Oleh:
Shohibul Kafi, S.Fil
(Alumni
Filsafat UIN Jogja, Alumni PMII Jogja dan Kader PDI Perjuangan)
Manusia Indonesia Menurut Bung Karno
Dewasa
ini kuatnya badai arus globalisasi nan kemajuan teknologi, manusia Indonesia
menghadapi paradoks eksistensi yang makin pelik. Kemudahan akses informasi
seyogyanya membuka ruang kebebasan dan pengembangan diri yang pesat, namun
justru acap kali menimbulkan skeptis atau keraguan yang mendalam dalam diri
manusia. Krisis makna dan identitas kini telah menjadi fenomena nyata yang
telah menggerogoti banyak manusia individu dan Masyarakat luas.
Bung
Karno, Sang Proklamator sekaligus Bapak Bangsa dalam pidatonya pada persidangan
BPUPKI 1 Juni 1945 merumuskan visi Manusia Indonesia yang Merdeka dan berkepribadian.
Beliau menegaskan bahwa manusia Indonesia harus berdaulat secara Politik,
berdikari secara Ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Selanjutnya
cita-cita ini melampaui kemerdekaan formal yang akan menuntut kebebasan sejati
dalam seluruh aspek kehidupan manusia, sebuah keberanian untuk menjadi diri
sendiri dengan integritas, keberanian, kecerdikan, kemanusian, dan kapabilitas
sebagaimana termaktub dalam Sejarah Nusantara.
Namun
perjalanan bangsa pasca-kemerdakaan telah menunjukkan betapa besar tantangannya,
globalisasi yang tak terbendung, budaya konsumsi modern kian mengaburkan makna
kemerdekaan itu sendiri. Identitas yang seyogyanya menjadi pijakan kuat kini
terkoyak-koyak oleh materialisme, pencitraan sosial yang dangkal, dan tekanan
untuk menyesuaikan diri dengan dunia digital. Tentu pertanyaan mendasarnya
ialah, Apakah manusia Indonesia benar-benar Merdeka, bukan hanya secara formal,
tetapi juga secara bathiniah dan kultural?
Dalam
konteks tersebutlah, penulis mencoba mengajak pikiran-pikiran Ki Ageng
Suryomentaram untuk digunakan sebagai pisau Analisa dan sekaligus menjadi jalan
keluar atas kebuntuan peradaban yang Tengah kita Jalani. Sebagai seorang Filsuf
dan guru spiritual Jawa, beliau akan mengajak kita untuk menoleh kedalam, guna
menemukan sebuah kejujuran rasa kesadaran batin sebagai fondasi eksistensi.
Ajaran -ajarannya yang termaktub dalam kitab, “Kawruh Kasunyatan: Ilmu
Hakikat Manusia” yang diterbitkan pada 1980 mampu menjadi jalan pulang yang
amat dibutuhkan untuk membangun manusia Indonesia yang utuh, berakar, dan
Merdeka dari kepalsuan dunia.
Krisis Makna dan Identitas: Fenomena Masa Kini
yang menyentuh Jiwa Manusia Indonesia
Perubahan
sosial budaya yang teramat cepat telah menimbulkan krisis makna dan identitas
ditengah Masyarakat Indonesia. Budaya
konsumsi massal yang telah didukung oleh dominasi media sosial telah
mampu menciptakan ruang di mana individu tedorong menampilkan citra demi
pengakuan eksternal, yang seharusnya menjadi bagian dari integral diri, lalu
berubah menjadi sekedar tampilan yang mudah dipertontotkan dan dikonsumsi.
Fenomena
tersebut memicu keterputusaan antara manusia dan dirinya sendiri. Contoh nyata
terlihat pada gaya hidup anak muda masa kini yang begitu terjebak pada logika
pencitraan tanpa ia sadari, di mana pengukuran harga diri acap kali hanya
melalui jumlah like atau follower di media sosial. Padahal, survey dari The
Happiness Research Institute tahun 2023 menunjuhkan bahwa meningkatnya
pengguna media sosial di Indonesia berkorelasi dengan rasa kecemasan dan
kesepian yang makin tinggi.
Tentu
hidup yang dahulu sarat nilai gotong royong, keikhlasan, dan spritualitas kini
telah banyak ditinggalkan digantikan dengan logika pasar dan hegemoni citra.
Dampaknya identitas menjadi sangat cair dan rapuh, mudah berubah mengikuti
trend dan tekanan sosial. Selanjutnya Pendidikan cenderung instrumental dan
budaya popular yang banyak menekankan kesenangan serta prestasi materi makin
memperparah keterputusaan tersebut.
Krisis
diatas tentu bukan sekedar persoalan sosial ekonomi semata, melaikan tantangan
eksistensial yang mendalam. Manusia Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa
dirinya terancam hilang ditengah hiruk pikuk dunia modern. Keadaan ini menurut Jeans
Francois Lytord dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on
Knowlegde (1979) telah menggambarkan tentang bagaimana narasi besar
kehilangan legitimasi nan menyebabkan fragmentasi identitas dan makna. Senada
dengan Erich Fromm dalam bukunya The Sane Sociaety (1955) menegaskan
bahwa bagaimana Masyarakat konsumeristik menciptakan alienasi dan kehampaan
batin.
Ki Ageng Suryomentaram: Jalan Pulang
Ke-Kejujuran Rasa dan Kesadaran Batin
Di
tengah kebisingan dunia luar, Ki Ageng Suryomentaram mengajak kita manusia
Indonesia untuk menoleh kedalam dirinya sendiri. Dalam kitabnya Kawruh
Kasunyatan (1980) beliau menekankan pentingnya “kejujuran Rasa” sebagai
inti kejujuran hidup nan sumber kebijaksanaan Batin. Artinya memahami diri
sendiri secara mendalam melalui pengalaman batin adalah Langkah utama menuju
kehidupan yang bermakna.
Konsep
Kawruh Kasunyatan akan membuka ruang mengenal diri bukan sekedar secara
intelektual, melainkan perasaan dan kesadaran batin. Baginya pengetahuan sejati
adalah yang menyentuh dan mengubah hati, mengingatkan bahwa kehidupan tidak
cukup hanya dengan dipahami dari luar, melainakan harus dialami dan dirasakan
secara mendalam.
Ajaran
Rumangsa Melu Handarbeni, yakni sebuah kesadaran sosial yang lahir dari
rasa ikut memiliki dan tanggungjawab batin terhadap sesama dan lingkungan akan
menjadi sebuah pilar penting dalam pemikiran Ki Ageng. Kesadaran ini jauh dari
formalitas, melainakan hasil kedalamaan rasa yang memunculkan Tindakan tulus
dan bermakna. Akhirnya melalui ajaran Ki Ageng, manusia Indonesa diajak menemukan
rasa sejati dan kejujuran batin sebagai fondasi identitas. Krisis makna tentu
akan dapat diatasi bukan hanya secara teoritis, akan tetapi melalui
transformasi nyata dalam pengamalan hidup sehari-hari.
Peran Kekuasaan dan Relasi Politik dalam
membentuk dan Mengaburkan Makna dan Identitas
Tak
dapat dipungkiri, kekuasaan dan relasi politik memegang peranan besar dalam
membentuk narasi identitas dan makna di Masyarakat. Politik identitas yang
berkembang di Indonesia dalam beberapa decade terakhir telah mempertontonkan
bagaimana kekuasaan dapat memperkuat atau sebaliknya meruntuhkan makna
kebangsaan itu sendiri.
Selanjutnya
dalam konteks politik yang kerap kali bersifat pragmatis dan oporunistik, maka
identitas kerap dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan sesaat. Hal tersebut
telah menyebabkan fragmentasi sosial dan polarisasi yang menambah kebinggungan
makna kolektif. Kekuasaan yang tidak bertanggung jawab malah memperdalam ketidakadilan
dan memperluas jurang sosial-ekonomi yang akhirnya berimbas langsung pada
hilangnya rasa keterikatan dan kejujuran rasa antar warga.
Melihat
keadaan diatas, Pierre Bourdiue dalam Bukunya Languange and Symbolic Power
(1991) mengatakan bahwa kekuasaan simbolik melalui Bahasa dan narasi sangat
efektif dalam mengontrol persepsi dan identitas Masyarakat. Narasi kekuasaan
yang didominasi oleh kepentingan elite cenderung mengabaikan suara dan
pengalaman rakyat biasa, sehingga identitas yang terbentuk menjadi terdistorsi
dan kehilangan akar.
Akhirnya
praktik politik hanya mementingkan citra dan pencitraan politik di media sosial
yang semakin memperparah krisis makna. Politik hiburan dan populisme digital
membuat warga lebih mudah terpengaruh oleh symbol dan slogan, tanpa memahami
makna mendalam dibaliknya. Oleh karena itu, relasi kekuasaan dan poltik harus
di refleksikan ulang agar dapat menjadi bagian dari Solusi, dan bukan justru
memperburuk krisis identitas dan makna. Politik yang berakar pada kejujuran
rasa dan kesadaran batin dapat membangun narasi kebangsaan yang iklusif dan
bermakna.
Menemukan Ulang Makna Hidup: Revolusi Batin di
Tengah Arus Posmodernisme dan Konsumerisme
Pemulihan
makna dan identitas manusia Indonesia tak dapat dilepaskan dari revolusi batin
yang mendalam. Di Tengah dunia modern dan postmodern yang memecah belah manusia
menjadi fragmentasi citra, kesatuan dan keutuhan diri menjadi tantangan besar.
Revolusi batin yang telah diajarkan Ki Ageng mencoba untuk menyatukan
fragmentasi tersebut melalui pengalaman rasa dan kesadaran eksistensi.
Sunguh
kebebasan sejati bukan sekedar kebebasan formal yang acap kali menjadi symbol
semu, Ki Ageng dalam Kawruh Kasunyatan, mengatakan kepada kita bahwa kebebasan
hakiki adalah kebebasan batin yang membebaskan manusia dari belenggu kepalsuan,
tuntutat sosial semu, dan keterasingan diri, dengan kebebasan inilag manusia
dapat hidup autentik dan menemukan makna hidup yang mendalam.
Dalam
budaya konsumeristik yang menuntut performa dan pencitraan, revolusi batin ini
akan menjadi penyeimbang yang teramat dibutuhkan. Dunia luar menuntut
pencitraan, sedangkan dunia batin menjadi sumber kekuatan untuk berpegang pada
kejujuran rasa dan nilai hakiki. Dengan demikian, manusia Indonesia Kembali
menjadi subyek sadar dan bukan obyek konsumsi.
Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya, Merdeka
dalam Makna dan Identitas.
Cita-cita
Bung Karno tentang manusia Indonesia yang Merdeka dan berkpribadian hanya akan
dapat diwujudkan jika perubahan dimulai dari dalam diri. Kemerdekaan formal dan
politik haruslah diimbangi kemerdekaan batin yang akan menumbuhkan kejujuran
rasa dan kesadaran eksistensi. Tanpa itu semua, Manusia Indonesia akan terus
terperangkap dalam krisis makna dan akan merusak jati diri bangsa.
Revolusi
batin Ki Ageng adalah kunci perjalanan ini, melalui permunian rasa dan
kesadaran batin, manusia keluar dari kepalsuan dunia dan menemukan hakikat
dirinya. Revolusi ini bukan hanya Upaya pribadi melainkan juga panggilan sosial
untuk membangun bangsa yang berkepribadian dan bermartabat.
Akhirnya
menghadapi badai deras global dan budaya konsumerisme ini, manusia Indonesia
diajak untuk membuka tabir ruang kejujuran rasa. Dengan demikian setiap Langkah
akan memiliki makna dan Tindakan yang lahir akan mencerminkan identitas
autentik. Inilah jalan menuju Indonesia seutuhnya, bebas lahir dan batin.
Sejalan
dengan pemikiran diatas, terdapat pula pikiran Benedict Anderson dalam bukunya Imagined
Communities (1983) yang mencoba menjelaskan bahwa suatu bangsa yang
dibangun melalui kesadaran kolektif dan narasi, narasi baru tentang identitas
manusia Indonesia yang berkepribadian bersama
hendaknya harus dibangun atas dasar kesadaran batin dan kejujuran rasa.
Dengan demikian, manusia Indonesia sejati adalah mereka yang Merdeka dalam
makna dan identitasnya, berdiri teguh diatas pijakan kebudayaan dan spiritual
yang kokoh serta mampu menavigasi dunia modern dengan jiwa yang utuh dan
bermartabat. Akhirnya inilah harapan dan tantangan kita Bersama di era yang
penuh dengan gejolak dan tantangan ekstrim.

0 Response to "LUKA NESTAPA MANUSIA INDONESIA DAN OBATNYA"
Posting Komentar