MENJEMBATANI CITA DAN FAKTA: PERSPEKTIF FENOMENOLOGI HUSSERL DALAM DEBAT PAMUNGKAS PILGUB JAWA TENGAH 2024



Oleh: Shohibul Kafi, S.Fil

(Alumni Filsafat UIN Jogja, Alumni PMII Jogja dan Kader PDI Perjuangan)

Debat pamungkas Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2024 menjadi panggung adu gagasan antara pasangan Andika Perkasa-Hendrar Prihadi, yang diusung oleh PDI Perjuangan, dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin, yang didukung Koalisi Independen Masyarakat Plus (Kim Plus) serta partai non-parlemen. Dengan Jawa Tengah dikenal sebagai “kandang banteng,” keunggulan struktural politik tampak berada di pihak Andika-Hendi. Dalam perspektif fenomenologi Edmund Husserl, debat ini bukan hanya soal penyampaian visi, melainkan tentang bagaimana pengalaman hidup dan latar belakang kedua pasangan membentuk gagasan mereka untuk masa depan Jawa Tengah.

Dalam fenomenologi Husserl, pengalaman adalah inti dari bagaimana kita memahami dunia, dan pengalaman tersebut harus digali dalam bentuk yang otentik dan tidak dipengaruhi oleh prasangka atau asumsi yang ada. Dengan mengadopsi pendekatan ini, kita dapat mengkritisi bagaimana masing-masing kandidat menyampaikan gagasan mereka dan sejauh mana pengalaman mereka benar-benar terhubung dengan realitas kehidupan masyarakat Jawa Tengah.

Andika Perkasa tentang Infrastruktur dan Digitalisasi Ekonomi

Andika Perkasa, dengan latar belakang militernya, berbicara dengan tegas tentang pentingnya pembangunan infrastruktur dan digitalisasi ekonomi untuk mengatasi ketimpangan wilayah di Jawa Tengah. Ia berpendapat: "Jawa Tengah membutuhkan pemimpin yang fokus pada pemerataan infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang tertinggal. Saya akan memastikan bahwa pembangunan jalan, jembatan, dan akses internet ke daerah terpencil menjadi prioritas. Selain itu, digitalisasi ekonomi adalah kunci untuk membuka peluang baru bagi masyarakat."

Dari perspektif fenomenologi Husserl, pendekatan Andika mengacu pada epoché, yakni mengesampingkan pandangan subjektif untuk melihat kenyataan berdasarkan pengalaman langsung masyarakat. Andika tampaknya mencoba menggali kebutuhan otentik masyarakat Jawa Tengah yang terkait dengan akses infrastruktur dan teknologi. Namun, ada potensi reduksi fenomenologis dalam pendekatannya, di mana ia cenderung menganggap bahwa kebutuhan dasar seperti infrastruktur dan digitalisasi akan menyelesaikan masalah yang lebih dalam, seperti ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi. Dalam hal ini, Andika tampaknya mengabaikan pengalaman lebih kompleks masyarakat yang mungkin mencakup ketidaksetaraan sosial, pengangguran, atau masalah-masalah terkait moral dan nilai sosial.

Kritik Fenomenologis, Fenomenologi mengajak kita untuk memperhatikan pengalaman hidup sehari-hari masyarakat yang mungkin lebih kaya daripada hanya mengutamakan pembangunan fisik dan digital. Andika perlu lebih menggali pengalaman lebih dalam, termasuk aspek sosial dan kultural yang tidak selalu dapat diselesaikan melalui teknologi atau infrastruktur semata.

 Ahmad Luthfi tentang Harmoni Sosial dan Moralitas

Sebagai respons, Ahmad Luthfi mengedepankan pentingnya harmoni sosial dan nilai-nilai moral sebagai dasar pembangunan. Ia mengatakan: "Pembangunan bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal membangun masyarakat yang sejahtera secara moral. Di Jawa Tengah, kita harus memastikan bahwa masyarakat hidup dalam kedamaian dan saling menghormati. Saya dan Gus Yasin akan mengutamakan program-program berbasis komunitas untuk menjaga stabilitas hukum dan keamanan, serta memperkuat nilai-nilai religius."

Dalam konteks fenomenologi Husserl, pendekatan Luthfi bisa dilihat sebagai pemahaman fenomenologis tentang masyarakat yang lebih menekankan pada aspek kolektif dan nilai sosial. Luthfi mencoba menggali pengalaman kolektif masyarakat yang lebih berkaitan dengan harmoni, kedamaian, dan kestabilan sosial. Ia menawarkan pendekatan berbasis moralitas dan nilai agama untuk membangun hubungan yang lebih harmonis antarwarga.

Kritik Fenomenologis dari perspektif Husserlian adalah bahwa narasi Luthfi cenderung lebih subjektif dan kurang konkret dalam merespons pengalaman nyata masyarakat, terutama terkait tantangan-tantangan sosial yang lebih bersifat struktural dan teknis. Fenomenologi memandang pengalaman sosial tidak hanya sebagai nilai-nilai abstrak, tetapi juga sebagai sesuatu yang konkret dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari, yang mungkin melibatkan masalah ekonomi, pendidikan, atau akses ke sumber daya.

Luthfi lebih banyak menekankan pada pengalaman moral dan keagamaan, yang memang beresonansi dengan sebagian besar masyarakat Jawa Tengah. Namun, kurangnya penekanan pada solusi praktis dan teknokratis membuat programnya terasa lebih idealistik daripada aplikatif dalam konteks kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Perbandingan: Menyambung Cita dan Fakta dalam Perspektif Fenomenologi

Dalam fenomenologi, ada perbedaan besar antara cita dan fakta, yakni antara idealisme dan realitas yang tampak. Andika Perkasa berusaha menggabungkan cita-cita pembangunan dengan fakta lapangan melalui pendekatan yang berbasis data dan implementasi teknis. Namun, ia juga perlu lebih menggali pengalaman subjektif masyarakat Jawa Tengah untuk memahami bahwa masalah mereka tidak hanya terletak pada infrastruktur, tetapi juga pada persoalan sosial dan ekonomi yang lebih mendalam.

Sementara itu, Ahmad Luthfi menonjolkan cita-cita moral dan sosial yang lebih berbasis pada pengalaman kolektif masyarakat, namun kurang mampu menghubungkan pengalaman ini dengan fakta-fakta konkret yang dapat diselesaikan melalui kebijakan praktis. Fenomenologi Husserl mengingatkan kita bahwa pengalaman sehari-hari masyarakat tidak hanya bisa dilihat dari aspek sosial atau moral semata, tetapi juga harus memperhitungkan kebutuhan praktis yang nyata, seperti kesejahteraan ekonomi, akses pendidikan, dan teknologi.

Dalam perdebatan ini, Andika Perkasa mungkin lebih berhasil dalam menjembatani cita-cita ideal dan fakta lapangan dengan solusi yang aplikatif dan berbasis pengalaman konkret masyarakat. Namun, pendekatan teknokratisnya perlu lebih sensitif terhadap dimensi sosial dan moral yang menjadi bagian dari pengalaman kolektif masyarakat. Sebaliknya, Ahmad Luthfi berfokus pada pengalaman sosial yang lebih subjektif, yang meskipun bernilai, membutuhkan keterhubungan dengan solusi praktis untuk dapat menjawab kebutuhan nyata masyarakat. Fenomenologi Husserl, dengan fokus pada pengalaman hidup yang otentik, menunjukkan bahwa keduanya perlu mengintegrasikan lebih dalam antara narasi moral dan realitas sosial agar dapat memberikan solusi yang komprehensif bagi masyarakat Jawa Tengah.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENJEMBATANI CITA DAN FAKTA: PERSPEKTIF FENOMENOLOGI HUSSERL DALAM DEBAT PAMUNGKAS PILGUB JAWA TENGAH 2024"

Posting Komentar