KATA PENGANTAR
Ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang sangat penting bagi seorang
muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbahtkan hukum dari
dalil-dalil syar’I, terutama lagi untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa
atau hal yang baru yang tidak terjadi pada rasul, karena, zaman senantiasa
berkembang halayaknya sebuah jarum jam.
Begitu juga dengan kajian ushul fiqih sendiri, ushul fiqih sendiri
secara esinsi sudah terimplementasi oleh para ahli klasik, namun, tidak
selamanya merunjuk kepada kaidah-kaidah tersebut. Problem mengenai eksistensi
ilmu ushul fiqih kendati mendapatkan perdebatan yang sangat kuat, hingga
akhirnya tersusunlah suatu ilmu yang sering kita ketahui yakni ilmu ushul
fiqih.
Di masa klasik, khususnya masih sugengnya rasul, segala problem
dapat teratasi dengan baik, berbeda halnya dengan wafatnya
nabi, selanjutnya bahwa para imam mujtahid mencurahkan segala
kemampuan nalarnya untuk mengembangkan hukum-hukum syari’at dari sumbernya.
Dari nash-nash syari’at, jiwa, dan penalaranya, mereka mengeluarkan kandungan
hukum yang berharga,yang menjamin kesejahteraan umat islam. Meskipun mereka
berlainan jenis, negri, sistem, dan muamalat mereka. Hukum tidak menjadi sempit
oleh kebutuhan-kebutuhan mereka, bahkan, di dalamnya terkandung hukum bagi
pelbagai kasus yang belum terjadi atau pelbagai peristiwa yang imaginatif. Sejumlah
ensiklopodi fiqih ini merupakan bukti yang dapat berbicara tentang jerih payah
mereka dan dukungan dari teman-teman mereka.
Mereka tidak puas dengan hukum-hukum yag telah mereka kembangkan
dan undang-undang yang telah mereka buat, bahkan, mereka juga memusatkan
perhatianya untuk membuat kaidah-kaidah guna mengembangkan hukum dan
aturan-aturan untuk istinbath, dari himpunan ini kemudian terbentuklah suatu
keidah yang kita kenal dengan sebutan ilmu ushul fiqih.
BAB 1
LATAR BELAKANG
Al-quran merupakan sumber utama bagi umat islam, kemudian al-hadis
sebagai pelengkap terhadap ayat-ayat yang bermakna tersurat maupun tersirat,
kendati demekian alquran terdapat ayat-ayat mutasabihat “ ayat-ayat
yang memerlukan penjelasan”, oleh karena itu, sekiranya kita dapat
mengkritisi dengan catatan untuk mencari kesempurnaan kebenaran “ ijtihad”.
Untuk mengali sumber-sumber hukum islam, kita tidak cukup menerima
sebuah berita, atau sebuah hadis begitu saja, sebab, di abad ke 19
gencar-gencar nya para orientalis, yang mencoba mengkritisi hukum-hukum yang
digunakan orang-orang islam, bahkan, edwair sa’id[1] mencoba
mendongkrak orang-orang timur yang dianggapnya terfatalis dengan keberadaan
sumber-sumber hukm.
Dengan demikian sekiranya kita dapat mengangap penting
bagaimana sistematis penulisan ilmu ushul fiqih, sebagai wacana untuk
mengkritisi hukum-hukum islam yang lain. Dan kita dapat membedakan mana yang
perlu kita kaji atau tidak dikaji, dengan hadirnya orientalis, tentu mengugah
kita sebagai keilmuan muslim, agar lebih berhati-hati dan memberikan serangan
intelektual kepada mereka, semua itu tidak akan pernah terjadi kalau kita hanya
duduk manis dan menerima sebatang rokok, dan tidak memikirkan apa yang menjadi
komposisinya, dan bagaiamana akibatnya kalau kita konsumsi? Sudah sepatutnya
kita memulai dari yang terkecil semisal kita mengetahui sistematis penulisan
ilmu ushul fiqih, siapa yang menjadi tokoh-tokohnya, dan bagaiman
pemikiranya,dan bagaimana perkembangannya?
Seusai kita mempelajari sistematis penulisan ilmu ushul fiqih,
tentu kita dapat mengklasifikasikan, dan mengembangkan metodologi-metodologinya
sebagai langkah kedepan untuk menghadapi tantangan zaman, yang sangat keras,
dan tidak berpri- kemansiaan
RUMUSAN MASALAH
Ø Apakah Devinisi Ushul Fiqih?
Ø Bagaimana sejarah kemunculan Ushul Fiqih?
Ø Bagaimana metode penulisan Ushul Fiqih?
Ø Bagaimana perkembangan Ushul Fiqih?
BAB 2
PEMBAHASAN[2]
Apakah Devinisi ushul fiqih?
Ushul fiqih secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu ushul dan
fiqih. Kata ushul merupakan jama‘ dari suku kata asl, yang berarti sesuatu yang
menjadi pijakan untuk berdirinya sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah,
asl adalah dalil[3].
Lalu apa yang dimaksud dengan dalil? Dalil menurut bahasa artinya
mursyid, petunjuh. Sedangkan menurut istilah dalil adalah
sesuatuyang memungkinkan sampainya kepada yang di kehendaki dengan mengunakan
kekuatan rasio/ fikiran. Seperti alam, dengan sifat yang kebaruan dan
berubah-ubah. Menjadi petunjuh yang dikehendaki, yaitu bahwa alam semesta ini
ada yang menciptakan, yaitu allah. Demikian juga ayat aqimu al-salah menjadi petunjuh,
dengan memperhatikan lavaznya, kepada sesuatu yang dikehendaki, hal ini dapt
disimpulkan bahwa dengan shalat kita akan mendapat petunjuh “dengan mendirikan
shalat” [4] Kemudian kata
fiqih, menurut bahasa kata fiqih adalah fahm. [5] dalam
sejarah kata fiqih mengalami perkembangan, paling tidak mengalami tiga fase[6].
Ilmu ushul fiqih[7] menurut
syara’ adalah pengetahuan tentang berbagai kaidah dan
bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.
Pembahasan hukum-hukum syar’iyyah yang berisifat umum yang di ambil
dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami
hokum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk menistinbatkan dari
selain hukum nash, baik berupa kaidah-kaidah kebahasaan maupun kaidah
tasyriyyah. Dan juga membahas tentang mujtahid yang mampu untuk mengambil hokum
dari dalilnya, dan penjelasan tentang ijtihad, syarat-syaratnya, dan taklid
serta hukumnya.
Dari kumpulan kaidah-kaidah yang telah saya paparkan di atas dan
yang berhubungan dengan dalil-dalil syar’iyyah dari segi dalalahnya
terhadap hukum, dan hukum-hukum dari segi pengambilanya dari
dalilnya, serta hal-hal yang berhubungan dengan kedua sub pembahasan itu berupa
susulan dan penyempurnaan, terbentuklah suatu ilmu yang
disebut ilmu ushul fiqih.
Setelah mengkritisi kedua suku kata ushul dan fiqih, tentu kita
dapat menemukan istilah ushul fiqih, yang telah di sepakati para jumhur ulama
dan syafi’iyah, menurut syafi’iyah[8] ilmu
ushul fiqih adalah pengetahuan dalil-dalil fiqih secara umumbahwa
ijma adalah salah satu sumber hukum, dan tata cara melakukan
istinbath hukum ( berijtihad) daripadanya,dan pengetahuan tentang
orang-orang yang mencari hukum allah, ( mujtahid, muttabih, dan
muqollid).
Sedangkan menurut jumhur ulama [9] ilmu
ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang di dalamnya membahas istinbath
hukum-hukum dari dalil-dalilnya “ Nash” secara terperinci,
atau ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah. Sebenarnya diantara kedua pihak
tidak terdapat ihtilaf hanya saja berbeda secara redaksinya, dan pemilihan suku
kata. Dari kedua argumentatif tersebut dapat di pahami bahwa ilmu
ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau dalil-dalil
yang digunakan untuk pengalian hukuk-hukum syara’ secara tafsil “ terperinci.”
Bagaimana sejarah kemunculan Ushul Fiqih?
Ushul fiqih ada sejak munculnya fiqih, ketika fiqih ada
disana tidak menuntut kemunkinan ada pijakan atau kaidah baginya. Dasar atau
pijakan tidak lain dari ushul fiqih, hal ini merupakan pemahaman terhadap
esensi ushul fiqih sendiri, akan tetapi, menurut disiplin
ilmu, ushul fiqih ialah ilmu yang sistematis yang muncul setelah
fiqih.
Pada masa awal islam segala sesuatu dapat terselaikan dengan wahyu
yang dibawa rasul, dan mengenai kaidah-kaidah ushul fiqih kendati tidak masuk
kedalam angan-angan, pada massa itu, nabi sebagai sentral utama pada setiap
problem, nabi menjelaskan, memperkuat,
dan menafsirkan apa yang dinyatakan wahyu, baik berupa
ucapan, perbuatan maupun taqrir. Sementara itu sahabat merupakan orang yang
terdekat dan mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang wahyu dan asbab
an-nuzul, serta asbabul wurudnya, dan mereka mempunyai kehebatan dalam
berbahasa arab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa bahasa arab adalah bahasa
wahyu dan bahasa nabi.[10]
Metode yang digunakan pada saat itu mereka menkaji alquran, kemudia
apabila mereka tidak menemukan maka mereka beralih pada sunnah, dan apabila
mereka kendati tidak menemukan maka mereka menetapkan hukum dengan ijtihad,
dengan asas kemaslahatan.[11] Hal
ini berdasarkan urutan hadis nabi yang berkenanan dengan sahabat
mu’az bin jabal yang mashur ketika diutus keyaman.
Ketika kaidah-kaidah belum tersusun, bukan berarti para fuqoha
tidak mempunyai pijakan dalam mengali hukum-hukum itu
sendiri, sebailknya esinsi usul fiqih sendiri telah tertanam oleh
para fuqoha, mereka biasa mengunakan kaidah-kaidah tersebut kendati tidak
selalu merujuk pada kaidah-kaidah tersebut.
Akan tetapi, ketika kemenagan islam[12] semakin
bertambah luas dan bangsa arab pun sudah bercampur tangan dengan bangsa-bangsa
lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan ke dalam
bahasa Arab telah masuk sejumlah kata-kata dan uslub yang bukan
bahasa arab, maka kemampuan kebahasan itu tidak lagi tetap seperti kondisi
murni, dan kesamaran-kesamaran dan kemunkinan-kemunkinan lainya banyak yang
terjadi dalam memahami nash, maka kebutuhan sangat mendesak untuk membuat
kaidah-kaidah kebahasan yang bisa digunakan untuk memahami nash sebagaimana
orang arab, yang mana nash datang dengan bahasa mereka, memahaminya,
sebagaimana pula kebutuhan menuntut untuk membuat kaidah nahwu yang bisa
digunakan untuk mengucapkan bahasa secara benar.
Demikian juga ketika masa semakin jauh dari fajar pembentukan hukum
islam, dan perdebatan antara ahli hadis dan ahli ra’yu semakin seru, serta
sebagian orang yang mengunakan hawa nafsu,[13]akan
tetapi, pada mulan ya ia tumbuh sebagai sesuatu yang kecil,
sebagaimana setiap anak yang baru lahir juga di dapati dalam keadan kecil pada
awal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkat pertumbuhannya,
hingga usianya mencapai dua ratus tahun, maka mulailah ia bertumbuh subur,
tersebar dan terpencar disela-sela hukum fiqih. Karena setiap mujtahid dari
imam yang empat dan lainya selalu menunjuhkan dalil hukumnya dan
segi isthidalnya dengan dalil itu.[14]
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah-kaidah
yang bercerai berai ini dalam suatu himpunan yang berdiri sendiri dalam satu
kitab seacara cermat adalah Imam Abu Yusuf, teman Abu Hanifah, sebagaimana
disebutkan oleh ibnu An-Nadim dalam kitab Al-Fihrasas, akan tetapi, apa yang ia
tulis itu tidak pernah sampai kepada kita.
Adapun orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah
dan kajian-kajian ilmu ini dalam suatu kumpulan yang berdiri sendiri,
sistematis, dan masi g-masing kaidah-kaidah di topong dengan dalil dan segi
analisisnya adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’I, yang wafat pada tahun
204 H. dalam kodifikasi ini beliau menulis kitab Ar-Risalah yang berisikan
ushul fiqih yang diriwayatkan oleh temannya yaitu Ar-Rabi’ Al-Murdi.
Kitab ini merupakan kodifikasi perdana dalam ilmu ini yang sampai
kepada kita sepanjang yang kita ketahui. Oleh karena itulah, yang terkenal
sebagai peletak ilmu ushul fiqih di kalangan ulama adalah imam
Syafi’i.[15]
Bagaimana metode penulisan Ushul Fiqih?
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah
metode dan gaya penulisan para ulama, yaitu: Metode ahli ilmu kalam
(Syafi’iyyah) Metode ahli fiqh (Hanafiyyah) Metode gabungan.
Metode Syafi’iyyah[16]
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i[17] adalah
kitab pertama yang menggunakan metode memusatkan diri pada kajian teoritis
murni untuk menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu
mungkin tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya. Kedua: Dalam mengkaji dan
menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan kajian bahasa Arab yang
mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata
atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya. Ketiga: Metode ini
benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab,
jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja. Metode ini
juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:ini dalam penulisannya.
Di antara ciri-ciri metode ini adalah: Pertama: Metode ini
فإن قلتم… قلنا
“Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini
adalah mereka yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah,
Malikiyyah, Hanabilah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain-lain.
Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi’iyyah
1. Ar-Risalah karya Imam Syafi’i
(150-204 H).
2. At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu
Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).
3. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain
Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H).
4. Al-Burhan karya Abul-Ma’ali
Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Asy-Syafi’i/Imamul-haramain (410-478 H).
5. Al-Mustashfa karya Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).
6. Al-‘Uddah Fi Ushul Al-Fiqh
karya Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad Al-Hambali
(380-458 H).
7. At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh
karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul Khattab Al-Kalwadzani Al-Hambali –
murid Abu Ya’la (432-510 H).
8. Raudhatun-Nazhir Wa
Junnatul-Munazhir karya Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali (541-620 H).
9. Al-Mahshul karya Fakhruddin
Muhammad bin Umar Ar-Razy Asy-Syafi’i (wafat 606 H).
10. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin
Abi Ali Al-Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H).
Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut: Pertama: Keterkaitan
erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh dimana ia dijadikan
dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah
ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi,
mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai. Kedua: Tujuan utama dari metode
ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi
dalam kaidah-kaidah ushul. Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan
lebih bersifat praktis.
ini muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan
kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang
ditinggalkan Imam Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para imam mazhab
Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang
tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah
Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah
1. Al-Ushul karya Ubaidullah bin
Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).
2. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali
Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
3. Al-Ushul karya Muhammad bin
Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-Hanafi (wafat th 490 H).
4. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat
Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th.
482 H).
5. Ta’sis An-Nazhar karya
Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).
6. Al-Manar karya Hafizhuddin
Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H).
7. At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’
‘alal-Ushul karya Jamaluddin Abdur Rahim bin Al-Hasan bin ‘Ali Al-Isnawi
Asy-Syafi’i (704-772 H).
Metode Gabungan
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah
melalui seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan
Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham
Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam. Di antara keistimewaan terpenting
dari metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan
mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi
kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.
Buku-buku penting yang ditulis dengan metode gabungan
1. Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina
Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam karya Ibnus-Sa’ati.
2. Tanqih Al-Ushul karya Taj
Asy-Syari’ah Ubaidullah bin Mas’ud Al-Bukhari (wafat th 747 H), buku ini adalah
ringkasan dari Ushul Bazdawi, Al-Mahshul karya Ar-Razi, dan Mukhtashar
Ibnul-Hajib. At-Tahrir Fi Ushul Al-Fiqh karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul
Wahid yang dikenal dengan nama Ibnul-Hammam Al-Hanafi (790-861 H). Buku ini
lebih dekat ke metode Syafi’iyyah, meskipun penulisnya menyebutkan dalam
muqaddimah bahwa ia menulisnya dengan metode gabungan.
3. Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin
Abdul Wahab bin Ali As-Subki Asy-Syafi’i (wafat th 771 H).
4. Al-Qawa’id wal-Fawaid
Al-Ushuliyyah karya Ali bin Muhammad bin Abbas al-Hambali yang terkenal dengan
sebutan Ibnul-Lahham (752-803 H).
5. Musallam Ats-Tsubut karya
Muhibbuddin bin Abdus-Syakur Al-Hanafi (wafat th 1119 H).
6. Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq
‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Abdullah Asy-Syaukani Asy-Syafi’i
(wafat th 1250 H).
Al-Muwafaqat karya Imam Asy-Syathibi Ada sebuah buku ushul yang
patut dicermati karena memiliki gaya tersendiri dalam penulisannya,
yaitu kitab Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
Asy-Syathibi Al-Maliki (wafat 790 H). Buku ini istimewa karena penulisnya
menggabungkan antara kaidah-kaidah ushul dengan maqashid (tujuan), asrar
(rahasia), serta hikmah syariat dengan bahasa yang mudah dan penjelasan yang
gamblang.
Beberapa Buku Ushul Fiqh Kontemporer
1. Tas-hil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul
karya Muhammad Abdur Rahman Al-Mahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M).
2. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad
Al-Khudhari (wafat 1927 M).
3. Ushul Al-Fiqh karya Abdul
Wahab Khalaf (wafat 1955 M).
4. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad
Abu Zahrah (wafat 1974 M).
5. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad
Zuhair Abun-Nur.
6. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya
Syaikh Syakir Al Hambali.
7. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya
Wahbah Zuhaili.
8. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya
Zakiuddin Sya’ban.
9. Ushul At-Tasyri’ Al-Islami
karya Ali Hasbullah dan Zakiuddin Sya’ban.
Ushul At-Tasyri’ Al-Islami karya Ali Hasbullah lain-lain
Bagaimana perkembangan ushul fiqih?
Apabila kita mengkaji ilmu ushul fiqih tentu kita akan mendapati
tititk ekstrim saja, semisal ushul fiqih dimasa nabi, sahabat, dan
mazhab. hingga munculnya ulama kalam, dan ulama hanafiyah beserta
tokoh dan karyanya.[18] Kemudian
demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali inovasi para ulama dan dalam
kajian ushul fiqih, sejak abad pertengahan munculah berbagai ulama yang
inovatif terhadap kajian ushul fiqih. Diantara yang saya sebutkan Abu Ishak
As-syatibi dengan konsep maqasidnya, yang telah tertera dalam kitabnya
Al-Muwafaqot.[19] Yang
kedua An-Najm Al-din Al-tufi pada abad ke 7 dengan pembelaan terhadap
kemaslahatan manusia, menurut tufi perlindungan dalam kemaslahatan[20] merupakan
tujuan utama agama. Oleh karena itu, apabila nash dan qiyas tidak selaras
dengan kemaslahatan manusia, maka keselarasan kemaslahatan manusia harus
diperioritaskan daripada nash tersebut.[21]
Pada masa kontenporer ini munculah beberapa keilmuan yang
menawarkan beberapa pendekatan untuk mengkaji ajaran nash. Diantaranya yang
paling menonjol, yang pertama Fazlul Rahman, seorang ilmuan
asal pakistan yang menetap di Amerika, ia menawarkan teorinya dalam upaya
menjembatani antara gab dan wahyu perkembangan masa kini, teori ini
kemudian di kenal dengan teori double movement, gerakan ganda. Menurut rahman,
langkah awal untuk memahami alquran, adalah mengali makna teks alquran
sekiranya mengunakan pendekatan historis terhadap perjuangan nabi. Kedua
melakukan pembedaan ketentuan legal dan tujuan alquran, ketiga pemahaman dan
penetapan sasaran alquran terhadap peristiwa yang dihadapi di massa kini,
dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis.[22]
Yang kedua Mahmoud muhammad taha dan muridnya
abdilah ahmed an-naim, dengan konsep nasakh terbalik, berbeda dengan nasahk
yang biasa kita pahami[23],
nasakh menurut Mahmoud dan Naim ayat-ayat periode awal, periode mekkah.menasahk
yang datang kemudia, periode madinah, hal ini dilakukan karena, ayat-ayat
periode mekkah berisikan seruan pada manusia secara menyeluruh. Prinsip-prinsip
persamaan, tidak berisikan hukum-hukum yang diskriminatif. Dianggap lebih
sesuai dengan kondisi sekarang, menurutnya masa yang sedang terjadi ada
kemiripan dengan kondisi yang terjadi dengan kondisi awal
kenabian[24]
Yang ketiga Muhammad Syahrur, dalam teori Limitnya
(Hudud). Dalam hal ini, Syahrur dikenal dengan dua batas ekstrim,
yang pertama had al-adna “batas minimal ” dan batas had al-ala “maksimal”.
Menurutnya, hukum islam dibenarkan asal tidak melanggar kedua batasan tersebut.
Sebaliknya, keputusan dipandang keliri apabila melampui batas tersebut.[25]
Yang terakhir Yusuf Qordlawy dalam konsep fiqih al-jadidnya, dalam
membangun fiqih baru ini Qordlawy menawarkan lima bentuk fiqih, yaitu fiqih
keimbangan ( fiqih al-muwazanaah) fiqih realitas (
fiqih waqi’i) fiqih perioritas ( fiqih al
aulawiyat) fiqih al-maqasid al-syariah, dan fiqih perbutan
( fiqih al-tagyir)[26] terlepas
disepaki atau tidak, pemikiran-pemikiran tokoh diatas, harus diakui bahwa
mereka telah berkontribusi terhadap pemikiran islam.
BAB 3
SIMPULAN
Dari kumpulan kaidah-kaidah yang telah saya paparkan di atas dan
yang berhubungan dengan dalil-dalil syar’iyyah dari segi dalalahnya
terhadap hukum, dan hukum-hukum dari segi pengambilanya dari
dalilnya, serta hal-hal yang berhubungan dengan kedua sub pembahasan itu berupa
susulan dan penyempurnaan, terbentuklah suatu ilmu yang
disebut ilmu ushul fiqih.
Pada masa awal islam segala sesuatu dapat terselaikan dengan wahyu
yang dibawa rasul, dan mengenai kaidah-kaidah ushul fiqih kendati tidak masuk
kedalam angan-angan, pada massa itu, nabi sebagai sentral utama pada setiap
problem, nabi menjelaskan, memperkuat, dan menafsirkan apa
yang dinyatakan wahyu, baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir. Sementara
itu sahabat merupakan orang yang terdekat dan mempunyai pengetahuan yang tinggi
tentang wahyu dan asbab an-nuzul, serta asbabul wurudnya, dan mereka mempunyai
kehebatan dalam berbahasa arab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa bahasa arab
adalah bahasa wahyu dan bahasa nabi.
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah
metode dan gaya penulisan para ulama, yaitu: Metode ahli ilmu kalam
(Syafi’iyyah) Metode ahli fiqh (Hanafiyyah) Metode gabungan.
Kemudian perkembangan di masa klasik yang sering kita
sebut Abu Ishak As-syatibi dengan konsep maqasidnya,
kemudian munculah di masa kontenporer semisal Fazlul rahman dengan
teorinya double movement, Mahmoud muhammad taha dan muridnya abdilah ahmed
an-naim, dengan konsep nasakh terbalik, Muhammad Syahrur, dalam teori Limitnya
(Hudud). Dalam hal ini, Syahrur dikenal dengan dua batas ekstrim,
yang pertama had al-adna “batas minimal ” dan batas had al-ala “maksimal”.
Yusuf Qordlawy dalam konsep fiqih al-jadidnya, dalam membangun
fiqih baru ini Qordlawy menawarkan lima bentuk fiqih, yaitu fiqih keimbangan
( fiqih al-muwazanaah) fiqih realitas ( fiqih
waqi’i) fiqih perioritas ( fiqih al
aulawiyat) fiqih al-maqasid al-syariah, dan fiqih perbutan
( fiqih al-tagyir)
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Banni ,
Al-Alamah, Al-Bannnai' Hasyiah , "Ala Syarh Al-Mahali
Ala Matn Jam'u Al
Jawami" Beirut Dar Al-Fikr, 1983
2. Al-Khalaf, Abdul Wahab,"lmu
Ushul Al-Fiqih" Kairo: Dar Al Kalam, 1978
3. Syafe'i Rachmat ,
ilmu ushul fiqh. Pustaka Setia bandung
5. Al-‘amiri Abdalah M
huseyn, Dekonstruksi Hukum Islam pemikiran hukum Najam Adl
Din Al-Thufi, terj, Abdul Basyir, Jakarta: Media Pratama, 2004.
6. Effendy Satria, Ushul
Fiqih, Jakarta: kencana, 2004
7. Al-Khalaf, Abdul
Wahab, ilm usul fiqh Wa Tarikh al Tasry Al-Islami, ttp:ttn,
1959 M.
8. Kato, Alaidin, Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Press, 2004
9. Zuhaily,Wahhab, Fiqh
Al-Islami, Bairut: Darul Fikri tt.
10. Rahman, Fazlul. Islamic
Methodology in History (karachi: central instute of Islamic Reseacht,
1965)
11. Al-Din,
Zakyy, Syu’ban, , Usul Al-Fiqih Al-Islam, Kuwait Almu’sasah,
Ali-Al-Sibbah, 1988,
[2] Makalah ini di susun oleh Shohibul
kafi dan Nurul Hazan, mahasiswa Aqidah dan Filsafat, Fakultas, Ushuludin,
Study Agama, dan Pemikiran Islam, UiN-Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2012.
Semester dua, untuk melengkapi Tugas Mata kuliah Ushul Fiqih yang di
ampu Oleh: Dr. H. Shofiyullah, Mz. M. Ag.
[3] Sebenarnya kata usl, menurut
istilah mempunyai banyak arti, yaitu dalil, al-qo’idah, al-kulliyah,
al-raj’ah, al-surah, al-maqis alaiha,atau al-mustashab, lihat
wahhab al-zuhaili, ushul fihq al islami, (bairut: darul
fiqri,,tt,) hlm, 16-17
[6] A. Qodry Azis, hukum
nasional: eleksistisme hokum islam dan hokum umum;Jakarta telaju 2004, hlm,
[10] Syu’ban, Zakyy, al-din, usul
al-fiqih al-islam,Kuwait almu’sasah, ali-al-sibbah, 1988, hlm,18-19
[13] Dzawul Ahwa, yang dimaksud dengan
hawa nafsu ialah dengan serta merta mengunakan hukum dengan mengikuti
keinginannya sendiri, maka mereka semkin berani menjadikan hujjah terhadap
suatu yang bukan hujjah dan menginkari sebagian sesuatu yang dapat dijadikan
hujjah, dengan kondisi yang sedemikian rupa, maka menimbul motif/fatalis untuk
membuat berbagai ketentuan dan berbagai kajian terhadap dalil-dalil
syar’I, syarat-syarat isthidal denganya, dan dengan cara mengunakan
dalilnya, dari komplinasi pengkajian pengunaan dalil ini dan ketentuan
kebahasan itu, terbentuklah ilmu ushul fiqih, lihat Abdul Wahhab Khalaf, ilmu
ushul fiqih, hlm, 9
[14] Setiap mujtahid yang berbeda
dengan yang lainnya, maka ia mengunakan hujjah atas lawanya dengan berbagai
segi daripada hujjah. Seluruh bentuk pengunaan dalil ini dan
pengunaan hujjah itu memandang berbagai ketentuan ushuliyah,
[15] Kemudian para ulama saling susul
menyusul menyusun kitab dalam ilmu ini. Ada yang secara panjang lebar, dan ada
pula yang secara singkat. Ulama kalam menempuh suatu metode tertentu
dalam menyusun karya didalam ilmu ini, ulama hanafiyah pun menempuh metode lain
dalam mengarap bidang ilmu ini. lihat Abdul Wahhab Khalaf, ilmu
ushul fiqih, hlm,10
[18] Lihat semisal lihat Abdul Wahhab
Khalaf, ilmu ushul fiqih, atau ilm usul al-fiqh wa tarihk
tasyri, Wahhab Al-Zuhaily, usul al-fiqh al-islam, Beirut:
darul fikri, untuk literature usul fiqih yang disusun oleh orang Indonesia,
lihat satria efendy ushul fiqih, Jakarta: kencana, 2005, hlm16-25,
Amir Syaifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999, hlm, 36-40, dan Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih, dan Uhul Fiqih,
Jakarta: Rajawali Press,2004, hlm,27-35.
[21] Baca kajian khusus tentang
al-tufiabdilah M, Al-Hasyn Al-Amri, dekonstruksi sumber hukum islam:
pemikiran hukum Najam Al-din Thufi, ter, Abdul Basyir, Jakarta:
gaya media pratama, 2004,
[22]Baca selengkapnya, Fazlul
Rahman, Islamic Methodology in History (karachi: central
instute of islamic reseacht, 1965)
[24] Baca lebih lanjut, Mahmoud Muhammad
Taha, The Second Messege Of Islam, ter, Abd, Ahmad, An-Naim, (
Sycracuse University Press, 1987) pemikiran taha kemudia dilanjutkan oleh
muridnya, Abd, Ahmad, An-Naim towarads an islmic reformation, civil
lieberties, humam rieghts in the muslim World, (sycracuse:
sycracuse university press, 1990)
[25] Baca selengkapnya dalam Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-quran: kiroah Mu’asarah. ( cairo:
sina li an-nasry, 1992)
[26] Baca selengkapnya, Yusuf
Qordlawy, Al-Ijtihad fi al-syariah al-islamiyah ma’a
nazaraat tahliliyah fi al-ijtihad al-mu’asir . ( Kuwait dar
al-qolam, t t,,) Yusuf Qordlawy: Al-Siasah Al Syar’iyah Fi Dhau’l Nushu
Al-Syariah Al-Maqasid iha, Maktabah Wahhab, Cairo, 1990
0 Response to "SEJARAH PENULISAN USHUL FIQH"
Post a Comment