Thomas S. Kuhn[1]
dilahirkan di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir
dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock
Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada
tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Khun belajar sebagai fisikawan namun baru
menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun
1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow
sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah(dan
filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada
pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan
Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di
departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di
berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The
Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964
dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun
1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini
hingga 1991(Muslih, 2004).
Pada tahun 1994 dia
mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu
meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial
tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge
Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat
banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi
sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim
fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain
(Muslih, 2004).
Karya Kuhn cukup
banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari filsuf
ilmu dan ilmuan adalah The Structure of Scientific Revolution,sebuah
buku yang terbit pada tahun 1962, dan direkomendasikan sebagai bahan bacaan
dalam kursus dan pengajaran berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi,
riset dan sejarah serta filsafat sains.
2. Pengertian Paradigma
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan bahasa
Perancis paradigme, ia berasal dari bahasa Latin ”para” dan deigma”.
Para berarti disisi,
disamping dan deigma berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam
bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan
sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi
model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang
menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding
principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir,
model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi,
paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel-variabel
idenya.[2]
Menurut Chalmers (1983) Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan
asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan
suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode
serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, cirri
serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam
“The structure of Science Revolution”,
Kuhn (1989) menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruhan konstelasi
kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah
tertentu. Di pihak lain paradigma
menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang
kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat
menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan
permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa.
Paradigma menurut Muslih
(2004) merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak
tertulis. Secara singkat pengertian paradigma adalah Keseluruhan
konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah
dalam memandang sesuatu (fenomena),
paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa
yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
jawaban yang diperoleh (Kuhn, 1989).
Pengertian paradigma menurut kamus
filsafat dalam Merymaswarita (2009) adalah : 1. Cara memandang sesuatu. 2. Model, pola, ideal dalam ilmu
pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan. 3. Totalitas
premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan
suatu study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap
tertentu. 4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan
problem-problem riset.
Dari sekian istilah yang
dikutif diatas penulis berusaha untuk memberi simpulan sementara bahwa pengertian paradigma adalah suatu pandang atau
kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala diinterpretasikan untuk
dipahami dan membantu merumuskan tentang apa yang harus di pelajari,
persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam menginterprestasikan
jawaban yang diperoleh terhadap suatu fenomena.
3. Latar Belakang Kuhn tentang Ilmu[3]
Latar belakang
pemikiran Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya, merupakan respon
terhadap adanya pandangan Positivisme
dan Popper. Positivisme menganggap pengetahuan
mengenai fakta objektif merupakan pengetahuan yang sahih, mereka mengklaim
bahwa kekacauan kaum idealis dengan berbagai pendekatan metafisika yang
digunakan dalam melihat realitas, karena bahasa yang mereka pakai secara
esensial tanpa makna, dan secara umum mereka berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman dan proses verifikasi dan konfirmasi – eksperimen
dari bahasa ilmiah meruapakn langkah dan proses perkembangan
ilmu. Sementara itu popper
berpendapat bahwa proses perkembangan ilmu menurutnya harus berkemungkinan
mengandung salah dengan proses yang disebut falsifikasi (proses
eksperimental untuk membuktikan salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori).
Kuhn menolak
pandangan di atas, Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah,
dalam arti sejarah ilmu. Rekaman sejarah ilmu merupakan titik awal pengembangan
ilmu karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan
antara pengetahuan dengan mitos dan takhayul yang
berkembang. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan
mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi. Hal-hal baru baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting
bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya. Perbedaan pendapat Kuhn dengan Popper
adalah Kuhn lebih mengekplorasi tema-tema yang lebih besar misalnyanya hakekat
ilmu baik dalam prakteknya yang nyata maupun dalam analisis kongkret dan
empiris. Jika Popper menggunakan sejarah ilmu untuk mempertahankan pendapatnya,
Kuhn justru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya.
Dari pendapat Kuhn
tersebut bisa dikatakan bahwa filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu,
sehingga seorang ilmuan dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang
sesungguhnya. Thomas Samuel Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika,
tetapi kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat tulisannya, The Structure
of Scientific Revolutions, ia menjadi seorang penganjur yang gigih yang
berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada
sejarah ilmu. Sebagai penulis sejarah dan sosiolog ilmu kuhn mendekati ilmu
secara eksternal. Kuhn dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, justru berpendapat
bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan
upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori atau sistem,
melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah.
Kuhn memakai istilah
paradigma untuk mengambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan
teka-teki di dalam ilmu. Fokus pemikiran Kuhn menyatakan bahwa perkembangan
sains berlaku pada apa yang disebut paradigm ilmu. Menurut Kuhn paradigm ilmu
adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memandang dan memahami alam,
yang telah digunakan sebagai sekelompok ilmuan sebagai pandangan dunianya.
Paradigma ilmu berfungsi seabagai lensa yang melaluinya para ilmuan dapat
mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan
jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah – masalah tersebut.
Dari analisis
pendapat Kuhn di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa Sains lebih dicirikan
oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa
diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu
tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem,
tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah, sehingga kemajuan ilmiah pertama-tama
bersifat revolusioner dan bukan kumulatif. Kuhn menamakan sekumpulan ilmuan
yang telah memiliki pandangan bersama sebagai suatu komunitas ilmiah. Suatu
komunitas ilmiah memiliki suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki
kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan.
Dari pendapat Kuhn
diatas, maka bisa dikatakan bahwa pergeseran paradigma merupakan suatu istilah
untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai
filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya
letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik
pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya
menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban
manusia ke arah suatu kemajuan.
Dengan demikian
paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah,
Dalam komunitas tersebut mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami
alam, sehingga menurut Kuhn paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen
yang dilakukan oleh para ilmuawan, tanpa paradigma tertentu para ilmuawan tidak
bisa mengumpulkan fakta-fakta, dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma
tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu
tampak seakan sama-sama relevan, akibatnya pengumpulan fakta hamper semuanya
merupakan aktivitas acak.
Menurut Larry Laudan
ada beberapa bagian besar dari pemikiran paradigma Kuhn, diantaranya[4]:
a)
Paradigma memberikan kerangka konseptual
untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan obyek alamiah;
b)
Paradigma menspesifikasikan metoda, teknik, dan alat
yang layak di dalam inkuiri untuk mempelajari obyek pada wilayah aplikasi yang
relevan;
c)
Penganut paradigma berbeda akan
mendukung perangkat tujuan dan ideal yang berbeda.
Sehingga
diperoleh konklusi bahwa perangkat ilmu paradigma Kuhn ialah:[5]
Ø Melihat teori sebagai
struktur terorganisasi;
Ø Struktur teori
berbentuk paradigma;
Ø Teori bisa mengalami
krisis sehingga dapat saja diganti oleh teori lawannya.
4. Tahapan-Tahapan Pergeseran paradigm menurut Khun
Gambaran Kuhn tentang cara ilmu berkembang dapat diringkas dalam
suatu skema yang open-ended, artinya sebuah akhir yang selalu terbuka untuk
diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut. Skema adalah sebagai
berikut: Pra paradigma – Pra science – paradigma normal science – paradigma-
anomali- krisis revolusi- ilmu normal baru- krisis
baru (Chalmers, 1983).
1. Tahap
Pra Paradigma dan Pra Sciense
Yudi (2010) mengatakan bahwa pada tahap ini
aktivitas-aktivitas ilmiah dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir
sebab tidak ada persetujuan tentang subject matter, problem-problem dan
prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu
pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori
(fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung
satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan
modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri
(Merymaswarita, 2009).
Sehingga sejumlah teori boleh banyak digunakan pada pelaksanaannya
di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan
membenarkan pendekatannya sendiri, hal semacam ini berlangsung selama kurun
waktu tertentu sampai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang
dianut ilmuan tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju
normal science mulai ditemukan (Yudi, 2010).
Contoh
pada fase ini adalah adanya persaingan dari ilmuan untuk mempertahankan
teorinya masing-masing dan mendukung teori yang lain. Seperti teori epicurus,
teori aristoteles, atau teori plato. Satu kelompok menggangap cahaya berasal
dari satu partikel-partikel yang keluar dari benda yang berwujud, bagi ilmuan
yang lain mengatakan cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang
diantara benda itu denganmata, yang ahli lain lagi menerangkan bahwa cahaya
sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata. Karena dari
masing-masing ilmuan tidak ada kesepakatan tentang konsep cahaya itu sendiri
maka, paradigma tentang cahaya tidak bisa disepakati oleh komunitas ilmiah,
selama belum adanya kesepakatan maka tidak akan terjadi normal sains (Kuhn, 1989).
2. Tahap Paradigma Normal Science
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali
pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada suatu
paradigma tunggal yang telah dianut oleh suatu masyarakat ilmiah, suatu paradigma
yang terdiri asumsi-asumsi teoritis yang umum dari hukum-hukum serta
teknik-teknik untuk penerapannya diterima oleh para anggota komunitas ilmiah,
keadaan seperti inilah yang dikatakan dalam tahapan paradigma normal sains
(Chalmers, 1983).
Para ilmuan akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha
mempertanggung-jawabkan dan menjabarkan perilaku beberapa aspek yang relevan
dengan dunia nyata ini, sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen.
Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Principia dan
Opticks karya Newton, Electricity karya Franklin, Chemistry karya Lavoisier dan
Geology karya Lyell, pencapaian mereka cukup baru belum pernah ada
sebelumnya sehingga dapat menghindarkan kelompok penganut yang kekal dari
mempersaingkan cara melakukan kegiatan ilmia (Kuhn, 1989).
Ilmuan-ilmuan yang risetnya didasarkan atas paradigma
bersama terikat pada kaidah-kaidah dan standar-standar praktek ilmiah yang
sama. Contoh konsep yang disepakati pada tahapan normal sains ini
adalah pada abad ke-18 paradigma disajikan tentang Optik karya
Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus
yang diterima oleh komunitas ilmiah pada zaman tersebut(Kuhn, 1989).
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan pada tahap
ini tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di
antara para ilmuan, sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya.
Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan
falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini
menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science (Chalmers,
1983).
Menurut muslih (2004), normal science melibatkan usaha terperinci
dan terorganisasi untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki
keseimbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science,
baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis
meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penerapan
status hokum Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi
dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang
dapat dipercaya. Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi
penelitian sain faktual, yaitu
1.
Menentukan
fakta yang penting.
2.
Menyesuaikan
fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata
ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan
menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; ( seringkali paradigma itu
secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu
memecahkan masalah tersebut ).
3.
Mengartikulasikan
teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan
memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja
(Yudi, 2010)
3. Paradigma
Anomali
Sains yang normal, yakni kegiatan pemecahan masalah yang baru
saja kita teliti, adalah kegiatan yang sangat kumulatif, benar-benar
berhasil dalam tujuannya, perluasan secara tetap ruang lingkup dan persisi
pengetahuan sains. Sains yang normal tidak ditujukan kepada kebaruan-kebaruan
fakta atau teori dan, jika berhasil tidak menemukan hal-hal tersebut. Jika
karakteristik sains ini akan diselaraskan dengan apa yang telah dikatakan,
maka riset yang mengikuti suatu paradigma harus merupakan cara yang sangat
efektif untuk mendorong perubahan paradigma (Kuhn, 1989).
Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka
kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan
paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya
dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan
(anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigm (Chalmer, 1983)
Jadi bisa disimpulkan bahwa apabila dalam pemecahan teka-teki dan masalah
science normal jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali)
yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis.
Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat
dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar
menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
4. Krisis
Revolusi
Sasaran normal science adalah memecahkan teka-teki science dan bukan
menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, yang diikuti dengan
munculnya teori-teori baru. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan
muncul gejala-gejala baru yang belum terjawab oleh teori yang ada. Apabila
hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan
anomali antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, serta
anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam
keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian
terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi)
(Kuhn, 1989).
Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang
makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma
yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi
pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau
mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan
membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah
revolusi sains (Aribah M, 2010)
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana
paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang
ber-tentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari
paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola
perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains
menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan (Yudi, 2010).
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak
mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam
pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu
dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga
teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok
yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigm sebagai
akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika
di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima
oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud dengan
baik ( Syamsir, 2008)
5. Ilmu
Normal
Jika anomali yang ada dalam proses perkembangan suatu ilmu telah
bisa dipecahkan oleh ilmuan dalam komunitas ilmiah, dalam arti suatu
komunitas ilmiah telah bisa mengatasi dan menyelesaikan krisisnya dan menyusun
suatu paradigma baru maka terjadilah revolusi sains (Chalmers, 1983).
Sesudah suatu komunitas sains mengalami revolusi dengan perputaran serupa
gestalt yang menyertainya, maka kemajuan-kemajuan penyelesaian teka-teki yang
ada selama ini bisa diselesaikan, sehingga dicapailah kembali pada tahapan
normal sains yang baru yang mempunyai keadaan baru sebab gambaran yang
dihasilkan dari teki-teki tersebut juga sudah berubah. Dalam tahapan nomal
sains baru ini para komunitas ilmiah menyusun kembali suatu paradigma baru
dengan memilih nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa, dan cara
mengamati dan memahami alam ilmiahnya dengan cara baru, sehingga cara pemecahan
persoalan model lama ditinggalkan dan menuju cara pemecahan dan pemahaman
yang baru (Muslih, 2004).
Yang dimaksud Kuhn “ilmu normal” adalah kegiatan penelitian yang
secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah (scientific
achievements) dimasa lalu, yakni pencapaian-pencapaian yang komunitas atau
masyarakat ilmiah bidang tertentu pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi
landasan untuk praktek selanjutnya. Kuhn mengatakan bahwa ilmu normal memiliki
dua ciri esensial :
1.
Pencapaian
ilmiah itu cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu dari berbagai
cara lain dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya dihadapkan pada berbagai
alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah, sebagian besar pemraktek ilmu
cenderung memilih untuk mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan
ilmiah mereka.
2.
Pencapaian
itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memerlukan
penyelesaian oleh pemraktek ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu
(Yudi, 2010).
Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya dua tahap atau periode dalam
setiap ilmu, yakni periode pra-paradigmatik dan periode ilmu normal (normal
science). Pada periode pra-paradigmatik pengumpulan fakta atau kegiatan
penelitian dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat
dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima
umum. Pada tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling
bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara
umum. Dengan terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin
memasuki periode ilmu normal atau sains normal (normal science).
5.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Paradigma
merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja
dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan
paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan
yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang
tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya
revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended (
sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha
menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan
demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas
ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner
bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik
sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut
berperan, selain itu menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan
terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus
mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma
lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus
dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti
dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. Secara singkat pradigma dapat
diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan
teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena) Paradigma
Kuhn telah memberikan kontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan dan peradapan
manusia serta mampu mendobrak citra pencapaian ilmu pengetahuan yang absolt dan
tidak terikat ruang dan waktu.
6.
Daftar Pustaka
1.
Kuhn,
Thomas S.. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Terjemahan oleh:
Tjun Surjaman. (Bandung: Remdja Karya) 1989
2.
Chalmer,
A.F.. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?. Terjemahan oleh: Joesoef
Isak. (Jakarta: Hasta Mitra) 1983
3.
Muslih M. Filsafat
Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
(Yogyakarta:Belukar) 2004
4.
Suhartono
S.. Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media) 2005
5.
[1] Hidayati, dalam website blog http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380,
diakses pada hari Senin (12/12/2011), pukul 09.57 WIB
[2] Zumri Bestado Sjamsuar, “Paradigma
Manusia Surya” Membongkar Mitos Parokhialitas Sumber Daya Manusia. Hlm. 12
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia: Suatu Pengantar, Cet-4, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Hlm. 70
[4] Laurry Laudan, dalam http://www.scribd.com/doc/52234149/51/Paradigma-Kuhn-menurut-`Larry-Laudan.
Dikutip pada hari Selasa (15/04/2014), pukul 09.20 WIB
[5] Ibid.,
0 Response to "PERGESERAN PARADIGMA "
Post a Comment