(Oleh Shohibul Kafi, S.Fil)
Penulis
Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga
Kader
Partai PDI Perjuangan.
Masa
tenang dalam Pilkada sejatinya dirancang untuk memberi ruang bagi masyarakat
merefleksikan pilihannya tanpa tekanan dari aktivitas kampanye. Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masa ini sering kali menjadi ajang
pelanggaran terselubung oleh pasangan calon (paslon) dan tim sukses. Di Jawa
Tengah, sebagai salah satu daerah dengan basis pemilih besar, fenomena
pelanggaran selama Pilkada kerap menjadi perhatian utama. Pelanggaran yang
terjadi, mulai dari politik uang hingga kampanye terselubung, menunjukkan
korelasi yang signifikan dengan dinamika perolehan suara.
Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus pengamat politik, pernah menyatakan
bahwa Pilkada seharusnya menjadi bagian penting dari demokrasi substantif, di
mana rakyat tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga membangun hubungan yang
erat dengan mereka. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa masa tenang dan hari
pencoblosan kerap diwarnai oleh praktik-praktik manipulasi seperti politik uang
dan kampanye hitam. Dalam konteks ini, Pilkada sering kali hanya menjadi ajang
untuk mencapai kekuasaan dengan mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Analisis
ini memberikan gambaran tentang bagaimana tantangan demokrasi di tingkat lokal
dapat memengaruhi hasil pemilu dan legitimasi politik.
Fenomena Pelanggaran di Jawa Tengah
Jawa
Tengah, dengan karakteristik masyarakat yang heterogen dan tingkat partisipasi
politik yang tinggi, kerap menjadi barometer politik nasional. Namun, pada
beberapa Pilkada sebelumnya, fenomena pelanggaran yang beragam menjadi sorotan.
Dalam Pilkada serentak 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah
mencatat sejumlah pelanggaran, mulai dari politik uang, kampanye terselubung,
hingga intimidasi kepada pemilih. Salah satu temuan yang mencolok adalah
distribusi uang di beberapa daerah seperti Banyumas, Brebes, dan Klaten, yang
dilakukan dalam bentuk serangan fajar.
Menurut
laporan Bawaslu, praktik ini dilakukan untuk memperkuat basis suara di
kantong-kantong pemilih strategis. Politik uang sering kali menyasar pemilih di
wilayah pedesaan yang akses informasinya lebih terbatas. Selain itu, kampanye
terselubung melalui kegiatan keagamaan atau sosial juga dilaporkan terjadi di
beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kesadaran politik
yang lebih rendah.
Korelasi Pelanggaran dengan Perolehan Suara
Pelanggaran
selama masa tenang menunjukkan korelasi langsung dengan hasil perolehan suara
paslon. Analisis data di Jawa Tengah menunjukkan bahwa praktik politik uang dan
mobilisasi terselubung sering kali menjadi penentu kemenangan di daerah-daerah
dengan tingkat partisipasi tinggi tetapi literasi politik yang rendah.
Sebagai
contoh, di Kabupaten Klaten pada Pilkada 2019, salah satu paslon unggul
signifikan di beberapa wilayah yang sebelumnya dianggap netral. Setelah Pilkada
usai, muncul laporan adanya distribusi sembako dan uang tunai yang dilakukan
pada malam sebelum pencoblosan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana manipulasi
pada masa tenang dapat memberikan dampak langsung terhadap preferensi pemilih.
Ray
Rangkuti, seorang pengamat politik, menyoroti bahwa politik uang menjadi
tantangan utama dalam Pilkada di Indonesia, terutama di daerah seperti Jawa
Tengah yang memiliki populasi besar dan beragam. Menurutnya, politik uang
sering kali lebih efektif daripada program kampanye karena menyasar kebutuhan
langsung masyarakat. "Dalam banyak kasus, pemilih merasa bahwa uang
tunai atau bantuan sembako lebih nyata dibandingkan janji politik yang sering
sulit diwujudkan,"
Hendri
Satrio juga menambahkan bahwa praktik politik uang tidak hanya memengaruhi
legitimasi hasil Pilkada tetapi juga merusak esensi demokrasi. Menurutnya,
kemenangan paslon yang didukung oleh pelanggaran selama masa tenang sering kali
tidak mencerminkan aspirasi masyarakat secara substansial. "Ini hanya
menciptakan kemenangan prosedural, bukan kemenangan moral".
Realitas ini membawa implikasi serius terhadap kualitas demokrasi di
Indonesia. Ketika masa tenang dan hari pemungutan suara dirusak oleh
praktik-praktik manipulatif, legitimasi hasil Pilkada menjadi dipertanyakan.
Demokrasi seharusnya mencerminkan partisipasi yang jujur dan bebas dari
tekanan, tetapi fakta di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Ini
membuktikan bahwa meskipun Indonesia sudah menjalani Pilkada selama beberapa
dekade, tantangan dalam menjaga integritas prosesnya masih sangat besar.
Jawa Tengah sebagai Representasi Demokrasi
Nasional
Dalam
konteks nasional, Jawa Tengah sering dianggap sebagai miniatur demokrasi
Indonesia. Keberagaman karakter pemilih, mulai dari masyarakat perkotaan hingga
pedesaan, mencerminkan tantangan demokrasi yang dihadapi secara umum. Mahfud
MD, dalam analisisnya tentang demokrasi, menyoroti bahwa pelanggaran selama
Pilkada tidak hanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga
disebabkan oleh budaya politik transaksional yang telah mengakar.
Menurut
Mahfud, tantangan terbesar dalam Pilkada adalah bagaimana memastikan proses
pemilu berlangsung secara bersih dan adil. "Jika pelanggaran seperti
politik uang terus dibiarkan, maka demokrasi hanya menjadi alat formal yang
tidak membawa perubahan nyata bagi masyarakat". Dalam konteks Jawa
Tengah, praktik-praktik manipulasi suara menunjukkan bahwa sistem demokrasi di
tingkat lokal masih rentan terhadap distorsi.
Pembelajaran dari Kasus Jawa Tengah
Pengalaman
Pilkada di Jawa Tengah menunjukkan bahwa pelanggaran selama masa tenang dan
kaitannya dengan perolehan suara harus menjadi perhatian serius bagi semua
pihak. Beberapa pembelajaran penting dapat diambil dari kasus ini, pertama Pengawasan
yang Lemah: Pelanggaran selama masa tenang sering kali terjadi
karena lemahnya pengawasan, baik dari Bawaslu maupun masyarakat. Kedua Pendidikan
Politik, Rendahnya literasi politik di beberapa wilayah membuat
pemilih rentan terhadap manipulasi, seperti politik uang atau kampanye
terselubung. Ketiga Reformasi Sistem, Perlu adanya
reformasi dalam sistem Pilkada, termasuk penegakan hukum yang lebih tegas
terhadap pelanggaran selama masa tenang.
Demokrasi dalam Tantangan Substansial
Kasus
pelanggaran Pilkada di Jawa Tengah mengilustrasikan bagaimana masa tenang
sering kali menjadi ajang manipulasi yang memengaruhi hasil pemilu. Fenomena
ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi, tetapi juga
menunjukkan bahwa sistem pemilu di Indonesia masih menghadapi tantangan besar
dalam menjaga integritasnya.
Mahfud
MD, Ray Rangkuti, dan Hendri Satrio memberikan pandangan yang sejalan tentang
pentingnya memperkuat demokrasi substantif. Masa tenang harus dijaga sebagai
momen refleksi, bukan arena untuk pelanggaran terselubung. Jika pelanggaran
seperti politik uang dan kampanye hitam terus terjadi, maka hasil Pilkada hanya
akan menjadi kemenangan prosedural tanpa legitimasi moral. Jawa Tengah, sebagai
salah satu barometer politik nasional, harus menjadi contoh bagaimana demokrasi
yang bersih dan berintegritas dapat diwujudkan. Dengan komitmen bersama dari
semua pihak, Pilkada di masa depan diharapkan tidak hanya menjadi ajang
kompetisi politik, tetapi juga langkah nyata untuk memperkuat kepercayaan
masyarakat terhadap demokrasi.

0 Response to "Demokrasi di Persimpangan: Pelanggaran Pilkada Jawa Tengah 2024 dan Tantangan Legitimasi Politik"
Posting Komentar