(Penelitian Agama: Pendekatan Dari Ilmu
Agama
W. Bonar Sidjabat)
Oleh: Shohibul Kafi[1]
A.
PENDAHULUAN
Kajian mengenai persoalan keyakinan yang
kemudian dibungkus dengan Agama, merupakan kajian yang mendasar atas adanya berbagai Agama-agama di Dunia ini. bahkan sudah berjalan dari awal manusia
menduduki di Bumi hingga sekarang. Dari masa peradaban Cina 5000 SM. hingga
2015 M. Mengapa kajian ini terus ada sepanjang manusia masih hidup di Bumi,
faktor apa yang membuat manusia harus mengkaji Agama dan Ilmu Agama, dan
bagaimana bentuk perubahaan dalam setiap kajian Agama dan Ilmu Agama. Begitu
juga di Indonesia yang sudah mengalami perjalanan panjang dan telah menemukan
pelbagai bentuk keyakinan.
Sidjabat mencoba memberitahukan kepada
kita, lewat tulisanya dalam buku (Penelitian
Agama Masalah dan Pemikiran) yang disusun oleh Mulyanto Sumardi bahwasanya,
kajian Agama dan Ilmu Agama ditinjau dalam sisi perkembangannya telah banyak
dilakukan di dunia ini, diantaranya ialah;
F. Max Muller dari London 1873, dilanjutkan oleh Cornelis P. Tiele (1830-1920), P.D.
Chantepie de la Sausssaye (1848-1920),
G. Van der Leeuw (1890-1950)
asal Belanda. E. B. Taylor
(1830-1917), James George Frazer
(1854-1941) asal Britania Raya, begitu juga Prancis Lucien Levy Bruhl (1857-1939) dan Louis Massignon (w. 1958) dan yang Muta’akhir seperti Vincent Monteil.
Dari belahan Amerika William James (1842-1910), Walter Kaufmann (1976). Bronislaw
Malinowdki (1884-1942) dari Polandia dan yang Muta’akhir Mercie Eliade berasal dari Rumania dan
turut meneruskan tradisi yang kuat dalam Ilmu Agama di Universitas of Chicago
Amerika Serikat. J. Takakusu[2]
dari jepang memperkenalkan Buhhidme akhir abad ke-19. S. Radhakrishan selaku Pundit Ilmu Agama dan Filsafat India
terbesar abad ke-20, patutlah dijadikan bahan yang penting dalam khazanah Ilmu
Agama secara Internasional. Demikian juga, sumbangan Moses D. Gnanaprakasam (1950) dan yang tak dapat diabaikan Dr. P.D. Devanadan[3] dan Dr. S.T. Samartha dalam rangka Dialog Antar Agama.
Kemudian bila berpindah di dunia Islam,
disamping tokoh-tokoh Pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghoni, Muhammad Adduh,
Rasyid Rida, Muhammad Iqbal, Ab’ul A’la Maudoodi, sumbangan dari Albert Hourani
dengan karyanya: Arabic Thought and the
Liberal Age (1970) dan dari Majid Khadduri yang telah memperkaya
pengetahuan kita dengan War and Peace in
the Law of Islam (1955). Philip K. Hiti. Jhon Mbiti dari Afrika. Kemudian
orang-orang yang mengkaji Agama di Indonesia diantaranya; Raffles, Humboldt,
Adriani, Kruty, Snouck, Goris, Hooykaas, Waeneck, Kreamer, Zoetmulden dan
Waldemar Sthor. Lantas bagaimanakah para ahli Agama dari Indonesia sendiri ujar
Sidjabat?
Di
Indonesia sendiri terdapat pelbagai ahli Agama diantaranya; dari Golongan
islam, Prof. Huseun Djajadiningrat dan Prof. Poerbatjaraka selaku perintis awal
tentang penelitian Agama. Kemudian disusul oleh, Prof. Hamka, Prof. Rasyjidi,
Prof. Mukti Ali, Prof. Harsya W. Bachtiar, Prof. Harun Nasution dan lain-lain.
Dalam agama Hindu juga terdapat G. Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta. Dari
golongan Agama Kristen terdapat juga, Prof. Tobing (1956), Prof. Sidjabat
(1960), Prof. Harun Hadiwiyono (1979), Dr. Jansen Pardede (1975), Dr. Viktor
Tanja (1979).
Dengan
banyaknya sarjana dalam bidang Ilmu Agama, menurut Sidjabat masih belum
menemukan suatu pengertian yang bersifat Universal. Artinya definisi tentang
agama masih belum menemukan suatu kesepakatan dari berbagai Agama yang ada,
khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa peneliti Agama belum
mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dalam dunia ilmu pengetahuan, mereka
hanya menekankan pada aspek sosialnya dan melihat agama timbul dari pergaulan
sesama mannusia.
Cara
seeperti ini banyak digunakan oleh ahli Sosiologi dan ahli Antropologi Sosial dalam
melihat Agama itu sendiri. Sudah barang tentu pendekatan yang demikian tidak
akan memperoleh pengertian yang tepat tentang agama. Agama sebagai sebuah
bidang keilmuan bersifat netral dan tidak berpihak, dalam melakukan penelitian
agama para tokoh tidak hanya menggunakan satu metodologi saja, ini berarti
dalam melakukan penelitian agama bisa menggunakan beberapa metodologi dalam
satu penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian lebih tegantung minat
dari pribadi yang melakukan penelitian agama, sehingga hal ini bisa
memperbanyak khasanah Agama dan cakupan Ilmu Agama. Luasnya cakupan Ilmu Agama dipengaruhi
oleh interpretasi seseorang terhadap pengertian kata “Agama”.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian
singkat di atas dapat diambil pokok masalah yang muncul terkait dengan Agama
dan cakupan dari Ilmu Agama antara lain:
1.
Bagaimana Penelitian Agama Serta
Cakupan ilmu Agama (scope) Menurut W.B. Sidjabat?
2.
Apa Tujuan Penelitian Agama-agama Serta
Tujuan Negatif Penelitian Agama Menurut W.B. Sidjabat?
3.
Apa Saja Fungsi Penelitian Agama
Menurut W.B. Sidjabat?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Penelitian Agama khususnya di
Indonesia adalah penting karena Indonesia adalah Bangsa yang religius.
2.
Lebih jauh lagi bukan saja penting
bagi kalangan ilmuwan dan dunia Ilmu pengetahuan, akan tetapi juga bagi para
perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia.
3.
Selain itu dengan mengadakan
penelitian tentang agama dan cakupan ilmu agama seseorang akan lebih yakin
terhadap agama yang dianutnya.
4.
Dengan melakukan penelitian terhadap
Agama dan cakupan ilmu agama akan didapat suatu definisi yang bisa diterima
secara universal oleh semua pihak, karena selama ini pengertian tentang agama
belum sepenuhnya diterima oleh semua pihak baik dari para Ahli Ilmu Agama, Ahli
Filsafat dan Teologi, maupun dari penganut agama itu sendiri, hal ini penting
karena pada dasarnya Agama mengatur berbagai aspek kehidupan yang ada di
masyarakat.
5.
Agama sebagai suatu way of life hendaknya membawa manfaat
bagi semua kalangan dan bukan menjadi sebuah alat bagi suatu tujuan tertentu.
D.
Kajian Pustaka
Banyak
penelitian tentang agama yang dilakukan oleh para ilmuwan baik dari Barat
maupun Timur yang menambah khasanah keilmuan tentang agama, hal ini bisa
dilihat dari beberapa karya Clifford Geertz yang dalam hal ini melakukan
penelitian tentang agama orang jawa. Dalam penelitiannya Clifford melihat
segala sesuatu yang besifat misterius dan mistis pada orang-orang Jawa sebagai
agama atau bagian dari agama, asal masih ada fenomena ganjil yang bersifat
rohaniah dimasukkan dalam kategori agama.
Penelitian
J. Takakusu dalam buku A. Record of
Buddhist Religion as Practiced in India karya E.G. I.Tsing yang mengenalkan
ajaran budha yang ada di India, Dr. S.T. Samartha ahli ilmu agama dari kalangan
Kristen di India yang mencoba melakukan Dialog
Antar Agama. Mukti Ali dalam Penelitian agama di Indonesia mengemukakan
tentang penelitian keagamaan di Indonesia yang tidak mengalami perkembangan
yang berarti dibandingkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, menurut Mukti Ali dengan penelitian agama diharapkan akan
diketahui perwujudan sosial dan kultural dalam masyarakat Indonesia, dan sejauh
mana kebudayaan tersebut mewarnai perwujudan sosial dan kultural di Indonesia.
H.A. Ludjito dalam Mengapa Penelitian Agama? Yang mengemukakan bahwa penelitian
terhadap seluruh isi alam ini akan membawa seseorang kepada kesadaran tentang
adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya dan akan membantu memperkuat kepercayaan
terhadap Tuhan
E.
Metode Penelitian
Motode
memiliki peran yang signifikan dalam suatu penelitian. Penelitian yang baik
biasanya tidak hanya dilihat dari topiknya semata, tapi juga metode yang
digunakan, selain itu sejauh mana sang peneliti mampu menterjemahkan metode itu
secara baik di lapangan atau pun dalam proses penulisan. Secara sederhana
metode adalah cara atau jalan bagaimana kita mengungkapkan suatu permasalahan
melalui penelitian.
Dalam
melakukan Penelitian tentang agama para ilmuwan menggunakan berbagai metode
diantaranya: pendekatan Teologi, Pendekatan Filologi, Pendekatan Antropologi.
Metode pendekatan Teologi merupakan studi tentang ketuhanan. Sedangkan ciri
studi agama teologi itu adalah dari orang yang mengimani serta mentakwainya
sebagaimana dikatakan oleh Steenbrink, seorang muslim yang meneliti dan
mempelajari Islam dengan sikap menyinari datanya dengan sinar agama, atau
meletakkan obyek penelitiannya sebagai sesuatu yang kudus, untuk kemudian
diimani dan diamalkan.
Pendekatan
Filologi merupakan studi keagamaan dengan menelaah karya sastra atau
sumber-sumber tertulis yang biasanya berhubungan dengan aspek bahasa agama,
dalam hal ini penelitian agama dipelajari dari bahasa aslinya serta
ungkapan-ungkapan filologis keagamaan yang bersangkutan. Pendekatan
antropologis dalam studi agama akan membuahkan antropologi budaya. Metode
pendekatan antropologi, agama menganggap bahwa agama bukan wahyu tetapi sekedar
produk kehidupan manusia bermasyarakat.
Aliran-aliran
dalam antropologi agama, diantaranya aliran fungsional, aliran histories dan
aliran struktural. Dari uraian tentang metode pendekatan Teologi, Pendekatan
Filologi dan Pendekatan Antropologi merupakan sebagaian contoh dari
metode-metode pendekatan lainnya yang mampu memberikan pemahaman yang lebih
jelas dan bisa diterima secara universal. Metodologi yag digunakan oleh
berbagai eksponen agama itu banyak tergantung pada minat terdalam pada diri
pribadi yang bersangkutan untuk mengadakan kegiatan pengolahan, penulisan dan
pengungkapan lainnya karena itu dideretkannya nama-nama di atas tidak berarti
bahwa mereka seluruhnya mempergunakan satu ragam metodologi, sekalipun mereka
semua bergerak dalam wilayah ilmu Agama. Penderetan nama-nama itu untuk
menunjukkan horison Ilmu Agama dan para pemikir, agar kita sadari bahwa luasnya
bidang cakup (scope) yang kita
hadapi.
F.
PEMBAHASAN
1.
Bagaimana
Penelitian Agama Serta Cakupan ilmu Agama (scope) Menurut W.B. Sidjabat
Menurutnya ilmu Agama sebagai
disiplin akademis yang mengkaji dan mendalami berbagai seluk-beluk Agama. Dari
pemaparan nama-nama pada pendahuluan di atas Sidjabat ingin menunjukkan bahwa
ilmu Agama bukanlah ilmu yang ditangani oleh para sarjana dari dunia barat
saja, katakanlah hanya oleh mereka yang dahulu lazim disebut “orentalis” dan
“Indolog”. Sama halnya dengan universalnya gejala Agama, universal pula
partisipasi para pemikir dari berbagai bangsa di dunia untuk merumuskan Agama
yang dianut atau yang dikenal oleh manusia yang mendalami bumi kita ini.
Meskipun terkadang peneliti yang satu mendahului peneliti yang lain sesuai
dengan talenta dan perkembangan yang ada serta bertalian pula dengan
kemungkinan dan fasilitas yang ada pada suatu waktu dan tempat. Namun keinginan
dan keprihatinan (concern) untuk turut secara aktif dalam bidang ilmu
Agama itu terbuka untuk semua pihak, seperti terbukanya ilmu pengetahuan untuk
semua pihak secara universal (hlm.73).
Walaupun nama para sarjana itu di
jajarkan berdekatan dalam rangkaian ilmu Agama, namun bukanlah berarti bahwa
mereka semua memakai metodelogi yang sama. Sidjabat menambahkan metodelogi ilmu
Agama tidak hanya menggunakan satu metodelogi saja, namun dapat juga menerapkan
beberapa metodelogi secara serentak. Ia mengambil contoh F. Max muller
yang memulai studinya dalam bidang sansekerta, yakni disiplin ilmu bahasa
(Filologi), Muller mendalami Hindusme yang membawanya kepada kecendrungan untuk
memahami Agama itu secara rasionalistik dan sepanjang yang dapat tertuang dalam
rumusan bahasa. Sidjabat sedikit mengkritik menurut hematnya “memang benar
Agama itu sebaiknya kita pelajari dalam bahasa aslinya dan dalam
ungkapan-ungkapan filologis Agama yang bersangkutan, namun seluruh dimensi
Agama itu tidak dapat diredusir dan diperas kedalam lambang-lambang (“bahasa”)
bahasa belaka.
masih ada dimensi yang cukup
mendalam pada Agama yang dihayati”, tetapi yang sama sekali yang tidak dapat
dituangkan dalam rumusan-rumusan bahasa. Karena hal itu kurang diperhatikan,
akhirnya metodelogi F. Max Muler masih juga sangat Rasionalistis sesuai
dengan kecendrungan pemahaman Agama di Dunia Barat pada zaman Ausklarung. Sekalipun
demikian perlu juga dicatat bahwa Muller tidak hanya memakai metodelogi
filologis saja, karena di dalam himbauannya untuk ilmu Agama “yang tidak memihak”
alias netral, muller juga sekaligus mengutarakan bahwa studi akademis
sedemikian itu dilakukan dalam bentuk studi perbandingan Agama-Agama (hlm.74).
itu berarti bahwa seorang ahli ilmu Agama tidak harus memakai satu metodelogi
saja, tetapi dapat juga menerapkan bebarapa metodelogi secara serentak terhadap
suatu karya.
Bidang cakupan (scope) ilmu Agama
itu banyak tergantung pada pengertian kita tentang apa sebenarnya yang
dimaksudkan dengan Agama (hlm. 75). Sidjabat menekankan pengertian tentang apa
itu Agama, meskipun terjadi kesimpang siuran. misalnya ia mengambil contoh Haji
zainal arifin abbas dalam bakunya perkembangan pikiran terhadap Agama, mengatakan
bahwa arti Agama adalah “tidak kacau”: a berarti tidak dan gama berarti kacau.[4]
Di pihak lain, menurut “kamus jawa kuno-indonesia” (susunan L mardiwarsito),[5]
arti Agama itu ialah “ilmu”, “pengetahuan”; (“pelajaran Agama”). Kedua penulis
itu mengatakan bahwa Agama berasal dari bahasa sansekerta. Dalam pada itu
“kamus umum bahasa indonesika” susunan W.J.S. poerwadarmita, cetakan V (1976), dan
sudah diolah kembali oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, memberikan
rumusan sebagai berikut: “Agama ialah segenap kepercayaan (kepada tuhan, dewa
dan sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu”. Rumusan terakhikr tikdak menyebutkan bahwa asal kata
Agama dari bahasa sansekerta.
Sekalipun demikian, menurut Sidjabat
berdasarkan banyak penelitian pada kamus-kamus bahasa indonesia (melayu),
batak, jawa, seperti kamus susunan klinkert (1996)[6]
H.N. Van Der Tuuk (bataksch- nederduitsch woordenboek, 1861) dan joh, warneck
(toba-batak-deutsches worterbuch, 1905), juga kamus Otto Karow-Irene
Hilgers-Hesse, (indonesisich deutsche worterbuch, 1962), nyatalah menurut
Sidjabat bahwa kata Agama itu berasal dari bahasa sansekerta, sekalipun
kamus-kamus tersebut tidak memberikan etimologinya.
Sidjabat menyimpulkan makna kata
Agama dan etimologi kata Agama yang paling banyak ditemukan dan yang lebih
mempengaruhi pemahaman orang tentang kata Agama di dalam masyarakat indonesia
adalah kata Agama yang diberikan oleh Haji Zainal Arifin Abbas. Ia pun
sedikit mengkritisi “bahwa sangat disayangkan, penjelasan Zainal Arifin Abbas
tidak disertai penjabaran tentang arti dan fungsi Agama dalam bentuk yang lebih
mendalam”
Beliau juga mengkritisi L.
Mardiwarsito tampaknya sudah bergeser kepada arti intelektual dari Agama itu,
yakni “ilmu”, “pengetahuan” dan “(pelajaran) Agama” sama halnya dengan
pengertian “pandit”, “pundit” bergeser dalam bahasa inggris dari makna religius
kepada pengertian yang intelektualistis. Seorang “pundit” dalam bidang politik
misalnya, dewasa ini sering dipahami sebagai seorang cendikiawan yang ulung
dalam bidang politik, dengan aksentuasi pada segi intelektualnya.
Secara tidak langsung kata Agama
dimaksudkan suatu way of life membuat hidup manusia itu tidak kacau.
Sidjabat menyimpulkan fungsi Agama dalam pengertian ini ialah memelihara
integritas dari seorang atau kelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan tidak
kacau (a gama), dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya.[7]
dengan kata lain Agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur untuk
terwujudnya integrasi hidup manusia dalam hubungannya dengan tuhan, sesamanya
dan alam yang mengitarinya.
Menurut makna dan fungsinya,
pengertian itu pilalah yang kita temukan dalamkata religion, (inggris), Religion
(jerman), religie (belanda), religion (francis), religion
(spanyol), semua itu memang berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya
ialah ialah religare yang berarti mengikat. Arti religio itu
mencakup way of life. Dalam pengertian itu, religio atau way
of life. Dalam pengertian itu, religio atau way of life berikut
peraturan-peraturannya tetang kebaktian dan mengutuhkan diri seseorang atau
sekelompok orang dalam hubungannya terhadap tuhan, sesama manusia dan alam yang
mengitarinya.
Sekalipun kata din dalam islam
menurut Sidjabat berdasarkan surat Ali Imron 19 Sesungguhnya Agama
(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang
telah diberi Al Kitab. kecuali sesudah datang pengetahuan
kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(
Ali Imron (3): 19) ditafsirkan berlaku hanya untuk pengertian Agama islam,
dalam rangkaian kelima unsur arkanul islam, iman dan ihsan (cara melakukan
dengan tepat)[8] namun
arti din,umumnya dalam bahasa arab juga dipahami sebagai lembaga ilahi(wad’illahi)
yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan akhirat. Sidjabat
menambahkan secara fenomenologis dapat kita katakan fungsi din
adalah sebagai alat yang mengatur, mengantar dan memelihara keutuhan diri
manusia dan dengan alam yang mengitarinya.
Di dalam penghayatan dan pelaksanaan
praktisnya terhadapa Agama itu manusia melakukan sesuatu yang terkandung dalam way
of life-nya ini, sebagai: (1) ucapan syukur kepada tuhan Allah, (2)
pemuliaan (Adoration) terhadap sang khalik alam semesta raya, (3) selaku
bentuk palayanan, baik kepada sang khalik maupun kepada sesamanya (mahluk).
Agama adalah hal yang sangat pribadi dan teramat intim antara manusia dan sang
khalik, sekalipun hal yang pribadi dan intim itu diwujudkan sekaligus dalam
rangkaian kehidupan pribadi dan dalam rangka kolektif. Disadari bahwa sampai
saat ini belum ada suatu definisi yang dapat diterima secara universal oleh
semua pihak. Para ahli ilmu Agama, filsafat,dan teologia memang sudah
mengusahakannya, namun hingga saat ini kita belum lagi sampai kepada rumusan
tentang Agama secara tuntas. Lebih lanjut islam mengadakan perbedaan antara din
al hakk, yakni Agama yang benar (Surat Az Zukhruf : 27, At Taubah: 33, Ash
Shaf:9) dari din al mubaddal, yaitu Agama yang tidak asli lagi.
Agama seperti yang akhir itu adalah Agama yang tidak berjalan pada jalan yang
lurus lagi.
2.
Apa Tujuan
Penelitian Agama-Agama Serta Tujuan Negatif Penelitian Agama Menurut W.B.
Sidjabat
Menurut W.B. Sidjabat ada dua tujuan
dalam meneliti Agama-Agama yaitu: hal-hal yang positif dan hal-hal yang negatif.
Yang positif terdiri dari empat
bagian di antaranya.
a. Membina hubungan yang akrab secara pribadi.
Tujuan utama penalitian Agama itu
adalah hal-hal positif. Menurut Sidjabat dengan menyandarkan dengan pengalaman
yang ada, faktor yang paling utama ialah adanya atau terbinanya hubungan
pribadi yang akrab antara penganut berbagai Agama. Sebelum para penganut
berbagai Agama itu dapat “Berdialog”, terlebih dahulu mereka harus sudah dapat
mengadakan hubungan yang baik secara akrab. Sebelum “dialog antar umat
berAgama”, itu terjadi santer sejak tahun enam puluh secara nasional dan
internasional, hubungan yang akrab secara pribadi antara penganut pelbagai
Agama itu juga sudah merupakan hal yang sangat berharga ditekankan di kalangan
para penganut yang baik.[9]
b. Memperdalam pengetahuan tentang anutan umat berAgama lain.
Agar hubungan yang akrab tesebut
dapat berjalan lebih mantap, dibubtuhkan pengertian yang lebih mendalam
mengenai Agama atau Agama-Agama yang lain. Pengertian itulah yang
digaris bawahi oleh F. Max Muller, ketika dikatakannya, “dia yang hanya mengetahui satu Agama, tidak mengetahui apa-apa.”
c. Membina etika religius di kalangan umat beragama agar saling menaruh
respek.
Sidjabat berpendapat bila hubungan
pribadi telah akrab dan pengertian atas dasar pengetahuan yang mendalam tentang
anutan pemeluk Agama-Agama lain telah terbina dan berkembang, maka hasil logis
yang timbul dari keadaan demikian disposisi yang membuat kita gemar menaruh
respek terhadap yang lain.
d. Merangsang kerja sama umat beragama secara praktis.
Gabungan dari tiga hal tersebut
menurut Sidjabat akan menimbulkan kemungkinan untuk mengadakan kerja sama antara
umat beragama dalam hal-hal yang paktis, misalnya: penanggulangan
kemelaratan,penggemblengan mental pembangunan (di mana kebiasaan berkarya
diutamakan, penghematan dibiasakan, waktu dihargai, ketulusan dikembangkan dan
sebagainya), menggalakan pendidikan bagi seluruh rakyat dan bukan untuk diri
sendiri, meningkatkan kesadaran bertanggung jawab dalam negara dan sebagainya.
hal yang negatif meliputi Tiga bagian diantaranya;
a. Dominasi politis, ekonomis, sosio-kultural dan militer.
Tidaklah merupaka rahasia lagi bahwa
masa lampau hasil penelitian ilmu agam sering dipergunakan bukan untuk tujuan
ilmiah, tetapi untuk tujuan-tujuan sampingan. Penelitian ilmu Agamanya memang
dilakukan seilmiah mungkin, memenuhi syarat-syarat akademis ilmiah, namun hasil
penelitian itu sering dipergunakan dalam rangka kegiatan-kegiatan mengadakan
dominasi atas penduduk yang diteliti Agamanya.
b. Tidak pula untuk mendominasi satu Agama atas yang lain.
Dari zaman dahulu hingga sekarang,
ada orang mengadakan penelitian Agama dari kalangan zendeling atau
misionaris. Motivasi terdalam dalampenelitian mereka adalah untuk memahami
Agama-Agama yang dihadapinya sebaik dan seteliti mungkin agar dapat berkomunikasi
dalam rangka menyampaikan amanat Agama yang diyakininya.
c. Juga tidaklah untuk mencari-cari kelemahan ajaran Agama atau Agama-Agama
yang lain.
Sidjabat menekankan perlunya metode
yang “simpatik ilmiah” di ata itu, jelaslah bahwa orientasi penelitian ilmu
Agama yang perlu dikembangkan, bukanlah yang cenderung hanya mencari-cari
kelemahan-kelemahan ajaran Agama atau praktek-praktek Agama lain. Karena
menurut Sidjabat, adalah metode polemis apologetis yang hanya cenderung
memperbesar kekurangan pihak lain, tetapi enggan melihat atau mengakui
kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Dan dalam prakteknya, metode
Polemis-Apologetis itu tidaklah membawa para penganut berbagai Agama ke arah
saling pengertian, melainkan justeru sebaliknya, yakni menimbulkan mis-understanding.
3.
Apa Saja
Fungsi Penelitian Agama Menurut W.B. Sidjabat?
Sidjabat memberikan empat fungsi dan
kegunaan Agama secara praktis sebagai berikut:
a.
Membina Kesadaran BerAgama Yang
Mendalam.
Setelah
mepaparkan uaraian di atas maka jelaslah, bahwa ilmu Agama mempunyai fungsi dan
kegunaan untuk membina kesadaran beragama yang lebih mendalam. Dengan itu
dimaksudkan, bukan hanya sekedar mempunyai pengertahuan umum tentang Agama-agam
yang dihadapi di dunia ini, melaikan agar manusia juga dapat sampai ke taraf
mengadakan refleksi dan pengkajian, mengapa ia menganut suatu Agama dan
karena itu bagaimana filsafat hidupnya, katakanlah Weltans-Chauung-nya di dalam
menganut Agama tersebut.
b.
Memelopori
sikap ilmiah (terbuka) terhadap kebenaran.
Sekalipun kebenaran yang kita warisi
dari generasi terdahulu perlu kitapelihara, namun horizon kita kian yang
kian bertambah luas akibat ilmu itu, kepada kita ditanamkan suatu sikap untuk
bersedia terbuka secara ilmiah terhadap kebenaran-kebenaran yang baru. Hanya
dengan sikap yang demikianlah kita dapat mengalami dan mengadakan pembaharuan,
baik dalam diri kita maupun dalam warga masyarakat lainnya. Karena pada saat
kita berhenti, atau terhenti, dan tidak tidak bersedia menerima
kebenaran-kebenaran yang beru, kita pun akan berhenti dalam usaha ilmiah
tersebut.
c.
Memupuk
etika kerja, penghargaan waktu yang menunjang lancarnya pembangunan.
Sidjabat meminjam semboyan Martin
Luther “Ora Et Labora” pada abad ke 16 ketika mengadakan pembaharuan di
jerman yang hasilnya sejak periode reformasi itu terjadilah perkembangan
pembaharuan yang luar biasa di jerman. Dalam mengadakan studi yang mendalam dan
meluas itu, pastilah akan berkenalan dengan belbagai sikap terhadap kerja dan
waktu. Tanpa memperbesar-besarkan kekurangan Agama yang lain, secara
praktis akan di ketahui bahwa sikap mental yang sehat dan segar terhadap kerja
dan waktu itu penting sekali dalam rangka pembangunan.
d.
Menjaga
keseimbangan antara yang rohani dengan yang jasmani.
Sidjabat menekankan pentingnya ada
keseimbangan antara urusan rohani dan jasmani, sebab dikahawatirkan jika berat
sebelah akan merugikan diri sendiri maupun masyarakat di sekitar. Lebih lanjut
ia menjelaskan, Jika individu itu mengadakan pemisahan yang tajam antara bidang
yang rohani dengan bidang yang jasmani, antara secred dengan sekuler,
akan membawa individu itu kepada dualisme yang sangat merugikan umat manusia
sendiri. Apabila individu hanya mementingkan hal rohani saja, pasti akan
berujung pada isolasionisme dan aksese, sehingga akan
menghiraukan kesadaan yang berlangsung dalam masyarakat di mana ia hidup dan
bergerak serta berkarya. Apabila sebaliknya, seandainya ia hanya mementingkan
jasmani, menurut Sidjabat pasti akan berujung pada pengutamaan hal-hal yang
horisontal yang tidak ada kaitannya dengan rohani. Pada saat itu norma-norma
kehidupan akan beralih menjadi norma-norma yang pragmatis belaka. Norma-norma
demikian biasanya dapat berubah-ubah,tergantung kepada situasi sesaat.
G.
KESIMPULAN
Setelah menyimak pemaparan di atas
maka bisa diambil kesimpulan agama dan cakupan ilmu agama menurut W.B Sidjabat.
Dalam pengertian Agama memiliki berbagai macam definisi seperti dalam Islam
adalah sebagai way of life bagi
manusia yang mampu mengatur, mengantar dan memelihara keutuhan diri manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan Allah. Tetapi pengertian ini tidak bisa diterima
oleh penganut agama lain, seperti agama Ardhi, pengertian seperti itu hanya
bisa diterima oleh agama Samawi.
Dengan demikian, W.B Sidjabat
mencoba memberikan stimulus terhadap pengertian agama, menurutnya agama menjadi
keprihatinan dalam memutuskan pengertian yang bisa diterima secara universal.
Artinya, pengertian agama masih tidak bisa diterima oleh semua kalangan
penganut agama oleh sebab itu W.B Sidjabat memberikan pengertian agama sebagai
keprihatinan.
Kemudian, cakupan ilmu agama menurut
Sidjabat itu sangat luas, karena agama bisa diteliti oleh siapapun meski dengan
metodologi yang berbeda. Dengan perbedaan metologi inilah yang membuat cakupan
ilmu agama menjadi luas. Para sarjana agama tidak hanya melakukan penelitian
tentang agama dengan memakai satu metodologi saja, akan tetapi bisa memakai
berbagai macam metodologi.
H.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Zainal
Arifin, Perkembangan Pikiran Terhadap
Agama, Cet. Ke-2 Medan: Firma Islamiah, 1957.
Ali, Mukti, Penelitian Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama,
dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama:
Maslah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Geertz,
Clifford, The Religion of Java, Glencoe.
The Free Press, 1960.
Ludjito,
H.A. Mengapa Penelitian Agama, dalam
Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama:
Maslah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Mardiwarsito,
L., Kamus Jawa Kuno-Indonesia,
Flores: Nusa Indah, 1978.
Poerwadarminta,W.J.S.,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.
Ke-5 Jakarta :Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1976.
Sidjabat,
W.B., Penelitian Agama: Pendekatan dari
Ilmu Agama dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian
Agama: Maslah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Sidjabat, W.B.,
Peranan Agama Dalam Negara Pancasila,
Jakarta : STT, 1979.
Sumardi,
Mulyanto, Penelitian Agama: Maslah dan
Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
[1] Mahasiswa Pascasarjana
Kosentrasi Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Di persentasikan Pada Matakuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam. Yang
diampu Oleh. Prof. Iskandar Zulkarnain pada tanggal, 2015.
[2] E.G. Tsing. Record of The Buddhist Religion as Practised in India and the Malay
Archipelago. Tr. B.I.J. Takakusu (Oxford: Clarendom Press,1898). Di kutip
dari buku, Mulyanto Sumardi. Penelitian
Agama Masalah dan Pemikiran. (Jakarta; Sinar Harapan, 1982), hlm. 71.
[3] P.D. Devanandan, The Gospel and Renascent Hinduism
(London, 1959). Di kutip dari buku, Mulyanto Sumardi. Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran. (Jakarta; Sinar Harapan,
1982), hlm. 71.
[4] Zainal Arifin Abbas., Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama., cet. Ke-2
(Medan: Firma Islamiah, 1957), hlm. 19.
[8] H.A.R. Gibb dan J.H Kraemers, Shorter
Ensyclopaedia Of Islam (Leiden, E.J.Brill, 1953), hlm. 78.
0 Response to "AGAMA DAN CAKUPAN ILMU AGAMA"
Post a Comment