PRABOWO SUBIANTO TINGGALKAN JOKOWI MENUJU KEPEMIMPINAN BERDAULAT SECARA NASIONAL DALAM 100 HARI KERJA



Oleh: Shohibul Kafi, S.Fil

(Alumni Filsafat UIN Jogja, Alumni PMII Jogja dan Kader PDI Perjuangan)

Prabowo Subianto, presiden terpilih Republik Indonesia, menghadapi tantangan besar untuk membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang independen dan tidak terpengaruh oleh bayang-bayang pemerintahan sebelumnya. Publik masih mempertanyakan apakah ia hanya akan menjadi “boneka Jokowi,” yang memerlukan langkah strategis untuk menunjukkan kepemimpinan sejati dan komitmen terhadap perubahan. Dialektika kepentingan antara Presiden Prabowo Subianto Joko Widodo  dan partai PDI Perjuangan menciptakan dinamika politik yang kompleks dan menarik untuk disimak. Jokowi sedari menjelang pilpres 2024 seolah telah menyiapkan dengan baik, cerita tentang Paman Usman, terpilihnya Kaesang Pangarap laksana disulap seketika menjadi Ketua Umum Partai PSI dan landingnya Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres dan terpilih menjadi Wakil Presiden serta banyaknya bekas Mentri Jokowi yang masuk dalam kabinet Prabowo – Gibran.

Peristiwa demi peristiwa diatas Menjadi keputusan opini Publik bahwa Jokowi telah menyiapkan keluarganya untuk melanjutkan tampuk kekuasaannya, dengan kata lain Jokowi dengan sempurna melakukan manipulasi sistem demokrasi Indonesia, selanjutnya Presiden Prabowo Subianto terjebak dalam peta permainan yang telah diciptakan dengan baik oleh Jokowi, dan akhirnya Partai PDI Perjuangan menolak secara keras dan tegas seluruh tindakan Jokowi dan berakhir dengan dipecat secara tidak hormat se-keluarga. Situasi ini menempatkan Prabowo dalam posisi dilematis. Di satu sisi, ia harus menjaga hubungan baik dengan Jokowi untuk menjaga stabilitas politik. Namun, di sisi lain, ia dituntut untuk menunjukkan kemandirian dalam kepemimpinan demi menguatkan legitimasi sebagai presiden definitif. Tantangan ini menjadikan 100 hari pertama pemerintahannya sebagai momen krusial untuk membuktikan komitmen terhadap persatuan nasional dan kepentingan rakyat.

Wacana Publik Mengenai Prabowo Subianto sebagai Boneka Jokowi

Isu mengenai Prabowo Subianto sebagai “boneka Jokowi” mencuat dari berbagai analisis dan pandangan publik. Salah satu faktor utama yang menimbulkan persepsi ini adalah langkah rekonsiliasi politik pasca-Pilpres 2019. Prabowo, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi, menjadi bagian dari strategi meredam polarisasi masyarakat. Namun, langkah ini juga menciptakan persepsi bahwa Prabowo berada dalam kendali Jokowi. Anggapan ini menjadi dasar wacana bahwa Prabowo lebih sebagai pendukung setia Jokowi dibandingkan oposisi yang kuat.

Keikutsertaan Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024 semakin memperkuat narasi bahwa ia hanya menjadi perpanjangan tangan Jokowi. Keterpilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, serta dukungan kelompok yang sebelumnya berafiliasi dengan Jokowi, semakin memperkuat kekhawatiran bahwa pemerintahan Prabowo akan didikte oleh Jokowi dan dimungkinkan kepentingan elit tertentu.

Kritik terhadap Prabowo juga muncul dari pengamat seperti Dr. Ridwan Fawallang, Ketua Perhimpunan Rakyat Progresif Sulawesi Selatan. Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap susunan kabinet Prabowo, yang menurutnya 75% diisi oleh loyalis Jokowi. Kondisi ini dianggap sebagai indikasi bahwa pemerintahan Prabowo hanya akan menjadi kelanjutan era Jokowi tanpa perubahan signifikan.

Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris BUMN, menyoroti pengambilalihan Partai Golkar oleh Jokowi sebagai strategi untuk memperpanjang pengaruh politiknya. Dengan menguasai Golkar, Jokowi dinilai mampu mempertahankan dominasi politik melalui kontrol terhadap pemerintahan Prabowo. Kehadiran Gibran sebagai wapres memperkuat persepsi bahwa Prabowo akan menjadi boneka dalam sistem politik yang tetap didominasi oleh Jokowi.

Intervensi Jokowi dalam momentum Pilkada di Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Timur menunjukkan dominasi dan kontrolnya terhadap dinamika politik lokal dan nasional. Strategi ini mempersulit Prabowo untuk membangun jalur independen dalam pemerintahan, karena banyak kebijakan yang telah dipengaruhi oleh aktor-aktor politik pro-Jokowi. Dengan demikian, intervensi ini semakin memperkuat narasi bahwa Prabowo tidak sepenuhnya otonom dalam menjalankan tugas kenegaraan. Gabungan faktor-faktor ini menunjukkan bahwa persepsi publik tentang Prabowo sebagai “boneka Jokowi” bukanlah sekadar spekulasi, tetapi didukung oleh serangkaian fakta dan analisis yang perlu dijawab secara tegas melalui langkah-langkah nyata.

Meninggalkan Jokowi demi Persatuan Nasional

Menurut data litbang Kompas survey pada januari 2025 tingginya kepuasaan masyarakat yang mencapai 80,9% terhadap kinerja Prabowo Subianto menjadi modal terbesar bagi Prabowo menuju 2029, artinya Prabowo sudah tidak memerlukan Jokowi untuk sampai hingga terpilih kembali pada perhelatan pilpres 2029 mendatang, hanya saja Prabowo Subianto haruslah menjadi dirinya sendiri sebagaimana yang telah lama ia bangun di publik sebagai seorang yang mencintai Soekarno dan memperagakan hingga penampilannya Bung Karno, berikutnya gagasan-gagasan besar Bung Karno pun tak ketinggalan senantiasa menjadi ruh bagi Prabowo Subianto. 

Langkah-langkah meninggalkan Jokowi menjadi salah satu solusi untuk membangun pemerintahan yang independen dan berorientasi pada persatuan nasional. Prabowo perlu mengambil sikap tegas dengan memisahkan diri dari pengaruh politik Jokowi yang dinilai mendominasi kebijakan strategis. Dalam pandangan Dr. Muhammad Yunus, pakar politik Universitas Indonesia, dalam buku Kepemimpinan dalam Krisis tahun 2022, keberanian politik untuk membangun identitas kepemimpinan yang mandiri adalah kunci dalam meraih kepercayaan rakyat.

Selain itu, Prabowo harus memperkuat legitimasi pemerintahannya dengan merancang kebijakan yang benar-benar berorientasi pada rakyat. Menurut Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mendorong kebijakan untuk kebebasan dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini sangat relevan bagi Prabowo untuk merebut kembali narasi tentang kepemimpinannya yang independen serta berdaulat.

Langkah-langkah ini akan memperlihatkan bahwa kepemimpinan Prabowo bukan sekadar kelanjutan dari kebijakan Jokowi, melainkan sebuah transisi ke arah pemerintahan yang lebih berdaulat. Keputusan untuk fokus pada agenda nasional yang menyeluruh, seperti pengentasan kemiskinan dan penguatan sistem demokrasi, menjadi langkah penting untuk memperkuat persatuan dan memperbaiki polarisasi politik di Indonesia.

Pokok-Pokok Pikiran Persatuan Nasional. Pertama Reformasi Ekonomi yang Berkeadilan: Menciptakan kebijakan ekonomi yang mengutamakan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Kedua Penguatan Institusi Demokrasi: Mengurangi dominasi elit politik dan memperkuat peran masyarakat sipil. Ketiga Rekonsiliasi Nasional: Mengatasi polarisasi masyarakat melalui dialog terbuka dan inklusif. Keempat Kemandirian Kebijakan Luar Negeri: Mengurangi ketergantungan pada kekuatan global tertentu dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.

Manifesto Pemikiran Presiden Prabowo Subianto

Prabowo Subianto dalam bukunya Kepemimpinan untuk Indonesia yang Berdaulat menekankan pentingnya kedaulatan bangsa dalam segala aspek. Ia menyatakan bahwa “Kepemimpinan adalah tanggung jawab untuk melayani rakyat, bukan kepentingan elit.” Pemikiran ini harus diwujudkan dalam kebijakan nyata yang mencerminkan semangat perubahan dan persatuan.

Salah satu pokok utama dalam manifesto pemikiran Prabowo adalah penekanan pada ekonomi yang berkeadilan. Ia menyebutkan pentingnya pengelolaan sumber daya alam secara transparan dan berkelanjutan agar hasilnya dapat dinikmati seluruh rakyat. Dalam konteks ini, Prabowo menyoroti perlunya reformasi besar-besaran dalam sektor agraria dan energi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Menurutnya, ketahanan nasional tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.

Lebih lanjut, Prabowo mengedepankan nilai-nilai kemandirian nasional dalam bidang politik dan diplomasi. Ia percaya bahwa Indonesia harus memiliki posisi tawar yang kuat di kancah internasional tanpa tergantung pada kekuatan besar dunia. Dalam pandangan ini, ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk mengedepankan semangat gotong royong dan solidaritas nasional sebagai fondasi dalam menghadapi tantangan global.

Manifesto ini menutup dengan seruan kepada para pemimpin dan masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam membangun negara yang kuat dan berdaulat. Prabowo menekankan bahwa hanya melalui persatuan dan keberanian untuk berubah, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat sepenuhnya.

100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto adalah ujian penting untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar boneka Jokowi. Dengan meninggalkan bayang-bayang kepentingan individu dan kelompok tertentu, Prabowo memiliki peluang besar untuk membangun pemerintahan yang berorientasi pada persatuan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia secara luas.

Langkah-langkah strategis seperti menegaskan kemandirian dalam pengambilan kebijakan, memperkuat integrasi nasional, dan fokus pada pengentasan kemiskinan dapat menjadi indikator keberhasilan Prabowo sebagai pemimpin. Hanya dengan keberanian untuk menghadapi tantangan dan mendobrak narasi lama, Prabowo dapat membuktikan bahwa kepemimpinannya adalah babak baru yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan berdaulat.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PRABOWO SUBIANTO TINGGALKAN JOKOWI MENUJU KEPEMIMPINAN BERDAULAT SECARA NASIONAL DALAM 100 HARI KERJA"

Posting Komentar