BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada
abad ke-20 ini perhatian agama amatlah beasar. Sebelum perang dunia 1biasanya
para kaum terpelajar berpendirian bahwa agama itu adalah tingkat pemikiran
manusia yang paling rendah. Akan tetapi, pada waktu ini bias dikatakan
diselauruh dunia, kecuali Negara-negara atheis, perhatiannya terhadap agama
semakin bertambah-tambah. Di Amerika Serikat dalam segala fakultas juga
diadakan mata pelajaran agama,sebagai contoh yang riil, seorang dosen filsafat
Uin Sunan Kalijaga “Dr. Fatimah Ma[1]”
dikontrak oleh luar negeri, hal ini menunjuhkan bahwa agama seamakin berkembang
pesat, akan tetapi, pluralitas agama ini juga menjadi penyebab perkembangan
agama-agama.
Bertamabanya
perhatian terhadap agama harus kita pelihara dari suatu yang bahaya,
yaitu bahaya penerimaan agama apa saja, tidak dengan penyelidikan terlebih
dahulu. Pemeliharaan dari bahaya ini sangat perlu sekali, oleh karena itu, pada
saat itu kita di hadapkan dengan berbagai faham agama yang masing-masing agama,
mempercayai kebenaranya, kendati, satu sama lain tidak saling mempercayainya
dalam kultur agama. Sehingga apabila kita tidak menyelidiki lebih dalam, tentu
saja kita akan dihadapkan dengan skeptic dalam doktrin agama.
Suatu
hal yang paling menambah perhatian terhadap agama pada saat ini ialah hubungan
anatara pengetahuan dengan agama. Pada beberapa tahun yang silam, banyak hal-hal
yang termuat dalam ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan agama.
Umpamanya, teori Evousi Darwin dan historis ala permulaan Alam. Akan tetapi,
pada masa sekarng, manusia telah dapat mengsingkronkan dua faham itu.
Ada
lagi yang memotifasi perhatian kepada agama, yakni oleh karena pasca post
modern ini Atheisme menjadi lebih lemah dan kurang memuaskan bagi Negara yang
Taqlid padanya. Disamping itu disana-sini kita melihat rasa skeptic atau tidak
percaya kepada kemampuannya manusia untuk membentuk suatu dunia yang berbahagia
tanpa memakai bantuan agama.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang melatar belakangi Agama Khon Hu
Chu?
b. Bagaimana historis eksistensinya Agama
Khon Hu Chu?
c. Bagiamana historis kehidupan Khon Hu Chu?
d. Apa yang menjadi esensi ajaran Agama Khon
Hu Chu?
e. Sebutkan Kitab-Kitab Suci Agama Kong Hu
Chu?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dalam makalah ini kami berharap sekiranya para audiensi dapat
mengkririsi bagaimana eksistensinya, bagaimana perkembanganya, dan apa esensi
yang mendasar dalam ajaran Khon Hu Chu. Dengan demikian kita dapat
mengkelasifikasikan tentang doqtrinnya. Lebih-lebih kita dapat mengerti apa
yang melatar belakangi umat yang beragama Khon Hu Chu,
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apa yang melatar belakangi
Agama Khon Hu Chu?[2]
China[3] mempunyai
sejarah yang panjang dan mulia tiada tandingannya. Legenda berlalu jauh ke masa
purba, dan menceritakan dengan samar-samar kedatangan bangsa China dari Barat,
dan awal kebangkitannya, memberikan pola kepsiada semua pewarisnya, yakni
menangani rakyatnya sebagai anak-anaknya, dan menciptakan kesenian di
mana kehidupan China bergantung. Ketika sejarah mereka dimulai
sekitar 2700 SM, watak, sifat, dan lembagalembaga di China telah mapan. Mereka
telah berbudaya, dan telah mempunyai agama yang terorganisir, tetapi tak
seorang pun yang dapat menceritakannya. Petikan-petikan kuno yang terdapat
dalamShi Ching (Buku Sajak Pujian) dan Shu Ching (Buku
Sejarah) memberi kesan bahwa orang China purba adalah monoteis. Nama – nama
yang diberikan mereka kepada Tuhan Yang Esa adalah Shangti (Yang Maha Kuasa)
dan Tien (Langit). Mereka tidak mempunyai berhala.
Dengan berlalunya waktu, maka agama China telah merosot ke
penyembahan hantu dan roh dari alam ditambahkan kepada keimanan Shang-ti. Di
setiap rumah ada ruangan tempat nenek moyang, di mana penyembahan dan
pengorbanan disajikan kepada para arwah. Tetapi tidak hanya dalam keluarga saja
arwah itu dipuja. Kaisar pun melakukan pengorbanan dalam kapasitas public
terhadap semua raja-raja sebelumnya dalam upacara-upacara yang melelahkan dan
seringkali ada hantu-hantu untuk sesajen. Namun demikian, agama tidaklah
terpisah dari kehidupan. Tidak ada golongan pendeta yang khusus untuk
menanganinya,
setiap orang harus ikut dalam upacara sesaji yang dibebankan
kepadanya[4].
Upacara agama itu ditentukan oleh adat dengan rinciannya, danbilamana seseorang
menghadirinya, berarti dia telah melaksanakan kewajibannya. Agama adalah suatu
rangkaian tindakan yang dikerjakan dengan cocok dan tepat, orang yang cocok
selalu berkorban demi tujuan yang tepat dengan cara yang tepat pula.
Sekitar abad keenam sebelum Masehi tampak ada keadaan tanpa hukum
yang besar pengaruhnya di China. Baik kehidupan politik, maupun keagamaan
menjadi rusak dan merosot dari kemuliannya yang semula. Peradaban besar yang
ditegakkan di China oleh penguasa dinasti Chou hanya tinggal bayangan saja.
Dalam keadaan semacam inilah, dua agama China yang besar, yakni Kong Hu Chu dan
Tao lahir. Dari segenap agama-agama di China, maka Kong Hu Chu telah
meninggalkan kesan yang kuat dalam kehidupan dan kebudayaan China. Untuk hampir
25 abad, Kong Hu Chu dianggap oleh China sebagai Guru yang pertama tidak karena
ketiadaan Guru sebelum beliau, tetapi karena beliau mengatasi mereka dalam
derajatnya.
2. Bagaimana historis
eksistensinya Agama Khon Hu Chu?
Selama periode[5] Chin
(221 – 207 sM) ada gerakan yang tak terelakkan terhadap kemerdekaan berfikir
pada akhir tahun Chou, yang ditandai dengan adanya ‘Seratus Aliran’. Dengan
diilhami oleh reaksi inilah, maka Kaisar Shih Huang Ti menginginkan
pengendalian aliran pemikiran dengan dekritnya yang terkenal jelek, yakni
membakar semua karya mereka tentang ketuhanan, pengobatan, dan pertanian.
Sebagai akibat dari dekrit ini, maka sebagian besar buku-buku Kong Hu Chu
dimusnahkan menjadi abu dan tidak kurang dari 460 ahli-ahli fikir dihukum mati.
Namun dengan bangkitnya dinasti Han (206 sM – 220 M) kebebasan
berfikir muncul kembali di China. Tung Chun-shu yang salah satu dari pembaharu
terbesar pada awal dinasti Han, mengusulkan kepada Kaisar bahwa kesatuan hanya
dapat diperoleh dalam kerajaan bilamana agama Kong Hu Chu diangkat mengatasi
aliran-aliran pemikiran yang lain. Universitas China pertama didirikan di
ibukota Han, yakni Chang-an untuk menyalurkan jalanjalan kesucian dari
penguasa-penguasa lama, dan meningkatkan perkembangan moral serta intelektual
dari Kerajaan”. Alat pengukur lain yang penting untuk mengangkat ajaran Kong Hu
Chu ialah mulai diadakan sistem ujian yang berdasarkan lima Kitab Klasik.
Tujuan dari ujian-ujian ini ialah untuk menghasilkan pegawai pemerintan yang
memiliki integritas pendidikan dan moral serta mengabdi kepada ajaran Kong Hu
Chu.
Tung Chung-shu[6] mencoba
membangkitkan kembali ajaran yang murni dari Kong Hu Chu tidak sekedar sebagai
filsafat, sebagaimana tampak pada perkembangannya belakangan, melainkan juga
sebagai agama yang sepenuhnya dengan aspekaspek kerohanian akhlak dan budaya,
bersangkut paut sebanyak mungkin dengan kehausan jiwa manusia yang abadi untuk
keselamatan dan dengan jalan-jalan Tuhan dalam hubungan dengan sesama manusia
dan dengan alam semesta seperti juga dengan prinsip-prinsip hubungan yang benar
dan keadilan sosial. Dia percaya atas keunggulan manusia bila dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lainnya terletak dalam kemampuannya untuk menerima Wahyu
Ilahi dan meleburkan hubungan pribadi serta wataknya sesuai dengan wahyu
tersebut. Katanya:
“Manusia menerima ketentuan dari Tuhan dan karenanya
dia lebih unggul dari makhluk lainnya. Makhluk-makhluk lain
menderita kesukaran dan kesedihan serta tidak dapat mempraktikkan Jen (kasih
sayang) dan Yi (ketulusan), manusia sendiri mempunyai
kemampuan melaksanakannya.”[7]
Pandangan Tung terhadap fitrah manusia adalah seperti suatu
kompromi antara pandangan Mencius dan Hsun Tzu. Dia setuju dengan Mencius bahwa
sifat dasar manusia berisikan kemampuan untuk berbuat kebajikan, namun dia
beranggapan bahwa permulaan ini tidaklah dengan sendirinya, bukti yang cukup
bahwa sifat manusia itu selamanya baik karena sifat dasar manusia itu tidak
hanya berisi bakatnya melainkan juga perasaannya. Manusia harus menunjukkan
kemauan, dan perasaannya kepada perintah-perintah Tuhan agar dia menjadi baik.
Dia juga menekankan hubungan antara tingkah laku manusia dan alam
semesta. Perbuatan manusia yang jahat ditunjukkannya akan berakibat bencana dan
penyimpangan: “Mula-mula Tuhan mengirimkan peringatan dan bila setelah diberi
peringatan manusia masih belum mau mengerti, maka Dia akan menakutinya dengan
kegoncangan-kegoncangan. … Asal usul dari segala bencana dan
goncangan itu adalah akibat langsung dari dosa-dosa yang ada dalam negeri itu.”[8]
Ketika kemenangan agama Kong Hu Chu[9] hampir-hampir
terjamin pada masa-masa awal dinasti Han, timbullah pada saat yang sama dalam
barisan ahli fikir Kong Hu Chu suatu pertentangan yang pahit tentang penafsiran
Kitab Klasik dan status pribadi Kong Hu Chu. Aliran Kitab Baru meningkatkan
derajat Kong Hu Chu sebagai Tuhan Juru Selamat. Berlawanan dengan pandangan ini
Aliran Kitab Lama tetap percaya bahwa Kong Hu Chu hanyalah seorang Nabi dan
pahlawan. Namun ternyata aliran Kitab Baru memperoleh keunggulan selama masa
itu. Pada tahun 59 suatu awal pemujaan terhadap Kong Hu Chu dimulai ketika
Kaisar Ming dari dinasti Han, yang belakangan memerintahkan untuk beribadah
kepada Kong Hu Chu, tadinya ditetapkan di Klenteng Lu kemudian ke segenap
pemerintahan di kota-kota . Ini jelas menegakkan Kong Hu Chu menjadi dewa
pendidik.
Setelah hancurnya dinasti Han, datanglah masa panjang dari
kekacauan moral dan politik di China, di mana ajaran Kong Hu Chu seolah-olah
kehilangan pegangan di antara para terpelajar. Kebanyakan dari mereka lari ke
agama Tao dan agama Buddha mencari ilham. Tetapi usaha untuk
melipatgandakan penuhanan kepada Kong Hu Chu semakin menjadi-jadi di
kalangan pengikutnya, mungkin ini sebagai kompetisi tajam menghadapi
agama-agama saingannya. Pada tahun 178 , patung Kong Hu Chu digunakan untuk
pertama kalinya di kelenteng sebagai ganti dari ayat-ayat Kitab Suci.
Selanjutnya hal ini diikuti dengan pembuatan patung-patung kayunya pada tahun
505 M. Pada tahun yang sama, kelenteng yang pertama untuk menghormati Kong Hu
Chu dibangun di kota Nanking. Ketika China dipersatukan kembali oleh dinasti
Tang pada abad ketujuh, pemujaan terhadap Kong Hu Chu benar-benar telah tegak.
Masa dinasti Sung (960 – 1280) dan dinasti Ming (1368 –1644)
tercatat adanya kebangkitan dan perkembangan aliran Li Hsueh Chia atau
aliran penelaahanLi, yang biasa di Barat dikenal sebagai “Neo
Confucianism”. Namun pemberian nama tersebut salah, karena tidak ada pemurnian
kebangkitan agama Kong Hu Chu. Para ahli Neo Confucianism tak diragukan lagi
memang ahli fikir Kong Hu Chu, namun aktivitas intelektual mereka di ilhami dan
ditentukan oleh spekulasi atas keunggulan guru Ch’an (Zen).Jadi[10] Neo
Confucianism adalah semacam penggabuangan atau revisidari etika, moral, dan
kepercayaan masa lampau serta prinsip prinsipKong Hu Chu yang seluruhnya telah
bercampur denganagama Buddha dan Tao. Tidak di pungkiri lagi ini adalah satu
dan sistem yang paling penting dikembangkan di China. Pengaruh intelekktual
yang telah terjadi di China pada masa lampau, kebudayaan dan pemikiran yang
telah diambil dari negeri-negeri asing, semuanya membentuk kerangka falsafah
ini dan mengkristal di dalamnya.[11]
3. Bagiamana historis kehidupan
Khon Hu Chu?
Kehidupan
Khon Hu Chu[12]
Confusius adalah nama Latin dari nama K’ung Fu-Tzu atau Tuan K’ung.
Beliau dilahirkan pada tahun 551 sM di daerah Lu yang sekarang dikenal sebagai
provinsi Shantung. Beberapa peristiwa mukjizat, impian-impian, dan kejadian
lainnya dihubungkan dengan peristiwa kelahirannya seperti halnya dengan
guru-guru agama yang lain. Beliau dilahirkan dari keluarga terpandang tetapi
miskin dan memperoleh sukses atas hasil usahanya sendiri. Sejak muda dia
bercita-cita untuk bekerja di pemerintahan, tetapi dia tidak mendapatkannya
segera pada masa pergolakkan tersebut. Dia memulai kariernya sebagai seorang
pegawai gudang gandum di daerah kelahirannya dan seringkali
ditempatkan untuk melayani rakyat.
Pada tahun 528 sM, Kong Hu Chu[13] melepaskan
jabatannya di pemerintahan karena berkabung atas kematian ibunya. Selama
berduka dalam jangka tiga tahun, dia mengabdikan diri dengan belajar dan
bermeditasi. Kadang-kadang dia muncul dari pengasingannya sebagai guru di
masyarakat dan cepat menarik segolongan besar murid muridnya yang berbakti.
Kemasyhurannya meningkat, tetapi sebelum berumur 50 tahun, dia belum memasuki
kehidupan umum. Beliau ditunjuk sebagai Hakim Ketua dari kota Chung-tu dan
segera dipromosikan pada kedudukan Menteri Tenaga Kerja dan Kehakiman. Jadi dia
mendapatkan kesempatan untuk mempraktekkan ajaran-ajarannya dan membangun suatu
model administrasi. Beliau mendatangkan perdamaian di seluruh negeri,
menghilangkan penindasan, dan memberi keadilan tanpa bayaran. Pelanggaran
kesusilaan dan kejahatan hampir-hampir lenyap. Di dalam segenap kehidupan
pribadinya beliau disiplin untuk meneliti peraturan-peraturan yang telah
diajarkannya
Suatu kebijaksanaan yang betul-betul menjunjung keadilan semacam
ini, pasti mendatangkan musuh, dan musuh Kong Hu Chu hati-hati untuk
menggeser kedudukannya. Kong Hu Chu mendakwahkan “ Pada usia 50
tahun saya menerima risalah Tuhan”. Maka pada tahun 497 sM dengan segera ia
mengikuti panggilan Ilahi, dan selama empat belas tahun bersama sekelompok
kecil muridnya yang berbakti, dia pergi dari satu tempat ke tempat lain,
seringkali dalam ancaman bahaya maut, diremehkan, dan kesengsaraan. Akhirnya ia
diizinkan untuk kembali ke tanah kelahirannya, yakni Lu, dia sudah berusia
lanjut 68 tahun. Beliau menghabiskan sisa akhir hayatnya dalam menyiarkan
risalah-risalah wahyunya, dan menerbitkan buku-buku klasik China. Dia menyadari
bahwa gagasan-gagasannya jauh lebih penting daripada langsung dicobakan secara
mendadak dalam praktek. Beliau wafat pada tahun 479 sM. Suatu gambaran yang
sangat berkesan dari kepribadian dan cara hidupnya, tampak riwayat-riwayat
yang diceritakan oleh murid-muridnya, termasuk di dalamnya Lun Yu (Cerita dari
Kong Hu Chu). Di sana ditulis:
“Dalam saat-saat senggangnya,[14] Tuan
kelihatan ramah dalam bersikap, dan berseri-seri wajahnya (7:4) Tuan sangat
lemah lembut, namun ketat (disiplin), anggun tetapi tidak sombong, sangat
dihormati walaupun rendah hati. Bilamana Tuan berada di
antara penduduk desanya, beliau tampak sederhana dan tulus seolah-olah
dia awam dalam berbicara. Namun bilamana beliau dalam kuil kuno atau dalam
majelis, maka beliau berbicara dengan hati-hati. Dalam majelis ketika beliau
berbicara dengan pejabat yang lebih tinggi, maka beliau berbicara penuh
keakraban dan tepat. Bila dihadapan Pangeran, beliau menghormat dalam gerakan
yang tenang dan tepat (10:2) Bilamana seorang temannya meninggal dunia
sedangkan dia tidak berkeluarga, maka beliau akan berkata “Biarkan saya yang
akan mengurus pemakamannya” Atas hadiah dari seorang teman, bahkan meskipun
hadiahnya berupa sebuah kereta ataupun kuda, beliau tidak akan membungkuk
kecuali kalau hadiah itu dimaksudkan sebagai pengorbanan.”(10:15)[15]
Ajaran
Khon Hu Chu[16]
Kong Hu Chu menghindarkan diskusi mengenai hal-hal yang metafisik
dan abstrak. Seorang muridnya, Chung Yun, suatu kali bertanya kepada Tuannya
tentang roh. Kong Hu Chu menjawab: “Bilamana engkau tidak dapat mengenal
manusia, bagaimana engkau dapat mengenal roh?” Ketika beliau ditanya mengenai
kematian, jawabnya: “Bilamana engkau tidak mengenal kehidupan, bagaimana engkau
bisa mengetahui kematian?” Juga dikatakan tentang beliau: “Tuan tidak pernah
berbicara tentang hal-hal yang menyimpang dari hukum, adu kekuatan,
pemberontakan, atau pun dewa-dewa”. Meskipun demikian, tidak dapat disangsikan
lagi akan kenyataan bahwa Kong Hu Chu percaya kepada Tuhan dan seorang yang
ketat bertauhid. Beliau mendakwahkan bahwa Kehendak Tuhan telah diwahyukan
kepadanya adalah missinya agar kehendak Nya itu unggul di muka bumi. Di sini
ada beberapa kata ucapannya:
“Dia yang menyakitkan Tuhan, maka tiada satu pun yang dapat
menerima doanya” (Analects, 3:13). “
Ada tiga perkara yang harus ditakuti oleh seorang yang mulia:
perintah – perintah Tuhan, alim ulama, dan kata-kata hikmah orang dahulu. Orang
picik adalah orang yang tidak tahu menahu akan perintah Tuhan, tidak merasa
takut pada Nya, tidak menghormati alim-ulama, mengejek kata-kata hikmah orang
dahulu. “ (Analects, 16:8)
Tuhan telah menugaskan kepada saya suatu risalah Ketuhanan.
Apa yang dapat dilakukan oleh Huan T’uei (seorang perwira militer yang
menggesernya) kepadaku?” (Analects, 7:23) “Bila sudah menjadi Kehendak
Tuhan, bahwa sistem Ilahi diabaikan, maka anak cucu kita tidak akan mendapat
lagi bagian dari ilmu keimanan ini. Tetapi dengan Kehendak Tuhan, sistem ini
tidak tersia-sia, apakah yang dapat dilakukan orang-orang Kuang terhadapku.”
(Analects, 9:5)
Kong Hu Chu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan
moral. Bilamana manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan
alam akan terganggu. Akan ada bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik
yang panjang, dan wabah penyakit. “Jadi”, tulis Alfred Doeblin, “berlawanan
dengan arus pemikiran kita yang materialistis dan menjadikan manusia itu objek
tak berdaya dalam mengadapi arus peristiwa yang bebas serta tanpa arti, maka
tingkah laku kita itu dapat mempengaruhi dan sesungguhnya telah mempengaruhi
peristiwaperistiwa dunia, karena kita ini memiliki kekuatan rohani yang
mempengaruhi kekuatan rohani dunia, dan suatu pilihan nasib,
manusia yang tidak tergantung kepada Langit itu tidak
mungkin, seperti tidak mungkinnya alur peristiwa di dunia ini tidak tergantung
kepada manusia. Kesengsaraan, kegagalan peristiwa-peristiwa yang mengerikan
adalah jeritan peringatan dunia yang menderita, yang menjerit menyeru manusia
untuk mengembalikan tata susunan dan kembali ke jalan yang benar. Jadi Kong Hu
Chu dan ajaran orthodoksnya meningkatkan pengertian kita. Kita mengembangkan
suatu kewajiban yang mendalam agar bertindak wajar dan tidak ditujukan untuk
takut hukuman. Kong Hu Chu menjadikan kita para penjamin tata dunia yang
teratur, dan jangan melalaikan kewajiban kita sekejap pun, karena suatu gerakan
itu diikuti oleh gerakan yang lain, dan hanya suatu perniagaan kontanlah yang
berlaku.”[17]
Kong Hu Chu menaruh[18] penghargaan
yang tinggi kepada ummat manusia, percaya bahwa manusia itu dianugrahi suatu
Cahaya Ilahi. Beliau berkata: “Manusia yang membuat tata susunan ini besar, dan
bukan sistemnya yang membuat manusia itu besar.” (Analects, 15:29). Dia
percaya bahwa manusia itu fitrahnya baik dan akan kembali kepada kemuliaan bila
suatu contoh teladan ditegakkan oleh atasan atau golongan penguasa. Dia tidak
percaya adanya beban gaib, dosa asal, atau dosa yang diwariskan. Beliau adalah
teman dari kehidupan dan manusia, seperti yang dikenal dengan baik bahkan tanpa
beban dari dosa asal ini sudah cukup menderita dan senantiasa diancam oleh dua
bahaya, yakni anasiranasir perusak yang mencederainya dan penguasa yang jahat.
Kong Hu Chu membela manusia, bahkan seekor binatang ataupun makhluk hina
dianggap baik dalam fitrahnya, dan sangat cemas kalau mereka dibinasakan.
Beliau percaya bahwa manusia itu tidak memerlukan juru selamat yang secara
mukjizat akan menghapus
segala dosanya. Apa yang diperlukan manusia adalah seorang guru
ketulusan yang dengan sepenuhnya mempraktikkan ajaranajarannya dapat
menjadi contoh teladan bagi manusia lainnya. Kong Hu Chu sendiri adalah Guru
semacam itu yang dibangkitkan oleh Tuhan.
Analects mengajarkan kepada kita kepercayaan atas evolusi kemanusiaan yang
sejati. Di sini digambarkannya kebenaran atau kemuliaan manusia: “Dia yang mula
pertama mempraktikkan apa yang diajarkannya, dan kemudian mengajarkan apa yang
dipraktikkannya”. (Analects, 2:13) “ Orang yang mulia memahami apa yang
benar, dan orang yang rendah hanya mengenal apa yang dapat dijual.” (Analects,
4: 16). “Orang yang mulia mencintai jiwanya; orang yang rendah mencintai harta
bendanya. Orang yang mulia senantiasa ingat betapa ia dihukum karena
kesalahankesalahannya; orang yang rendah selalu mengingat hadiah-hadiah apa
yang diperolehnya” (4:11). Orang yang mulia itu berwibawa dan ramah tamah serta
tidak sombong, tetapi orang rendah itu sombong dan tidak berwibawa (13:26). “
Orang mulia itu dapat memahami pandangan orang lain tetapi tidak sepenuhnya
menyetujui, orang yang rendah itu setuju sepenuhnya dengan pandangan orang lain
tetapi tidak memahaminya.” (13:23) “Orang besar mempunyai pandangan universal
tanpa prasangka, orang picik berprasangka dan tidak universal pandangannya”
(2:14)
Dari segi etika, Kong Hu Chu menekankan pada senasib
sepenanggungan, atau timbal balik menyuburkan simpati dan kerja sama yang harus
dimulai dalam keluarga, kemudian diperluas secara bertahap ke perkumpulan.
Beliau menekankan pentingnya lima hubungan kemanusiaan utama yang sudah menjadi
adat istiadat di antara bangsa China:[19] (1)
penguasa dengan rakyatnya, (2) ayah dengan anaknya, (3) saudara tua dengan
adiknya, (4) suami dengan istrinya, dan (5) sahabat dengan temannya. Kong Hu
Chu melihat bahwa kekacauan yang timbul di China ketika raja tidak
bertingkah laku sebagai raja, rakyat tidak bertindak sebagai
rakyat, bapak tidak berbuat sebagai bapak, dan seterusnya. Maka dia merasa
bahwa langkah pertama ke arah perombakkan dunia yang kacau, ialah dengan cara
setiap orang harus menyadari dan memenuhi kewajibannya sendiri dengan tepat.
Suatu kali, Kong Hu Chu ditanyai, “Adakah satu kata yang dapat
berlaku sebagai prinsip dalam hubungan hidup?” Dia menjawab: “Barangkali kata
‘timbal balik’ adalah yang tepat. Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain
yang kalian sendiri tidak ingin orang lain berbuat demikian terhadapmu.”
(Analects, 15: 24)
Menurut Kong Hu Chu[20],
kemuliaan yang harus disuburkan di atas segalanya ialah kasih antara sesama
manusia (Jen). Etikanya, kebijakannya, cita-cita hidupnya, semuanya
mengalir dari kemuliaan yang utama ini. Jen berisi cita-cita Kong Hu Chu untuk
menyuburkan hubungan antara manusia, mengembangkan kemampuan manusia,
menggabungkan kepribadian seseorang, dan memegang hak azasi manusia. Tzu Tang
bertanya kepada beliau tentang Jen, dan beliau menjawab: “Kemampuan
untuk melaksanakan lima sifat mulia di dunia membentuk Jen. Ketika
ditanya lagi apakah itu, beliau berkata: “Itu adalah kehormatan, kedermawanan,
ketulusan, ketekunan, dan kasih sayang.” (Analects, 17 : 6). Beliau juga
mengatakan bahwa Jenterdiri dari “menyayangi
sesama.”
Kong Hu Chu menginginkan kemajuan manusia sepanjang: Jalan
peradaban yang benar”, yang dijamin oleh penguasa yang baik, yang memimpin di
depan dan menegakkan suatu contoh teladan, serta para pembantunya yang baik
menjalankan hokum sesuai kerangka agama yang tertulis. Dia menginginkan agar
seluruh negeri disusun sebagai suatu lembaga pendidikan, kerja keras harus
dimulai, dan atau dengan para penguasa terlebih dahulu, sebab bilamana penguasa
memberi contoh buruk maka dia
akan menjerumuskan seluruh rakyat dalam kesengsaraan. Menurut
ajaran Kong Hu Chu tiada sedikit pun diragukan bahwa tujuan satusatunya dari
suatu negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan hukum
Tuhan. “ Pemerintah hanyalah menempatkan segala perkara dengan benar. Bila Anda
sendiri memberi contoh teladan yang benar, siapakah yang berani menyeleweng”.
(Analects, 12 : 17)
Apabila penguasa[21] sendiri
berbuat apa yang benar, dia akan mempunyai pengaruh terhadap rakyat, bahkan
tanpa memberi perintah-perintah, dan bilamana penguasa sendiri tidak
melaksanakan apa yang benar, segala perintahnya akan sia-sia tanpa guna.” (13 :
6) “ Bilamana penguasa menepati kewajibannya sendiri, memerintah adalah suatu
yang sangat mudah, dan jika dia tidak menepati kewajibannya, bagaimana dia
dapat menyuruh orang lain menepatinya?” (13 : 13) “ Pimpinlah rakyat itu dengan
alat-alat kekuasaan dan awasi serta aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan
rakyat akan mencoba keluar dari penjara, namun mereka tidak akan punya rasa
hormat atau pun rasa malu. Bimbinglah rakyat dengan akhlak mulia, dan awasi
serta aturlah dengan aturan-aturan kebenaran, maka rakyat akan menaruh rasa
hormat serta patuh.” (2 : 3)
Ajaran
Khon Hu Chu sepeninggalanya/ perkembanganya[22]
Ajaran Kong Hu Chu berkembang dan menyebar tidak lama setelah
wafatnya. Sehabis berduka cita atas kematian Tuannya, maka para murid itu mulai
memencar dan berkelana sendiri-sendiri untuk membawakan karya-karya serta
mengembangkan risalah-risalahnya. Meskipun para murid itu semuanya menghormati
kata-kata Tuan mereka, adalah wajar bila masing-masing menekankan aspek-aspek
tertentu dari ajaran Kong Hu Chu tersebut. Dengan berlalunya waktu,
perbedaan-perbeaan itu semakin melebar segera setelah mereka mengembangkan
system berfikir masing-masing untuk menyelaraskan dengan kepentingan dan
keyakinan mereka masing-masing. Akibatnya, menurut sebuah sumber tidak kurang
dari delapan aliran yang berbeda dari agama Kong Hu Chu telah timbul.
Yang paling penting dari aliran-aliran ini berasal dari penuturan
ajaran Kong Hu Chu dari Tseng Ts’an, cabang mata tombak yang paling tulus dalam
menekankan pemupukan akhlak dari pada ketelitian upacara agama sebagai dasar
dan cita-cita manusia. Dia adalah pengarang beberapa buku yang terkenal,
termasuk Classic of Filial Piety dan Great Learning.
Cendikiawan besar lainnya dari aliran ini adalah cucu Kong Hu Chu, Tzu-ssu
(Kung Chieh). Dia adalah penulis salah satu dari kitab suci Kong Hu
Chu, the Doctrine of the Mean. Ini terdiri dari kumpulan kata-kata
Kong Hu Chu bersama-sama dengan penafsiran Tzu-ssu tentang hal yang sama.
Tafsir itu menjadi sangat indah pada akhir karyanya, yakni ketika dia
memperbincangkan tentang realitas Tuhan (cheng) dan kesejatian manusia:
“Adalah jalan Tuhan yang merupakan kenyataan itu.” Adalah jalan manusia untuk
mencapai kenyataan itu. Mengikuti kenyataan berarti memikul pengertian tanpa
usaha, memilikinya tanpa melatih fikiran, dan memusatkan diri pada jalan dengan
kebahagian yang wajar, ini adalah kisah zaman dahulu. Untuk mencapai realitas
Tuhan haruslah memiliki kebajikan dan berpegang teguh padanya. Ini melibatkan
pengkajian mendalam mengenai apa yang benar, bertanya-tanya secara luas tentang
hal itu, merenungkan hal itu dengan hati-hati, membuatnya terang melalui
tantangan, dan dengan tekun menjalankannya melalui praktik.”[23] Khususnya
buku itu menekankan ‘kesejatian umat manusia dan ketulusan dalam bertindak’,
dan kemampuan untuk merombak serta menyerahkan perkembangan
sepenuhnya pada fitrah manusia.
Sekitar dua ratus tahun terakhir dari dinasti Chou, terlibatlam
peperangan antara negara. Ini masa kekacauan politik, ketiadaan hukum, dan
pertumpahan darah. Penguasa kerajaan Chou ditantang oleh beberapa pangeran
feodal yang bahkan mengangkat dirinya dengan jabatan raja. Maka timbullah tujuh
negara besar yang terus menerus terlibat dalam peperangan satu sama lainnya. Di
atas puing-puing kota yang jatuh, dan mayat-mayat bergelimpangan, maka
tumbuhlah para politisi yang licik dan jenderal yang kejam ke tampuk kekuasaan
serta menjadi penguasa tiran yang semuanya serakah menumpuk kekayaan di atas
pengorbanan rakyat banyak. Ketika para raja dan pejabat dari negeri yang saling
berperang itu memuaskan hawa nafsu dan selera mereka semaunya, maka sebaliknya
para petani benar-benar terinjak di bawah tiga beban, yakni peperangan, pajak,
dan kerja paksa.
Namun dalam masa peperangan antara negara itu, maka menonjol hal
kebebasan berfikir. Masa itu kita menyaksikan bangkitnya apa yang dinamakan
‘Seratus Aliran’ dalam filsafat dan agama yang saling bersaing dengan ajaran
Kong Hu Chu untuk mendapat pengakuan dari rakyat. Jika tidak muncul seorang
yang bernama Mencius pastilah agama Kong Hu Chu telah ditenggelamkan oleh para
saingannya. Generasi berikut sudah pantas menghormati Mencius sebagai perawi
kedua yang hanya setingkat di bawah Tuan yang mulia itu sendiri[24].
Ajaran
Mencius
Mencius (Meng Ko) berasal dari nama Meng Tzu, atau Tuan Meng. Ia
hidup pada abad ke empat sM. Dengan keelokkan, keberanian moral, keyakinan yang
dalam, dia menyebarluaskan agama Kong Hu Chu. Dia mendapat kehormatan besar di
antara para raja dan pangeran. Dia mengunjungi beberapa negeri dan kemana pun
dia pergi disambut dengan kehormatan dan kebaktian.Nasehat-nasehatnya sangat
diharapkan dan bahkan sekali atau dua menganutnya.
Sumbangan Men Tzu terhadap agama Kong Hu Chu terletak dalam
penekannya atas kebaikan yang mendasar dalam fitrah manusia. Menurut dia
manusia mewarisi empat sifat mulia: hati manusia (Jen), ketulusan (Yi),
sopan santun (Li), dan kebijaksanaan (Chih). Dia berkata:
“Dengan memuliakan sifat-sifat dasarnya, maka manusia dapat
dianggap baik. Itulah sebabnya kukatakan bahwa sifat-sifat dasar manusia itu
baik. Bilamana ia menjadi jahat, hal itu bukanlah kesalahan sifat-sifat
dasarnya. Perasaan kasih sayang itu sudah biasa bagi segenap manusia, perasaan
malu itu sudah biasa bagi setiap orang, rasa hormat itu sudah biasa bagi semua
orang, perasaan benar atau keduanya membentuk kearifan. Rasa kemanusiaan,
ketulusan, keselarasan, dan kearifan itu tidak diajarkan, hal itu sudah
tertanam dalam fitrah kita.”[25]
Namun sifat manusia itu dapat menjadi rusak akibat berhubungan
dengan kehidupan yang kasar. “Seorang ksatria”, kata Mencius, “adalah seseorang
yang tidak kehilangan hati nuraninya, seperti anak kecil telanjang bulat.” Hati
seorang bayi, katakanlah, adalah suatu lambang yang serupa dengan sumber semua
kebajikan dalam fitrah kita yang kita harus pegang teguh. Namun ironinya, kita
seperti ketika anjing atau ayam yang tersasar, kita bersusah payah mencarinya,
dan sangat sedikit di antara kita yang tertarik untuk menemukan kembali
kebajikan fitriah kita.”
Masalah selanjutnya yang menjadi perhatian Mencius ialah
pemerintahan yang baik. Mengikuti tradisi aliran Kong Hu Chu, dia tetap
berpendirian bahwa pemerintah yang baik tidaklah tergantung kepada kekuatan
kekerasan, namun harus dengan contoh teladan yang ditegakkan oleh para
penguasa:[26]
Segenap manusia mempunyai hati-nurani yang tidak tega melihat
penderitaan orang lain. Raja-raja zaman dahulu memiliki kalbu yang penyayang,
dan karena itu mereka mempunyai suatu pemerintahan yang penyayang. Setelah itu
memerintah dunia adalah sama mudahnya dengan membalik telapak tangan.” Tumbuh
dari konsep “pemerintahan berperikemanusiaan” adalah pengenalan Mencius
terhadap peranan rakyat dalam pemerintahan: “ Rakyat memiliki tingkat kedudukan
yang tinggi dalam negara, roh bumi dan biji-bijian datang kemudian, dan
penguasa adalah perkara yang penghabisan.”
Pemerintahan yang baik harus tumbuh berakar dari rakyat dan tidak
ditentukan dari atas. Rakyat tidak saja menjadi pokok melainkan juga pengadilan
terakhir dari penguasa. Tujuan pemerintah adalah mendidik dan memperkaya serta
memperbaiki kesejahteraan mereka secara menyeluruh.
Ajaran
Hsun Tzu[27]
Segera setelah Mencius, muncullah seorang kampiun yang besar dari
agama Kong Hu Chu. Namanya Hsun Tzu; dia pada waktu yang sama adalah seorang
eksponen yang tekun pada prinsip-prinsip ajaran Kong Hu Chu, dan seorang
kritikus terhadap Mencius. Bila Mencius dianggap sebagai mewakili sayap
idealistic Kong Hu Chu, maka Hsun Tzu dapat dikatakan mewakili sayap realistis.
Berbeda dengan Kong Hu Chu, Mencius, dan banyak lainnya, Hsun
adalah seorang agnostic (kurang percaya akan barang gaib, pent. ) Dia tidak
percaya pada Tien (Langit) sebagai Dzat PribadiIlahi Yang Esa. Tien tidak lebih
dari keberagaman hukum alam, dan segala perobahan alam semesta, pergerakan
bintang, pergeseran matahari dan rembulan, pergantian musim dan lain sebagainya
adalah berlakunya hukum yang besar. Hsun Tzu berkata, bahwa manusia itu
sendirilah dan bukanlah Tien yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya
sendiri bagi tujuan keberuntungan atau pun bencana yang menimpa dirinya. “ Bilamana
bahan makanan dan pakaian disediakan dengan cukup dan digunakan secara
ekonomis, maka Tien tidak dapat memiskinkan negeri. Jikalau rakyat disantuni
dengan cukup dan enersi mereka diperkerjakan di musim tanam, Tien tidak dapat
mengganggu rakyat. Jika Tao diikuti dan tidak ada penyimpangan dari hal itu,
maka Tien tidak akan menurunkan kesengsaraan.”[28]
Hsun Tzu menolak segala macam takhayul seperti pengeramatan,
ramalan, serta pemujaan benda-benda. Dia juga mempertanyakan manfaat doa: “Jika
manusia berdoa minta hujan, lalu turun hujan, bagaimana pengertiannya? Saya
akan katakan: Bukan perkara aneh. Hujan tokh akan tetap turun meskipun tidak
ada orang yang berdoa meminta hujan.”[29]
Gagasan aneh lainnya dari Hsun Tzu adalah bahwa fitrah manusia pada
dasarnya jahat sehingga manusia harus berusaha mencari kebajikan. Dalam hubungan
ini dia melancarkan serangan langsung kepada Mencius, ia menuduhnya gagal dalam
membedakan apa yang menjadi bakat alami dan apa yang harus diusahakan dalam
diri manusia. Bilamana kemuliaan yang dianggap Mencius sebagai yang terpenting
untuk mengembangkan akhlak manusia, yakni kasih sayang sesama manusia (Jen),
dan ketulusan (Yi), maka cara yang ditekankan sekali oleh Hsun Tzu
adalah ritual (Li) dan musik (Yeo). Dia berpendapat bahwa ritual
dan music adalah sarana yang paling efisien untuk menekan apa yang dianggapnya
sebagai sifat dasar manusia yang jahat.
4. Apa yang menjadi esensi
ajaran Agama Khon Hu Chu?[30]
Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
1. Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2. Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3. Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4. Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5. Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
6. Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu
Duo)
7. Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing
Shu)
8. Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang):
Ren - Cintakasih
Yi - Kebenaran/Keadilan/Kewajiban
Li - Kesusilaan, Kepantasan
Zhi - Bijaksana
Xin - Dapat dipercaya
Lima Hubungan Sosial (Wu Lun):
Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan
Hubungan antara Suami dan Isteri
Hubungan antara Orang tua dan anak
Hubungan antara Kakak dan Adik
Hubungan antara Kawan dan Sahabat
Delapan Kebajikan (Ba De):
Xiao - Laku Bakti
Ti - Rendah Hati
Zhong - Satya
Xin - Dapat Dipercaya
Li - Susila
Yi - Bijaksana
Lian - Suci Hati
Chi - Tahu Malu
Zhong Shu = Satya dan Tepa selira/Tahu Menimbang: "Apa yang
diri sendiri tiada inginkan, jangan dilakukan terhadap orang lain" (Lunyu)
5. Sebutkan Kitab Kitab Suci
Agama Kong Hu Chu?
Kitab[31] yang
paling penting untuk memahami Kong Hu Chu pribadi dan ajarannya, yakni Lun
Yu (Kumpulan literature Kong Hu Chu). Ini adalah himpunan dari
ucapan-ucapan Kong Hu Chu yang disusun oleh murid-muridnya beberapa waktu
setelah wafatnya junjungan mereka. Ada tiga versi dari buku ini; versi Lu,
versi Sh’I, dan versi Skripsi Kuno. Ketiga versi inti tidak seluruhnya sejalan,
baik dalam lingkup isinya, maupun susunannya dari teks tersebut. Versi yang
terkenal saat ini ialah versi Lu yang dibagi dalam dua puluh bab. Sesudah Kitab
Himpunan ini, maka kita menemukan enam Kitab Klasik kaum Kong Hu Chu yang
katanya ditulis atau disunting oleh Kong Hu Chu. Kitab-kitab itu adalah:
1. Shu Ching (Kitab Sejarah). Aslinya berisi
seratus dokumen sejarah dari para dinasti kuno China dan meliputi suatu periode
panjang antara abad duapuluh empat hingga abad kedelapan sebelum
Masehi. Katanya Kong Hu Chu telah mengatur dokumendokumen ini secara kronologis
dan menulis kata pengantarnya pula. Dokumen-dokumen ini mengalir bersama
ajaran-ajaran keagamaan dan moral. Kong Hu Chu menyunting dokumen-dokumen ini
agar para siswanya menjadi akrab dengan fakta-fakta berkenaan dengan bangkit
dan runtuhnya dinasti-dinasti tersebut. Dari seratus dokumen yang telah disusun
nya hanya duapulah delapan yang ada dalam Kitab Sejarah.
2. Shih Ching (Buku Syair). Ini adalah kumpuluan
sajak-sajak yang popular dan ditulis selama limaratus tahun pertama dari
dinasti Chou. Maksud Kong Hu Chu dalam menyunting kitab ini adalah menjadikan
pengikutnya berbudaya dan ahli dalam menggunakan kata-kata serta untuk
menekankan nilai-nilai moral dalam syair-syair tersebut. Beliau memilih 305
sajak dari lebih 3000 buah yang dikumpulkan.
3. Yi Ching (Kitab Perobahan)[32].
Buku ini menawarkan suatu sistem filsafat yang sangat menarik. Kitab
ini menerangi apa yang disebut prinsip-prinsip dalam Yin(lelaki)
dan Yang (wanita).
4. Li Chi (Kitab Upacara-Upacara). Kong Hu Chu menyetujui beberapa
upacara tradisional untuk mendisiplinkan rakyat dan akan membawa perbaikan,
kemuliaan, serta kekayaan terhadap sikap sosial mereka. Beliau menerangkan asal
usul dan pentingnya upacara kuno dan menyebut bahwa li adalah
penyebaran rasa hati. Mengeritik praktik-praktik yang merendahkan pada masa
belakangan, beliau mengatakan bahwa li tanpa rasa hati tiada
lain pelecehan terhadap upacara-upacara keagamaan.
5. Yeo (Kitab Musik). Pada masa Kong Hu Chu, musik
sangat erat sangkut pautnya dengan sajak. Maka ketika beliau menyunting
puisi-puisi lama, beliau menyusun suatu pengaturan musik yang mengiringi setiap
sajak-sajaknya. Beliau kadang-kadang merevisi nada yang lama atau menciptakan
lagu baru. Sayang tak sebuah pun dari musik-musik ini masih ada.
6. Ch’un Ch’iu (Kitab Bersambungnya Musim Semi dan
Musim Gugur). Ini adalah catatan kronologis dari peristiwa-peristiwa utama di
negeri Lu dari tahun pertama pemerintahan Pangeran Ai (481 sM). “Tema sentral
dari buku ini”, tulis Chu Chai, “adalah untuk membangun norma-norma
pemerintahan yang baik, membimbing pangeran pangeran yang menyeleweng kembali
ke tempatnya yang tepat, dan mengutuk menteri-menteri yang salah urus sehingga
dengan demikian akan mengokohkan persatuan dan perdamaian dunia.”
Penting pula untuk memahami agama Kong Hu Chu, yakni tiga Kitab
lainnya yang berisi penyajian yang sangat awal dari doktrin agama Kong Hu Chu.
Ini adalah:[33]
1. Ta Hsueh (Pelajaran Besar). Kitab ini secara
tradisional dinisbahkan kepada Tseng Tsan, satu dari murid-murid utama Kong Hu
Chu. Tema sentral buku ini adalah memupuk perkembangan pribadi, yakni (a)
manifestasi dari sifat-sifat mulia, (b) kasih saying sesama manusia, dan (c)
tetap teguh dalam kebajikan yang tertinggi. Delapan perkara etis politis (atau
delapan “kawat-kawat kecil”) yang mendorong perkembangan pribadi adalah: (i)
penyelidikan, (ii) memperluas pengetahuan, (iii) ketulusan dalam fikiran, (iv)
pensucian hati, (v) memperkaya pribadi (vi) tata karma kekeluargaan, (vii) tata
pemerintahan, (viii) jaminan perdamaian dunia.
2. Chung Yung (Doktrin Jalan Tengah)[34].
Kitab ini ditulis oleh cucu Kong Hu Chu, Tzu-ssu, adalah sajian sistematis dari
doktrin hakiki (Chung), dan kenyataan normal (Yung). Untuk
menjamin ketepatan hakekat dan kenyataan normal itu tidak cukup hanya dengan mengeja
suatu jalan tengah; hal ini lebih diartikan sebagai keharmonisan dengan alam
semesta. Jadi jalan kepada hakiki dan kenyataan normal melibatkan rasa
keadilan, semangat toleransi, keadaan harmonis, dan doktrin persamaan manusia.
Ini adalah suatu cara bertindak yang mencegah seseorang menjadi ekstrim. Ini
juga suatu keadaan fikiran di mana akal budi manusia dan perasaan mencapai
keharmonisan yang sempurna.
3. Hsiao Ching (Buku klasik tentang kewajiban
untuk taat). Buku ini adalah bentuk percakapan antara Tsung Tzu dan Kong Hu
Chu. Beliau menerangkan pandangan bahwa “tugas untuk taat adalah dasar dan
sifat yang mulia serta sumber budaya.” Menurut beliau tugas ketaatan itu tidak
hanya suatu kemuliaan di dalam rumah tangga saja, melainkan juga memancarkan pengaruhnya
ke segenap tingkah laku hidupnya, baik moral, politik, maupun sosial. Konsep
itu berasal dari ikatan kekeluargaan biasa dan meluas ke pada hubungan-hubungan
lain, hingga akhirnya mencapai tingkat Jen yang berarti kasih
sayang penuh manusia terhadap segenap ummat
Untuk penyajian agama Kong Hu Chu yang belakangan, marilah kita
tengok tiga kitabnya yang lain:[35]
1. Kitab Mencius. Ini terdiri dari tiga ceramah di mana Mencius
berhadapan dengan pangeran-pangeran feodal, para menteri, para sahabat, dan
murid-muridnya. Ini termasuk satu dari empat kitab suci agama Kong Hu Chu. Tiga
lainnya adalah Himpunan dari Kong Hu Chu, Pelajaran yang Besar, dan Ajaran Hakiki.
2. Buku dari Hsun Tzu. Aslinya terdiri dari tigaratus dan duapuluh
dua artikel tetapi setelah disunting dan disarikan karangan-karangan tersebut
dalam edisi standar sekarang bias diperolah dalam tigapuluh dua bagian.
3. Ch’un Ch’iu Fan-lu (Aneka ragam embun di musim
semi dan gugur). Kitab ini ditulis pada permulaan dinasti Han oleh Tung
Chung-shu, yang membangkitkan dan menegakkan agama Kong Hu Chu sebagai Agama
Negara sepenuhnya. Buku ini berisi beberapa ceramah yang penuh renungan tentang
sifat manusia, falsafah, sejarah, dan ilmu tentang bencana alam , serta
keadaankeadaan yang tidak wajar.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Samad, Aziz-us,Ulfat
-. Great Religions of the World/ terj; Agama-Agama
besar Di Dunia, ( Lahore :Pakistan.): 1976
2. Smith, Huston. Agama-Agama
Manusia,IKPI: Jakarta/Indonesia, 2008
3. Rasjidi, M., H,.
Filsafat agama,PT; Midas Surya Grafindo: Jakarta., 1990
4. Ahmadi, Abu, Pebandingan
Agama, Rineka Cipta: Jakarta., 1991
5. Armstrong, Karen, Sejarah
Tuhan, Mizan: Bandung, 2002
6. James,Wiliam,The
Varieties Of Religion Experience/ terj; Perjumpaan dengan Tuhan,.
Mizan; Bandung, 2004
7. Toynbee, Arnold, Mankind
and Mother Earth/ terj; Sejarah UmatManusia, Pustaka Pelajar; Yogyakarta.,
2005
6745"
[1] Salah satu dosen UIN Sunan
Kalijaga, ju rusan Aqidah Dan Filsafat, yang mengajar Mata Kuliah
Orientalisme di semester empat, yang mendapat pengetahuan luar biasa dari
pengalaman kuliahnya diluar negeri. Yogyakarta, 2012
[2] Makalah ini disusun oleh Mahasiswa
aqidah dan filsafat, “ Shohibul kafi”, yang akan dipresentasikan, pada
mata kuliah SEJARAH AGAMA-AGAMA, yang di ampu oleh Bapak, Moh. Fathan,
S. Ag, M, Hum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, semester dua, 2012.
[5] Ulfat Aziz-us-Samad, Agama-Agama
besar Di Dunia, hlm, 111, telaah mengenai Historis Agama Khon Hu Chu.
Chun Chiu Fan-lu, p. 366
Book) bab 10 dan 11 (Penguin Books, 1955)
York, 1955)
Cassel and Company, London, 1942)
P. 315 (Bantam Book, New York, 1965
Meng Tzu, p.96
(Bantam Book, New York, 1965)
Hsun Tzu, p. 226 (Bantam Book, New York, 1965)
0 Response to "KELAHIRAN AGAMA KHON HU CHU"
Post a Comment