SUNHAJI MAS MARHAEN 2024: POTRET PERJUANGAN KAUM KECIL DALAM BINGKAI MARHAENISME

 



Oleh: Shohibul Kafi, S.Fil

(Alumni Filsafat UIN Jogja, Alumni PMII Jogja dan Kader PDI Perjuangan)

Dalam arus besar perubahan zaman, filsafat Marhaenisme yang digagas oleh Soekarno tetap relevan sebagai obor bagi kaum kecil yang berjuang untuk bertahan hidup. Di tengah gemuruh modernisasi dan globalisasi, ada Sunhaji, seorang warga Magelang, Jawa Tengah, yang menjadi refleksi nyata perjuangan seorang Marhaen masa kini. Dengan berjualan es teh untuk menyambung hidup, Sunhaji menunjukkan bahwa semangat berdikari tetap mengalir dalam denyut nadi rakyat kecil. Ia adalah simbol dari rakyat yang berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi.

Namun, perjuangan Sunhaji tidak selalu dihargai. Pada suatu kesempatan, Gus Miftah, seorang tokoh agama dan publik ternama, melontarkan penghinaan yang ditujukan kepada Sunhaji. Sebuah pernyataan yang dianggap merendahkan martabatnya, bukan hanya sebagai individu tetapi juga sebagai representasi rakyat kecil. Peristiwa ini menggambarkan realitas pahit bagaimana perjuangan kaum kecil sering kali diremehkan. Namun, alih-alih meruntuhkan semangat, penghinaan ini menjadi momen penting untuk kembali meneguhkan nilai-nilai Marhaenisme dan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial.

Marhaenisme: Filosofi yang Tak Lekang Zaman

Marhaenisme berakar pada percakapan sederhana antara Soekarno dan seorang petani kecil di Bandung. Ketika Soekarno bertanya tentang kepemilikan sawah, pacul, dan gubuk yang digunakan petani tersebut, jawabannya adalah: “Ini semua milik saya sendiri.” Petani itu tidak bekerja untuk siapa pun dan tidak mempekerjakan siapa pun. Ia mandiri, meski hidup dalam kemiskinan. Nama petani itu, Marhaen, menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang berdikari dan tidak tergantung pada pihak lain.

Filosofi ini menempatkan rakyat kecil sebagai poros utama pembangunan bangsa. Marhaenisme memandang bahwa setiap rakyat kecil memiliki potensi untuk menjadi mandiri dan berkontribusi pada masyarakat. Dalam semangat Marhaenisme, tidak ada tempat untuk ketergantungan pada kekuatan asing atau majikan yang menghisap tenaga dan pikiran rakyat kecil.

Sunhaji: Potret Marhaen Masa Kini

Sunhaji adalah seorang penjual es teh keliling di Magelang, Jawa Tengah. Setiap harinya, ia mendorong gerobak sederhana menyusuri jalanan, melawan panas dan hujan demi membawa pulang nafkah bagi keluarganya. Dalam kehidupannya yang bersahaja, terkandung semangat berdikari yang menjadi inti dari Marhaenisme. Sunhaji tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi cerminan dari jutaan rakyat Indonesia yang berada dalam bayang-bayang kemiskinan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 25,22 juta orang. Meski angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan satu dekade sebelumnya, perjuangan untuk memberantas kemiskinan masih jauh dari selesai.

Kemiskinan, sebagaimana didefinisikan oleh Kementerian Sosial, memiliki banyak wajah: tidak memiliki tempat tinggal layak, khawatir tidak bisa makan, hingga tempat tinggal yang tidak memiliki fasilitas dasar seperti listrik atau jamban. Sunhaji, dengan segala keterbatasannya, adalah potret bagaimana rakyat kecil harus berjuang dalam kondisi yang serba sulit. Namun, semangatnya untuk bertahan hidup dan berjuang demi keluarga adalah bentuk nyata dari prinsip Self-Help dan Self-Reliance yang diajarkan oleh Soekarno.

Penghinaan Gus Miftah: Cermin Ketimpangan Persepsi

Ketika Gus Miftah melontarkan pernyataan yang dianggap menghina Sunhaji, sesungguhnya hal itu mencerminkan ketidakpahaman akan perjuangan rakyat kecil. Dalam masyarakat yang semakin terjebak pada materialisme dan status sosial, perjuangan sederhana seorang rakyat kecil sering kali dianggap remeh. Padahal, keberadaan mereka adalah fondasi dari masyarakat yang lebih besar.

Gus Miftah, sebagai tokoh publik, memiliki tanggung jawab moral untuk memahami bahwa ucapannya memengaruhi persepsi banyak orang. Penghinaan terhadap Sunhaji, alih-alih menjadi penghalang, justru membuka ruang refleksi. Dalam penghinaan tersebut, terkandung pengingat bahwa perjuangan rakyat kecil adalah bagian integral dari perjuangan bangsa. Sunhaji tidak menyerah. Dalam dirinya hidup semangat Marhaenisme yang mengajarkan bahwa penghinaan bukanlah alasan untuk berhenti berjuang. Ia tetap berjalan dengan gerobaknya, menjadi saksi bahwa kerja keras dan kejujuran adalah modal utama dalam hidup.

Nasionalisme Soekarno: Semangat untuk Bangsa-Bangsa

Soekarno memandang nasionalisme sebagai sebuah kekuatan yang lahir dari kesadaran kolektif rakyat untuk melawan penindasan. Bagi Soekarno, nasionalisme adalah rasa cinta yang berakar dalam pada rakyat dan tanah air, tetapi lebih dari itu, nasionalisme juga harus diarahkan untuk membangun tatanan sosial yang adil dan bebas dari imperialisme. Dalam pidatonya yang terkenal, Indonesia Menggugat (1930), Soekarno dengan tajam menyatakan bahwa penderitaan bangsa Indonesia disebabkan oleh imperialisme ekonomi yang melemahkan kemandirian rakyat.

Soekarno juga menjelaskan bahwa nasionalisme yang sejati harus menyatu dengan prinsip internasionalisme. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959), ia menegaskan bahwa nasionalisme bukanlah kebencian terhadap bangsa lain, melainkan perjuangan untuk keadilan yang dapat menjadi contoh bagi dunia. Ia menyebut, “Jangan engkau melupakan dunia, sebab engkau bagian daripadanya!Nasionalisme Soekarno memiliki tiga aspek utama:

  1. Aspek Politik, Menggulingkan dominasi asing dan menggantinya dengan pemerintahan yang demokratis.
  2. Aspek Sosial-Ekonomi, Mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh kekuatan asing dan membangun masyarakat yang bebas dari kemiskinan.
  3. Aspek Kultural, Menghidupkan kembali jati diri bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan modernitas.

Perjuangan Melalui Prinsip Marhaenisme

Dalam Buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno mendefinisikan prinsip Marhaenisme sebagai ideologi yang membela rakyat kecil. Filosofi ini lahir dari pengalaman Soekarno bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen di Bandung. Dalam percakapan mereka, Soekarno menyadari bahwa Marhaen adalah potret rakyat kecil yang mandiri tetapi tertindas oleh sistem sosial dan ekonomi yang tidak adil. Soekarno merumuskan enam prinsip perjuangan Marhaenisme yang mencerminkan visi untuk membebaskan rakyat dari ketergantungan.

Pertama, Non-Kooperasi, Dalam Indonesia Menggugat, Soekarno menyerukan agar rakyat tidak bekerja sama dengan penjajah. Ia menyatakan, “Jika kita bekerja sama dengan mereka, kita hanya memperkuat rantai yang mengikat leher kita sendiri.” Kedua, Machvorming (Pembentukan Kekuatan) Soekarno percaya bahwa perubahan hanya dapat terjadi jika rakyat bersatu dan membentuk kekuatan. Ia menulis, “Persatuan adalah senjata paling ampuh untuk melawan tirani.” Ketiga,  Massa Aksi Dalam pidatonya yang penuh semangat, Soekarno mengajak rakyat untuk tidak hanya bermimpi tentang kebebasan, tetapi juga bertindak. Ia berkata, “Kemerdekaan tidak akan datang dari mimpi, tetapi dari gerakan massa yang sadar akan perjuangannya.”

Keempat, Radikalisme Soekarno menekankan perlunya sikap yang mendasar dalam melawan ketidakadilan. Dalam buku Sarwah Pergerakan (1926), ia menyebutkan bahwa radikalisme adalah bentuk keberanian untuk memotong akar masalah, bukan hanya menangani gejala. Kelima, Self-Help, Soekarno mengajarkan bahwa rakyat kecil harus memanfaatkan apa yang mereka miliki untuk berjuang. Dalam salah satu pidatonya di depan Partai Nasional Indonesia (PNI), ia menyebutkan, “Kita tidak butuh belas kasihan, tetapi kepercayaan pada kemampuan kita sendiri.” Keenam, Self-Reliance Keyakinan diri adalah fondasi utama untuk kemandirian. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, ia menulis, “Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang percaya pada dirinya sendiri.”

Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi bagi gerakan rakyat dalam melawan ketidakadilan. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan rakyat kecil bukan hanya tentang meraih kemerdekaan politik, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang adil secara sosial dan ekonomi. Prinsip-prinsip ini tetap relevan di era modern, terutama bagi sosok seperti Sunhaji, yang berjuang dengan segala keterbatasannya tetapi tetap berdiri teguh di atas kaki sendiri. Marhaenisme adalah panggilan bagi kita semua untuk menghormati, mendukung, dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil sebagai tulang punggung bangsa.

Sunhaji, dengan segala keterbatasannya, adalah simbol perjuangan kaum kecil yang tak pernah menyerah. Ia adalah bagian dari jutaan rakyat Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, namun tetap memiliki semangat untuk berjuang. Penghinaan dari Gus Miftah tidak meruntuhkan tekad Sunhaji. Sebaliknya, itu menjadi bahan bakar untuk terus maju dan menghidupkan semangat Marhaenisme. Dalam dirinya, kita belajar bahwa perjuangan sejati tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain, melainkan keberanian untuk bertahan dan melawan segala bentuk ketidakadilan.

Marhaenisme mengajarkan bahwa setiap rakyat kecil adalah pejuang, dan setiap langkah kecil yang mereka ambil adalah bagian dari perjalanan besar menuju keadilan sosial. Sunhaji, Mas Marhaen dari Magelang, adalah inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah menghadapi penghinaan, dan terus berjuang demi kehidupan yang lebih baik.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SUNHAJI MAS MARHAEN 2024: POTRET PERJUANGAN KAUM KECIL DALAM BINGKAI MARHAENISME"

Posting Komentar