlm. 293-294.
[12]  ‘Abbas Fadhil Asyu’da, al-Aqlam, no.12, 1385 H./1965 M., hlm. 153.
[13]  William C. Chittick, op. cit., hlm. xi.
[14] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, juz: IV (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, t.th.), hlm. 555.
[15] Sayyed Husein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard University Press, 1969), hlm. 92.
[16] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, op.cit., hlm. 154-155.
[17] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, op.cit., hlm. 154-155.
[18] Ibn ‘Arabi, Tafsir, op.cit., hlm. dal.
[19] Muhammad Luthfi Jum’ah, op. cit., hlm. 921.
[20] Muhammad Tsabit al-Fandi (et.al), Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, juz: I (Kairo: Intisyarat Jihan,1933), hlm. 232.
[21]  Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, juz: IV, op. cit., hlm. 560.
[22] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah: Majma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain, t.th.), hlm. 454.
[23]  Aboebakar Atjeh, op. cit., hlm. 22.
[24] Muhammad Luthfi Jum’ah, op. cit., hlm. 292.
[25] Futuhat al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi, jilid 1, hal 709
[26] Abd.Hamid Pujiono. Manusia Menyatu Dengan Tuha, Telaah Tentang Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, (Surabaya. Target Press Surabay, 2003). 10.
 [27] Mahjuddin. Akhlak Tasawuf 1 Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifat Sufi,(Jakarta. Kalam Mulia, 2009). 67.
[28] Kautsar Azhari Noer, Ibn `Arabī;Wahdātal-Wujūd …..h.35.
[29] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015), h. 19
[30] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 77
[31] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:Rajawali Press,2017), h. 96-97
[32] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat…… h. 136
[33] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam:Sebuah Peta Kronologis, (Terj:Zaimul Am, Bandung:Mizan, 2001), H.85.
[34] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat…… H.86.
[35] Kautsar Azhari Noer, Ibn `Arabī.;wahdāt al-wujûd …..H.34-36.
[36] Kautsar Azhari Noer, ,Ibn `Arabī.;wahdāt al-wujûd …...H.35.
[37] Imam Al-Ghazali, Misykāt Al-Anwār, (Terj:Muhammad Bagir, Bandung:Mizan, 1984), H.39.
[38]  Kautsar Azhari Noer, ,Ibn `Arabī.;wahdāt al-wujûd …..h.40.
[39] Yunasril, Ali, Manusia Citra Ilahi;Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn `Arabī Oleh Al-Jillī(Jakarta: Paramadina, 1997), h.20.
[40] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi tasawwūf: III, (Bandung: Angkasa, 2008), cet.I, h.1437. 27
[41] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi……, jilid:III, h.1438.
[42] Kautsar Azhari Noer, Ibn`Arabī;……h.42.
[43] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Terj:Supardi Djoko Damono Dkk, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), h.275.
[44] A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn `Arabī, (Terj:Sjahrir Mawi, Nandi Rahman, Jakarta:Gaya Media Pratama, 1989), h.13.
[45] Kautsar Azhari Noer, Ibn `Arabī…..h.43.
[46] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn `Arabī: Kreativitas Imajinasi Dan Persoalan Diversitas Agama, (Terj:Achmad Syahid, Surabaya:Risalah Gusti, 2001), H.28.
[47] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi ……, jilid:II, h.524.
[48] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h. 146
[49] Ibrahim Madkour, Aliaran dan Teori dalam Islam, (Terj, Yudia Wahyudi Asmia, Yogjakarta:Bumi Aksara, 2004), h. 75
[50] Ibrahim Madkour, Aliaran dan Teori……, h. 75
[51] Al-Qashāsh (28):88.
[52] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h. 43.
[53] A E Afifi, Filsafat Mistis…..h.13.
[54] A E Afifi, Filsafat Mistis…..h.25.
[55] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.46.
[56] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, II:8.26. (lihat juga Kautsar Azhari, h.57)

[58] Muhammad al-Fayyadl, Teologi Negative Ibn `Arabī:Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta:Lkis, 2012), h.169.
[59] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, I:49.
[60] Qs. Al-Isrā’:20.
[61] William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.262.
[62] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt……, vol.I:287.
[63] Qs. Al-Ikhlās, I-IV.
[64] William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.282..
[65] William, C. Chittick, The Sufi Path….. h.286.
[66] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, II:145.
[67] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi ……, jilid:II, h.528.
[68] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.63.
[69] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, I:120..
[70] A E Afifi, Filsafat Mistis…..h.29.
[71] Dalam Kautsar Azhari Noer, Ibn`Arabī:Wahdat al-Wujûddalam perdebatan, (Jakarta:Paramadina,1995, h.50).
[72]  Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.51.
[73] A E Afifi, Filsafat Mistis…..h.33.
[74] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs ……, I:48-49. (lihat juga, Kautsar Azhari, h.54).
[75] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt al-makiyyah, ed. Ahmad Syamsuddin, (Beirut:Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, cet. II, 2006) Vol:III h.167,Vol:II h.232;399. 56Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt, ..Vol:III, h.466.
[76] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt…. Vol:IV, h.167.
[77] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt ….Vol:IV, h.42.
[78] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs al-Hikam, (Beirut:Dar al-Kutubal-`Ilmiyyah, cet. II, 2006)I:h.62.
[79] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.57.
[80] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.53.
[81] A E Afifi, Filsafat Mistis…..h.33.
[82] Qs.Asy-Syūrā:11.
[83] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Fusûs…..., I:70.
[84] Futūhāt, II, h.160.
[85] Kautsar Azhari Noer ,Ibn `Arabī …..h.87.
[86] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi ……, jilid:III, h.1303.
[87] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī, Futūhāt……, vol.II:672.
[88] Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī,Fusûs……, vol.II:34
[89]  Muhyi al-Dīn Ibn `Arabī,Fusûs……, vol.I:70.
[90] Seyyed Hossein Nasr. Three Muslim Sages. Delmar NY, Caravan Books, 1975, hal.92. Dalam edisi bahasa Arab buku ini diberi judul Tsalatsah Hukama Muslim, Penerbit Dar al-Nahar, Beirut, 1971.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERITA DAN ANALISA TASAWUF IBN ARABI"

Post a Comment