KANVAS KEHIDUPAN ABDUL QADIR AL-JAILANI

1.      Tinjauan Historis
Tepatnya tahun ke-8.H, Rasulullah SAW.,mengirim beberapa surat kepada raja-raja di Jazirah Arab dan negeri-negeri yang ada di sekitarnya. Di antaranya adalah surat kepada Kisra Raja Persia yang dibawa oleh Abdullah ibn Hudzarah R.A. Setelah membaca surat tersebut, Kisra menyobeknya. Sewaktu Rasulullah mengetahui hal itu, beliau berdoa kepada Allah, "Ya Allah, hancurkanlah kerajaannya", lalu Allah pun mengabulkan doa beliau.
Kerajaan Kisra mulai terpecah-pecah pada “Hari Mahran”  atau “Hari Nakhliah” pada 15 H. Pada waktu itu pasukan kaum Muslim dipimpin oleh Jabir Ibn Abdillah dan Al-Mutsanna ibn Haritsah Al-Syaibani. Pemimpin pasukan Persia, Mahran, dan banyak dari pengikutnya mati terbunuh. Kemudian diikat oleh Perang Al-Qadisiyyah pada 16 H dibawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash R.A. yang berlangsung selama empat hari, dan di dalamnya terbunuh pula Rustum dan para peminpin besar Persia. Divisi pasukan pengawal pimpinan Rustum yang disebut sebagai Tentara Shahnashah yang berjumlah 4.000 orang pun menyerah. Mereka bergabung dengan pasukan kaum Muslim, lalu memeluk Islam.[1]
Selanjutnya, disusul Perang Al-Mada’in pada 16 h. Al-Mada’in adalah ibu kota Kisra yang berada di tepi timur Sungai Tigris. Dulunya bernama Ctesiphon. Orang Arab menamainya dengan Al-Mada’in karena daerah Pingiran kotanya yang banyak. Orang Arab memenangkan perang ini di  bawah kepemimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash R.A.[2]
Perang Jalula pada 16 H atau 17 H yang juga di bawah kepemimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash R.A., disusul dengan Perang Nahawand sebagai awal dari beberapa penakhlukan pada 19 H atau 21 H[3] yang dipimpin oleh Al Nu’am Ibn Muqrin r.a. yang juga terbunuh dalam perang tersebut. Setelah itu kepemimpinan beralih kepada Hudzaifah Al-Yaman r.a. pada perang tersebut, kaum Muslimin megalahkan hampir seluruh pasukan Persia sehingga banyak diantara mereka yang terbunuh dan banyak pula mereka yang menyerah.
Setelah perang tersebut, di hadapan kaum Muslimin mulai tampak negeri-negeri yang lain.Mereka menyebar untuk menahlukan negeri-negeri itu satu persatu. Pada 23 H atau 24 H. Mereka menahlukan Hamadzan, Qam, dan Isfahan. Dua bulan pasca Perang Nahawand, kaum Muslim menahlukkan Rayy (sekarang Teheran) di bawah kepemimpinan Al-Barra ‘ibn ‘Azib r.a. mereka pun menahlukkan Benteng Qazwin, Jailan, Al-Babr, Thailasan, dan Zinjan. Semua itu bagian dari negeri-negeri Dailam[4].
Adapun Yazdger, Raja terakhir Persia, telah melarikan diri pasca Perang Nahawand ke Isthakhr. Di antara tentara Persia itu ada yang lari ke Khurasan, lalu ke Merv. Yazdgerd akhirnya terbunuh di Marv pada 31 H. Kematiannya menjadi akhir Dinasti Sasanian, dan negeri Persia menjadi terpecah belah berkat doa Rasulullah SAW. Yang dikabulkan setelah raja mereka, Kisra merobek-robek surat dari Rasulullah.
Dan selanjutnya kaum Muslim menyebar di negeri Persia,dan banyak di antara mereka yang mati syahid di sana. Dan banyak juga di antara mereka yang menjadikan tempat tinggal dan menikahi wanita-wanita Persia. Al-Baladzuri dalam karya Futuh Al-Buldan menyebutkan bahwa Hasan r.a. dan Husain r.a. putra Ali bin Abi Thalib r.a. konon bergabung dalam pasukan Sa’ad ibn Abi Waqqash ketika menginvasi Thabristan dan Jailan. Setelah itu, Husain menikah dengan Syahrbanu, Putri Yazdgerd, raja Persia Terakhir.[5]
Dan pada waktu itulah banyak orang Persia perorangan maupun kelompok masuk Islam, lalu bercampurlah antara Persia dan Arab, yang kemudian menyebabkan bahasa Arab tersebar luas di tanah Tahlukkan. Berkat penetrasi yang telah dilaksanakan bangsa Arab pada negeri-negeri tersebut, makam sebagai tokoh Muslim masih terlihat sampai hari ini. [6]
Lanjut fakta sejarah, sejak permulaan abad ke-3 H. Yakni pada masa kholifah al-Ma’mun wilayah-wilayah yang jauh dari Iran mulai bebas berdiri sendiri dari pusat khilafah di Bagdad, kecuali namanya saja. Di khurasan berdiri Dinasti Thahiriyyah yang dinisbatkan kepada Thahir ibn husain, pemimpin pasukan Al-Ma’mun dari Tahun 205 H hingga 259 H. Ibu kotanya adalah Nisapur. Dinasti ini mencoba menguasai Thabristan dan Jailan, namun gagal.
Pada tahun 250 H, penduduk Thabristan dan Jailan mengundang seorang Pria ‘Alawy dari Rayy yang bernama Hasan ibn Zaid ibn Muhammad yang berasal dari keturunan Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib r.a. di bawah kepemimpinannya, mereka menyerang pasukan Dinasti Thahariyyah. Maka, pada 250H-316 H, terbentuknya Dinasti Zaidiyyah dan Thabristan dan Jailan.[7] Al-Hasan ibn Zaid datang bersama pamannya, Idris ibn Musa serta saudara-saudaranya, Dawud ibn Musa ibn Abdillah, yang merupakan kakek ke-4 dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.[8]
Kemudian Dinasti Ziyariyyah yang dinisbatkan kepada Mardawij ibn Ziyar dari Dailam (dari 316H-433H) memisahkan diri dari Dinasti Zaidiyyah. Al-Hasan ibn Zaid adalah pendiri Dinasti Zaidiyyah Al-Alawiyyah. Beliau memiliki pengaruh besar dalam penyiaran agama Islam di negeri Dailam dan Jailan. Seorang dai Islam dunia, Hasan ibn Ali yang digelari dengan Al-Tursy, adalah yang ada pada waktu itu dan memiliki andil besar dalam penyiaran agama Islam di Thabristan dan negeri India.[9]
Kemudian berdirilah Dinasti Buwaihiyyah pada 320 H dan berlangsung hingga 447 H. Buwaihiyyah berasal dari negeri Dailam. Mereka menganut mazhab Syiah, mereka hampir menguasai seluruh tempat di Iran, kecuali Jailan dan sebagian wilayah dari Thabristan yang masih tunduk pada Dinasti Ziyariyyah. Kekuasaanya meluas hingga, pusat Kholifah Abbasiyyah. Mereka mulai menguasai para Khalifah, memecat, dan mengankat sekehendak mereka.
Pada 432 H, berdiri Dinasti Salajiqah yang berlangsung hingga 583 H.Dinasti ini mengantikan Dinasti Samaniyyin dan Gaznawiyyah di Khurasan serta Dinasti Buwaihiyyah di Iran dan Irak, hingga menguasai Romowi dan Asia Kecil (Anatolie). Salajiqah berasal dari kabilah-kabilah Atrak yang bermigrasi dari negeri Turkmenistan dan memeluk Agama Islam. Mereka menganut Mazhab Sunni. berbeda dari Buwaihiyyah. Pada 447 H. Kerajaan Salajiqah meluas hingga memasuki Bagdad. Di bawah kepemimpinan Sultan Saljuqi Thugrul Bek, mereka akhirnya dapat menghancurkan Dinasti Buwaihiyyah. Ibu Kota politik Salajiqah ada di Kota Rayy, lalu di Isfahan. Sebelum itu, pada 433 H, Thugrul Bek telah menghancurkan Dinasti Ziyaiyyah yang ada di Thabristan dan Jailan.
Di bawah naungan salah satu pegunungan yang ada di Azerbaijan hingga barat Jailan, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Alamut. Kata tersebut dari bahasa Dailam yang berarti "Sarang Elang". Di sana terdapat seseorang yang disebut dengan Hasan ibn Al-Shabah. Dia orang perisa dari kota Thaws (sekarang Meshad), meski tidak disebut demikian. Dia menganut Mazhab Isma'ili Al-Bashini. Dia pernah bekerja di Istana Sultan Saljuq Melkshah bersama menterinya, Nizam Al-Mulk. Kemudian pada 469 H (1076 M), dia pindah dari Rayy ke Isfahan dan Azerbaijan, lalu mengunjungi Negeri Syams dan memasuki Mesir pada 471 H. Dia belajar Mazhab Isma'ili di Darul Hikmah yang didirikan oleh Al-Hakim Biamrillah di Kairo.
Pada 432 H, berdiri Dinasti Salajiqah yang berlangsung hingga 583 H. Dinasti ini mengantikan Dinasti Samaniyyin dan Gaznawiyyah di Khurasan serta Dinasti Buwaihiyyah di Iran dan Irak, hingga menguasai Romowi dan Asia Kecil (Anatolie). Salajiqah berasal dari kabilah-kabilah Atrak yang bermigrasi dari negeri Turkmenistan dan memeluk Agama Islam. Mereka menganut Mazhab Sunni. berbeda dari Buwaihiyyah. Pada 447 H. Kerajaan Salajiqah meluas hingga memasuki Bagdad. Di bawah kepemimpinan Sultan Saljuqi Thugrul Bek, mereka akhirnya dapat menghancurkan Dinasti Buwaihiyyah. Ibu Kota politik Salajiqah ada di Kota Rayy, lalu di Isfahan. Sebelum itu, pada 433 H, Thugrul Bek telah menghancurkan Dinasti Ziyaiyyah yang ada di Thabristan dan Jailan.[10]
Di bawah naungan salah satu pegunungan yang ada di Azerbaijan hingga barat Jailan, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Alamut. Kata tersebut dari bahasa Dailam yang berarti "Sarang Elang". Di sana terdapat seseorang yang disebut dengan Hasan ibn Al-Shabah. Dia orang perisa dari kota Thaws (sekarang Meshad), meski tidak disebut demikian.[11] Dia menganut Mazhab Isma'ili Al-Bashini. Dia pernah bekerja di Istana Sultan Saljuq Melkshah bersama menterinya, Nizam Al-Mulk. Kemudian pada 469 H (1076 M), dia pindah dari Rayy ke Isfahan dan Azerbaijan, lalu mengunjungi Negeri Syams dan memasuki Mesir pada 471 H. Dia belajar Mazhab Isma'ili di Darul Hikmah yang didirikan oleh Al-Hakim Biamrillah di Kairo.
Al-Hasan ibn Shabah lalu kembali ke Iran pada 473 H (1080 M). Dia mengajak orang-orang menganut mazhab Isma’ili hingga mendapat respons dari banyak orang. Dia dan jamaahnya mampu menguasai Benteng Alamut dari pemiliknya yang kuat melalui penghianatan dan rekayasa pada 483 H. di sana dia mendirikan Dinasti Hasyasiyyah atau Faddawiyyah, dan membiasakan pengikutnya memakan rumput kering sebagaimana yang dikutip oleh seorang petualangan asal Italia, Marcopolo. Lalu kata Hasyasiyyah tersebut beralih ke bahasa asing menjadi assains, namun artinya menjadi pembunuhan atau para pembunuh. Ini disebabkan Al-Hasan ibn Shabah berprinsip membunuh musuh-musuhnya dengan tipuan dan penghianatan serta beraneka ragam cara menunjuhkan makar, tipuan, dan kecerdikan hingga menyebarkan keraguan dan ketakutan di hati orang-orang yang ada pada masa itu. Para ibu jadi menghawatirkan anak-anak mereka terhadap pembawa bencana itu, dan situasi ini berlangsung dalam waktu yang tidak lama di negeri Syam.[12]
Orang-orang Hasyasi telah menguasi lebih dari 100 benteng yang tersebar di pegunungan Baraz yang membentang dari Azarbaijan hingga Qazwin selatan menuju daerah Karman. Benteng-benteng ini dikendalikan dengan jalan-jalan, pos-pos, dan kabilah-kabilah. Mereka menyebarkan keraguan di hati manusia, mewajibkan upeti dan pajak, merampok kabilah-kabilah, serta membunuh setiap orang yang menghalangi mereka. Mereka mengepung benteng, namun itu tidak menjadi halangan karena banyaknya persediaan air dan makanan didalamnya. Musim dingin di daerah tersebut. mereka terpaksa membuka pengepungan.
Pada hari ke-10 Ramadhan 485 H (1092M), mereka membunuh Menteri Agung Nizham Al-Mulk, menteri Sultan Saljuqi Melkshah. Sebulan setelah itu, sang Sultan pun mati diracun, sebagaimana mereka telah membunuh Amir Anar pada 492 H dan menteri Fakhr Al-Mulk pada 500 H[13] dan banyak pula yang lainnya. Mereka telah dua kali mencoba membunuh Sultan Shalahudin Al-Ayubi di negeri Syam setelah menguasai benteng Misyaf, Rashafah, dan Qadamus, namun Allah menolong beliau dari mereka.[14]
Pada masa terjadinya gelombang kekacauan politik, militer, akidah, dan Mazhab ini, pada 470 H (1077), lahirlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Beliau lahir pada zaman Sultan Saljuqi Melkshah dan menterinya yang agung, Nizam Al-Mulk. Ketika Syahikh Abdul Qadir al-Jailani berusia 13 tahun, yakni pada 483 H, Isma’iliyyah ada dibawah kepemimpinan al-Hasan ibn Al-Shabah yang telah menguasai Benteng Alamut. Mereka mulai menyiarkan Mazhab Isma’iliyyah, mewajibkan upeti dan pajak kepada orang-orang, menakut-nakuti mereka dengan membunuh orang yang menentang dan mengalangi jalan mereka, kemudian mereka memperluas hingga benteng-benteng terdekat di pegunungan Baraz yang berada dalam daerah kekuasaan Jailan.
Pada 485 H, Sultan Saljuqi Melkshah wafat. Dengan kewafatannya itu, muncul konflik di antara putranya, Barkyariq sebagai anak paling besar di satu sisi dengan anak bungsunya, Mahmud, yang bersama ibunya, Tarkan Khatun, di pihak lain. Kemudian antara Barkyarik dan pamannya, Tuj Al-Dinasti Tutush, penguasa Damaskus. Konflik tersebut berakhir setelah kematian Mahmud dan ibunya serta Tutush dalam perang di daerah dekat Rayy. Barkyariq merasa tenang pada 488 H,[15] yakni pada tahun kepergian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani meninggal Tanah airnya menuju Baghdad. Semua hal ini ditambah dengan konflik antar mazhab, antara penganut Syafi’i dan Hanbali yang sering berujung pada peperangan, perampokan, perampasan, dan pembokaran kuburan. Itu terjadi pada waktu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani muncul di dunia.
Sebelum membahas tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan pertumbuhan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, ada baiknya kami jelaskan tinjauan tentang kehidupan  sosial di daerah-daerah Islam pada waktu itu. [16]



2.      Tinjauan Sosial
Islam meletakan garis-garis yang panjang bagi kehidupan social umat Islam. Kehidupan yang tengah-tengah, tidak melampui batas, tidak boros dan tidak pula kikir, namun seimbang dunia akhirat dengan selalu mengutamakan timbangan akhirat. Karena fitnah cobaan dunia lebih besar dan diharapkan oleh nafsu, timbangan akhirat mesti selalu menjadi hal yang utama. Oleh karena itu, Nabi SAW, sering mengingatkan para sahabat tentang dunia dan fitnah cobaannya. Kecendrungan kepadanya akan menghancurkan mereka sebagaimana telah menhancurkan orang-orang sebelum mereka. Beliau bersabda, “sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan kepada kalian sepeninggalanku adalah terbuka lebarnya kemewahan dan keindahan dunia pada kalian”[17] (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Beliau mengetahui bahwa dunia akan terhampar luas bagi kaum Muslim dan bersumpah akan hal tersebut. beliau berkata kepada sahabatnya, “Demi Allah! Bukanlah kefakiran yang akan aku khawatirkan atas kalian, tapi aku khawatir kalau dunia terhampar luas bagi kalian, sebagaimana telah terhampar luas pada orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sehingga membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka” (HR. Muslim)[18]
Beliau juga bersabda kepada mereka, “ sesungguhnya dunia itu manis dan indah, dan Allah akan menyerahkannya kepada kalian, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat kepadanya. Berhati-hatilah kalian dari godaan dunia, dan berhati-hatilah dari godaan wanita”. (HR Muslim dan An-Nasa’i)[19]
Beliau juga bersabda, “Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau pengembara” (HR Al-Bukhari)[20] para sahabat radhiyallahu’anhu telah memperhatikan dan mengingatkan pelajaran tersebut dengan baik serta menerapkannya pada kehidupan dan prilaku mereka. Demikian halnya dengan para tabi’in yang mengikuti mereka  dengan baik. oleh karena itu, Nabi SAW, bersabda, “Sebaik-baiknya generasi adalah pada zamanku, lalu yang berikutnya, lalu yang berikutnya. Kemudian setelah itu datang kaum yang maju menjadi saksi meskipun tidak diminta. Mereka berkhianat dan tidak amanah. Mereka bernazar tidak menepati, dan tampak pada mereka kegemukan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)[21]
Abu Bakar, Utsman Ibn ‘Affan, Abdurrahman ibn ‘Auf, Zaid ibn Tsabit, Al-Zubair ibn Al-Awwam, dan Thalhah tergolong tokoh-tokoh yang kaya, namun dunia tidak membuat mereka berbuat melampui batas dan tidak sampai kepada  hati mereka. Abu Bakar r.a. menyedekahkan setengah dari kekayaannya dan Utsman ibn Affan menafkahkan 300 Unta berikut pelanaanya. Pada suatu riwayat, Utsman ibn Affan memberikan 1.000 Dinar yang diberikan langsung ke hadapan Rasulullah SAW. Suatu ketika, Abdurrahman ibn ‘Auf didatangi oleh suatu kafilah dari Syam yang membawa barang-barang, lalu dia pun menyedekahkan semua barang tersebut fi sabilillah.
Umar ibn Al-Khatab r.a. setelah terpilih menjadi Khalifah kaum Muslim dan pada waktu itu menjadi pemerintah terkuat di bumi yang ditakuti oleh Kisra dan Kaisar, didatangi oleh seorang utusan dari Kisra. Utusan tersebut melihat beliau sedang tertidur di bawah pohon dengan memakai baju yang ditambal. Si utusan itu tercengang ketika melihatnya. Dia berkata, “ Kau telah berlaku adil, lalu kau bisa tertidur”.[22]
Kemudian datanglah sesudah mereka peganti yang mulai melupakan pelajaran tersebut. Akhirat sedikit demi sedikt lepas dari mereka, dan sedikit demi sedikit pula dunia menarik hati mereka, memberi kemakmuran kepada mereka dengan pasukan kuda dan pasukan yang berjalan kaki, dengan harta, kecantikan, dan perhiasan. Mereka pun lupa dengan apa yang telah di peringatkan kepada mereka.
Kekacauan pertama yang tempak yaitu kesombangan dalam hal bangunan dan menghias serta memperindah Masjid. Lalu berkembang pada kesombangan dalam pakaian dan perabot. Disusul dengan kumpulan sejumlah biduanita dan mejelis nyanyian, lalu ke majelis hiburan dan minuman, hingga di Mekkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawarah di dirikan majelis hiburan, nyanyian, dna minuman.
Kekacauan tersebut merusak keseimbangan antara dunia dan akhirat sejak munculnya Dinasti Umawiyyah. Harta melimpah pada tangan orang-orang sejak meluasnya penaklukan-penaklukan. Namun keimanan mengawasi harta tersebutdan membimbingnya pada arahan yang disyariatkan. Ketika kelemahan mulai merusak keimanan pada kebanyakan orang, mulailah nafsu-nafsu tidak terkendali dan melampaui batas. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya kebercukupan.” Lalu mulailah mereka ditimpa kesombangan kekayaan dan mulailah timbangan menjadi kacau dan cenderung kepada dunia. Lalu keseimbangan dengan sedikit kecendrungan ke akhirat pada zama khalifah Umar ibn Abdul Azis r.a. pada masa itu, kaum fakir merasa cukup dengan kaumkaya tidak menemukan lagi orang-orang yang mengambil zakat harta mereka.[23]
Kemudian kekacauan ini datang lagi lebih parah setelah kekhalifahan Umar ibn Abdul Azis. r.a. orang-orang kaya semakin kaya dan orang fakir semakin fakir. Harta ditukarkan dengan penukaran yang tidak sesuai dengan syari’ah. Lalu munculah kebakhilan pada orang-orang, pemborosan, dan ekses dalam sesuatu yang tidak di syariatkan oleh Alla SWT. Pada masyarakat Muslim terdapat gambaran-gambaran tentang kekayaan yang mencolok. Pemborosan dan berlebih-lebihan serta gambaran-gambaran tentang kefakiran yang menghinakan, kelaparan dan kekurangan yang mulai tampak sejak permulaan abad ke-2 H. Hal ini terus bertambah parah seiring berjalanya waktu dan bergantinya tahun dan hari. Seseungguhnya pada zaman Yazid ibn Abdul Malik, Khalifah Umayah yang muncul setelah Umar ibn Abdul Azis r.a. pada masa khalifah Abasiyyah Al-Amin (w.198 H) dan pada masa saudaranya, Al-Ma’mun (w.218 H.) dan pada masa khalifah Abassiyah Al-Mutadidh. Dia menikah dengan Qatr Al-Nadda binti Khimaruwiyyah, penguasa Mesir, dan memberikan kepada ayah istrinya tersebut harta melimpah yang belum terdengar sebelumnya.[24]
3.      Tinjauan Kultural
Cahaya Islam telah keluar dari Mekkah Al-Mukaramah dengan jernih dan bersinar. Ketika alirannya kembali dengan kuat pada tahun pertama hijriah ke Madinah. Di sana, kematangannya menjadi sempurna dan alirannya menjadi kuat. Maka, sejak tahun 9.H, Islam mengalir di seluruh kawasan Jazirah Arab. Lalu menyebar ke sekelilingnya; baik timur, barat, dan utara. Sampailah di timur hingga India sampai ke perbatasan Cina. Di utara, sampai ke Azerbaijan dan Armenia hingga mengepung Konstaninopel. Di barat sampai ke Laut Hitam (Samudera Atlantik), lalu mengarah ke utara melalui Gibraltar ke Spanyol dan Prancis hingga sampai ke kota Poitiers, dan juga telah menempati Pulau Sicilia dan Crete.[25]
Di samping itu, di tengah perjalanan yang luas, mulailah dialiri banyak anak sungai yang tidak berhubungan dengan mata airnya yang asli. Anak-anak sungai tersebut di antaranya didapatkan dari peradaban Persia, sebagiannya lagi dari filsafat India dan Yunani, terutama setelah para khalifah kaum Muslimin mementingkan penerjemahan semampu yang mereka dapati dari buku-buku dan kebudayaan umat-umat terdahulu. Kendati tidak semuanya keruh, tapi banyak pula yang mengeruhkan air sungai Islam setiap kali melewati suatu negeri atau dilewati zaman. Meskipun demikian, Allah SWT telah menyediakan pos-pos penjernihan yang menernihkan air tersebut dari kontaminasi saluran air di sekitarnya. Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nabi SAW., dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada awal setiap 100 tahun orang yang akan memperbaharui agamanya” (H.R Abu Dawud).[26]
Filsafat-filsafat yang datang kepada Islam ini sebagiannya ada yang mengagungkan akal dan tidak mengakui sesuatu kecuali dengan menggunakannya serta hukum-hukum yang berasal darinya. Selain itu, terdapat pula perdebatan di dalam internal umat Islam sendiri, yakni dengan munculnya beragam aliran firqah dengan segala kekhasannya; baik kalangan Mu’tazillah yang dipelopori Washil bin ‘Atho’, Jabbariyah oleh Jaham bin Shafwan, Murji’ah melalui Yunus ibn ‘Aun al-Namiri maupun Syi’ah yang kali pertama kemunculannya pada masa Ali bin Abi Thalib ra., yang kemudian bercabang menjadi Qaramithah, Isma’iliyyah, dan Jama’ah Ikhwan al-Shafa. Mereka yang terakhr mengklaim bahwa selama filsafat Yunani bercampur dengan syariat Islam, akan tercapailah sebuah kesempurnaan.[27]
Pada tahun 408.H, terjadi konflik antara Ahlu Sunnah dengan Ahlu Mahallah AL-Kukh al-Syi’ah. Demikian pula pada tahun 433, 34, dan 435.H terjadi konflik di Damskus antara al-Magharibah (pendukung dinasti Fatimiyyah) dan Al-Masyariqah (pendukung Abu Basiyyah), di mana mereka saling melemparkan batu ke rumah-rumah mereka, sehingga sampai membakar Masjid Mahallah Al-Kukh al-Syi’ah. Tidak sampai di situ, pada tahun 323.H, pengikut mazhab Hanbali menyerang rumah-rumah pengikut mazhab Hanafi. Mereka memecahkan, merampas, dan membakar hingga khalifah Al-Radhi (322-329.H) terpaksa memberikan penjelasan dan memperingatkan mereka akan pembunuhan. Konflik berlanjut ke tahun 469, 470, 475, 478, dan 479.H, di mana terjadi fitnah di kalangan para pengikut mazhab Hanbali dan Asy’ari di Baghdad.[28]
Pada 447.H, para pengikut mazhab Syafi’i  dan Hanbali saling menyerang, membunuh, merampok, dan merampas, yang disebabkan perselisihan mereka tentang pembacaan “bismillahirrahmanirrahim” secara jahr di dalam shalat. Konflik masih terjadi hingga tahun 546.H, di mana terjadi keributan di Masjid Al-Manshur di Baghdad, antara pengikut mazhab Hanbali dan Syafi’i. Kesemua hal ini menunjukkan egoisme sebagian ulama Ahlu Sunnah dan arogansi mereka kala itu. Dalam situasi politik, militer, sosial, seta pemikiran yang kacau ini, dan ketika kebudayaan mencapai puncaknya, lahirlah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.[29]
B.     Perjalanan Hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
1.      Nasab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Sayid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulanRamadhan tahun 470.H, bertepatan dengan tahun 1077.M. Ayahnya bernama Abu Shalih, seseorang yang takwa, keturunan Hadhrat Imam Hasan ra., dan Fatimah ra—putri tercinta Rasul SAW. Ibu beliau adala puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein ra., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalh Hasani, sekaligus Huseini.[30]
Kendati demikian, ada riwayat yang menjelaskan bahwa penasaban Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kepada Ali bin Abi Thalib adalah tidak benar, seperti yang dicantumkan dalam buku “Zail Thabaqaat Al-Hanabilah” karya Ibnu Rajab.Bagi Said al-Qathani, benar tidaknya kabar tersebut bukanlah sesuatu yang penting, mengingat bahwa perdebatan mengenai hal yang demikian itu takkan menemukan ujung-pangkalnya. Hal yang terpenting baginya dalam kehidupan manusia adalah perbuatan dan amaliahnya, dan bukan asal-usul dan nasabnya, apalagi al-Jailani sendiri merupakan sosok ulama yang tidak senang mengunggulkan diri, bahkan beliau menghindari hal-hal yang dianggapnya “tidak penting” semacam itu.[31]
2.      Masa Kecil Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Al-Jailani merupakan anak bungsu yang kemudian menjadi yatim,di mana ayahnya wafat tak lama setelah dia lahir. Faktor yang memperkuat bahwa ia anak terakhir dikarenakan ibunya telah mendekati masa menopouse pada saat mengandungnya, sehingga, para penulis biografi mengatakan bahwa usia ibunya saat itu 60 tahun. Dikarenakan keadaaannya yang telah yatim, al-Jailani tinggal dalam pemeliharaan sang kakek dari pihak ibunya yang bernama Abdullah al-Shauma’i: Beliau adalah seseorang yang zuhud dan ahli ibadah, sehingga orang-orang menjulukinya dengan memakai kata al-Shauma’i yang bermakna tempat peribadatan. Dengan demikian, al-Jailani kecil hidup dalam bimbingan seorang ibu yang bertakwa dan kakeknya yang zuhud dan ahli ibadah. Itulah sebabnya, tak heran bila kemudian al-Jailani menjadi pribadi yang saleh, zuhud, serta haus akan berbagai bidang pengetahuan.[32]
3.      Masa Muda Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Sejak kecil, ia pendiam, bertafakur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut “pengalaman-pengalaman mistik”. Ketik berusia delapan belas tahun, ia merasakan sebuah kehausan pengetahuan yang pada akhirnya menghantarkannya bertemu dengan orang-orang saleh di Baghdad—yang kala itu menjadi pusat ilmu dan peradaban. Di sanalah kemudian ia digelari sebagai Ghauts al-Azam atau wali Ghauts terbesar. Perlu diketahui bahwa dalam perkembangan tasawuf, setidaknya terdapat tiga poros (quthb) besar bagi kalangan syaikh sufi: Poros ilmu pengetahuan disandangkan kepada ‘Ibn ‘Arabi, poros mahabbah (cinta) kepada Jalaluddin Rumi, dan terakhir, poros keajaiban (karamah) kepada Abdul Qadir al-Jailani.[33]
Menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalm mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang tersebut merupakan warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-mas sulit yag mungkin saja dihadapi. Salah satu pesan ibunya adalah bahwa apapun keadaannya agar ia jangan sampai berdusta. Hal tersebut kemudian mendorongnya untuk tetap berlaku jujur, meskipun, kala itu, ia hendak dirampok dalam perjalanannya menuju Baghdad.[34]
4.      Belajar di Baghdad
Selama belajar di Baghdad, dengan  segala bentuk kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Akan tetapi, dikarenakan kerinduan ruhaniahnya yang lebih mendominasinya kala itu, ia pun—sebagaimana masa mudanya—gemar melakukan musyahadah. Ia sering berpuasa dan berusaha tidak meminta makanan dari siapapun, sekalipun ia mesti pergi berhari-hari tanpa makanan. Agaknya, hal itu dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, di mana ia sering menjumpai orang-orang yang berpikir serba ruhani.[35]
Apa yang dikemukakan di atas, menurut Ibnu Rajab, berasal dari ungkapan al-Jailani sendiri. Di mana ia mengatakan,
Saya makan pohon-pohon berduri, bawang yang mati dan daun kering di pinggir sungai dan parit. Saya mengalami kesulitan ekonomi yang sangat parah di Baghdad hingga berhari-hari saya tidak makan makanan, tetapi saya memakan tumbuh-tumbuhan yang baru bersemi. Pada suatu hari saya keluar karena sangat kelaparan, dengan berhrap semoga saya menemukan daun kering atau bawang dan sebagainya untuk bisa saya makan. Tak ada tempat yang saya datangi, kecuali orang lain sudah mendahuluiku. Jika aku menemukan orang, tentulah dia orang miskin yang saling berebut makanan itu sehingga saya meninggalkannya dalam keadaan malu.[36]

Demikianlah salah satu bentuk kesungguhan dan kelelahan yang ditempuh oleh ara penuntut ilmu pada masa itu, dengan penuh kesabaran dan ketabahan dalam merealisasikan cita-cita dan memenuhi hasrat keilmuan mereka. Kisah yang dipaparkan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ini, Said[37] menambahkan, merupakan karamah yang diberikan Allah kepadanya, karena beliau berpindah dari suatu tempat ke tempat lain hingga bertemu dengan sebuah Masjid: Di dalamnya ia bertemu dengan seseorang yang diutus ibunya, di mana dengan pertemuan itu Allah SWT mengangkat kesulitan yang dihadapinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan.
5.      Latihan-latihan Ruhaniah
Dalam beberapa keterangan, disebutkan bahwa ia merupakan sosok penimba ilmu yang gemar melakukan latihan-latihan ruhani.Hal ini sebagaimana telah di sebut terdahulu, bahwa al-Jailani memiliki kecondongan diri hal keruhanian. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk beribadah semata; seperti shalat, puasa, berzikir, termasuk membaca al-Qur’an. Bahkan, dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa ia mampu menghatamkan bacaan al-Qur’an hanya dalam kurun waktu satu malam. Sebagaimana sufi umumnya, waktu malampun tidak akan dilaluinya selain dengan melakukan munajat kepada Allah SWT. Tidak sebatas itu, ia pun dalam beberapa waktu, menghindari berinteraksi denga kehidupan dunia (khalwat).
6.      Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Seorang Pemimpin
Ketika membicarakan persoalan ini, al-Kailani mengatakan bahwa apapun yang ia katakan tentang sosok al-Jailani, takkan pernah menggambarkan keadaan yang seutuhnya. Hal yang demikian itu, lanjut al-Kailani, disebabkan bahwa ia tak cukup mampu mendeskripsipkan sosok al-Jailani dengan segala keutamaannya. Namun demikian, paling tidak, kedudukannya yang luhur terdapat dalam kedermawanan dan kemurahan hati serta keyakinan yang kuat terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, dengan pengaruhnya yang mampu menghidupkan hati, kesendiriannya dalam beramal, dan segala perbuatan terpuji yang dilakukannya.
Apa yang dikemukakan di atas, sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Abu Hasan al-Nadwi dalam sebuah kesempatan,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani muncul di Bagdhad. Menerima gelar kepemimpinan keagamaan dan hidup hampir seabad dengan kesendiriannya dalam berdakwah menuju Allah SWT. Dunia Islam berkerumun di sekitarnya dan dia memberikan suatu pengaruh yang belum pernah dilakukan oleh seorang ulama atau mushlih (pembaharu) yang sepertinya pada masa yang lama.[38]

Pada kesempatan yang lain, al-Nadwi juga mengatakan,[39]
Di antara karamah terbesar Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah menghidupkan jiwa dan hati yang mati, menumbuhkan keimanan, ketakutan, dan cinta kepada Allah SWT., serta membakar anglo-anglo hati yang padam. Dengannya, Allah telah mengembalikan kehidupan dan keimanan ke dalam hati-hati yang tak terhitung jumlahnya, dan dengan nasihat dan pendidikannya, berhembus angin keimanan yang menghidupkan hati-hati yang mati.

Hati yang padam menjadi aktif, lalu muncullah gelombang keimanan yang baru, spiritualisme yang kuat, akhlak yang utama, dan ketakwaan pada dunia Islam. Allah telah menganugerahkan kepadanya kepemimpinan agama dan spiritual dalam dunia Islam, maka Dia memilih Baghdad (ibu kota kerajaan Abbasiyyah dan jantung dunia Islam) untuknya. Oran-orang yang hadir di majelisnya berjumlah sekitar 70 orang.

Apa yang tersurat dalam pernyataan al-Nadwi di atas, lebih kepada gambaran sosok al-Jailani sebagai pemimpin agama. Itulah sebabnya, tak mengherankan kalau di antara beberapa julukan atau gelar yang disematkan kepadanya, ia juga dianugerahi gelar Muhyi al-Din (yang menghidupkan agama). Adapun mengenai sosok al-Jailani sebagai pemimpin masyarakat, termasuk predikat pembaharu yang diletakkan di pundaknya, setidaknya terdapat dalam ungkapan al-Nadwi[40] berikut,
Dunia Islam sangat membutuhkan seorang dai yang merakyat, pribadi yang sangat tinggi spiritualismenya bersosialisasi dengan rakyat, menghembuskan dakwah kepada masyarakat, nasihat, penyucian jiwa-jiwa, perbaikan akhlak, spirit keagamaan dan kehidupan keimanan. ...yang mengurangi kecintaan terhadap dunia yang berlebihan serta membatasi kekejaman dan kesulitannya, membangunkan keimanan dalam jiwa, membangkitkan keyakinan terhadap akhirat, menggerakkan kecintaan dan kerinduan kepada Allah ‘Azza wa Jalla di dalam hati.

Seorang penyeru yang mendorong keinginan dan semangat yang tinggi, mencurahkan segenap kemampuan di jalan-Nya, menyeru kepada tauhid yang sempurna dan agama yang lurus dengan dakwah yang terbuka.jiwa pembaharu ini ada pada seseorang yang bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

7.      Kehidupan Rumah Tangga Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Salah satu hal yang menarik dari al-Jailani, bahwa hingga menginjak usia 51 tahun, ia tak pernah berpikir tentang perkawinan. Tidak sebatas itu, ia pun menganggap bahwa hal yang demikian hanya akan menghambat perjalanan ruhaniahnya. Pendek kata, begitu besar upaya mujahadah yang dilakukannya, sampai-sampai ia pun tidak merasa memilik kebutuhan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Baru setelahia keluar dari khalwat dan berkumpul dengan masyarakatnya, dan demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun kemudian menikahi empat wanita, yang kesemuanya salehah dan taat kepadanya. Hasil dari perkawinan dengan empat orang istrinya itu, ia dikaruniai 49 anak; 20 putra dan selebihya putri.[41]
Perlu diketahui bahwa di antara keturunan beliau, setidaknya ada empat orang putranya yang kemudian masyhur karena kecerdikan dan kepakarannya dalam beberapa bidang keilmuan. Di antaranya bernama Syaikh Abdul Wahab, yang merupakan putra tertua al-Jailani; seorang ‘alim besar sekaligus pengelola madrasah ayahnya pada tahun 543.H. Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan posisi ayahnya dalam berkhutbah sekaligus menyumbangkan buah pikirannya. Ia memiliki kecenderungan di bidang syariat Islam. Kedua bernama Syaikh Isa; seorang guru hadis dan hakim, juga seorang penyair. Ketiga adalah Syaikh Abdur Razaq yang merupakan seorang alim lagi penghafal hadis, dan terakhir adalah Syaikh Musa yang dikenal sebagai seorang alim di Baghdad hingga wafatnya. Menurut sebuah keterangan, melalui Syaikh Isa lah 78 wacana al-Jailani sampai kepada kita.[42]
8.      Keseharian Sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Sebagai seorang wali, sudah barang tentu kehidupan al-Jailani tidak terlepas dari pengabdiannya sebagai seorang alim. Ia bertabligh sebanyak tiga kali dalam seminggu. Di samping itu, di waktu pagi dan petang setiap harinya, ia mengajarkan tafsir al-Quran, Hadis, Ushul Fiqh, dan mata pelajarn lain yang berkaitan. Setelah shalat zuhur, ia memberikan fatwa mengenai masalah-masalah hukum yang diajuka kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sebelum shalat maghrib, ia menyempatkan diri untuk membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Adapun waktunya untuk makan adalah sesudah melaksanakan shalat maghrib. Sebagai pengikut sejati Nabi, waktu siangnya ia curahkan untuk mengabdi kepada manusia, sementara sebagian besar dari waktu malamnya dihabiskan untuk mengabdu kepada penciptanya.[43]
9.      Wafatnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Beliau wafat pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561.H (1166.M) pada usia 91 tahun, tepatnya setelah waktu maghrib dan ditunggui tiga putranya; ‘Abd al-‘Aziz, ‘Abd al-Jabbar, dan ‘Abd al-Wahhab. Ketiga putranya inilah yang menyaksikan wafatnya Syaikh. Ia wafat setelah meninggalkan berbagai wasiat keagamaan, serta mengungkapkan kebersamaannya dengan Allah. Beliau wafat setelah lisannya mengucapkan syahadatain beserta ucapan-ucapan kemuliaan bagi Allah, dan terakhir, seruan “Allah” sebanyak tiga kali sembari mengangkat kedua tangannya. Al-Jailani kemudian dimakamkan di Bab al-Darajah, yang kemudian menjadi tempat penting ziarah kaum sufi dan umat Islam—setelah sebelumnya disaksikan oleh manusia yang tak terhitung jumlahnya. Tanggal ini diperingati oleh para murid dan pengagumnya sampai sekarang, termasuk di anak benua India (Pakistan), sebagai Giarwin Syarif.[44]
10.   Peninggalan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Salah satu peninggalan yang diwujudkan oleh putra dan muridnya adalah sebuah thariqah, yang didirikan dengan alasan untuk tetap melestarikan spiritualitas Islami, termasuk yang pernah diajarkan al-Jailani semasa hidupnya, dikenal dengan nama Thariqah Qadiriyyah. Tariqah ini telah sedemikian berjasa dalam usaha kebangkitan kembali “dunia Islam”, serta sumbangannya dalam dunia tasawuf yang tak terhingga. Sebagaimana thariqah lain yang berkembang di dunia sufi, thariqah ini tetap dipengaruhi oleh karya-karya pendirinya, yakni Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.







C.    Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Sebagai sosok ulama yang produktif, al-Jailani meninggalkan beberapa karya yang tida diragukan pengaruhnya di dunia Islam terutama pada ranah tasawuf. Di antara “buah tangan” yang dimaksudkan sebagaimana berikut;[45]
1.      Al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq (Kecukupan bagi Pencari-pencari Kebenaran). Risalah ini berisi khutbahnya mengenai ibadah dan ahlak, cerita-cerita tentang etika,serta keterangan mengenai 73 aliran-aliran Islam yang terbagi dalam 10 bagian. 

2.      Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilayhi al-Arbar (Rahasia Terdalam dari Segala Rahasia dalam Menjelaskan tentang yang diperlukan oleh Ahli Kebajikan). Di dalamnya dibahas secara menyeluruh tentang syariat, thariqat, dan hakikat.

3.      Al-Fath al-Rabbani (Penyingkap Rahasia Ilahi). Kitab ini menghimpun berbagai wasiat, nasehat, dan arahan-arahan spiritual yang disampaikan al-Jailani antara 3 Rabi’ul Awwal 545.H sampai 6 Rajab 546.H.

4.      Futuh al-Ghayb (Penyingkap Kegaiban). Berisi 78 buah khutbah mengena berbagai macam subyek keagamaan, yang dikumpulkan oleh anaknya Syaikh ‘Abdul Razaq.

5.      Al-Mawahib al-Rahmaniyya wa al-Futuh al-Rabbaniyya fi Maratib al-Akhlaq al-Sawiya wa al-Maqamat al-‘Irfaniyyat.
6.      Jala’ al-Khatir (Penyucian Fikiran). Berupa kumpulan dari 45 khutbah yang diperkirakan disampaikan di tahun-tahun setelah 546.H

7.      Yawakit al-Hikam.

8.      Malfudzat-i Jalali (Kumpulan Percakapan dan Ujaran)

9.      Syarh-i Ghautsiya va Ghayra.

10.  Khamsata ‘Asyara Maktuban. Ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh ‘Ali bin Husam al-Din al-Muttaqi (w. 977.H/1569.M).

11.  Al-Safinat al-Qadiriyyah. Kitab ini membahas sedikit biografi al-Jailani yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqalany dengan judul Ghibthat al-Nazir fi Tarjamah al-Syaikh ‘Abd a-Qadir, yang di dalamnya juga terkumpul berbagai macam salawat da wirid.

12.  Al-Mi’raj. Kitab ini oleh Snouck Hurgronje disebutkan sebagai karya al-Jailani, yang menjadi pegangan bagi orang-orang tarekat Qadiriyyah di Tunisiadan sekitarnya.

13.  Fath al-Dha’if wa Jawab al-Su’al.Memuat kisah yang disarikan dari Kalung Mutiara perjuangan beliau melawan segolongan Syetan, Iblis, dan nafsunya sendiri. Pada bagian kedua mengandung beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sangat penting menyangkut beragam topik permasalahan.

14.  Pidato-pidato dan wejangan-wejangan yang dihimpun dalam kitab Bahjat al-Asrar karya Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali al-Syattanawfi (w. 713.H/1314.M), serta berbagai kitab manaqib.

Selain itu, al-Jailani juga meninggalkan beberapa kitab yang berisi kumpulan zikir dan wirid, seperti:

1.      Al-Fuyudhat al-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadariyyah (Pancaran Rahmat Ilahi): Koleksi mengenai sembahyang dan praktik ritual. 
2.      Hizb Basha’ir al-Khayrat. Berisi do’a-do’a dan penjelasan mengenai masalah shalat syariat dan tarekat.
3.      al-Awrad al-Qadiriyyah. Kitab yang mengumpulkan berbagai macam doa’, al-ahzab (kumpulan hizb), shalawat, dan berbagai qashidah.














D.    Guru-guru dan Murid-murid
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mempunyai guru-guru yang banyak, yang dari mereka beliau mengambil ilmu dan amal. Dalam hal ini saya hanya akan menjelaskan tentang guru-gurunya yang terkenal saja dan barang siapa yang ingin melihat guru-gurunya secara lengkap, hendaklah dia melihatnya sendiri di buku-buku yang berbicara tentang biografinya.
Pertama : guru-gurunya dalam belajar Al-Qur'an
Tidak ada refrensi yang menjelaskan kepada saya, dan siapa beliau belajar menghafal Al-Qur'an. Tetapi dari literatur-literatur itu menunjuhkan bahwa beliau telah menyelesaikan kajian al-qur'an di Jailan sebelum beliau pergi ke Bagdad, seperti yang dikatakan penulis buku Qalaid Al-Jawahir dalam biografinya. Setelah menyelesaikan kajian Al-Qur'an baik hafalan maupun ilmunya, beliau mencari guru dari kalangan para imam dan pembesar Umat.  Dia juga pernah berkata, "beliau belajar fiqih. Setelah belajar Al-Qur'an hingga mendalaminya dan menguasai kajiannya, baik yang tersembunyi maupun lahir.
Sedangkan dalam bidang tafsir, saya menemukan bahwa beliau belajar dari guru-guru fiqih karena para ulama itu disamping mahir dalam bidang fikih dan hadits, mereka juga pandai dalam bidang Al-Qur'an dan penafsirannya. Hal itu tidak diragukan karena memang seperti itulah keadaanya ulama para salaf yang memiliki keluasan ilmu dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Kedua: guru-guru dalam fiqih dan Ushul fiqih
1. Abu Khathtab Mahfudz bin Ahmad bin Hasan bin Ahmad Al Kaludzani Abi Thalib Al-Bagdadi. Lahir pada tahun 432 H dan meninggal pada tahun 510 H. Dia adalah salah seorang imam Mazhab Hambali. Spesialisasinya adalah bidang hadits dan fiqih, baik secara mazhab, ushul maupun perdebatan. Beliau sangat ahli dan detail di dalamnya. Beliau juga seorang mufti yang shalih, ahli ibadah, wara', dan berprilaku baik. Beliau mempunyai syair-syair yang indah dan menulis buku Al-Hidayah, Ru'us Al-Masail, dan Kitab Ushul al-Fiqh. Adz-Dzahabi ketika menulis biografinya dalam As-Sair menyebutnya bahwa beliau adalah seorang yang ahli wara', dan syaikh Mazhab Hambali. Beliau juga berkata bahwa dia termasuk ulama yang mulia, baik, jujur, berakhlak mulia, manis tutur katanya dan jenius.[46]
2. Abu Said al-Mubarak bin Ali Al-Makhzumi Syaikh Hanabilah, yang belajar kepada Al-Qadhi Abu Ya'la dan membangun sekolah bernama Bab Al-Azaj. Di dalamnya beliau mengajar Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani setelah mengembangkan, memperluas dan melakukan pembaharuan. Beliau adalah seorang yang bersih dan berhati-hati. Beliau diberi kemudahan dunia, maka dari itu beliau membangun Masjid, kamar mandi dan sekolahan. Meninggal pada tahun 513 H[47]
3. Abu Al-Wafa' Ali bin Aqil bin Abdullah Al-Bagdadi. Imam Allamah Al-Bahr, Syaikh Hanabilah, seorang pengikut mazhab Hambali, mutakallim (ahli kalam), dan penulis banyak buku. Beliau lahir pada tahun 431 H, cerdas, memiliki keluasan ilmu dan Mulia. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi pada masanya.[48]Adz-Dzahabi telah menukil darinya perkataanya, "Allah Subhanaullahu wa ta'ala telah menjagaku pada waktu saya masih kecil dengan berbagai macam penjagaan dan membatasi kesenanganku hanya pada ilmu. Saya tidak pernah bermain-main sama sekali dan tidak bergaul, kecuali dengan temen-temen sejawat yang belajar ilmu. Sekarang saya sudah berusia delapan puluh tahun, tetapi saya justru semakin tamak kepada ilmu dan lebih tamak dari sebelumnya ketika saya berumur duapuluh tahun bahkan duabelas tahun. Tetapi saya tidak pernah mendapati diri saya mengalami kekurangan baik dalam kecerdasan, pemikiran, hapalan, maupun ketajaman penglihatan dengan mata untuk melihat sesuatu yang tersembunyi. Kecuali kekuatan saya melemah.[49]
Ibnu Al-Jauzi[50] berkata, Ibnu Aqil adalah seorang yang menjaga agama dan hukum-hukumnya. Beliau meninggalkan dua orang anak, seorang yang kesabarannya menakjubkan. Dia adalah seorang yang mulia, yang menafkahkan semua yang diperoleh dan tidak meninggalkan apa-apa selain buku dan pakaian yang menempel di badannya. Beliau meninggal pada tahun 513 H.[51]
Adz-Dzahabi menukil dari Abu Al-Mudzaffar Sabt bin Al-Jauzi perkataan Ibn Aqil berikut, "pada waktu saya melaksanakan ibadah haji, saya menemukan permata yang diikat dengan benang merah. Ternyata ada orang tua yang mencarinya dan dia menawarkan seratus dinar bagi penemunya. Lalu saya kembalikan kepadanya dan dia berkata," ambilah uang dinar ini", tetapi saya menolak pemberian itu. Setelah itu saya pergi ke Syam, mengunjungi Al-Quds dan pergi ke Bagdad. Kemudian saya beristirahat di Masjid karena kecapekan. Saya pun merasa kedinginan dan kelaparan. Mereka menunjuhku sebagai pemimpin, dan saya shalat bersama mereka. Lalu memberiku makanan pada saat itu awal bulan Ramadhan.
Mereka berkata, "Imam kami meninggalkan dunia, maka sholatlah bersama kami bulan ini kami." Maka saya pun melakukanya. Mereka berkata, 'imam kami mempunyai seorang anak prempuan.' Lalu saya menikahinya dan saya tinggal bersamanya selamanya selama setahun dan dia melahirkan seorang anak laki-laki. Pada waktu nifas dia menderita. Pada. Hari saya merenungkannya, ternyata di lehernya ada tali berwarna merah. Saya katakan kepadanya, ' tali merah ini mempunyai cerita, dan saya pun menceritakannya kepadanya. Dia berkata, ' kamukah itu, demi Allah Subhanaullah wa Ta'ala, ayahku pernah menangis dan berkata, 'Ya Allah, berikanlah kepada anak prempuanku seorang suami seperti orang yang mengembalikan tali itu kepadaku, ' dan ternyata Allah Subhanaullah wa Ta'ala mengabulkan Doanya. Kemudian dia meninggalkan dunia, saya ambil tali dan warisannya, lalu saya kembali ke Baghdad.[52]
Ketiga : guru-gurunya dalam bidang Tasawuf.
1. Hammad ibn Muslim Ad-Dabbas[53] ditemani oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pada masa awal kehidupannya dan dijadikan guru olehnya serta banyak memberikan pengaruh kepadanya. Dia sangat keras dan kaku dalam bergaul. Dalam hal ini, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, "jika saya tidak hadir dalam pelajarannya dan ketika saya datang dia berkata kepadaku, ' apa alasanya kamu tidak hadir. Kamu adalah seorang pelajar bandel kepada para fuqaha.' Lalu saya diam dan beliau menyiksaku dengan siksaan yang berat dan memukuliku. Jika saya masuk sekolah dan saya datang kepadanya, beliau berkata, " tadi kami dapat kiriman roti dan daging yang banyak, lalu kami makan bersama-sama dan tidak sempat menyembunyikan sebagaian untukmu.' Karena beliau banyak menganiayaku, maka kawan-kawannya merasa iba kepadaku dan ingin merebutku menjadi muridnya, mereka berkata, ' kamu adalah seorang faqih, untuk apa kamu disini atau berguru saja kepada kami'.[54]
Tampaknya bahwa metode yang ditempuh oleh Hammad adalah metode mujahadah, maka dari itu, di balik perlakuannya yang keras itu adalah sebagaian ujian atas kemampuannya dan sejauh mana ketabahan dan kesabarannya. Karena Tasawuf pada dasarnya bersandar menjauhi kesenengan dan hawa nafsu.
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan secara pasti bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berguru kepada Hammad Ad-Dabbas, apalagi Adz-Dzahabi telah membuktikan sendiri dalam bukunya "Siyar A'laam An-Nubala seraya berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani termasuk salah satu muridnya"[55]. Seperti yang juga di isyaratkan oleh Ibn Imad dalam Sadzaraat Adz-Dzahab dengan perkataannya, "Syaikh Hammad bin Muslim bin Dawud bin Dabbas Abu Abdillah Ar-Rahbi Az-Zahid adalah guru Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Begitu juga Syaikh Islam Ibnu Taimiyah[56] tentang Al-Jailani dan gurunya Hammad berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan gurunya Hammad Ad-Dabbas dan selain mereka dari para Syaikh yang lurus Radhiyalahu anhum memerintahkan, bahwa seorang salik tidak boleh menginginkan dan tidak boleh mengkehendaki, kecuali kehendak Allah Subhanaullah wa Ta'ala. Dia harus senantiasa mengarahkan amal perbuatannya kepadaNya sehingga Dia menjadi tujuan yang sebenarnya.[57]
Keempat : guru-gurunya dalam bidang Hadits
1. Abu Muhammad Ja'far bin Ahmad Al-Bagdadi As-Siraj. (417 H-500 H)[58]
2. Abu Qasim Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan Al-Bagdadi. ( 413 H - 510 H)[59]
3. Abu Abdullah Yahya bin Imam Abu Ali Hasan bin Ahmad bin Banna Al-Baghdadi Al-hambali. ( 453 H - 531 H)
Murid-muridnya
Di sini kami hanya menyebutkan beberapa orang saja di antara mereka yang kami anggap terkenal dan menjadi imam, untuk mengetahui sejauh mana menyebarkan pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani secara keilmuwan. Diantaranya[60];
1. Al-Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali bin Hadhar Al-Qurasyi. Seorang Hafidz Al-Quran, faqih, dan ahli hadits. Meninggal pada tahun 575 H.[61]
2. Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur Al-Maqdisi.[62]
3. Muwaffiqudin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi.
Di antara putranya yang masih hidup mereka mengambil dari ayah mereka ilmmu dan pengetahuan, lalu menyebarkan ke penjuru dunia. Dianatara anaknya yang ahli dalam bidang keilmuwan adalah.
1. Abdurrazaq bin Abdul Qadir Al-Jailani[63]
2. Abdul Wahab bin Abdul Qadir Al-Jailani[64]
E.     Kedudukan Ilmiah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memulai karir ilmiahnya sebagai seorang penasehat dan guru, maka beliau bebicara kepada manusia dalam bentuk nasihat-nasihat. Perkataanya banyak mengarah kepada masalah zuhud dan beliau tinggal disekolahnya untuk mengajar dan memberi nasihat hingga meningal dunia.[65] Walaupun masa di mana Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani hidup telah terlumuri oleh lumpur kesufian, menyebarnya pendapat-pendapat kefilsafatan, awal rohaniyah, ilmu-ilmu perdukunan, sihir dan ramalan, tetapi orang yang hadir di majelis pengajian dan majelis ta’limnya mengambarkan menurut keyakinan kami bahwa beliau berpegang kepada keyakinan para salaf yang shahih dan sahabat.[66]
Buku primer yang menunjuhkan jejak-jeka ilmiahnya yang dengannya memungkinkan kita mengetahui kedudukan ilmiahnya adalah buku Al-Ghinyah Lithaalibil Haq, bahwa beliau menulisnya untuk memenuhi permintaan sebagian sahabatnya yang meminta beliau untuk menjelaskan tentang etika syariat yang terdiri dari amalan fardhu, amalan wajib, prilaku, pengetahuan tentang Pencipta dengan tanda-tanda, alamat, dan nasihat dengan al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, serta pengetahuan tentang akhlak orang-orang shalih.[67]
Sedangkan mengenai keberagamannya dan akhlaknya, buku-buku tentang sirah banyak yang menjelaskan bahwa beliau adalah contoh kejujuran sejak masa kanak-kanaknya. Asy-Syathufi menjelaskan satu kisah yang menceritakan tentang kejujurannya seraya berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata,
“ketika saya meminta izin kepada ibu saya untuk pergi ke Bagdad guna mencari ilmu, beliau memberiku empat puluh dinar dan menjahitnya di bawah ketiak bajuku dan beliau berwasiat kepadaku agar bersikap jujur. Di tengah-tengah perjalanan kami, tiba-tiba ada enam puluh orang penunggang kuda, lalu mereka merampas para kafilah dan tidak seorang pun di antara mereka mengetahui. Lalu salah seorang dari mereka mendekatiku dan bertanya kepadaku, “berapa banyakuang yang kamu bawa wahai orang miskin?” saya menjawab, “empat puluh dinar”, dia bertanya lagi kepadaku, dimana dia?, saya jawab, “dijahit bajuku di bawah ketiakku”, dia mengira aku meledeknya sehingga dia meninggalkanku dan pergi. Lalu ada perampok lain yang menghampiriku dan bertanya kepadaku seperti pertanyaan orang pertama. Saya pun menjawabnya seperti jawaban saya pertama, lalu dia pergi dan meningalkanku. Lalu keduanya bertemu dan melaporkannya kepada pimpinan mereka tentang apa yang mereka dengar dariku. Pimpinan itu berkata, “sekarang antarkan aku kepada orang itu”, tiba-tiba mereka sudah berada di tempat yang tinggi sedang membagi bagi harta kafilah (yang mereka rampas). Lalu dia (pemimpinnya) bertanya kepadaku, “apa yang kamu bawa?” saya jawab, ”uang empat puluh dinar” dia bertanya lagi, “dimana dia” saya jawab,  “dijahit dibaju dibawah ketiakku” lalu dia menyuruhku membuka dan merobeknnya hingga mendapatkan di dalamnya empat puluh dinar. Dia bertanya, mengapa kamu mengaku?, saya jawab, “aku berjanji kepada ibuku untuk bersikap jujur dan saya tidak ingin menghianati janjinya”, lalu pimpinan perampok ini menangis seraya berkata, kamu tidak ingin menghianati janji ibumu sementara saya begini.... dan begitu selam satu tahun aku menghianati janji Tuhanku. ‘lalu dia pun bertaubat dihadapanku dan sahabat-sahabatnya berkata,’kamu adalah pemimpin kami dalam perampokan, maka sekarang kamu adalah pemimpin kam dalam bertaubat. ‘akhirnya mereka semua bertaubat dihadapanku dan mereka mengembalikan semua barang yang mereka ambil dari kafilah.[68]
Hanya saja kami tidak sepenuhnya membenarkan cerita ini karena tidak masuk akal semua pencuri yang hati mereka telah mengeras dan perasaan mereka mati karena banyaknya dosa pembunuhan dan perampokan didahului dengan peristiwa besar, dapat dengan segera bertaubat seluruhnya tanpa ada seorang pun diantara mereka yang menentangnya, walaupun, paling tidak sebagian diantara mereka. Padahal jumlah mereka adalah 60 penunggang kuda, yang menguatkan keraguan itu bahwa cerita ini tidak benar. Tetapi mungkin juga cerita ini benar terjadi dan bisa ditrima kebenaranya karena Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dikenal sebagai orang yang bersifat bagus dan berakhlak mulia.[69]
Mungkin di antara bukti yang menampakan kedudukan ilmiahnya adalah perannya yang dominan, yang dimainkan dalam menyembuhkan kegalauan mendalam yang terjadi di antara para ulama dan fuqaha di satu sisi, dan antara pembesar sufi di sisi lain. Beliau telah memulai dakwahnya ketika umat berjalan di atas tujuan yang tidak menentu. Karena banyaknya perbedaan dan khurafat, serta menyebarnya pemikiran sesat sehingga tasawuf mengarah kepada arah yang sesat dan menjauh sekali dari syariat. Hingga tidak ada lagi keterkaitan tasawuf dengan syariat, kecuali diikat dengan ikatan yang berupa anggapan dan pengakuan. Para pembesar sufi menuduh ulama yang berpegang teguh kepada syariat dengan tuduhan bahwa mereka memahami nash secara harfiyah, yang dalam pandangan mereka, telah jauh dari inti agama; dan mereka menganggap bahwa ilmu fiqih adalah ilmu dunia bukan ilmu agama. Di antara pandangan semacam ini adalah yang dikatakan oleh beliau Yazid Al-Busthami[70] kepada para ulama di masanya, “kalian mengambil ilmu dari para ulama tulis yang mati dari orang yang mati, sedang kami mengambil dari Dzat Yang Mahahidup Yang Tidak Mati.[71]
Sedangkan para ulama sunnah telah menuduh para pembesar sufi dengan kesesatan dan kezindikan, karena sebagian mereka meremehkan syi’ar agama dan kewajiban Islam dengen peremehkan yang sangat, sehingga di banyak kesempatan, mendorong mereka untuk menginkari nash dan bahkan membuangnya sama sekali. Demikianlah nuasa perdebatan yang meluas pada masa itu hingga abad kelima belas hijriah, yang mana sebagian ulama berusaha untuk mendamaikan antar berbagai kelompok ilmuwan itu. Diantara pendamai itu adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mengumungkan perang kepada semua kelompok sufi sesat, dengan bersenjatakan hujah-hujah yang kuat dari Kitab-Kitab dan Sunnah hingga Asy-Sya’rani menyifatinya dengan perkataan, “jalannya adalah tauhid, baik dalam sifatnya, hukum maupun keadaan, sedangkan hakikatnya adalah syariat baik lahir maupun batin.[72]
Untuk mengetahui kedudukan ilmiah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani cukup memahami pujian Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang mengakui ketabahannya yang kuat dan semangatnya yang menyala untuk memerangi sufismem dengan cara penolakan, pembatalan, penyanggahan prasangka, dan penjelasan kebenaran, khususnya kepada mereka yang berpendapat tentang hulul dan wihdatul wujud. Diantaranya adalah perkataan beliau, “barangsiapa yang berkeyakinan seperti al-Hallaj dengan perkatan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj terbunuh, maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslim. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, dan wihdatulwujud, perkataan-perkataan orang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya.[73]
Akan tetapi Ibnu Taimiyah mendukung Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, mengarahkan perkataanya dan memberinya berbagai macam penghormatan. Maka beliau bersaksi dengan perkataanya sendiri dan berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al- Jailani ruhnya disucikan Allah Subhnahu wa Ta’ala”. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah juga telah memberikan kesaksian kepada Syaikh Abdul Qadir, bahwa beliau adalah termasuk Syaikh terbesar. Beliau berkata, “perkataan Syaikh besar seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani ...” kemudian beliau bersaksi kepadanya bahwa Syaikh Abdul Qadir termasuk Syaikh terbesar pada zamannya dalam masalah berpegang teguh kepada syariat yang benar, lalu berkata, Syaikh Abdul Qadir dan semislnya Syaikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, mendahuluinya daripada rasa dan takdir, serta termasuk syaikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu.[74]
Di antara indikasi lain yang menunjuhkan tentang kedudukan ilmiah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan tingginya kedudukan beliau adalah pujian banyak ulama kepadanya. Diantaranya pujian dari Al-Qadhi Abdullah Al-Maqdisi, kemudian putranya Abdul Wahab bin Abdul Qadir Al-Jailani. Kemudian Al-Jauzi. Dan pembesar-pembesar lain dalam bidang tasawuf, fiqih, akidah, filsafat, dan ushul. Dll. [75]



[1] Ahmad Syalabi, Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islami, hlm. 8-15. Dikutip dari buku Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan. Terjemah bahasa Indonesia. Al-Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani: Al-Imam Al-Zahid Al-Qudwah. Terj. Aedhi Rakhman Saleh, Bandung; Mizan Pustaka, 2009, hlm. 66.
[2] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 66.
[3] Al-Baladzuri. Futuh Al-Buldan, hlm.296. Di kutip dari Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 66-67.
[4]  Negeri-negeri ini pernah memberontak sehingga pasukan kaum Muslim datang untuk menaklukan kembali. Pada 20 H. Atau 22 H. Mereka berhasil menaklukan Azerbaizan di bawah komando hudzaifah Al-Yaman r.a. begitu juga Jailan, negeri ini pernah memberontak sehingga Sa’id ibn Abi Waqqash kembali menaklukannya, dan akhirnya banyak pendudukannya yang masuk Islam dan membaca al-Quran. Baca: al-Baladzuri. Futuh Al-Buldan. Hlm.296. dikutip dari Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.67.
[5] Ahmad Syalabi. Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islam. Hlm. (8).53.
[6] Barang kali makam yang paling bisa dikujungi, yaitu Qats ibn Al-Abbas r.a. yang masih tegak berdiri hingga kini di kota Samarkand. Hudzaifah Al-Yaman yang wafat dan dimakamkan di Al-Mada’in, Salman al-Farisi yang wafat dan dimakamkan di sebuah desa dekat al-Mada’in sehingga beliau disebut dengan Salman Bek yang dinisbatkan di tempat tersebut. Di samping mereka, banyak pula para sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka dari kaum Muslim. Mereka merasa betah bermukim di negeri-negeri tersebut. Mereka menetap dan wafat di sana. Bukan hanya orang Iran, namun juga Pakistan, India, Afganistan, dan negeri-negeri yang sudah di taklukan oleh kaum Muslim. Kita tidak perlu merasa aneh dengan adanya keluarga-keluarga tersebut, yang asalnya dari Arab, namun sekarang berbicara Persia, Urdu, atau Balusyiyyah dan tidak memahami bahasa Arab sedikit pun. Baca: al-Baladzuri. Futuh Al-Buldan. Hlm.296. di kutip dari Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan , hlm. 67-68.
[7]  Ahmad Syalabi. Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islam. Hlm. (11);44.
[8]  Ibn Al-Atsir. Al-Kamil. (7); 130-133. 
[9] Al-Mas’ud. Muruj Al-Dzahab. (2);24.
[10] Abdul Mun’in Muhammad Husain. Salajiqah Iran Wa Iraq. Hlm. 35.
[11]Ahmad Syalabi. Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islam. Hlm. (8): 118.
[12]Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 71.
[13]Abdul Mun’in Muhammad Husain. Salajiqah Iran Wa Iraq. Hlm. 90.
[14] Al-Hasan ibn Al-Shabah mengelari dirinya sendiri dengan Da’I Al-Du’at (Dai Para Dai) dan menjatuhkan aturan-aturan kepada para pengikutnya. Dia adalah di antara manashir golongan Nizariyyah dari Isma’iliyyah yang memisahkan diri dari Dinasti Fathimiyyah di Mesir, setelah Al-Muntashir Billah cucu Al-Hakim Biamrillah wafat pada 487 H. dia telah menjadikan seorang pemuda bernama Nizar sebagai pegantinya yang memiliki kekuasaan serta seorang anak kecil yang bernama Al-Musta’li, anak dari saudara perempuan Al-Afdhal menawan dan memenjarakan Nizar. Posisinya diganti oleh anak saudara perempuannya, Al-Musta’ali. Jadi Isma’iliyyah terbagi ke dalam dua kelompok; Nizariyyah dan Musta;liyyah. Al-Hasan ibn Shabah mati 518 H. setelah itu, kedudukannya di ganti oleh para pengikutnya. Lalu, mereka membuat Dinasti Saljuqiyyah dan penyerangan-penyerangan hingga berakhir. Dinasti Mereka berakhir di Iran melalui tangan Hulagu pada 654 H (1257 M), ketika Iran menyerbu dan menghancurkan benteng mereka serta mengusir mereka dari negeri itu. Kekuasaan akhir mereka di negeri Syam juga berkat Al-Zhahir Baibars pada 670 H (1272M). lalu kelompok kecil mereka itu mencari perlindungan ke Italia. Maka, pada 1233 H ada Khan I, lalu diikuti oleh Aga khan II dan III. Sekarang mereka ada di bawah kendali Khan IV, yaitu Karim. Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 72-73.
[15]Abdul Mun’in Muhammad Husain. Salajiqah Iran Wa Iraq. Hlm.88.
[16] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 74-78.
[17]Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.75.
[18]Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.75.
[19]Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.75.
[20]Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 76.
[21]Jami’ Al-Ushul (1):392. Dikutip dari Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.76.
[22] Ketika Sa’id Abi Waqqash r.a. menaklukan Al-Mada’in dan menguasai harta Kisra, harta tersebut dikirimkan kepada Umar ibn Al-Khatab di Madinah Al-Munawarah.  Umar meletakkannya di Masjid dan membolak-baliknya dengan tangannya. Dia berkata, “sesungguhnya ada suatu kaum yang mengirim ini untuk beberapa maksud. “ Ali ibn Abi Thalib berkata, “Sungguh kau telah berbuat Iffah sehingga mereka berbuat iffah. Dan jika kau berlaku mewah, mereka pun akan berlaku mewah.”. dan terdapat riwayat juga. Abu Hanifah, Malik ibn annas, Laits ibn Sa’ad, Tsabit dan para Tabi’in lainnya tergolong para tokoh yang kaya. Namun dunia tidak membuat mereka berbuat melebihi batas dan tidak sampai ke hati mereka. Mereka hafal betul pelajaran Rasulullah dan menerapkannya ke dalam perkataan dan perbuatan. Baca, Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.77.
[23] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.78.
[24]  Harta tersebut dikeluarkan karena ingin mencari popularitas dan simpati, atau untuk tukang syair dan orang-orang yang memuji, atau untuk para penolong dan orang-orang yang suka berbuat baik. Sementar rakyat merintih dibawah himpitan kelaparan, kefakiran, kekurangan, dan barang-barang mahal harganya. Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm.78-79.
[25] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 79.
[26] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 80.
[27] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 81-82.
[28] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 83.
[29] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 84.
[30] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban. Cetakan. XI, terj. Dari bahasa Arab oleh Syamsu Basarudin dan Ilyas Hasan, Futuh al-Ghayb, Bandung, Mizan, 1999, hlm. 25.
[31] Salah satu contoh pengingkaran itu, sebagaimana yang dikutip dari pernyataan Ibnu Rajab yang mengatakan bahwa, “Sebagian manusia ada yang mengingkari penasabannya kepada Ali bin Abi Thalib.” Lihat selengkapnya dalam Said bin Mushfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Cetakan. Keempat, terj. dari bahasa Arab oleh Munirul Abidin, Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah, Jakarta, PT. Darul Falah, 2006), hlm. 13-14.
[32] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 92-93.
[33] Muhammad Solikhin, Menyatu Diri dengan Ilahi. Cetakan. Pertama, Yogyakarta, Narasi, 2010.  hlm. 12.
[34] Lihat selengkapnya pada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban, hlm. 26-27. 
[35] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban, hlm. 28.
[36] Said bin Mushfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, hlm. 17.
[37] Said bin Mushfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, hlm. 18.
[38] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 24.
[39] Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 24.
[40] Lihat misalnya Abdul Razzaq al-Kailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Guru Para Pencari Tuhan, hlm. 25.
[41] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban, hlm. 35.
[42] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban, hlm. 36.
[43] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Penyingkap Kegaiban, hlm. 36-37.
[44] Lihat misalnya Muhammad Solikhin, Menjadikan Diri Kekasih Ilahi: Nasihat dan Wejangan Spiritual Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Surabaya, Erlangga, 2009, hlm. 29.
[45] Muhammad Solikhin, Menyatu Diri dengan Ilahi, hlm. 144-149.
[46] Ibn Razab, Zail Thabaqat Al-Hanabilah, I,116 dan Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 348, dan Ibn Ma’aad, Sadzarat Adz-Dzahab, VI,27.
[47] Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 428, dan Ibn Ma’aad, Sadzarat Adz-Dzahab, VI,40. Ibn Razab, Zail Thabaqat Al-Hanabilah, I,166.
[48] Adz-Dzahabi menyatakan bahwa dia aliran Mu’tazilah hingga terjermus ke dalam kelompok mereka dan berlebih-lebihan dalam menakwil nash. Kami memohon kepada Allah Subhanaullah wa Ta’ala agar memberi kesalamatan dan ampunan. Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. (Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Terj. Munirul Abidin. Jakarta: Darul Falah. Hlm. 20.
[49]  Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 446. Ibn Al-Imad. Syadzarat Adz-Dzahabi. VI. 35.
[50] Imam Allahmah Abu Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhmmad bin Al-Jauzi Al-Hambali seorang penasehat, penulis banyak buku, seorang ahli ibadah, cakap, fasih, baik perangainya, dan berpenampilan menarik. Beliau wafat pada tahun 597 H. Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 365.
[51]  Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 447, Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV, 35, dan Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 142.
[52] Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 596.
[53] Hammad bin Muslim ad-Dabbas, seorang yang zahid, buta, dan tidak bisa menulis, tetapi dia mempunyai banyak sahabat, ahwal dan karamah. Dia adalah Syaikhnya orang-orang ma’rifat pada zamannya. Beliau banyak melakukan kerja dan karya untuk mencari kehalalan. Meningal tahun 525 H. Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 594. Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV. 73.
[54]Qalaid Al-Jawahir, 12.
[55] Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 596.
[56]  Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV. 73.
[57] Ahmad bin Abdul Halim Abdusslam bin Taimiyah Al-Harani Al-Imam Syaikhul Islam. Lahir di Haran dan pindah dengan ayahnya ke Damaskus hingga tumbuh dewasa dan terkenal. Belaiu dipenjara berkali-kali karena fatwa-fatwanya dan seruannya untuk melakukan pembaharuan agama, baik dalam bidang Tafsir, akidah  mapun  ushul. Beliau sangat fasih lisannya, banyak menulis buku dan meninggal di penjara bawah tanah di Damaskus pada tahun 728 H. Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm. 23.
[58]Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, X, 455.
[59] Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XIX, 228. Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV. III, 411
[60]  Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XX, 440.
[61]  Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV. 252.
[62]  Ibnu Al-Imad, Syadzarat Adz-Dzahab, IV. 345.  Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XXI, 443, Ibn u Rajab, Adz-Zail ‘Ala Ath-Thabaqaat, II, 5.
[63] Beliau adalah seorang Syaik, Imam, Muhaddits, bermazhab Hambali, dan Zahid. Dia adalah seorang  yang zuhud, ahli ibadah, Tsiqah. Dia lahir pada tahun 528 H dan meninggal pada tahun 603 H.   Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm 26.
[64]  Dia adalah seorang yang faqih yang bermazhab Hambali dan seorang penasehat. Lahir pada tahun 522 H. Dan belajar kepada banyak ulama, diantaranya adalah ayahnya sendiri. Dia belajar dari ayahnya ilmu fiqih hingga mahir, dia mengajar di sekolah ayahnya sebagai pegantinya semasa hidup dan setelah wafatnya. Kemudian mengundurkan diri darinya dan digantikan oleh Ibnu Jauzi, lalu dikembalikan lagi kepadanya. Dia adalah seorang yang luwes dan  menawan, serta tidak ada diantara anak-anak Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang sebanding dengannya dalam bidang fiqih. Dia mempunyai pendapat yang  bagus dalam masalah khilafiyah, fasih dalam memberikan nasehat, manis tutur katanya, enak didengar, seneng bergurau, memanjakan, dan menawan. Meninggal tahun 593 H. Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. (Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm. 26
[65]Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. (Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm. 35.
[66] Adz-Dzahabi, Siyar A’laam An-Nubal, XX, 442.
[67]Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq. Hlm. 1.1.
[68] Asy-Syathnufi. Bahjah Al-Asraar. Hlm. 87.
[69]Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm.38
[70] Thaifur bin Isa bin Syarwasan Al-Busthami, seorang zahid, kakeknya seorang majusi lalu masuk Islam. Ditolak darinya banyak problem yang tidak terhitung jumlahnya. Dia mempunyai pandangan tentang Syathahaat (perkartaan aneh-aneh seorang sufi) yang banyak, yang kita tidak mengetahui kekuatanya. Di antara adalah perkatannya, “ Maha suci aku  tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah.” Tidak ada neraka kecuali saya akan masuk kedalamnya besok saya katakan, “ jadikan aku sebagai penebus para penghuninya dan jika tidak saya menelannya. Sedangkan surga tidak lain tidak bukan adalah permainan anak-anak dan tujuan penduduk dunia. Para muhaddits itu tidak lain hanya memindah berita dari seorang kepada orang lain, sedang kami diberi berita oleh hati dari Tuhan. Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm.39. Adz-Dzahabi berkata, “sesungguhnya lahir dari perkataan ini adalah ilhad yang tidak pantas untuk dia ucapkan. Adz-Dzahabi. Siyar A’laam An-Nubal, XII, 86.
[71] Asy-Sya’rani, Ath-Thabaqaat Al-Kubra, 1.5. 
[72]Asy-Sya’rani, Ath-Thabaqaat Al-Kubra, 1.5
[73] Fatawa ibn Taimiyah, Ibn Imad, Syazaraat Adz-Dzahabi,, 480.
[74]Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm. 40
[75]Al-Qathan, Said Bin Musfir. 2006. Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hlm. 40-42.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KANVAS KEHIDUPAN ABDUL QADIR AL-JAILANI"

Post a Comment