REFLEKSI PERJALANAN INDONESIA

Oleh: Shohibul kafi
Ditengah tantangan global dan naik melambung tinggi dunia digital dan kapital, ada banyak hal yang kemudian dilupakan oleh bangsa. Tentunya hal ini terjadi dikarenakan berbagai alasan yang rasional, alasan yang mendukung serta memiliki dampak keberpihakan dalam siklus perkembangan berbangsa dan bernegara. Diantara berbagai hal yang dilupakan atau terlupakan adalah bangsa kita lupa bahwa kita adalah pemilik Negara Republik Indonesia, kita adalah penerus bangsa sebelum kita. Sudut pandang diatas hari ini mutlak dibandingkan berbalik, sekian tahun lamanya kita menjadi banggsa yang merdeka namun minimnya karya dalam semua bidang, bangsa kita mutlak menjadi bangsa konsumeris dari sesuatu yang kecil sampai sesuatu yang besar.
Dalam hal pemerintahan, sudah bukan rahasia umum. Mereka yang terpilih sibuk mengurusi partai yang mengusung, mereka takut ketika mereka dicabut dari kursi kepemimpinan, ketika mereka tidak mampu mengembang apa yang dicita-catakan partai maka mereka juga akan dicabut dari kursi kepemimpinan, lantas kapan mereka akan mengabdi terhadap kepentingan negara, kepentingan rakyat? Jika mereka harus sibuk mengurusi kepentingan partai yang mengusung. Wajar jika kemudian kita bertanya, negara ini milik siapa? Milik seluruh warga negara indonesia, atau milik DPP partai yang berkuasa. 
Dalam hal kemanusian, sudahkah kita memanusiakan manusia? Bila sudah, bagaimana caranya? Pancasila terbentuk lima sila, tidak dengan cara ketidaksengajaan, melainkan dengan memeras otak dan pikiran, memanusia manusia berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, bahwa manusia lebih mulya ketimbang harta dan tahta, bukan sebaliknya dengan tahta dan harta kita bisa membeli setiap kepala. Realitas hari mencerminkan begitu rendahnya drajat dan martabat manusia, lalu siapa yang bertanggung jawab atas hal itu? Memanusiakan manusia berarti mampu bersaing dengan cara yang sehat dan cerdas. 
Dal hal Ketuhanan dan agama, di negara tercinta Indonesia, yang sangat terkenal dengan icon pluralis beragama, nyatanya agama hanya tinggal nama agama. Banyaknya angkaramurka dan kebejatan moralitas bangsa, dikarenakan agama hanya dijadikan status sosial, bagaimana tidak, Tuhan akan murka? Kita sendiri yang membunuh Tuhan, kita sendiri yang meniadakan Tuhan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika bangsa kita dekat dengan Tuhannya, maka proses kebejatan moralitas sedikit banyak akan mampu diminimalisir, dikarenakan setiap manusia memiliki kesadaran bertuhan yang lebih dominan, bukan menjadi Tuhan yang dominan. Baiknya hubungan antara manusia dengan tuhan, maka baik pula hubungan manusia antar manusia, sebab setiap agama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran, perbedaan maupun perdamaian. 
Dalam hal ekonomi, bahwa perekonomian tradisionallah yang menjadi jembantan perekonomian di Negeri kita ini, dan hari ini pasar tradisional sudah melambaikan tangan dan digantikan oleh minimarket-minimarket mini maupun elit, seakan tuntutan hidup harus berbudaya hedons dan elitis. Sementara itu, hasil alam yang tak terhitung jumlahnya, entah dialokasikan kemana. Mulai dari perkebunan, Minyak, Migas, freefot, dll. kita yang bekerja mereka yang kaya, hukum yang sangat-sangat barbarian. Hukum yang sudah ditinggalkan dan ternyata hari ini bersemi kembali. Dalam hal ekonomi saja, negara kita lebih banyak impor dari luar negeri dengan tarif yang mahal, sementara kita ekspor ke luar negeri dengan tarif yang murah, akan sempai kapan punggung para petani, pekebun dll dijual, sungguh timbal balik yang tak sebanding. 
Dalam hal budaya, budaya merupakan hasil ijtihad orang-orang terdahulu sampai sekarang. Bisa kita lihat budaya yang lahir dari bumi pertiwi sudah tergantikan budaya yang lahir bukan dari negara kita. Budaya musyawarah mufakat yang merupakan metode pemecahan masalah dengan pertimbangan kepentingan bersama dan didasari oleh moral serta intelektual pun sudah tidak terrealisasi secara keseluruhan, bahkan fakta dilapangan keberpihakan atas kepentingan kelompok masing-masing masih sangat erat lalu mereka mengatakan itu adalah budaya yang lahir dari bangsa kita. Mengerikan ketika kita mencoba merefleksikan, betapa mahalnya harta dan tahta, yang sehingganya budaya yang merupakan aspek terpenting di negeri kita terjual atau bahkan tergadikan oleh kepentingan sekelompok pihak. Sementara itu, budaya korupsi masih sangat lekat dalam diri bangsa, apalagi budaya diera digital lewat globalisasi dan pasar bebas, mampu menghilangkan rasa nasionalisme dan persatuan bangsa kita. Padahal kita memiliki satu budaya gotong royong dengan dasar kemanusia, yang mutaakhir ini pun tinggal menjadi filosofi dekorasi dingding dan baju dimana-mana. 
 Dalam hal pendidikan, sebuah pertanyaan yang cukup mendasar, berapa banyak lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Mungkin kita hanya bisa menjawab jumlahnya tak terkira. Ironis bukan banyaknya lembaga pendidikan namun seluruh tatanan sosial kemasyarakatan serta politik perekonomina mengalami kering kerontang seakan tak bertahan dengan eksistensi kedaulatan negara sendiri, akan tetapi mengikuti pandangan-pandangan dari negeri tetangga atau bahkan negeri disebarang sana. Lalu dimana anak didik kita, untuk apa lembaga pendidikan ada yang telah dilahirkan oleh para pengagas dulu. 
Dengan melihat data dan fakta diatas, tentu kita semua harus merefleksikan diri sejenak. Bahwa kita bangsa indonesia adalah bangsa yang memiliki tatanan sosial-budaya, politik-ekonomi. Kita adalah negara yang memiliki kedaulatan. Negara indonesia terlahir dari satu penderitaan, satu nasip sama, nusantara pada waktu dimasa kolonial hindia belanda melahirkan satu semangat satu kesepakatan berdiri diatas kaki bumi pertiwi, semangat memanusiakan manusia, dengan semangat mengelola alam yang ada untuk bangsa, namun degan data dan fakta yang sedemikian rupa , kepada siapa kita akan minta pertanggungjawaban. Tentu kita adalah yang bertanggung jawab atas keberlansungan hidup warga negara, tidak hanya mereka yang duduk dikursi parlementer akan tetapi kita semua bangsa indonesia yang harus memiliki kesadaran akan kepemilikan. 
  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "REFLEKSI PERJALANAN INDONESIA"

Post a Comment