FILSAFAT ISRAQIYAH SUHRAWARDI

ABSTRAKSI
Pada abad pertengahan tradisi filsafat di Barat mengalami kevakuman dan nyaris musnah. Akan tetapi, bukan lantas tradisi filsafat menjadi musnah, karena pada saat yang hampir bersamaan filsafat mendapatkan respon yang baik di belahan  dunia  Timur, yaitu  Islam.  Kira-kira sejak abad ke-8 M, dunia Islam melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya berbahasa Suryani ataupun Yunani ke dalam bahasa Arab. Masifnya penerjemahan tersebut,  tidak ayal  memicu berkembangnya pemikiran filosofis dan teologis di kalangan masyarakat Muslim,  apalagi  saat itu perselisihan teologis di kalangan  umat Muslim semakin meruncing. Sejak saat itulah kaum Muslim memiliki jenis kehidupan intelektual yang dapat disebut sebagai bercorak filosofis atau lebih dikenal dengan sebutan filsafat Islam.
Kecenderungan yang paling kuat mengakar dalam filsafat Islam adalah mistisisme. Hampir semua filosof dunia Islam terikat pada mistisisme dalam satu dan lain bentuk. Menurut John Walbridge, keterikatan filsafat dengan mistisisme dalam Islam merupakan bentuk khas filsafat Islam. Filsafat Islam menemukan bentuknya yang berbeda hanya ketika prototipe Yunaninya dibangkitkan sepenuhnya oleh gagasan-gagasan sufi.
Perpaduan menarik antara tradisi mistis dan filsafat digagas oleh Suhrawardi al-Maqtul (549-587 H/1154-1191 M),  konseptor aliran  isyraqi  atau  filsafat iluminasi.  Filsafat iluminasi  merupakan  gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran.  Lebih dari itu, filsafat iluminasi Suhrawardi ini pada beberapa sisi, khususnya metafisika  Hudhuri, sanggup bergerak lebih jauh melampaui filsafat  Peripatetik  dengan menyodorkan pembuktian dan menyingkapkan pengetahuan langsung yang sempurna. 
Kata kunci. Iluminasi, Mistis, Tasawuf, Peripatetik Yunani, Neo-Platonik, Peripatetik Islam.
  
BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Sebagai pembuka dalam menguraikan pemikiran Suhrawardhi, terlebih dahulu penulis menyampaikan pemaknaan terhadap “pemikiran” sebagaimana targetan pada matakuliah Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam adalah untuk mengetahui arus besar atau geneologi pemikiran Islam dari klasik-pertengahan hingga modern. Sementara itu, pengertian Pemikiran ialah sebuah istilah yang menunjuhkan baik pada proses kegiatan mental maupun hasilnya. Interpretasinya tergantung pada pandangan seseorang berkenaan dengan metafisika, universal (hal-hal universal), dan epistemologi.[1]
Krisis peradaban modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan bangunan keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya dan pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama. Keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan dinafikan dalam proses pengetahuan.
Tapi, benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahuan manusia? Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana penjelasannya. Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti itu bisa jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif, semacam “second opinion”.
Pada sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama kerap terjadi. “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Amstrong. Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi manusia (umat beragama), bukan Tuhan in Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep-konsepnya itu.
Bangunan keilmuan yang bercorak rasionalis jelas berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?
Dalam tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikiran logika illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang bercorak intuitif sekaligus bersifat teodesi. Dalam kerangka demikian, makalah ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat Illuminasi tentang proses keilmuan (epistemologi) yang diklaim sebagai dapat mengantar manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.
Suhrawardi dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah seorang filosof Muslim besar. Pemikiran filsafatnya dikenal dengan sebutan Filsafat Illuminasi atau al-hikmah al-isyraqiyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawaydi, filsafat Islam mencapai puncaknya.[2] Namun demikian, pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama, ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya sekitar nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku (literatur) yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau ‘History of Islamic Philosophy’.
Kedua, ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan karenanya iapun ‘duduk’ sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’ dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai, para pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari kalangan Muslim) yang mempopulerkan Suhrawardi, juga masih mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih bercorak historis.
2.      RUMSAN MASALAH
Ada pun fokus diskusi pada pertemuan diskursus tentang Pemikiran Suhrawardhi, pemateri hendak menyampaikan secara singkat mengenai banyak hal yang terdapat dalam diri Syaikh As-Suhrawardhi Al-Maqtul, adapun fokus tulisan yang hendak dipresentasikan dalam diskusrsus study Sejarah  Peradaban dan Pemikiran Islam sebagai berikut:
A.    Sketsa biografi sosok seorang Suhrawardhi
B.     Karya-karya Suhrawardhi
C.     Pemikiran Suhrawardhi Al-Maqtul
D.    Analisis Pemikiran Suhrawardhi Al-Maqtul
Adapun mengenai tinjaun penulisan ini, penelusi mengambil beberapa refrensi diantaranya, Syihab ad-din yahya as-suhrawardhi, “Hikmah Al-Isyraq”, terj, Muhammad al-Fayyadl ”Hikmah al-isy’raq: teosofi Cahaya Dan Metafisika Huduri”, (Yogyakarta:Islamika) 2003, Syihab ad-din yahya as-suhrawardhi, “Hikmah Al-Isy’raq: Al-Mualifatu Al-Falsafatu Wal Sufiyatu Ii”, (Bagdad:Beirut) 2012

BAB II
PEMBAHASAN
A.    SKETSA BIOGRAFI SOSOK SEORANG SUHRAWARDHI

Adapun beliau seorang sufi sekaligus filsuf yang fenomenal yang telah mampu menjadi mobilitas antara kajian tasawuf dan filsafat beliau[3] bernama lengkap suhrawardhi ialah ‘abu al-futuh yahya bin habasy bin ‘amirak as-suhrawardhi al-kurdi, lahir pada tahun 549 H./ 1153 M., di Suhraward,[4] sebuah kampung yang berada dikawasan jinal, Iran Barat laut dekat zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar Syaikh Al-Isysaq; Master Of Illuminasionist; Al-Hakim;Asy-Syahid;The Martyr Dan Al-Maqtul. Akan tetapi Suhrawardhi lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqtul. Penyebutan Al-Maqtul merupakan gelar akhir dimasa hidupnya.[5] Disamping Al-Maqtul yang merupakan gelarnya, ini juga menjadi pembeda atas suhrawardhi, sebab pada masa ini terdapat dua nama yang sama-sama Suhrawardhi, Mereka sama-sama tokoh tasawuf.
Telah tercata bahwa nama Suhrawardhi dalam peradaban islam ada tiga nama dan mereka semua mempunyai keahlian dan pemikiraan yang berbeda-beda. Suhrawardhi yang pertama ialah Abd Al-Qahir Abu Najib As-Suhrawardhi (W.563 H/1168 M), ia adalah murid dari Ahmad Ghazali (adik Imam Al-Ghazali)[6]  Abd Al-Qahir merupakan pemuka mistisisme yang menulis kitab ‘Adab Al-Muridin[7], tokoh kedua adalah Abu Hafs ‘Umar Shihab ad-‘din As-Suhrawardhi al-Bagdadi (1145-1234), dia adalah kemenakan dan sekaligus murid dari Abu Najib As-Suhrawardhi. Abu Nafs Umar ad-Din As-Suhrawardhi al-bagdadi adalah pengarang kitab Awarif Al-Ma’arif[8] dan dia kemudian mendapat julukan Syaikh, Asy Syuyukh, sebagai guru yang diangkat secara resmi di Bagdad, dan aktif dilapangan politik.[9]
Pada umumnya, para filsuf atau para sufi gemar menuntut ilmu dengan cara pengembaraan, merantau untuk memperdalam ilmu dan menambah pengalamannya. Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardhi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Suhrawardhi al-Maqtul melanglang buana ke Persia, Anatolia, Syiria, dan berakhir di Alepo.[10]
Tradisi jalan jauh (Musafir) tampaknya sudah menjadi ciri khas cendikiawan Muslim zaman dulu. George Maqdisi[11], misalnya, menyatakan bahwa setiap Muslim yang dikenal sebagai penuntut ilmu pastilah juga seorang perantau ulung. Dalam dunia Islam, Musafir adalah aktivitas yang bebas dilakukan oleh siapa saja dan kemana saja tanpa khawatir kehilangan jati diri sebagai anggota masyarakat. Dengan tradisi ini juga yang tampaknya mendorong Suhrawardhi melakukan pengembaraan keberbagai negeri.

Suhrawardhi di Maragha
Wilayah yang pertama kali dikunjungi oleh suhrawardhi adalah maragha, yang berada dikawasan Azerbaijan. Ditempat inilah ia belajar Hukum[12]. Maragha, kota penting dan bersejarah, adalah salah satu pusat peradaban Islam yang luput dari serangan Hulagu. Kota ini terdapat Observatorium peninggalan kejayaan Islam yang dikepalai oleh Nashir ad-Din ath-Thusi.[13]
Di Kota ini Suhrawardhi belajar falsafah, hukum, dan teologi kepada Majd ad-Din al-Jili. Selain Suhrawardhi, murid al-Jili adalah Fakhr ad-Din Ar-Razi, hanya saja ar-Razi memiliki kecenderungan intelektual yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan Suhrawardhi. Ar-Razi menentang jalan falsafah yang ditempuh oleh Suhrawardhi. Setelah berguru Al-Jili Suhrawardhi memperdalam kajian kepada Fakhr ad-Din al-Mardani (W.294H./1198 M.). tampaknya, sosok Al-Mardani merupakan tutor falsafah bagi Suhrawardhi.[14]
Suhrawardhi di Anatolia (Iran Tengah)
Setelah belajar di Maragha, suhrawardhi kemudian meneruskan perjalanannya ke Ishfahan, Iran Tengah, kota yang terkenal dengan keindahan alam dan keagunan lingkunganya. Di kota inilah tumbuh dan berkembangnya pemikiran, khususnya falsafah Ibn Sina. Disini, Suhrawardhi belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qori.[15] Dia mempelajari logika melalui buku Al-Basha’ir An-Nashiriyyah karya Umar Ibn Sahlan As-Sawi (W. 540H./1145 M.)[16] dari Ishfahan, Suhrawardhi meneruskan petualangannya menuju Anatolia Tenggara dan ia diterima dengan baik oleh sejumlah panggeran Bani Saljuq Romawi[17] para penguasa Bani Saljuq sudah terbiasa dengan para cendikiawan, bahkan mereka pun sangat peduli terhdapa pelbagai kegiatan ilmiah. Nakosteen menyatakan bahwa bidang sastra, khususnya fiksi liris romantik, mencapai puncaknya dibawah Bani Saljuq, terutama dibawah Sultan Sanjar. Sejumlah penyair yang terkenal dari generasi ini adalah Nizhami dari Ganja (1141-1203), sabir (1145), Jauhari Mu’izzi (1147), Watwat (1182), Hatiti, Maktabi, Helali dan Hafizh (1389)[18]
Suhrawardhi di Persia
Setelah memperoleh pengetahuan formalnya, Suhrawardhi pergi menuju Persia, yang dikenal sebagai tempat awal munculnya gerakan sufi dan gudang tokoh-tokoh sufi.[19] Dan kemudian Suhrawardhi tertarik pada ajaran dan dogtrin tasawuf  dan akhirnya ia menekuni mistisisme.[20] Dalam hal ini Suhrawardhi tidak sekedar mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, akan tetapi langsung mempraktikkan sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang asketis yang menjalani hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi dan berfalsafah.[21] Dengan pola hidup seperti ini, dia muncul sebagai seorang sufi. Pada akhirnya, dalam diri Suhrawardhi terkumpul dua keahlian sekaligus, yakni falsafah dan tasawuf, sehingga ia menjadi seorang filsuf dan sekaligus seorang sufi.
Suhrawardhi di Alepo
Suhrawardhi mengakhiri petualanganya di Syiria. Dari Damaskus ia kemudian pergi menuju Alepo, dan disana ia bertemu dan bersahabat dengan penguasa Alepo, Malik Azh Zhahir,[22] putera dari Shalahuddin Al-Ayyubi Al-Kurdi, yang dikenal sebagai bintang perang Salib.[23] Malik merupakan tipe pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan, falsafah dan mistisisme.[24]
Di dalam Istana Malik Azh Zhahir selalu diadakan pertemuan ilmiah untuk berdiskusi dan mengkaji ilmu pengetahuan. Malik sangat menghargai dan menghormati para ulama, cendikiawan dan ahli pikir. Tendensi malik itu menyebabkan sangat tertarik serta merasa cocok dengan cara berpikir Suhrawardhi. Atas dasar ketertarikan itu, Malik mengundang Suhrawardhi ke Istananya untuk menjelaskan ide-ide pemikiranya. Di depan Gubernur Aleppo inilah Suhrawardhi menunjuhkan kepiawanya dalam falsafah dan tasawuf. Ketika menghadapi pelbagai pertanyaan, Suhrawardhi dapat memberi argumen-argumen yang jitu sehingga mampu menangkis segala serangan yang diarahkan peserta diskusi kepadanya.
Namun, satu hal yang amat disayangkan ialah bahwa penghormatan dan penghargaan yang diberikan oleh Malik Azh-Zhahir kepada Suhrawardhi tidak diikuti oleh para fuqoha pada saat itu. Kondisi relegisu sosio-politik ternyata tidak mendukung keunggulan dan kecerdasaan Suhrawardhi. Pada saat itu, persaingan antara fuqoha dan ahli tasawuf sudah mulai terasa. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan kalangan fuqoha untuk menghentikan pengaruh pemikiran Suhrawardhi terhadap penguasa Aleppo. Mereka merasa cemburu dan tersaingi dengan tampilnya filsuf sufi muda berbakat itu. Prasaan cemas dan serasa terancam ini yang mendorong mereka untuk memusuhi Suhrawardhi dan mereka mencari jalan untuk melenyapkannya. Para fuqoha memanfaatkan kelemahan Suhrawardhi yang menyampaikan keyakinan-keyakinan batiniyahnya secara terbuka.
Melihat usia yang relatif muda, ia termasuk sosok pemikir yang secara psikologis, ketangan pemikiranya kurang diimbangi dengan kematangan emosional, sehingga semangat mudanya telah mengiring Suhrawardhi kedalam jebakan yang dibuat oleh para fuqoha. Perangkap yang dibuat oleh kalangan fuqoha ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh, pada suatu ketika terjadi dialog antara Suhrawardhi dengan para ulama di Masjid Aleppo.
Para ulama mengajukan pertanyaan kepada Suhrawardhi: “apakah Allah SWT., berkuasa menciptakan nabi setelah Nabi Muhammad SAW.? Pertanyaan ini dijawab oleh Suhrawardhi dengan ucapan, “Kekuasan Allah SWT., itu tidak ada batasnya”. Dari jawaban itu, para fuqoha menyimpulkan bahwa Suhrawardhi meyakini kemungkinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW., tidak ada batasannya. Padahal Nabi muhammad SAW. Dalam keyakinannya para fuqoha adalah penutup para Nabi dan Rasul.[25]
Setelah melihat cara atau model berfikir suhrawardhi yang serasa aneh, ditambah dengan ajaran-ajaran ruhani yang dibawanya, para ulama kemudian mengangap Suhawardhi sebagai tokoh yang sangat berbahaya karena berpotensi merusak akidah umat Islam dan merusak agama (Afsada Ad-Din).[26] Suhrawardhi dianggap menonjolkan ungsur kebatinan dan dalam wacana teologis ia cenderung pada paham Syiah, khususnya Isma’ilyah.
Sedangkan pada saat itu, tolerensi beda pendapat sangat dibatasi dan dikekang. Dalam masalah mazhab fiqih semisalnya, para ulama fuqoha mengeluarkan fatwa yang mengahuruskan Muslim untuk mengikuti salah satu mazhab dari empat mazhab. Jika seorang Muslim tidak mengindahkan fatwa yang telah disepakati maka posisinya dalam lingkungan masyarakat akan terancam dan dikucilkan, semisalnya tidak akan ditrima kesaksianya, tidak boleh mengajar, tidak boleh menjadi imam dalam sholat, tidak boleh jadi khatib jumat. Dalam bidang kalam Asy’ariah merupakan paham teologi yang dianut.[27]
Realitas yang terjadi pada saat itu mendiskripsikan akan konflik yang dibangun oleh para fuqaha atas Suhrawardhi dan bagaimana kemudian para fuqaha mengunakan Ijma ‘Ulama dan pada akhirnya mereka menentang ajaran Suhrawardhi. Kemudian mereka mengajukan tuntutan kepada Malik Azh Zhahir agar filsuf dan sufi muda itu dikenakan hukuman mati. Akan tetapi Malik tidak sependapat dengan para fuqaha sehingga beruoaya untuk melindungi dan menyelamatkan Suhrawardhi dengan cara menolak tuntutan para fuqoha. Sementara itu malik menyadari bahaya yang mengancam tokoh muda itu dan membayangkan ajan perlakuan yang menimpa al-halaj akan terulang kembali lagi, oleh karenanya, ia menolak tuntutan hukuman mati yang diajukan kalangan fuqoha.
Setelah para fuqoha mengetahui akan perlindungan dari Malik, para fuqoha pun mengajukan tuntutan secara langsung Kepada Sultan Salahhudin Alayyubi yang menguasi Yaman, Mesir dan Syiria. Keberanian dan desakan kalangan fuqoha ini, selain karena beda corak pemikiran dan aliran dengan Suhrawardhi, juga karena mereka telah ikut berjasa dalam membendung tentara Salib.[28] Mungkin kita bisa melihat nuasa politis sangatlah kental, para fuqoha mengunakan jasa mereka sebagai senjata untuk melenyapkan suhrawardhi dan terus menekan Sultan agar permintaan mereka dikabulkan.
Dengan mempertimbangakan jasa yang dilakukan para fuqoha kepada Negara Sultan pun tidak berdaya untuk menolak permintaan mereka, disisi lain, Sultan sebagai benteng pembela sunni tentu juga berkepentingan untuk mempertahankan keberlangsungan ajaran-ajaran Sunni, semenatara Suhrawardhi pada saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Persia Kuno yang bertendensi ajaran syiah, oleh karenanya, perbedaan aliran ini semakin jelas turut mewarnai pera persainga antar aliran pada saat itu.
Jadi selain faktor politik, terdapat juga intrik-intrik perbedaan aliran yang turut mengkonstruk kebijakan sultan dalam megambil sebuah kebijakan. Dalam keadaan yang semacam ini pun, sangat nampak bahwa Sultan pun sedikit kebingunan dalam mengambil kebijakan satu sisi dia adalah seorang pemimpin yang harus mengayomi dan menjaga stabilatas keamanan dan ketentraman rakyatnya dan salah satu sebab yang mendasar sultan tidak menginginkan perpecahan kalangan rakyatnya, oleh karenanya ia mengambulkan permohonan kalangan fuqoha untuk menghukum suhrawardhi, dalam analisis george makdisi ia menyatakan tentang pernyataan Snouck Hurgronje bahwa perkembangan  dan keberlangsungan suatu mazhab atau aliran teologis sangat dipengaruhi oleh dukungan penguasa atau pangeran yang berkuasa.[29]
Dan akhirnya Malik Azh Zhahir dengan tuntutan kalangan fuqoha segera mengeksekusi Suhrawardhi dengan hukuman penjara. Namun demikian, penyebab langsung kematian Suhrawardhi belum jelas dan masih tetap menjadi misteri. Dalam hubungannya dengan ini, Ziai menyatakan bahwa Suhrawardhi meninggal pada 29 juli578 H/ 1191 M.[30] dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamyyiah atau 38 tahun menurut kalender Qomariyyah.[31]
Peristiwa eksekusi Suhrawardhi seakan menjadi risiko yang mesti dihadapi oleh seorang pemikir yang mempuyai idealisme tinggi. Dan kasus ini juga mengigatkan walaupun kita tidak bertatap langsung dengan seorang tokoh seperti Sokrates dengan adegan minum racun, Halaj dengan adegan digantung, bahkan di Negara kita tidak luput Syeikh Siti Jenar. Sejarah telah mencatat bahwa hukuman mati yang dijatuhkan kepada tokoh yang memperjuangan idelismenya, ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur pemikiran mereka.
B.     Karya-karya Suhrawardhi
Hampir lima puluh karya yang telah ditulis oleh Suhrawardi, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Persia.  Seyyed Hussein Nasr membagi karya-karya Suhrawardi tersebut ke dalam lima kategori, yaitu:
1.  Empat karya besar yang bersifat doktrinal dan didaktik, semuanya dalam Bahasa Arab, yang membentuk  sebuah tetralogi yang pertama kali berbicara tentang filsafat Peripatetik sebagaimana ditafsirkan dan dimodifikasi oleh Suhrawardi, lalu berbicara tentang teosofi  Isyaraqi sendiri dengan mengikuti fondasi doktrinal yang lebih awal. Tetralogi itu terdiri dari  Talwihat  (imitasi-imitasi), Muqawamat  (Oposisi-oposisi), dan Mutharahat (percakapan) ketiganya berbicara tentang modefikasi filsafat Aristoteles dan akhirnya mahakaryanya  Hikmat al-Isyraq  (Teosofi Cahaya Timur), yang berbicara tentang doktrin-doktrin Isyraqi.
2.  Risalah-risalah yang lebih pendek dalam Bahasa Arab dan Persia di mana pokok persoalan tetralogi diuraikan dalam bahasa yang lebih sederhana dan dalam bentuk yang lebih singkat. Karya-karya ini meliputi Hayakil al-Nur  (Kuil-Kuil Cahaya),  al-Alwah al-‘Imadiyah  (Lembaran-Lembaran yang Didedikasikan untuk „Imad al-Din), Patraw-namah (Risalah tentang Iluminasi),  Fi  I’tiqad  al-Hukama’  (Simbol Keimanan Para  Filosof),  al-Lamahat (Gemerlap Cahaya), Yazdan Shinakht (Pengetahuan Tuhan), dan Bustan al-Qulub (Kebun Hati). Dua yang terakhir juga dinisbatka kepada „Ain al-Qudhat al Hamadani dan Sayyid Syarif al-Jurjani, sekalipun ia tampak lebih mungkin sebagai karya Suhrawardi.[32]
3.  Cerita-cerita mistik dan simbolik, atau novel, yang melukiskan perjalanan jiwa melintasi kosmos menuju iluminasi dan pencapaian puncaknya. Risalah-risalah ini hampir seluruhnya berbahasa Persia dan sebagian kecil dalam versi Arabnya. Karya-karya tersebut adalah  ‘Aql-isurkh  (Malaikat (Akal, secara harfiyah) Merah),  Awaz-i par-i  Jibra’il  (Senandung Sayap Jibril), Al-Ghurbat al-Gharbiyah (Pengasingan ke Negeri Barat), Lughat-i muran (Bahasa Anai-Anai), Risalat fi Halat al-Thufuliyah (Risalah tentang Keadaan Kanak-Kanak),  Ruzi ba jama’at-i sufiyan  (Sehari Bersama Masyarakat Sufi),  Risalat al-Abraj  (Risalah tentang Perjalanan Malam), Safir-i simurgh (Nyanyian Burung Griffin).
4.  Transkripsi, terjemahan dan uraian atas karya-karya filsafat yang lebih awal serta naskah-naskah suci dan keagamaan seperti terjemahan Persia Risalat al-Thair-nya Ibnu Sina, uaraian dan komentar atas  Isyarat-i-nya Ibnu Sina, gubahan atas Risalat fi Haqiqat al-‘Isyq, yang didasarkan pada Risalat fi al-‘Isyq-nya Ibnu Sina, dan komentar-komentar atas sejumlah ayat al-Qur‟an dan hadits-hadits tertentu.
5.  Doa-doa dan permohonan dalam Bahasa Arab yang serupa dengan apa yang pada Abad Pertengahan  disebut Buku Waktu dan yang disebut Syahrazuri dengan al-Waridat wa al-Taqdisat.[33]  Melihat karya-karya Suhrawardi tersebut di atas, agaknya teramat cukup untuk dikatakan bahwa pemikirannya begitu kompleks.  Pemikirannya tidak hanya merambah dunia filsafat, melainkan juga tasawuf, atau bahkan lebih luas lagi.                                                   

C.     Pemikiran Suhrawardhi Al-Maqtul (Filsafat Iluminasi)
Pada pertemuan kali ini, pemateri bermaksud akan lebih fokus pada pemikiran Suhrawardi terkait dengan Filsafat Iluminasinya. Agar tidak keluar dari pemahaman mengenai Iluminasi. Langkah pertama ialah mampu memberikan pemahaman secara komprehensip mengenai pemahaman Iluminasi. Meskipun untuk memahami filsafat iluminasi dibutuhkan waktu yang panjang karena setidaknya harus memahami karya titraloginya suhrawardhi. Tetralogi itu terdiri dari  pertama Talwihat  (imitasi-imitasi), kedua Muqawamat  (Oposisi-oposisi), dan ketiga Mutharahat (percakapan) ketiganya berbicara tentang modefikasi filsafat Aristoteles dan akhirnya mahakaryanya  Hikmat al-Isyraq  (Teosofi Cahaya Timur) sebagai karya yang bersifat Magnun Opus.
Teori Suhrawardhi pada dasarnya eksprerensial. Ia didasarkan pada persoalan pengetahuan langsung tentang sesuatu yang riil dan “yang lebih dahulu” ada yang disamakan dengan “cahaya” suatu prinsip riil yang mendasari konsep metafisika iluminasi. Bagi Suhrawardhi, cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri. Melihat cahaya atau mengalaminya berarti mengetahuinya. Jika ada sesuatu yang tidak perlu didefinisikan atau dijelaskan, berarti sesuatu itu sudah sangat jelas dengan sendirinya, melebihi sesuatu yang lain, cahaya tidak membutuhkan definisi.[34]
A.    Latar Belakang Filsafat Iluminasi

Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi. Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi.
1.      Mistisisme Yunani
Tradisi iluminasi yang memiliki corak mistik turut dipengaruhi oleh suatu paham yang dikenal dengan mistisime Yunani. Paham ini disebut mistsisme Yunani karena ia berpusat di Yunani. Mistisisme Yunani dapat dikatakan menjadi sumber dari berbagai tradisi mistik dalam banyak agama. Ia juga dikenal dengan Hermetika atau Hermetisme. Nama ini dinisbahkan kepada Hermes, yang dikenal sebagai Bapaknya Para Filosof Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Hermes ini sama dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam. Idris, masih kata S. H. Nasr, bila diucapkan dengan lafal Yunani akan terdengar menjadi Hermes. Nasr bahkan juga menjelaskan sanad Hermes sampai dengan Aristoteles sebagai berikut.
Adam AS - Hermes dan Aghasadaimon (di Islam dikenal dengan Syis as) – Empedocles- Pythagoras- Socrates- Plato-Aristoteles. Bukti pengaruh Hermetisme dalam filsafat iluminasi adalah disebutkannya Asclepius, murid dari Hermes, dalam banyak kitab karangan Suhrawardi yang dikenal sebagai Bapaknya Filsafat Iluminasi
2.      Persia Kuno
Tuhan dan menyatakan bahwa pelaksanaan suatu pemujaan dapat menghasilkan persatuan jiwa itu dengan Tuhan. Doktrin mereka membahas mengenai jiwa, kenaikannya ke Tuhan dengan menyiksa tubuh dan akhirnya melalui lingkungan Aether dan menjadi Api Sejati. Setelah melalui masa yang lama, doktrin suci Mithraisme ini tetap tersembunyi sampai pertengahan abad ke dua belas Masehi.
Baru ketika Suhrawardi memunculkan doktrin illuminasionisnya, doktrin Mithraisme seakan hidup kembali, karena adanya korelasi yang jelas antara keduanya. Ajaran-ajaran yang dihidupkan Suhrawardi sama dengan tujuan dan ajaran Mithra yaitu menguasai Jiwa Yang Lemah melalui kepercayaan terhadap Mithra yang dianggap sebagai Tuhan Cahaya dan Matahari.
Kemudian dapat juga dihihat dari simbol-simbol pendakian spiritual yang dipakai dalam mencapai persatuan dengan Tuhan. Ajaran Mithra juga menggunakan lambang-lambang binatang yang harus ditaklukkan oleh orang yang ingin mencapai persatuan dengan Tuhan, atau untuk sampai kepada Sumber Cahaya. Seperti simbol kerbau yang harus ditaklukkan oleh pengikut Mithra. Kerbau  adalah simbol dari Nafs al-Ammarah dan pengikut Mithra adalah orang yang harus mampu mengalahkan Nafs al-Ammarah tersebut.
Sebelah timur Anatolia dan utara Syria. Menurut beberapa penulis muslim, kaum Saba’iyah mengikuti ajaran nabi Dawud melalui kitab Zabur. Pengaruh ajaran Sabean terhadap Suhrawardi juga sangat menonjol, terutama dalam karyanya Hayakil al-Nur  Suhrawardi memakai istilah haikal (yang oleh orang Persia Kuno dianggap sebagal tempat memuja api) untuk tubuh  manusia. Suhrawardi membagi Hayakil al-Nur  ke dalam tujuh haikal,  hal ini serupa dengan jumlah planet-planet yang di puja penganut Sabiin
3.      Filsafat Yunani
Ada dua filsafat Yunani yang berpengaruh dalam tradisi iluminasi, pertama filsafat Plato, dan Neo-Platonisme dengan filosofnya Plotinus. Pengaruh dari Plato adalah Idealismenya. Ajaran Plotinus yang mempengaruhi adalah Emanasi, bagaimana Tuhan melimpah hingga terwujud materi. Dan ajaran lain Plotinus adalah remanasi.
4.      Filsafat Islam
Tradisi iluminasi muncul disaat tradisi sufi juga mulai menonjol di kalangan masyarakat. Pada tradisi iluminasi juga terdapat pengaruh dari beberapa tokoh sufi dan pemikiranya, diantaranya sebagai berikut:
1.      Zun Nun al-Mishri, tokoh ini berpengaruh terhadap iluminasi melalui pemikiranya mengenai ma’rifat. Zun Nun adalah Tokoh Sufi yang pertama kali mencetuskan teori Ma’rifat.

2.      Abu Yazid al-Busthami Abu Yazid adalah orang pertama yang termasuk sufi falsafi. Ia adalah pencetus ide ittihad, yakni ide remanasi, penyatuan antara manusia dengan Allah dengan jalan manusia yang naik menuju Tuhan. Manusia dapat naik menuju Tuhan dengan  jalan fana dan baqa’
3.      Mansur al-Hallaj Tokoh sufi yang kontroversial ini juga berpengaruh pada tradisi iluminasi. Al-Hallaj mencetuskan teori hulul Ini juga teori tentang penyatuan antara manusia dengan Tuhan, namun berbeda dengan ittihad dalam hulul Tuhanlah yang turun menuju manusia. Penyatuan tersebut dapat dicapaidengan jalan si manusia menafikan dimensi nasut (kemanusiaan) yang ada padadirinya hingga yang tersisa adalah dimensi lahut (ketuhanan)-nya.
4.      Al-Ghazali Ghazali mempengaruhi tradisi iluminasi terutama melalui karyanya Misykat al-Anwar Banyak yang berpendapat bahwa inilah satu-satunya karyaGhazali yang menggunakan bahasa orang khawwas, karena kebanyakan karya Ghazali memang menggunakan bahasa orang awwam hingga mudah dipahami oleh masyarakat secara luas. Kitab ini mempengaruhi terutama karena juga membahas tentang cahaya.
Menurut Ghazali, dalam  Misykat al-Anwar, selain indera (mata), keberadaan benda-benda sangat ditentukan oleh cahaya. Tanpa cahaya, maka benda-benda tidak ada. Cahayalah yang menyebabkan semua penampakan terjadi. Cahayalah yang memanifestasikan benda-benda.  Al-dzuhur  dimungkinkan karena ada nur. Sementara tradisi modernism memandang realitas secara dualisme, yaitu memahami objek sejauh didefinisikan oleh subjek. Ghazali merumuskan konsep cahaya, di mana penampakan objek pada subjek dimungkinkan karena ada unsur lain, yakni cahaya.
Selain para sufi di atas bisa juga kita lihat pengaruh asumsi-asumsi sufisme secara umu dalam tradisi iluminasi, diantaranya. Dalam tradisi sufi dipahami bahwa alam materi, termasuk di dalamnya adalah jasmani manusia, sifatnya adalah jahat dan menipu serta menggoda, sehingga aspek itu harus ‘dilemahkan’. Sementara unsur yang lain, unsur batiniah dari manusia, adalah sesuatu yang lebih hakiki, namun ia justru dipenjarakan oleh unsur jasmani dalam materi. Jadi manusia untuk bisa mencapai yang hakiki harus menguatkan yang batin dengan melemahkan yang lahir.
Dalam tradisi sufi juga dipahami bahwa sesuatu ilmu yang tingkatannya paling tinggi adalah yang didapatkan melalui pengalaman langsung, kemudian ada istilah Innefability Of Experience, yaitu bahwa sebuah pengalaman itu tidak bisadigambarkan dengan cukup oleh kata-kata. Ia harus ‘dialami’ langsung oleh manusia. Dan ia sifatnya tidak bisa dipindah atau dialihkan ke orang lain. orang lain yang ingin mendapatkan hal yang sama kemudian bisa berusaha dengan cara mencontoh metode yang dikerjakan atau dikenal dengan istilah riyadhoh. Selanjutnya adalah tentang noetik (Inner Knowing, Intuitive Consciousness).
Bahwa kebenaran-kebenaran terdalam itu sifatnya tidak terjangkau oleh nalar diskursif. Wilayah pengetahuan yang dimaksud sifatnya ‘iluminatif’ atau intuitif, ia dapat dicapai bukan dengan nalar melainkan intuisi.Sepertinya sampai di sini dulu perkenalan kita dengan filsafat iluminasi. Kitasudah coba mengenal tentang apa itu iluminasi, kapan ia lahir, dan siapa bapak dan ibunya serta gen-gen penyusunnya.
B.     Iluminasi dan Peripatetik
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât,[35] yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis.[36] Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.[37] Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr,[38] Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.[39]
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.
Menurut Ziai, Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi. Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub), meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).[40] Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul). Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness) dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan yang bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan dijawab pada pasal berikut ini.
Problem Validitas Pengetahuan                        
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10). Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal. Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî. Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai. Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).[41]
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.
Logika Illuminasi: beberapa poin Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).” Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar). Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna. Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif, dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.” Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya “dirasakan.” Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya. Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan. Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.[42]
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
C.    Metodologi Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.[43]
Kedua, tahap penerimaan, dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini
D.    Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative[44] yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.[45]
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demokrasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai fakta positif[46] yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah.[47] Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika,[48] Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni,[49] sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city.[50] Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[51]
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul). Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini.

BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî. Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai. Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri)
apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul). Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat i
DAFTAR PUSTAKA

Suhrawardi.  Hikmah Al Isyraq; Teosofi Cahaya dan Metafisika  Hudhuri  terj. Muhammad Al-Fayyadl (Islamika: Yogyakarta). 2003.
Yazdi, Mehdi Ha‟iri. Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Husain Herianto (Mizan: Bandung). 2003.
Yazdi, Muhammad Taqi Misbah. Buku Daras Filsafat Islam,  terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Mizan: Bandung). 2003.
Ziai, Hossein. Sang Pencerah dari Timur: Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, trej. oleh Afif Muhammad dan Munir A. Muin (Sadra Press: Jakarta). 2012. 
Syihab ad-din yahya as-suhrawardhi, “Hikmah Al-Isy’raq: Al-Mualifatu Al-Falsafatu Wal Sufiyatu Ii”, (Bagdad:Beirut) 2012
Aminrazavi, Mehdi dan Ian Richard Netton. Signifikansi Karya Suhrawardi,  terj. Ribut Wahyudi (Pustaka Sufi: Yogyakarta). 2003.
Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam, Cet. II (Mizan: Bandung). 2006.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat (Gramedia: Jakarta). 2000.
Drajat, Amroeni.  Suhrawardi; Kritik Falasafah Peripatetik  (LKiS: Yogyakarta). 2005.
Fakhry, Madjid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Am, Cet. II (Mizan: Bandung). 2002. 
Iqbal, Muhammad. Metafisika Persia: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam terj.  oleh Joebaar Ayoeb (Mizan: Bandung). 1990. 
Maryam, Siti.  Rasionalitas Pengalaman Sufi: Filsafat Isyraq Suhrawardi asy-Syahid (Adab Press: Yogyakarta). 2003. 
Nasr,  Seyyed Hossein.  Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam  terj. Ach. Maimun Syamsuddin (IRCiSoD: Yogyakarta). 2006. 
Nasr,  Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds.).  Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I trej. Tim penerjemah Mizan (Mizan: Bandung). 2003.
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mulla Sadra (Pustaka Pelajar: Yogyakarta). 2002. 
Rayan, Mohd Ali Abu, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt)
Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Rajawali Press, II/1997).
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II.
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990).
Cox, Harvey, Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967)
Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Giddens, Anthony.  (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt)
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991.
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul , revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977).
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984).
Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004).
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967).
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994).
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963).
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto&London: New American Library, 1968).
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Book).
Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).





[1] Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Hlm. 793.
[2] Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia hidup pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan ibn Rusyd (1126-1198) dan tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), kemudian pada abad berikutnya ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah pemilahan metode penalaran dan zauq mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
[3] Makalah ini disusun Oleh Shohibul Kafi, S. Fil. I Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. Makalah Ini di presentasikan pada Mata kuliah Sejarah  Peradaban dan Pemikiran Islam, yang diampu oleh Prof. Fauzan  selaku Dosen peng mengampu Mata Kuliah Sejarah  Peradaban dan Pemikiran Islam.
[4] S. Van Den Bergh,”As-Suhrawardhi”, dalam M. TH. Houtsma (ed), E.J Briil’s First Encyclopedia of Islam 1913-1936, vol,VII, (leiden;E.J.Brill,1987), Hlm, 506-507
[5] Amroeni Drajat, Suhrawardhi Kritik Falsafah Peripatetik, (yogyakarta:Lkis),2005, Hlm,29.
[6]Annemarie Schimmel, “Mystical Dimensions Of Islam, (Chapel Hill: The University Of North Carolina Press,1975), Hlm, 244
[7] Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh menahem Milson dan diberi judul A Sufi Rule For Novices (Cambridge: Harvard University Press,1975), sedangkan dalam edisi indonesia buku ini diterjemahkan oleh yuliani liputo dengan judul Menjadi Sufi, Bimbingan Untuk Para Pemula (bandung:pustaka Hidayah). Hampir seluruh isi ini membahas tentang bimbingan-bimbingan dan moralitas ideal seorang sufi. Buku ini meski sederhana namun, isinya sangat padat. Buku ini mengulas lebih dari 200 wejangan praktis bagi sufi pemula.
[8] Edisi bahasa inggris ditulis oleh H. Wiberforce clarke, berjudul A Dervish Tektbook From The Awarif Ma’arif, (The Octagon Press,1990). Edisi bahasa Indonesia oleh ilma nugrahani ismail, dengan judul Awarif Al-Ma’arif Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, (bandung;pustaka hidayah,1998), buku ini bermanfaat bagi pemula yang ingin menekuni tawasuf atau yang ingin mejadi sufi. Sesuai dengan judulnya.
[9] Annemarie Schimmel, “Mystical Dimensions Of Islam, (Chapel Hill: The University Of North Carolina Press,1975), Hlm, 245
[10] Seyyed Hossein Nasr, Science And Civillization In Islam, (Cambridge:harvard University Press,1968), Hlm, 328
[11] George Makdisi, The Rise Of Colleges Of Leaning In Islam And The West, (edinburgh:Edinburgh  University Press,1981), Hlm, 5
[12] S. Van Den Bergh,”As-Suhrawardhi”, dalam M. TH. Houtsma (ed), E.J Briil’s first encyclopedia of islam 1913-1936, vol,VII, (leiden;E.J.Brill,1987), Hlm, 506
[13] Seyyed Hossein Nasr, Science And Civillization In Islam, (Cambridge:harvard University Press,1968), Hlm,328
[14] Hossein Ziai, Knowledge And Ilumination, A study Of Suhrawardhi’s Hikmah al’isyroq, (Atlanta:Georia Scholar Press,1990), Hlm, 16
[15] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim sages, (N.Y. :Delmar,1964), Hlm, 56 Hossein Ziai menyebut Zhahir ad-Din al-Qori dengan Zhahir ad-Din al-farsi, dengan menisbatkan pada daerah asalnya, Fars, lihar Hossein Ziai, Knowledge And Illumination, Hlm, 16
[16] Ibid
[17]Henry Corbin, History Of Islamic Philoshophy, (London:keagan Paul International, Limited,1983), hlm, 205
[18] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas dunia intelektual barat, Deskripsi Analisis Abad keemasan intelektual islam, Cet 1, (Surabaya:Risalah Gusti,1996), Hlm 222, terj. Oleh Joko S. Kahar dan S. Abdullah dari History Of Islamic Philoshophy Origins Of western Education A.D. 800-1350: with an introduction (Colorado: University Of Colarado Press, Boulder,1964)
[19] Seyyed Hossein Nasr, The Islamic Intelectual Tradition In Persia, (Surrvey:Curzon Press,1996),Hlm, 125
[20] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Hlm, 57
[21] Hossein Nasr, The Islamic Intelectual Tradition In Persia, hlm,125-126
[22] Ibid, Hlm, 126.
[23] Henry Corbin, History Of Islamic Philoshophy, Hlm, 206
[24] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Hlm, 57

[25] Lihat suhrawardhi, Hayakil an-Nur, Cet 1, jilid 1. Buku ini diedit oleh Muhammad ‘Ali Abu Rayyan dan diterbitkan di Kairo oleh penerbit al-Maktabah at-Tijariyah al-Kurba. Pada tahun 1956. Menurut Ziai, diantara pengikut fanatiknya memang ada yang menyatakan bahwa Abu al-Futuh sebutan suhrawardhi adalah rasullah. Lihat Hossein Ziai, “The Source and Nature OfAuthority: A Study of as-suhrawardhi’s illuminationist political Doctrin”, dalam Charles E, Buttterworth (Ed.), The Political Aspects of Islamic Philoshophy, (Cambridge: Harvard University Press,1992), Hlm, 240
[26] Ibid., hlm,305
[27] George Maqsidi, The Rise Of Colleges Institution Of Leaning In Islam And The West, Hlm, 6
[28] Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, Hlm, 57
[29] George Maqsidi, The Rise Of Colleges Institution Of Leaning In Islam And The West, Hlm,
[30] Henry Corbin, History Of Islamic Philoshophy, Hlm,206
[31] Hossein Ziai, Knowledge And Illumination, Hlm,22
[32] Hossein Ziai, “Syihab al-Din Suhrawardi: Pendiri Mazdab Filsafat Iluminasi”, ibid. 38
[33]Seyyed Hossein Nasr,  Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam  terj. Ach. Maimun Syamsuddin, hlm. 106-108. 42

[34] Nasr,  Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds.).  Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I trej. Tim penerjemah Mizan (Mizan: Bandung). 2003.  Hlm. 564.

[35]  Menurut Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima buku Suhrawardi yang ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain adalah al-Lamahat, al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat Mohd Ali Abu Rayan, op.cit., p. 61.
[36]  Hossein Ziai, op.cit., p. 10-11.
[37]  ibid., p. 17.
[38] Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374.
[39] Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawardi seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat sebagai karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan filsafat illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembangkan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuthner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
[40] Ini juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang hanya menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim lebih dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka ta’rif kemudian diterjemahkan dengan “menjadikan ditahui”; making known.
[41] Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14.
[42] Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungkapan: “saya tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya uraian pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al-Attas,  Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24.
[43] Nasr,  Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds.).  Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I  trej. Tim penerjemah Mizan (Mizan: Bandung). 2003.  Hlm. 567.
[44] Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37
[45] Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2.
[46] Auguste Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, menjelaskan istilah ‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991.
[47] Uraian lebih luas lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[48] Rumusan kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyatakan: How is Pure Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?, How is Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
[49] Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
[50] Konsep ini dipopulerkan oleh Harvey Cox. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama di luar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
[51] Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "FILSAFAT ISRAQIYAH SUHRAWARDI"

Post a Comment