Oleh:
Shohibul Kafi, S.Fil
(Alumni
Filsafat UIN Jogja, Alumni PMII Jogja dan Kader PDI Perjuangan)
Dalam arus besar perubahan zaman,
filsafat Marhaenisme yang digagas oleh Soekarno tetap relevan sebagai obor bagi
kaum kecil yang berjuang untuk bertahan hidup. Di tengah gemuruh modernisasi
dan globalisasi, ada Sunhaji, seorang warga Magelang, Jawa Tengah, yang menjadi
refleksi nyata perjuangan seorang Marhaen masa kini. Dengan berjualan es teh
untuk menyambung hidup, Sunhaji menunjukkan bahwa semangat berdikari tetap
mengalir dalam denyut nadi rakyat kecil. Ia adalah simbol dari rakyat yang
berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk tatanan sosial
yang lebih adil dan manusiawi.
Namun, perjuangan Sunhaji tidak
selalu dihargai. Pada suatu kesempatan, Gus Miftah, seorang tokoh agama dan
publik ternama, melontarkan penghinaan yang ditujukan kepada Sunhaji. Sebuah
pernyataan yang dianggap merendahkan martabatnya, bukan hanya sebagai individu
tetapi juga sebagai representasi rakyat kecil. Peristiwa ini menggambarkan
realitas pahit bagaimana perjuangan kaum kecil sering kali diremehkan. Namun,
alih-alih meruntuhkan semangat, penghinaan ini menjadi momen penting untuk
kembali meneguhkan nilai-nilai Marhaenisme dan kesadaran akan pentingnya
keadilan sosial.
Marhaenisme: Filosofi yang Tak
Lekang Zaman
Marhaenisme berakar pada percakapan
sederhana antara Soekarno dan seorang petani kecil di Bandung. Ketika Soekarno
bertanya tentang kepemilikan sawah, pacul, dan gubuk yang digunakan petani
tersebut, jawabannya adalah: “Ini semua milik saya sendiri.” Petani itu tidak
bekerja untuk siapa pun dan tidak mempekerjakan siapa pun. Ia mandiri, meski
hidup dalam kemiskinan. Nama petani itu, Marhaen, menjadi simbol perjuangan
rakyat kecil yang berdikari dan tidak tergantung pada pihak lain.
Filosofi ini menempatkan rakyat
kecil sebagai poros utama pembangunan bangsa. Marhaenisme memandang bahwa
setiap rakyat kecil memiliki potensi untuk menjadi mandiri dan berkontribusi
pada masyarakat. Dalam semangat Marhaenisme, tidak ada tempat untuk ketergantungan
pada kekuatan asing atau majikan yang menghisap tenaga dan pikiran rakyat
kecil.
Sunhaji: Potret Marhaen Masa Kini
Sunhaji adalah seorang penjual es
teh keliling di Magelang, Jawa Tengah. Setiap harinya, ia mendorong gerobak
sederhana menyusuri jalanan, melawan panas dan hujan demi membawa pulang nafkah
bagi keluarganya. Dalam kehidupannya yang bersahaja, terkandung semangat
berdikari yang menjadi inti dari Marhaenisme. Sunhaji tidak hanya berjuang
untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi cerminan dari jutaan rakyat
Indonesia yang berada dalam bayang-bayang kemiskinan. Data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin mencapai
25,22 juta orang. Meski angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan satu
dekade sebelumnya, perjuangan untuk memberantas kemiskinan masih jauh dari
selesai.
Kemiskinan, sebagaimana
didefinisikan oleh Kementerian Sosial, memiliki banyak wajah: tidak memiliki
tempat tinggal layak, khawatir tidak bisa makan, hingga tempat tinggal yang
tidak memiliki fasilitas dasar seperti listrik atau jamban. Sunhaji, dengan segala
keterbatasannya, adalah potret bagaimana rakyat kecil harus berjuang dalam
kondisi yang serba sulit. Namun, semangatnya untuk bertahan hidup dan berjuang
demi keluarga adalah bentuk nyata dari prinsip Self-Help dan Self-Reliance
yang diajarkan oleh Soekarno.
Penghinaan Gus Miftah: Cermin
Ketimpangan Persepsi
Ketika Gus Miftah melontarkan
pernyataan yang dianggap menghina Sunhaji, sesungguhnya hal itu mencerminkan
ketidakpahaman akan perjuangan rakyat kecil. Dalam masyarakat yang semakin
terjebak pada materialisme dan status sosial, perjuangan sederhana seorang
rakyat kecil sering kali dianggap remeh. Padahal, keberadaan mereka adalah
fondasi dari masyarakat yang lebih besar.
Gus Miftah, sebagai tokoh publik,
memiliki tanggung jawab moral untuk memahami bahwa ucapannya memengaruhi
persepsi banyak orang. Penghinaan terhadap Sunhaji, alih-alih menjadi
penghalang, justru membuka ruang refleksi. Dalam penghinaan tersebut, terkandung
pengingat bahwa perjuangan rakyat kecil adalah bagian integral dari perjuangan
bangsa. Sunhaji tidak menyerah. Dalam dirinya hidup semangat Marhaenisme yang
mengajarkan bahwa penghinaan bukanlah alasan untuk berhenti berjuang. Ia tetap
berjalan dengan gerobaknya, menjadi saksi bahwa kerja keras dan kejujuran
adalah modal utama dalam hidup.
Nasionalisme Soekarno: Semangat
untuk Bangsa-Bangsa
Soekarno memandang nasionalisme sebagai sebuah kekuatan yang lahir
dari kesadaran kolektif rakyat untuk melawan penindasan. Bagi Soekarno,
nasionalisme adalah rasa cinta yang berakar dalam pada rakyat dan tanah air,
tetapi lebih dari itu, nasionalisme juga harus diarahkan untuk membangun
tatanan sosial yang adil dan bebas dari imperialisme. Dalam pidatonya yang
terkenal, Indonesia Menggugat (1930), Soekarno dengan tajam menyatakan
bahwa penderitaan bangsa Indonesia disebabkan oleh imperialisme ekonomi yang
melemahkan kemandirian rakyat.
Soekarno juga menjelaskan bahwa nasionalisme yang sejati harus
menyatu dengan prinsip internasionalisme. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera
Revolusi (1959), ia menegaskan bahwa nasionalisme bukanlah kebencian
terhadap bangsa lain, melainkan perjuangan untuk keadilan yang dapat menjadi
contoh bagi dunia. Ia menyebut, “Jangan engkau melupakan dunia, sebab engkau
bagian daripadanya!” Nasionalisme Soekarno memiliki tiga
aspek utama:
- Aspek
Politik, Menggulingkan dominasi asing dan menggantinya dengan pemerintahan
yang demokratis.
- Aspek
Sosial-Ekonomi, Mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh kekuatan asing dan
membangun masyarakat yang bebas dari kemiskinan.
- Aspek
Kultural, Menghidupkan kembali jati diri bangsa Indonesia, tanpa
meninggalkan modernitas.
Perjuangan
Melalui Prinsip Marhaenisme
Dalam Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno
mendefinisikan prinsip Marhaenisme sebagai ideologi yang membela rakyat kecil.
Filosofi ini lahir dari pengalaman Soekarno bertemu dengan seorang petani
bernama Marhaen di Bandung. Dalam percakapan mereka, Soekarno menyadari bahwa
Marhaen adalah potret rakyat kecil yang mandiri tetapi tertindas oleh sistem
sosial dan ekonomi yang tidak adil. Soekarno merumuskan enam prinsip perjuangan
Marhaenisme yang mencerminkan visi untuk membebaskan rakyat dari
ketergantungan.
Pertama, Non-Kooperasi,
Dalam Indonesia Menggugat, Soekarno menyerukan agar rakyat tidak bekerja sama
dengan penjajah. Ia menyatakan, “Jika kita bekerja sama dengan mereka, kita
hanya memperkuat rantai yang mengikat leher kita sendiri.” Kedua, Machvorming
(Pembentukan Kekuatan) Soekarno percaya bahwa perubahan hanya dapat terjadi
jika rakyat bersatu dan membentuk kekuatan. Ia menulis, “Persatuan adalah
senjata paling ampuh untuk melawan tirani.” Ketiga, Massa Aksi Dalam pidatonya yang penuh
semangat, Soekarno mengajak rakyat untuk tidak hanya bermimpi tentang
kebebasan, tetapi juga bertindak. Ia berkata, “Kemerdekaan tidak akan datang
dari mimpi, tetapi dari gerakan massa yang sadar akan perjuangannya.”
Keempat, Radikalisme Soekarno
menekankan perlunya sikap yang mendasar dalam melawan ketidakadilan. Dalam buku
Sarwah Pergerakan (1926), ia menyebutkan bahwa radikalisme adalah bentuk
keberanian untuk memotong akar masalah, bukan hanya menangani gejala. Kelima,
Self-Help, Soekarno mengajarkan bahwa rakyat kecil harus memanfaatkan
apa yang mereka miliki untuk berjuang. Dalam salah satu pidatonya di depan
Partai Nasional Indonesia (PNI), ia menyebutkan, “Kita tidak butuh belas
kasihan, tetapi kepercayaan pada kemampuan kita sendiri.” Keenam, Self-Reliance
Keyakinan diri adalah fondasi utama untuk kemandirian. Dalam Di Bawah Bendera
Revolusi, ia menulis, “Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang percaya pada
dirinya sendiri.”
Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi bagi gerakan rakyat dalam
melawan ketidakadilan. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan rakyat kecil bukan
hanya tentang meraih kemerdekaan politik, tetapi juga tentang menciptakan
masyarakat yang adil secara sosial dan ekonomi. Prinsip-prinsip ini tetap
relevan di era modern, terutama bagi sosok seperti Sunhaji, yang berjuang
dengan segala keterbatasannya tetapi tetap berdiri teguh di atas kaki sendiri.
Marhaenisme adalah panggilan bagi kita semua untuk menghormati, mendukung, dan
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil sebagai tulang punggung bangsa.
Sunhaji, dengan segala
keterbatasannya, adalah simbol perjuangan kaum kecil yang tak pernah menyerah.
Ia adalah bagian dari jutaan rakyat Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang
kemiskinan, namun tetap memiliki semangat untuk berjuang. Penghinaan dari Gus
Miftah tidak meruntuhkan tekad Sunhaji. Sebaliknya, itu menjadi bahan bakar
untuk terus maju dan menghidupkan semangat Marhaenisme. Dalam dirinya, kita
belajar bahwa perjuangan sejati tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain,
melainkan keberanian untuk bertahan dan melawan segala bentuk ketidakadilan.
Marhaenisme mengajarkan bahwa setiap
rakyat kecil adalah pejuang, dan setiap langkah kecil yang mereka ambil adalah
bagian dari perjalanan besar menuju keadilan sosial. Sunhaji, Mas Marhaen dari
Magelang, adalah inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah
menghadapi penghinaan, dan terus berjuang demi kehidupan yang lebih baik.

0 Response to "SUNHAJI MAS MARHAEN 2024: POTRET PERJUANGAN KAUM KECIL DALAM BINGKAI MARHAENISME"
Posting Komentar