Demokrasi di Persimpangan: Pelanggaran Pilkada Jawa Tengah 2024 dan Tantangan Legitimasi Politik

 



(Oleh Shohibul Kafi, S.Fil)

Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga

Kader Partai PDI Perjuangan.

Masa tenang dalam Pilkada sejatinya dirancang untuk memberi ruang bagi masyarakat merefleksikan pilihannya tanpa tekanan dari aktivitas kampanye. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masa ini sering kali menjadi ajang pelanggaran terselubung oleh pasangan calon (paslon) dan tim sukses. Di Jawa Tengah, sebagai salah satu daerah dengan basis pemilih besar, fenomena pelanggaran selama Pilkada kerap menjadi perhatian utama. Pelanggaran yang terjadi, mulai dari politik uang hingga kampanye terselubung, menunjukkan korelasi yang signifikan dengan dinamika perolehan suara.

Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus pengamat politik, pernah menyatakan bahwa Pilkada seharusnya menjadi bagian penting dari demokrasi substantif, di mana rakyat tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga membangun hubungan yang erat dengan mereka. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa masa tenang dan hari pencoblosan kerap diwarnai oleh praktik-praktik manipulasi seperti politik uang dan kampanye hitam. Dalam konteks ini, Pilkada sering kali hanya menjadi ajang untuk mencapai kekuasaan dengan mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Analisis ini memberikan gambaran tentang bagaimana tantangan demokrasi di tingkat lokal dapat memengaruhi hasil pemilu dan legitimasi politik.

Fenomena Pelanggaran di Jawa Tengah

Jawa Tengah, dengan karakteristik masyarakat yang heterogen dan tingkat partisipasi politik yang tinggi, kerap menjadi barometer politik nasional. Namun, pada beberapa Pilkada sebelumnya, fenomena pelanggaran yang beragam menjadi sorotan. Dalam Pilkada serentak 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah mencatat sejumlah pelanggaran, mulai dari politik uang, kampanye terselubung, hingga intimidasi kepada pemilih. Salah satu temuan yang mencolok adalah distribusi uang di beberapa daerah seperti Banyumas, Brebes, dan Klaten, yang dilakukan dalam bentuk serangan fajar.

Menurut laporan Bawaslu, praktik ini dilakukan untuk memperkuat basis suara di kantong-kantong pemilih strategis. Politik uang sering kali menyasar pemilih di wilayah pedesaan yang akses informasinya lebih terbatas. Selain itu, kampanye terselubung melalui kegiatan keagamaan atau sosial juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kesadaran politik yang lebih rendah.

Korelasi Pelanggaran dengan Perolehan Suara

Pelanggaran selama masa tenang menunjukkan korelasi langsung dengan hasil perolehan suara paslon. Analisis data di Jawa Tengah menunjukkan bahwa praktik politik uang dan mobilisasi terselubung sering kali menjadi penentu kemenangan di daerah-daerah dengan tingkat partisipasi tinggi tetapi literasi politik yang rendah.

Sebagai contoh, di Kabupaten Klaten pada Pilkada 2019, salah satu paslon unggul signifikan di beberapa wilayah yang sebelumnya dianggap netral. Setelah Pilkada usai, muncul laporan adanya distribusi sembako dan uang tunai yang dilakukan pada malam sebelum pencoblosan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana manipulasi pada masa tenang dapat memberikan dampak langsung terhadap preferensi pemilih.

Ray Rangkuti, seorang pengamat politik, menyoroti bahwa politik uang menjadi tantangan utama dalam Pilkada di Indonesia, terutama di daerah seperti Jawa Tengah yang memiliki populasi besar dan beragam. Menurutnya, politik uang sering kali lebih efektif daripada program kampanye karena menyasar kebutuhan langsung masyarakat. "Dalam banyak kasus, pemilih merasa bahwa uang tunai atau bantuan sembako lebih nyata dibandingkan janji politik yang sering sulit diwujudkan,"

Hendri Satrio juga menambahkan bahwa praktik politik uang tidak hanya memengaruhi legitimasi hasil Pilkada tetapi juga merusak esensi demokrasi. Menurutnya, kemenangan paslon yang didukung oleh pelanggaran selama masa tenang sering kali tidak mencerminkan aspirasi masyarakat secara substansial. "Ini hanya menciptakan kemenangan prosedural, bukan kemenangan moral".

Realitas ini membawa implikasi serius terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Ketika masa tenang dan hari pemungutan suara dirusak oleh praktik-praktik manipulatif, legitimasi hasil Pilkada menjadi dipertanyakan. Demokrasi seharusnya mencerminkan partisipasi yang jujur dan bebas dari tekanan, tetapi fakta di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Ini membuktikan bahwa meskipun Indonesia sudah menjalani Pilkada selama beberapa dekade, tantangan dalam menjaga integritas prosesnya masih sangat besar.

Jawa Tengah sebagai Representasi Demokrasi Nasional

Dalam konteks nasional, Jawa Tengah sering dianggap sebagai miniatur demokrasi Indonesia. Keberagaman karakter pemilih, mulai dari masyarakat perkotaan hingga pedesaan, mencerminkan tantangan demokrasi yang dihadapi secara umum. Mahfud MD, dalam analisisnya tentang demokrasi, menyoroti bahwa pelanggaran selama Pilkada tidak hanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga disebabkan oleh budaya politik transaksional yang telah mengakar.

Menurut Mahfud, tantangan terbesar dalam Pilkada adalah bagaimana memastikan proses pemilu berlangsung secara bersih dan adil. "Jika pelanggaran seperti politik uang terus dibiarkan, maka demokrasi hanya menjadi alat formal yang tidak membawa perubahan nyata bagi masyarakat". Dalam konteks Jawa Tengah, praktik-praktik manipulasi suara menunjukkan bahwa sistem demokrasi di tingkat lokal masih rentan terhadap distorsi.

Pembelajaran dari Kasus Jawa Tengah

Pengalaman Pilkada di Jawa Tengah menunjukkan bahwa pelanggaran selama masa tenang dan kaitannya dengan perolehan suara harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Beberapa pembelajaran penting dapat diambil dari kasus ini, pertama Pengawasan yang Lemah: Pelanggaran selama masa tenang sering kali terjadi karena lemahnya pengawasan, baik dari Bawaslu maupun masyarakat. Kedua Pendidikan Politik, Rendahnya literasi politik di beberapa wilayah membuat pemilih rentan terhadap manipulasi, seperti politik uang atau kampanye terselubung. Ketiga Reformasi Sistem, Perlu adanya reformasi dalam sistem Pilkada, termasuk penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran selama masa tenang.

Demokrasi dalam Tantangan Substansial

Kasus pelanggaran Pilkada di Jawa Tengah mengilustrasikan bagaimana masa tenang sering kali menjadi ajang manipulasi yang memengaruhi hasil pemilu. Fenomena ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem pemilu di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga integritasnya.

Mahfud MD, Ray Rangkuti, dan Hendri Satrio memberikan pandangan yang sejalan tentang pentingnya memperkuat demokrasi substantif. Masa tenang harus dijaga sebagai momen refleksi, bukan arena untuk pelanggaran terselubung. Jika pelanggaran seperti politik uang dan kampanye hitam terus terjadi, maka hasil Pilkada hanya akan menjadi kemenangan prosedural tanpa legitimasi moral. Jawa Tengah, sebagai salah satu barometer politik nasional, harus menjadi contoh bagaimana demokrasi yang bersih dan berintegritas dapat diwujudkan. Dengan komitmen bersama dari semua pihak, Pilkada di masa depan diharapkan tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga langkah nyata untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Demokrasi di Persimpangan: Pelanggaran Pilkada Jawa Tengah 2024 dan Tantangan Legitimasi Politik"

Posting Komentar