TASAWUF AL-HALAJ

Biografi Dan Tasaawuf Falsafi; Al-Hallaj[1]
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah..Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.[2]
Untuk memahami pelbagai dinamika pemikiran tassawuf falsafi, disini saya akan mencoba melakukan pendekatan terhadap tokoh tassawuf falsafi. Namun, agar tulisan ini lebih terarah. Saya akan mencoba mengklarifikasi, dimana al-hallaj sebagai sentral dalam tulisan ini.
a)      Biografi Al-Hallaj
Al-Hallaj yang mempunyai nama lengkap Abul Mughith Al-husayn Ibnu Mansur  Ibnu Muhammad Al-Baydowi (244-309/ 858-922). Adalah Misticus islam terbesar yang makamnya dijunjung tinggi sebagai orang suci atau wali. Dieksekusi dibagdad karena ajaranya dituduh dapat menyesatkan dan berlawanan dengan ajaran arthodox, periode sasi ini juga berkenaan dengan pergolakan politik, economi dan agama dalam sejarah kekhalifahan abbasiyah dan umayah. Hidup, khotbah dan kematiannya menyinari sebuah moment krusial dalam sejarah peradaban islam. Pengalaman bathin yang ia kemukankan menjadi denah sekaligus perpecahan dalam sejarah tassawuf.[3]
Al-hallaj dilahirkan sekitar 244/858 di tur, al-bayda, fars, iran tenggara. Penduduk tur berbahasa arab dealek iran. Al-bayda adalah pusat Negara-negara Arab. Orang-orang mengatakan hallaj adalah cucu dari seorang penganut ajaran agama Zoroaster, dan masih keturunan abu ayyub, salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW.
Ayahnya seorang penggaru kapas[4] ditengah perkebunan kapas yang terbentang dari tustar sampai wasit, diatas sungai tigris. Sang ayah sendiri sering bepergian anatara bayda dan wasit, sebuah kota kecil yang menjadi pusat tekstil. Kota kecil tur mayoritas penduduknya menganut mazhab sunni-hambali, sedangkan sebagian kecil lainya menganut mazhab syi’ah ekstrim. Sampai pada usia 12 tahun al-hallaj mempelajari al-quran dengan sepenuh hati sampai menjadi hafidz. Ia pun mempelajari tassawuf  dari sahl Al-Tustari, seorang sufi berpengaruh dan independen, yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir quranya.[5]
Al-hallaj pun pernah belajar diantara tempat-tempat yang pernah ia singgahi untuk belajar ialah, Basra, Mekkah “guna untuk Haji”, Khuzistian, Khurasan dan Bagdad. Adapun ajarannya yang paling fundamental; hulul atau Infution (Penjelmaan tuhan kedalam diri manusia), Nur Muhammad (Asal-Usul kejadian alam Semesta) dan Wahdatul Al-Adyan (Kesatuan Agama)[6]
hulul atau Infution (Penjelmaan tuhan kedalam diri manusia), ajaran hulul menjelaskan tuhan menitis pada diri seorang yang telah menyatu denganNya. Hal yang memunkinkan terhadap hal tersebut ialah adanya dua potensi dua sifat dasar,  Naud (kemanusiaan) dan unsur Lahud (Ketuhanan). Nasud mengandung tabiat kemanusian baik yang rohani maupun jasmani, karena itu tuhan tidak dapat bersatu dengan tabiat ini. Bagi, al-hallaj titik tolak prestasi ini terletak pada diri manusia ada dalam cinta (dalam Arti Luas)
Nur Muhammad (Asal-Usul kejadian alam Semesta) nur Muhammad adalah cahaya purba yang melewati nabi satu ke nabi lainya sampai pada imam atau wali yang merupakan mata rantai silsilah. Menurut al-hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat yaitu cahaya Azali dan yang kedua hakekat baru sebagai seorang nabi, sedangkan yang pertama menjadi landasan semua nabi sampai wali, dari nur Muhammad itu segala sesuatu ada dalam alam semesta.
Wahdatul Al-Adyan (Kesatuan Agama) menurut al-hallaj kesatuan agama itu bahwa esensi agama adalah satu. Nama agama-agama yang berbeda secara esensi adalah satu, atau seperti halnya pandangan ibn Arobi bahwa agama itu suatu bentuk tetapi esensinya satu,
a)      Jarak Antara Pengalaman Dan Kesaksian[7]
Dalam sejarah tassawuf, Al-Hallaj menyisakan sejumlah keistimewaan dalam bidang yang disebut ‘wahdat al shuhud’. Beragam definisi telah disusun untuk merumuskan istilah ini. Seperti kesatuan visi atau kesatuan pandangan (dengan mengacu pada makna bentuk III V shhd) atau diterjemahkan sebagai kesatuan kehadiran, tetapi, shuhud lebih merujuk pada tindakan atau perbuatan untuk melihat atau menyaksikan.
Dalam hal ini menrut catatan penerjemah Diwan Al-Hallaj, mengandung makna “mengandung persaksian” atau Monisme testimonial sebagaimana telah dibahas oleh Louis dalam bukunya “Lexique Technique de le Mystique musulmane”, Paris, 1954, hlm,103. Wahdatul Shuhud tidak semata gambaran ata pandangan tapi sebuah kehadiran persaksian yang total atau sempurna.
Tuhanlah yang menyaksikan dirinya sendiri dalam jiwa hambanya. Kemanunggalin dengan tuhan cenderung untuk ittihad dalam tataran yang bukan esensi. Tapi dilakukan oleh tindakan atau cinta (Isyq mahhabah) yang dapat dicapai oleh pengkosongan diri. Tuhan adalah inti dari yang inti atau hakekat dari hakekat adalah cinta,
Kata al-hallaj pengalaman ini benar-benar menuai kritik dari kalangan sufi dan ulama pada waktu itu. Wahdatul wujud ini seperti yang dirumuskan oleh Louis Masignon ini kemudian berkembang mendominasi sejak abad VI-VII/XI-XII.[8]





[1]Tulisan ini berrefrensi pada karya Louis Massignon, Diwan Al-Hallaj, (Putra Langit:Yogyakarta) Cetakan Ke-dua. 2003
[2] Penulis bernama shohibul kafi. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat, fakultas Ushuluddin, Study Agama dan Pemikiran Islam. Uin Sunan Kalijaga 2012-2013. Tulisan ini dipergunakan untuk melengkapi tugas mata kuliah tassawuf falsafi yang diampu oleh bapak Drs. Muzairi. Selaku dosen Tassaf Falsafi.
[3] Louis, Massignon, Diwan Al-Hallaj, (Putra Langit:Yogyakarta) Cetakan Ke-dua. 2003. Hlm, 7
[4] “Penggaru kapas”; menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya. Op.cit..
[5] Op.cit..
[6] Sebuah pemahaman yang saya dapatkan ketika belajar tassawuf falsafai yang diampu oleh bapak Drs. Muzairi. Pada saat itu sedang membahas tokoh-tokoh tassawuf falsafi, lebih tepanya seorang tokoh Al-hallaj.
[7] Louis, Massignon, Diwan Al-Hallaj, (Putra Langit:Yogyakarta) Cetakan Ke-dua. 2003. Hlm, 20
[8] Louis, Massignon, Diwan Al-Hallaj, (Putra Langit:Yogyakarta) Cetakan Ke-dua. 2003. Hlm, 20

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TASAWUF AL-HALAJ"

Post a Comment