Nama Sayyed Hossain Nasr tidak asing
lagi dalam percaturan intelektual muslim internasional. Reputasi intelektualnya
bahkan telah dikenal di Indonesia, terbukti dari beberapa karyanya yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti Islam dan nestapa manusia
modern (1983), Sain dan peradaban dalam Islam (1986), Menjelajah dunia modern
(1994), Spiritualitas dan seni Islam (1993), Pengetahuan dan kesucian (1997)
ensiklopedia tematis filsafat islam
yang diterjemahkan diindonesia pada tahun 2003 yang sampai hari merupakan salah
satu refrensi dosen mapun mahasiswa pun bisa dirasakan bentuk signifikasi
pelbagai khazanah keilmuan yang telah tercatat sejarah, dan masih banyak bukunya
yang lain, baik yang sudah diterjemahkan maupun yang masih dalam bahasa
aslinya.
Paradigma
yang mendasari pemikiran Nasr adalah bahwa universalitas dan
absolutiditas Islam perlu dijabarkan secara proporsional. Langkah kongkrit
paradigma ini adalah dijadikannya tradisi pemikiran Islam seperti kalam,
filsafat dan tasawuf sebagai alat bantu dalam menderivasikan ajaran Islam.
Dengan cara inilah ketinggian Islam bisa dibuktikan, dan nampaknya Nasr
menggunakan filsafat dan tasawuf sebagai ujung tombak jihad intelektualnya.
Bagi
Nasr, tradisi pemikiran Islam masih bertahan hingga kini. Sebagai pewaris
filasafat iluminasi Suhrawardi, Nasr menawarkan suatu konsep tentang scientia
sacra yang dianggapnya sebagai pengetahuan yang sejati karena
bersumber pada wahyu dan inteleksi manusia. Scientia sacra bisa berwujud dalam
bentuk “al-‘ilm al-hudluri”. Berkenaan dengan krisis kemanusiaan yang
dialami manusia modern, Nasr menawarkan solusi agar kembali kepada tradisi
Islam yang didalamnya terkandung ajaran sufisme sebagai yang paling bisa
memberikan jawaban memuaskan atas kehausan spiritual manusia modern.
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
kalimat pendahuluan yang menurut saya
istimewa buat belia SH nasr ialah kalimat berjuta apresiasi yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata. Tokoh kondang yang mempunyai dua wajah ini sudah mampu
membuktikan akan eksistensinya dan mampu membangkitkan spirit khazanah keilmuan ditimur (islam), tentu
bukan persoalan mudah untuk menjadi lion sciencetia menjadi singga pengatahuan
yang disertai keberanian atas pilihanya merupakan tindakan yang sungguh
menabjubkan.
Sebagai seorang sejarawan sains, SH
Nasr mengajukan suatu tesa bahwa tradisi pemikiran Timur (Islam) baik dalam bidang filsafat maupun gnosis masih tetap
berlangsung dan hidup sampai sekarang. Tesa SH Nasr ini sebenarnya merupakan
reaksi dari kesimpulan orientalis (termasuk
pemikir muslim) yang mengatakan bahwa kegiatan intelektual umat Islam telah
mati yang disebabkan tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadap
filsafat dan kematian Ibn Rusyd (520/1126-595/1198)
sebagai simbol kematian rasionalisme Islam. Bagi Nasr, pandangan semacam itu
bukan saja memiliki cacat, tetapi juga memilki dampak yang serius terhadap
munculnya gelombang keawaman dan apatisme intelektual di kalangan umat Islam,
bahkan yang lebih tragis dari itu adalah adanya para cendekiawan muslim yang
dengan pisau analisa serta metodologinya yang baru, mencoba meletakkan iman dan
transendensi Islam sebatas kebenaran yang bersifat hipotetik.[1]
Pembelaan Nasr terhadap tradisi
intelektual Islam, nampaknya akan berhadapan dengan kritisisme di kalangan
pemikir muslim yang lain, semisal Fazlur Rahman dan Muhammed Arkoun. Kedua
pemikir tersebut mencoba mengkritik intelektualisme Islam. Kalau Fazlur Rahman
mencoba menawarkan metode “double
movement” dalam memahami al-Qur’an serta metodologi-metodologi lain dalam
pengambilan keputusan hukum,[2] maka
Arkoun mencoba mengkritik bangunan epistemologi ilmu-ilmu ke-Islaman era
klasik-skolastik secara menyeluruh. Untuk itu, Arkoun memandang perlu untuk
memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora baik dari cabang antropologi,
sosiologi, fisiologi, linguistik (semiotik)
maupun filsafat dalam memetakan kembali intelektualisme Islam. Pada sisi yang
lain SH Nasr justru mempertanyakan ilmu-ilmu tersebut yang menurutnya berada di
pinggiran (kulit) dan bukannya pada
pusat eksistensi pengetahuan.[3] Salah
satu yang mendasari kritik-kritik Rahman dan Arkoun adalah adanya suatu assumsi
yang menggarisbawahi adanya historisitas dalam keberagamaan umat Islam,
termasuk dalam pemahaman mereka terhadap normativitas ajaran Islam yang
tersistematiskan dalam bentuk ilmu-ilmu ke-Islaman seperti tafsir, kalam, fiqh
dan lain-lain.
Kesan “lebih sejuk” nampaknya tepat dilekatkan pada pemikiran SH Nasr
jika dibandingkan dengan pemikiran Hassan Hanafi yang cenderung radikal,
revolusioner dan provokatif. Meskipun Nasr menganjurkan perlunya “mengenal” tradisi pemikiran Barat tetapi
tujuannya adalah hanya untuk mencari benang merah antara Barat dan Timur,
sedangkan oksidentalisme yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi lebih mengesankan
sebagai upaya “balas dendam” Timur
terhadap Barat. Tulisan ini pada dasarnya ingin memaparkan beberapa corak
pemikiran Nasr terutama yang berkaitan dengan perpaduan pemikirannya antara
filsafat dan spiritual.
Kombinasi latar belakang kultural dan
intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus dalam
berbicara dan berkarya, mempunyai otoritas dalam berbicara mengenai banyak
topik, terutama mengenai perjumpaan Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi.
Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik dengan muslim maupun non-muslim,
menjadikan Nasr sebagai figur yang langka dan
jarang ada bandingannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi singgkat
Sayyed Hossain Nasr [4]
Seyyed
Hossein Nasr terlahir pada tanggal 7 April 1933 dan dididik sebagai seorang
Syi'ah Iran. Ia berasal dari keluarga cendekiawan terkenal. Ayah dan kakeknya
adalah fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga terkenal di kalangan
muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.Seyyed Hossein Nasr ketika kecil tidak banyak
perbedaannya dengan anak-anak seusianya, ia belajar pada sekolah dengan standar
bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih banyak memberikan
inspirasi dan semangat.[5]
Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pergi ke
Amerika ketika usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie di Haghtown, New
Jersey, dan ketika tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang
merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa berprestasi. Pada sekolah inilah
Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan tentang sains, searah Amerika, peradaban
Barat dan Kristologi.
Berbeda
dengan ketika ia belajar pada Sekolah
Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan
fisika, ia merasa tertekan dan bosan karena menurutnya terlalu berlebihan dalam
mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap banyak
pertanyaan mengenai masalah-masalah metafisik yang menjadi minatnya, tidak
mendapat tempat di jurusan fisika tersebut. Oleh karena itu dia mulai meragukan
apakah fisika dapat menghantarkan manusia kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang bisa sedikit
memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr adalah Bertnard Russell, filosof
Inggris yang suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di tempat Nasr
menuntut ilmu.[6]
Pengalaman
pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya harus mengambil keputusan
mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara
intensif buku-buku dalam rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih ketika ia bertemu
dengan professor Giorgio de Santillana,[7]
filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr banyak mempelajari filsafat
yunani, filsafat Eropa, Hinduisme dan pemikiran Barat Modern. Nasr kemudian
menekuni konsentrasi geologi dan geofisik pada Program Pascasarjana di
Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik
tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu dan
filsafat di Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yang terakhir ini Nasr
banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis
seperti Fritjof Schuon dan Titus Burckhardt, yang banyak memberikan sumbangan
dan pengaruh bagi perkembangan intelektual
dan spiritualnya.
Ketika
lulus dan mendapat gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul
Conception of Nature in Islamic
Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard dengan judul Introduction
to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan
juga oleh Nasr untuk menulis sebuah buku yang kemudian diterbitkan dengan judul
Science and Civilization in Islam, yang nanti akan kita lihat pada bab
berikutnya.
Seyyed
Hossein Nasr setelah purna studi kemudian kembali ke Iran, diangkat menjadi
guru besar madya dalam bidang filsafat dan sejarah sains, hampir berbarengan
waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya dengan seorang wanita dari
keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr menjadi orang termuda yang menyandang
gelar profesor penuh pada Universitas Teheran. Sesuatu yang baru ditawarkan
oleh Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa ia menganggap pentingnya pentingnya
pengajaran filsafat Islam yang berbasis sejarah dan perspektif Islam. Nasr
berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan dapat memahami dan
mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri dari sudut pandang orang lain,
seperti juga tidak mungkinnya seseorang dapat melihat sesuau dengan mata orang
lain.[8]
Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan minat untuk mempelajari filsafat Timur pada
program studi filsafat. Nasr juga terlibat dalam program doktor bidang bahasa
dan sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di
bidang ini yang menjadi cendekiawan penting diantaranya dari Amerika William
Chittick, dan cendekiawati dari Jepang Sachiko Murata.[9]
Seyyed
Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr, universitas sains
dan teknik terkenal di Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu,
menginginkan agar Nasr mengembangkan Universitas Aryamehr dengan model
perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi mempunyai dasar yang kuat pada
kebudayaan Iran .
Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana dengan bidang
filsafat ilmu dengan landasan filsafat ilmu Islam, untuk pertama kalinya di
dunia Islam, bahkan di dunia pada umumnya.
Seyyed
Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu hikmah,
di bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-guru terhormat itu
adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang mempunyai otoritas dalam
bidang hokum Islam dan filsafat, yang merupakan sahabat ayah Nasr, Allamah
Sayyid Muhammad Husain Tabatabai dan Sayyid Abu Hasan Qazwin, ahli hukum Islam
yang menguasai juga matematika, astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat
bahwa Nasr telah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan
pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada
posisi langka ketika berbicara dan menulis, yang menguasai banyak isu yang
terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.
Nasr
juga menulis secara aktif ketika berada di Iran dalam bahasa Inggris, Perancis
dan Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan
raja Iran .
Nasr juga menulis buku-buku Suhrawardi dan Mulla Sadra dalam bahasa Persia dan karya Ibnu Sina dan al-Biruni dalam bahasa
Arab.
Kiprah
Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia
"luar" baik kawasan muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut Caultural
Institute, dimana Iran ,
Pakistan
dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of
Islamic Studies pada Universitas Amerika di Beirut (1964-1965). Mskipun
tinggal di Amerika, Nasr sering keluar dan berhubungan dengan negara lain.
Tahun 1977 ia menyampaikan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York , ia berbicara
mengenai seni dan Islam. Pada tahun 1979, ketika meletus Revolusi Iran , Nasr
pindah ke Amerika, dan mulai aktif lagi menulis di sana .
Tahun
1980 ia aktif menulis dan berdiskusi dalam forum prestisius yang disebut Gifford
Lectures, karena diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, dan Nasr adalah orang
Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tersebut. Karyanya
Knowledge and The Sacred adalah judul yang telah dipresentasikannya di
forum Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan bahwa Knowledge and
The Sacred merupakan hadiah dari langit karena penulisannya dapa diselesaikan
dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Sebenarnya
banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, tetapi
karena mengingat berbagai keterbatasan, tidak mungkin diampilkan dan diulas
semua di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak
mengulas pemikiran Nasr di dalam buku yang menjadi pusat perhatian artikel ini.
2.
Scientia Sacra
Pengaruh filsafat iluminasi-perennial
dalam diri Nasr akan nampak dari uraian-uraiannya tentang pengetahuan suci
atau scientia sacra. Menurut Nasr, scientia sacra tidak
lain adalah pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu dan ia
adalah pusat lingkungan inti yang meliputi dan menentukan “tradisi”.[10] Ada
dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau
intuisi intelektual yang menyelimuti iluminasi (cahaya) hati dan pikiran
manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung dan
dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut
dengan al-ilmu al-hudluri (pengetahuan yang hadir).[11]
Menurut
Nasr, scientia sacra pada dasarnya adalah metafisika itu
sendiri, jika istilah ini dimengerti secara tepat sebagai puncak sains tentang
Yang Real. Yakni metafisika dalam pengertian bahasa Timur seperti prajna,
jnana (dalam tradisi Hindu) dan ma’rifat atau hikmah (dalam
tradisi Islam) sebagai sains paripurna tentang Yang Real tanpa direduksi ke
dalam bentuk cabang pengetahuan lain yang dikenal sebagai filsafat atau
padanannya. Dalam pengertian ini hikmah (metafisik) identik
dengan scientia sacra.[12]
Scientia
sacra memandang semua yang ada pada dasarnya adalah refleksi dari Yang
Real. Hipostase Ilahi atau Kemutlakan Tertinggi direfleksikan dalam lima
kondisi eksistensi. Pertama, dalam ruang sebagai perluasan yang secara teoritik
tidak terbatas. Kedua, dalam waktu sebagai durasi yang secara logis tidak
berakhir. Ketiga, dalam materi, sebagai eter yang merupakan prinsip baik materi
maupun energi yang menandakan ketidakterbatasan substansialitas material.
Keempat, dalam bentuk sebagai kemungkinan tak terbatas keanekaragaman, dan
kelima, dalam rangka, sebagai ketakterbatasan kuantitas. Scientis sacra melihat
aspek-aspek eksistensi kosmik tersebut sebagai refleksi terhadap bidang atau
berbagai bidang manifestasi Hipostase Ilahi, Kemutlakan, Ketakterbatasan dan Kebajikan
yang mencirikan Yang Real seperti itu.[13]
Di Barat, kajian metafisik ditarik hanya ke wilayah ontologis yang
menafikan intuisi intelektual sebagai jalan yang mendalam dalam membayangkan
realitas ini. Padahal jauh sebelum itu, seorang filosof muslim, Suhrawardi,
telah mengawinkan filsafat dengan pengalaman spiritual. Baginya, pengalaman
spiritual yang membuat pengalaman tentang “Wujud” tidak hanya mungkin, tetapi
sumber bagi semua spekulasi filosofis berkenaan dengan konsep dan realitas
Wujud.
Scientia sacra memunculkan pengetahuan unitif, yang melihat dunia tidak
sebagai ciptaan yang terpisah, tetapi sebagai manifestasi melalui simbol dari
setiap pancaran aksistensi pada sumber, yang tidak meniadakan keagungan
trensedensi.
Scientia
sacra ingin menegaskan bahwa sifat hirarki realitas adalah penjelasan
universal semua tradisi dan merupakan bagian serta bidang praktek dan doktrin
keagamaannya. Hirarki realitas disimbolkan sebagai tingkat-tingkat cahaya dan
kegelapan, sebagaimana dalam ajaran esoterisme tertentu dalam Islam, atau
sebagai tatanan dewa dan rekayasa dalam ajaran agama dengan struktur mitologi.
Kemudian, kalau kita tarik pada filsafat wujud Ibn Sina, maka konsepsi wajib
al-wujud dan mumkin al-wujud pada
dasarnya berbicara tentang hirarki eksistensi/hirarki realitas.
Scientia
sacra tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemanfaatan yang tepat
terhadap intelegensi yang terdapat dalam diri manusia. Meskipun intelek
memancar di dalam diri manusia, tetapi ia terlalu jauh bergerak dari sifat
primordialnya, sehingga tidak mampu menggunakan secara penuh karunia
Ilahi ini bagi dirinya sendiri. Ia membutuhkan wahyu, yang dengannya dapat
mengaktualisasikan intelek dalam dirinya sendiri. Scentia sacra akan
diperoleh ketika tiap manusia adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi
dalam diri manusia secara natural, maka ia akan melihat segala sesuatu in
divinis dan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci
sepanjang masa.[14] Pusat
pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan.
Bulan memancarkan sinarnya dari pantulan sinar matahari.
3.
Kembali ke tradisi
Keprihatinan Nasr terhadap gelombang
sekulerisme yang melanda Barat dan telah terasa dampaknya di dunia Islam,
menyebabkan Nasr menyerukan untuk kembali kepada tradisi Islam yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nasr, dominasi Barat dalam
filsafat, budaya, seni, politik dan sosial di dunia Islam telah mengancam bukan
hanya lembaga tradisional masyarakat muslim, tetapi juga Islam itu sendiri.[15]
Dalam
pandangan Nasr, Barat harus bertanggung jawab atas terjadinya krisis dan
dekadensi humanistik. Hal ini karena manusia Barat modern telah dihinggapi
penyakit amnesis atau penyakit lupa. Manusia Barat telah lupa, siapa ia
sesungguhnya. Kemajuan pengetahuan yang diciptakan manusia modern, meskipun
secara kuantitatif mengagumkan, tetapi secara kualitatif bersifat dangkal,
karena pengetahuan tersebut hanya berkubang di luar lingkaran eksistensi
pengetahuan sebenarnya. Atas nama “objektifitas” ilmuwan Barat telah
terjebak pada pengetahuan palsu tentang manusia, karena apa yang dikumpulkan
sebagai fakta tentang manusia (seperti
dalam antropologi dan psikologi) belum bisa dianggap cukup untuk
menggambarkan manusia sesungguhnya.
Objektifitas ilmiah telah menegasikan
aspek-aspek trasendensi, karena apa yang non observable dianggap
tidak ada. Ada sifat manusia yang permanen dan universal yang belum terungkap
hanya dengan pengetahuan ilmiah tersebut. Riset ilmiah tidak bisa dikatakan
sebagai sumber pengetahuan universal dan esensial tentang manusia. Riset ilmiah
itu hanya dapat menjadi sumber pengetahuan yang esensial apabila yang
dimaksudkan dengan perkataan ilmiah itu adalah al-ilm di dalam
pengertian tradisionalnya, yaitu sebagai pengetahuan yang bersumber dari Tata
Prinsipil dan menuju kepada Tata Prinsipil itu pula. Namun demikian, riset
ilmiah juga bisa menolong kita untuk menyadari suatu hal yang esensial atau
malapetaka yang sedang dialami manusia modern masa kini.
Terjadinya
krisis ekologi di Barat, telah menyadarkan Barat akan kesalahan-kesalahan
konsep peradabannya yang diterapkan selama ini. Timbullah seruan-seruan moral
untuk menjadi humanis-humanis rasional dan bersikap santun kepada lingkungan.
Tetapi seruan mereka tidak akan ada artinya, jika tidak ditopang oleh kekuatan
spiritual yang sanggup mengekang kecenderungan-kecenderungan buruk di
dalam jiwa manusia. Kekuatan spiritual itu tidak lain adalah agama.
Tetapi karena kecongkakan manusia Barat yang telah sekuler, mereka masih juga
tidak mau berpaling kepada agama. Mereka telah lama “membunuh Tuhan” sehingga
mereka telah kehilangan dimensi trasendennya, kesuciannya.
Ironisnya,
di dunia Timur umumnya dan di dunia Isalm khususnya, hampir semua negara sedang
mengulangi jalan historis yang sama dengan apa yang telah ditempuh Barat.
Seharusnya Timur menjadikan Barat sebagai studi kasus, bukan sebagai teladan yang
harus dicontoh secara mentah. Memang, tekanan ekonomi, politik dan militer
negara-negara Barat terhadap negara-negara Timur, membuat ketergantungan yang
akut negara-negara Timur kepada Barat, tetapi hal ini janganlah menyebabkan
Timur kehilangan identitas dan simbol kesucian tradisinya.
Secara umum umat Islam dihadapkan
pada dua pandangan dunia yang paradoksal, antara berpegang teguh
pada tradisi yang diwarisinya atau terjebak dalam pandangan dunia
Barat yang sekuler. Kasus modernisasi (sekulerisasi) pendidikan tradisional
Islam adalah satu contoh. Tarik menarik dua pandangan dunia di bidang politik,
sosial dan ekonomi juga tidak kalah serunya, yang tragisnya seringkali diakhiri
dengan kekalahan Timur. Kekalahan Timur (Islam)
ini tidak lepas dari peranan suatu kelompok umat Islam sendiri yang mangalami
penyakit inferiority complex berhadapan dengan superioritas
Barat. Mereka dengan sepenuh hati menerima teori dan konsep-konsep yang berasal
dari Barat.[16]
Melihat
fenomena di atas, Nasr mengajak manusia Barat dan juga umat Islam, (yang telah terbaratkan) untuk
merenungkan dan kembali kepada tradisi Islam, yang di dalamnya terkandung
ajaran sufisme sebagai yang paling bisa memberikan jawaban terhadap kebutuhan
intelektual dan spiritual manusia modern.[17]
Sepanjang kaitannya dengan sufisme,
harus difahami dengan benar bahwa sufisme janganlah diklasifikaikan dengan
tradisi-tradisi integral lainnya seperti Hinduisme dan Budhisme, karena sufisme
adalah bagian dari Islam dan bukan sebuah tradisi yang berdiri sendiri. Sufisme
adalah bunga atau getah dari pohon Islam, atau dapat dikatakan bahwa sufisme
adalah permata di atas mahkota tradisi Islam. Sehingga, apabila berbicara
mengenai sufisme, maka sebenarnya kita berbicara mengenai aspek tradisi Islam
yang paling dalam dan universal.[18]
Ajaran dan latihan-latihan spiritual
yang diajarkan sufisme, bisa menyadarkan manusia akan hakikatnya sendiri,
sekaligus membawanya dari pinggiran lingkaran eksistensi menuju pusat
eksistensi melalui jari-jari lingkaran tersebut. Dari sini bisa dipahami adanya
terminologi syari’at, thoriqot dan ma’rifat.
Dihadapkan dengan Barat, setidaknya
sufisme berpengaruh pada tiga level. Level pertama, ada kemungkinan
sufisme tersebut dilaksanakan secara aktif oleh Barat meskipun jumlah mereka
tentunya sedikit. Level kedua, dengan sufisme, Barat akan mengenal
Islam dalam betuknya yang lebih menarik, dan mereka akan menemukan “apa yang
mereka cari selama ini” dalam Islam. Dengan demikian, Barat tidak lagi memusuhi
Islam karena latar belakang historis konfliknya secara berlarut-larut. Sufisme
telah terbukti efektif sebagai alat untuk menegenal Islam sebagaimana terjadi
di India, Indonesia dan Afrika Barat. Level ketiga, sufisme
setidaknya dapat mengingatkan manusia Barat dari tidurnya. Karena sufisme
adalah tradisi yang masih hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis,
kosmologis dan psikoterapi religius yang hampir tidak pernah dipelajari di
Barat.
Sebagai sebuah doktrin mengenai seni
religius dan sains-sains tradisional, maka sufisme dapat menghidupkan kembali
beberapa aspek tradisi Barat pada saat ini telah dilupakan. Oleh karena itu,
guna memenuhi harapan tersebut, sufisme harus tetap bisa mempertahankan
integritas dan kemurniannya sendiri, sehingga bias menyangkal kekuatan-kekuatan
yang berusaha untuk menyimpangkan, merubah dan memanipulasinya. Disamping itu,
sufisme juga harus bisa berbicara dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
manusia sekarang.[19]
BAB III
PENUTUP
Bagi Nasr, sufisme bukanlah penyebab
kemunduran umat Islam, bahkan lewat sufismelah tradisi pemikiran filsafat Islam
dipelihara dan ditansmisikan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.
Sementara, Fazlur Rahman menilai, bahwa salah satu penyebab kemunduran umat
Islam pertengahan adalah munculnya gerakan sufisme yang dianggapnya bersifat
netral terhadap moralitas sosial, meskipun Rahman sendiri mengakui aspek
positif sufisme dalam memperkaya dalam pembinaan kepribadian.
Uraian-uraian Nasr mengenai scientia
sacra pada hakikatnya merupakan upaya intelektual dia
untuk menjelaskan sufisme secara filosofis, karena hakikat scientia
sacra tidak lain adalah ma’rifat dalam terminologi
sufisme. Untuk usaha ini, Nasr tidak segan-segan melakukan pengembaraan
intelektual kepada tradisi-tradisi Hinduisme, Budhisme, Taoisme bahkan ke dalam
tradisi Kristen dan Yudaisme guna mencari titik temu antara esoterisme Islam
dan dimensi batin tradisi-tradisi tersebut. Langkah passing over (melintas
batas) yang dilakukan Nasr terhadap tradisi tersebut diakhiri dengan coming
back kepada Islam.
Dengan demikian Nasr sebenarnya telah
menempuh dialog antar iman. Sekali lagi, hal ini menunjukan kepiawaian
intelektual Nasr untuk memperkenalkan Islam dalam bentuk yang lebih menarik di
hadapan Barat. Yakni pada saat manusia Barat modern tengah meraba-raba mencari
dimensi transendennya yang telah lama dicampakan semenjak reneassance.
Kalau Nasr menawarkan Islam tradisi
(sufisme) sebagai jawaban atas kecaman menghadapi perkembangan modern, maka Ali
Syariati menawarkan norma dan ajaran Islam secara penuh sebagai jawaban ideal
untuk menghadapi tantangan modernitas. Solusi yang ditawarkan keduanya memang
memmberi implikasi yang berbeda. Tawaran Nasr memancing kebangkitan kembali
tradisi dan budaya Islam di berbagai belahan dunia, sementara Syariati justru
membangkitakan semangat fundamentalisme Islam sebagaimana terlihat di Iran.
Namun demikian, terlepas dari semua itu Nasr telah menempuh jalan yang
mengingatkan kita kembali akan kekayaan tradisi intelektul dan spiritual
generasi pendahulu
kita.
DAFTAR PUSTAKA
o Meuleman,JH,
“Tradisi, Kemodernisme dan
Metamodernisme; memperbincangkan pemikiran Mohamed Arkoun”
(Yogyakarta:Lkis), 1996
o Nasr,
Sayyed Hossein. Sains dan Peradaban di dalam Islam, terjemahan J.
Mahyudin, cet ke-1 (Bandung: Pustaka, 1986).
o Nasr,
Sayyed, Hossein. “Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis,
terjemahan Suharsono (Yogyakarta: CIIS,1995).
o Nasr,
Sayyed, Hossein “Islam dan Nestapa Manusia Modern, terjemahan Anas Mahyudin” (Bandung:
Pustaka, 1983)
o Nasr,
Sayyed, Hossein, “Islamic Life and Thougt” (London: George Aleen
& Unwin, 1982).
o Nasr,
Sayyed, Hossein, “Pengetahuan dan Kesucian, terjemahan Suharsono” (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997).
o Nasr,
Sayyed, Hossein, “Menjelajah Dunia Modern, terjemahan Hesti Tarekat” (Bandung:
Mizan, 1997).
o Permata,
Ahmad Norma (ed), Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta:
TiaraWacana, 1996).
o Rahman,
Fazlur, Islam dan Modernitas, terjemahan Ahsin Muhammad, cet.ke-2 (Bandung:
Pustaka, 1995).
o Syari’ati,
Ali, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, terjemahan
Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah,1992).
[1] SH Nasr, Intelektual Islam,
terj. Suharsono (Yogyakarta ; CIIS, 1995) 5.
[2] Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin
Muhammad cet. Ke-2 (Bandung ; Pustaka, 1995) 23.
[3] SH Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj.
Anas Mahyudin, (Bandung ; Pustaka, 1983) 3-10. Mengenai analisis Arkoun, lihat
JH Meuleman (ed.) Tradisi, Kemoderan dan Metamodernisme (Yogyakarta
; LKiS, 1996).
[4] Makalah ini disusun Oleh Shohibul
Kafi Mahasiswa Aqidah Dan Filsafat Fakultas Ushuluddin,
study agama dan Pemikiraan Islam. Uin Sunan Kalijaga 2013. Makalah Ini dibuat
atas matakuliah filsafat islam tematik VI kebudayaan Yang diampu bapak Dr Fahrudin Faiz selaku Dosen pengampu mata kuliyah filsafat
islam tematik VI kebudayaan
[5] "Biography"/Dr.
Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18
Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[6] "Seyyed Hossein
Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal
18 Juni 2006 pukul 16.00.
[7] Hubungan Seyyed Hossein Nasr dengan Giorgio de Santallana semakin
hari semakin intensif, sebagai kawan dalam bergaul dan berdiskusi. Santillana
juga memberikan kata pengantar dalam buku Nasr yang sedang kita bahas ini.
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York,
: New American Library, 1970), hlm. vii-xiv.
[8] "Biography"/Dr.
Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni
2006 pukul 16.00 WIB.
[10] SH Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997) hal. 152. Dalam pengertian yang lebih
universal, tradisi dapat dianggap mencakup prinsip-prinsip yang mengikat
manusia dengan langit, yaitu agama, yang hakikatnya adalah prinsip-prinsip yang
diwahyukan itu sendiri, yang berfungsi mengikat manusia dengan Yang Asal.
Pengertian tradisi juga bisa diarahkan pada hikmah perennial yang terdapat
dalam jantung setiap agama. Hikmah perennial ini merupakan elemen utama
penyusunan setiap agasi, sehingga tradisi tidak bisa lepas darinya, lihat, SH
Nasr, Tentang Tradisi, dalam AN Permata (Ed) Perennialisme, Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1996) hal. 146-147
[11] SH Nasr, Pengetahuan, hal. 152
[12] Ibid, hal. 154.
[13] Ibid, hal.158
[14] Ibid, hal. 171-172.
[15] SH Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terj. Hesti
Tarekat (Bandung ; Mizan, 1994) hal. 7.
[16] SH Nasr, Islam dan Nestapa, terutama
hal. 1-38.
[17] Ibid, hal. 78
[18] Ibid, hal. 80.
[19] Ibid, hal. 101-104.
0 Response to "MAFATIH AL-ULUM AL-KHAWARIZMI"
Post a Comment