BAB I
a. Kata
pengantar
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih
mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan’berguna’ sebagai antonim dari
kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita
membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan’berguna’ dalam
daftar makna untuk kata positive.[1] Dalam
terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan
dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Dalam konteks
epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte,
berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat,
dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus
Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2]
Sebagai pemikir luas dan
berpengaruh luas buah pikirannya, comte dihadapkan kepada persoalan-persoalan
kefilsafatan dan keilmuan para filsuf sebelumnya dan sezamannya. Maka
alternatif dan solusi yang telah diberikan terhadap persoalan persoalan
tersebut sangat berpengartuh terhadap pemikir-pemikir sezamannya dan
sesudahnya.
Auguste adalah filsuf dan warga
negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang
terkenal itu. Ia menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif
secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politk,
dan pendidikan. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur didukung oleh para
elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu.
b. Rumusan
masalah
Pada
mulanya saya ingin menguasai dengan kapasitas intilek yang saya miliki untuk
mengupas pemikiraan Augueste Comte atas buah pemikiranya (Nalar Positivisme)
yang saya anggap penting guna memahami sebagai metodologi kefilsafatanya. Oleh
sebab itu saya akan mencoba menguraikan nalar positivisme melalui kajian
pustaka dan dealektika dengan orang-orang yang saya anggap lebih mumpuni atas
saya. Adapun tulisan saya ini secara spesifik akan menguraikan sebagai berikut.
1. Pegertian
nalar positivisme
2. Biografi
agen nalar positivisme
3. Peranan
Augueste Comte Atas Positivisme
4. Kritik
atas nalar positivisme
Empat
sub tema ini dalam pandangan saya teramat besar dan sangat nihilism
mampu saya kuasai secara perfic, namun, saya tidak putus asa, saya harus mampu
dalam kemampuan saya untuk memahaminya. Untuk lebih pada pemahaman
metodologinya saya kira kita akan berangkat dari nalar yang paling dasar
terkait dengan pemahaman nalar positivism.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pegertian
Nalar Positivism[3]
Nalar dalam
kamus ilmiah ialah proses berfikir, pertimbangan akal budi.[4]Sedangkan
Positivisme. Positivism berasal dari bahasa latin positives yang berartimeletakan. Pengertian positivism sekarang
merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekan-kan aspek
factual pengetahuan, terlebih pengetahuan ilmiah.
Dan
umumnya positivism berupaya menjabarkan pernyatan-pernyataan
factual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain,
positivism merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam
empiris sebagai suatu sumber-sumber pengetahuan yang benar dan menoloak
kognitif dari study filosofis atau metafisis[5]
Positivisme
diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798 – 1857) yang tertuang dalam
karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu
Kursus tentang Filsafat Positif (1830 – 1842) yang diterbitkan dalam
enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan di sini ialah Discour
L'esprit Positive (1844) yang artinya Pembicaraan tentang Jiwa Positif.
Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat
positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan
mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89),
Positivisme
berasal dari kata "positif". Kata "positif"
disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.
Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh melebihi fakta-fakta. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena
itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan
"hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi
positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa.
Ilmu
pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan
erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun
mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme Inggris yang
menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan.
Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah
tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 89)
2. Biografi
Agen Nalar Positivism
Auguste
Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di
lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah
menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte
melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya
di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16.[6] Masa dua
tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga
pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[7]
Pada
Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri
de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika.
Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada
1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya
oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam
kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon,
dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato,
Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya
mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de
Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive.
Selama
lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat
ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa
agama baru, yakni agama kemanusiaan.[8] Pada
saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi
karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux
Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah
untuk Pengaturan kembali Masyarakat).
Tapi
kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul
bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[9]Secara
intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan.
Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini
pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan
diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri.
Tahap
kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan
kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan
karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42.
Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal
kehidupannya.[10] Tahap
ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of
Positive Polity antara 1851-54.[11]
Dalam
perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal
sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada
penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September
1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal
dunia.[12]
3. Peranan
Agus Comte Atas Positivisme
Peranan
agus comte (1797-1857) sangat penting dalam aliran positivistis, istilah
positivism ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiraan manusia dalam
kerangka tiga tahap pertama tahab theologis. Disini, fenomena-fenomena alam
diuraikan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua tahapan
metafisika. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum
tentang alam. Dan yang ketiga tahap positivis, disini, peristiwa-peristiwa
tersebut dijelaskan secara ilmiah.
Upaya-upaya
kaum positivis untuk mentrasformasikan positivism menjadi semacam agama baru,
bertendensi mendiskreditkan pandangan-pandanganya. Tetapi, tekanan pada
fakta-fakta, identifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,
dan upaya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta
yang diterima dan dengan cara-cara yang berbeda, yang kemudian diperluas oleh.
J.S. Mill (1806-1873), E. Mach (1838-1916) K. Pierson (1857-1936) dan P.
bridgeman (1882-1916)[13]
Adapun
ajaran pokok comte. Yang pertama hukum tiga tahap. Menurut Comte[14] pengembangan
pengetahuan manusia baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan,
melalui tiga zaman atau tiga Stadia. Menurutnya, perkembangan menurut tiga
zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu adalah Zaman
Teologis, Zaman Metafisika dan zaman Ilmiah atau Positif.
Zaman Teologis
Pada
zaman teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa - kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala - gejala
tersebut. Kuasa - kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan
kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada
tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk – makhluk insan biasa. Zaman
teologis dibagi lagi menjadi tiga periode berikut :
Animisme. Tahap Animisme
merupakan tahap paling primitif karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa.
Politeisme. Tahap Politeisme
merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada tahap ini manusia percaya pada
dewa yang masing - masing menguasai suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa
gunung, dewa halilintar dan sebagainya.
Monoteisme. Tahap Monoteisme ini
lebih tinggi dari pada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia
hanya memandang satu Tuhan sebagai Penguasa. Zaman Metafisis
Pada
zaman ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang
khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati,diganti dengan
kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan
alam.
Zaman Positif[15]
Zaman
ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasanya
ialah pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab
- penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi
diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikannya.Atas dasar
observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi
atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman
terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum
tiga zaman tidak hanya berlaku pada manusia sebagai anak, manusia berada pada
zaman teologis, pada masa remaja ia masuk zaman metafisis dan pada masa dewasa
ia memasuki zaman positif. Demikian pula Ilmu Pengetahuan Berkembang
mengikuti zaman tersebut yang akhirnya mencapai
puncak kematangannya pada Zaman Positif.[16]
Pada
akhir hidupnya, ia berupaya membangun agama baru tanpa teologi atas
dasar Filsafat Positifnya. Altruisme merupakan istilah Ciptaan Comte
sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan
sebagai “ menyerahkan diri kepada seluruh masyarakat “. Bahkan, bukan “ salah
satu masyarakat “, melainkan I’humanite “- suku bangsa manusia –“ pada umumnya.
Jadi, “altruisme” bukan sekedar lawan“egoisme”.
Keteraturan
masyarakat yang dicari dalam posifitisme hanya dapat dicapai kalau semua
orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan
dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam Pengganti
Tuhan. Keilahian baru dari positifisme ini disebut Le Grand Eire “Maha
Makhluk“. Dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam
kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan Imam – imam, Santo -
santo, Pesta - pesta liturgi, dan lain - lain. Dogma satu-satunya agama ini
adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai
tujuan. Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan Auguste Conte adalah
falsafahnya tentang hidup manusiayang membutuhkan hubungan dengan zat yang
sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.[17]
Kemudian
ajaran yang ke-dua, dalam pandangan comte kemajuan, penyempurna
lingkaran evolusioner tiga tahap tidak dapat dielakan lagi. Ke-tiga. Ilmu-ilmu
merupakan kesatuan menyeluruh, tetapi dalam tahapan yang berbeda dari
perkembangan itu. Ilmu-ilmu itu juga terkait dalam suatu tata ketergantungan
yang hierarkis. Misalnya, astronomi harus berkembang sebelum fisika dapat
menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan dengan haknya sendiri: biologi
harus mempunyai titik kecanggihan tertentu sebelum ilmu-ilmu kimia dapat
memulai perkembanganya.
Ke-empat
realitas dapat dimegerti berkat konsep dasar seperti kesatuan organis, tata,
kemajuan, suksesi, keserupaan, relasi, kegunaan, realitas, gerakan, pengarahan.
Dan yang terakhir. Bentuk tertinggi agama dalam evolusinya ialah agama
kemanusiaan atau rasio universal (sama sekali tanpa ada relasi dengan allah)[18]
4. Kritik
atas nalar positivism
Dalam
sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap
segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi
peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses
sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan
bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[19]
Kritik
juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini
didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan
realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung
status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal
memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak
benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari
kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial[20].
Positivisme
mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah
menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek
yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang
tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk
positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter
konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik
tertentu.[21]
BAB III
SIMPULAN
Positivisme
berasal dari kata "positif". Kata "positif"
disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.
Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh melebihi fakta-fakta. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena
itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan
"hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi
positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa
Upaya-upaya
kaum positivis untuk mentrasformasikan positivism menjadi semacam agama baru,
bertendensi mendiskreditkan pandangan-pandanganya. Tetapi, tekanan pada
fakta-fakta, identifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,
dan upaya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta
yang diterima dan dengan cara-cara yang berbeda, yang kemudian diperluas oleh.
J.S. Mill (1806-1873), E. Mach (1838-1916) K. Pierson (1857-1936) dan P.
bridgeman (1882-1916)
pengembangan
pengetahuan manusia baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan,
melalui tiga zaman atau tiga Stadia. Menurutnya, perkembangan menurut tiga
zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu adalah Zaman
Teologis, Zaman Metafisika dan zaman Ilmiah atau Positif.
Kritik
juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini
didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan
realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung
status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal
memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak
benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran
manusia yang dimediasi secara sosial
DAFTAR PUSTAKA
- Abu
Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa
Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah).
- Comte,
Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896.
(George Bell & Sons: London).
- Oxford
Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press: Oxford).
- Stoke,
Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion Books:
New York).
- Ten,
C. L. Routledge. History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994.
(Routledge: London dan New York).
- Macherey,
Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994. (al-
Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).
- Bagus.
Lorens. Kamus Filsafat. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta) 2000
- Muzairi. Filsafat
Umum. (Teras:Yogyakarta) 2009
- Tim
prima pena,”Kamus Ilmiah Populer”. Gramedia Press:Jakarta) 2006
[1] Oxford Learner’s
Pocket Dictionary, h. 333.
[2] Muhammad Ali
Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah
Nazhr Islamiyah, h. 225 dan 227-8
[3] Makalah ini
disusun oleh shohibul Kafi, mahasiswa Aqidah dan Filsafat. Fakultas
Ushuluddin, Study Agama dan Pemikiran Islam. Uin Sunan Kalijaga.2012. makalah
ini digunakan untuk Presentasi dalam Matakuliah Logika dengan Tema Nalar
Positivisme. Yang diampu oleh bapak Basyir
[4] Tim prima
pena,”Kamus Ilmiah Populer”. Gramedia Press:Jakarta) hlm.331
[5] Lorens, Bagus,
Kamus Filsafat,(Gramedia Pustaka Utama: Jakarta) Hlm. 858
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte
di akses pada 6 Februari 2009
[7] Robert Brown,
Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy, vol.
VII, The Nineteeth Century, h. 123.
[8] Ibid
[9] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
[10] Philip Stoke,
Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 117.
[11] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
[12] Robert Brown,
op.cit., hlm. 122.
[13] Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat,(Gramedia Pustaka Utama: Jakarta) Hlm. 865
[14] Muzairi.
Filsafat Umum. (Teras:Yogyakarta) Hlm.138
[15] Op.cit
[16] Op..cit
[17] Op.cit
[18] Op.cit.
hlm.866
[19] Mary
Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[20] Ben.
Anger. Critical Social Theories: an Introduction: terj. Nurhadi, Teori
social Kritis, Kritik penerapan dan Implikasinya. (Kreasi Wacana: Yogyakarta)
2009. Hlm..12-20
[21] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
0 Response to "POSITIVISTIK AGUSTE COMTE"
Post a Comment