PENDAHULUAN
Masa depan peradaban islam, inilah sebuah tema yang akan kita diskusikan bersama dalam forum diskusi aqidah dan filsafat. Tematis yang hendak penulis uraikan dalam tinjaun grametika seakan-akan mempunyai subtansi yang sakral. Namun, apakah benar tematis itu bermakna sakral. Kali ini penulis mencoba menguraikan bahwasanya pembaharuan dalam peradaban islam kian berlangsung, dan saya kira fenomenologi pembaruan akan berlangsung sampai akhir zaman ini, benarkah demikian? Kita dapat kembali menyelami historis peradaban islam ala muawal hingga post modern ini. Perpecahan dalam islam yang kemudian menghasilkan justifikasi setiap alinsi merupakan diskripsi pembaharuan peradaban dalam islam.
Saya teringat dengan kata-kata temen kuliah saya, ia mengatakan dengan adanya banyak orang/akal yang ada dalam suatu aliansi maupun non aliansi tentunya akan menghasil berbagai pemikiran, kendati bersifat syinonim maupun anonym. Sebab, saya kira pada diri manusia sudah Nampak sebuah pemikiran dan tindakan yang menghasikan perbedaan.
Nah sejauh ini kita akan mencoba mengkritisi sebuah perspektif kalam ali syari’atiMemahami pemikiran Ali Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus keilmuan, tentu bukan merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan terkait dengan kompleksnya kehidupan. Dan saya kira ketika mencoba mempelajari secara terperinci siapakah Ali Syari’ati tidak akan usai dalam pertemuan kali ini.
RUMUSAN MASALAH
Sebenarnya apabila penulis mencoba menguraikan secara sistematis terkait dengan pemikiran kalam ali syari’ati itu artinya adalah pendustaan bagi penulis. Namun, ketika penulis mencoba menguraikan berdasarkan kemampuan penulis ini bukan pendustaan, namun, lebih pada realitanya. Bagaimana pun penulis masih sangat kerdil dalam berbagai aspek realitas maupun historis. Adapun kajian dalam pertemuan kali ini sebagai berikut:
1. Latar Belakang Kehidupan Ali Syari’ati
2. Pandangan Ali Syari’ati terhadap dunia dan teologi
3. Tauhid pembebasaan dalam kacamata Ali Syari’ati
Dari berbagai kegilisahan penulis, dan pada akhirnya penulis mencoba mengkritis dari aspek latar belakang hingga pada pemikiran kalamnya, namun, sekali lagi penulis hanya mencoba mengkritisi. Apabila nanti ada salah diantara argumentasi penulis tidak relevan, penulis berharap sekiranya dapat menambahkan atau mereformasikan sebagaimana justifikasi yang dilakukan oleh Ali Syari’ati terhadap keilmuan yang dapat mengemparkan dibelahan timur“iran”.
BAB II
PEMBAHASAAN
1. Latar Belakang Kehidupan Ali Syari’ati[1]
Syari’ati[2], anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya[3]
Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.[4]
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syari’ati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:
Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya berani menerjunkan diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan dukungan mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya. Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan yang situ saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah menolong saya, sehingga saya bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya itu tidak larut oleh kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini dipergunakan dalam bentuk seperti ini.[5]
Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang memukau memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.
Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati di penjara karena berbagai aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.
Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya mengetahui kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di lantai tempat ia menginap.[6]
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. 19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi.[7]
2. Pandangan Ali Syari’ati terhadap dunia dan teologi
Pandangan tentang dunia menurut Ali Syari’ati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan: ”Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu”, inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj, semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep sentral.[8]
Pandangan tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak.
Masyarakat dan agama selalu menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.[9]
Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syari’ati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia.
Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari’ati mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat manusiawi.[10]
Ali Syari’ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai, antara kelas borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan keesaan yang orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.
Pandangan dunia akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Idea berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.[11]
Menurut Ali Syari’ati, ideologi adalah fitrah yang paling penting dan bernilai serta merupakan kesadaran diri yang istimewa dalam diri manusia.[12] Kesadaran ideologis, menurut Ali Syari’ati merupakan kesadaran khusus yang khas bagi manusia tanpa terkecuali.[13] Hal tersebut dikarenakan, ideologi menjadi “kebutuhan” manusia yang paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran sampai ke tingkat melakukan verifikasi atas tindakan masyarakat serta kondisi-kondisi sosial yang melingkupinya. Secara sederhana, ideologi berperan dalam pemberian cara pandang, membentuk pemahaman, serta mengarahkan prilaku manusia dalam berinteraksi dengan dunianya.
Berkebalikan dengan pandangan Marx dan Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh struktur masyarakat. Syari’ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri (ideologi) inilah manusia membentuk masyarakat.[14] Ideologi menempati posisi yang begitu kuat dalam pikiran dan keyakinan manusia. Dan ideologi, tetap diperpegangi sebagai penuntun hidup yang paripurna bagi para penganutnya. Bagi Ali Syari’ati hanya ideologilah yang mampu merubah masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan keterlibatan untuk komitmen.[15]
Pandangan Ali Syari’ati ini, senada dengan pandangan Antonio Gramsci, yang menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi memberikan spirit perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran mengenai posisi mereka maupun perjuangan mereka dalam kehidupannya.[16]
3. Tauhid pembebasaan dalam kacamata Ali Syari’ati
Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud yang ilmiah dan analitis.[17] Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.[18]
Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.[19]
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal.[20] Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam.[21] Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.[22]
Berbeda dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri[23]. Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi.[24] Penafian Tuhan dalam gerak “mengada” manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa atas dirinya.[25] Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi sentrumeksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, “Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya.”[26]
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.[27]
Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.”[28] Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan” sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan “pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.[29]
Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[30] Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari Tauhid
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Melihat latar belakang dari seorang keilmuan yang mampu mengemparkan bumi belahan timur“Iran” perlu sekiranya kita sebagai agen penerus daripada kajian Islamic religion mapun filsafat yang kini mulai ditelan bumi dibagian Timur pula, lebih tepatnya Indonesia merujuk dari berbagai eksprimental yang pernah ia kaji dari tahun ketahun.
Sangat luar biasa bagi saya, di usai dini ia mampu mengunakan fasilitas yang dimiliki oleh ayahnya, sebuah perpustakaan yang kurang lebih 2000 buku, mampu ia kaji dan kemudian hijrah keberbagai wilayah hingga ia bertemu dengan pemikir-pemikir ulung dibelahan barat, kendati demikian ia pun dapat mengugah dari berbagai higemoni barat “ asumsi penulis” dengan mengkritisi terhadap agama itu sendiri.
Pandangan dunia akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Idea berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
DAFTAR PUSTAKA
Syari’ati, Ali, “Membangun Masa Depan Islam” (Bandung: Mizan) 19867
Syari’ati, Ali, “Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi”, Diterjemahkan oleh MS. Nasrulloh dan Afif Muhammad, (Cet, I; Bandung: Mizan, 1992)
Syari’ati, Ali, on the Sosicology Islam” Diterjemahkan oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul “Paradigma Kaum Tertindas, (Cet, II; Jakarta: al-huda, 2001)
Simon, Roger, “Pemikiran Politik Gramsci” (Cet, I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Ismail, Faisal, “Islam Transformasi Sosial Kontinuitas Sejarah” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya) 2001
Abdul, Syukur, “Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000),
Rahmena, Ali, Ali Syariati: “Biografi Politik Intelektual Revolusioner” (Jakarta: Erlangga, 2006)
Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus “Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan
Eko Prasetyo Darmawan, “Agama Bukan Candu” (Cet. I ; Yogyakarta : Resist Book, 2005),
[1] Penulis adalah bernama Shohibul Kafi,. Makalah ini diajukan kepada bapak Mu’tiullah S.Fil. I. selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam Modern semester tiga. Aqidah dan Filsafat. Fakultas Ushuluddin, Study Agama dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga.. Yogyakarta 2012
[2] Ghulam ‘Abbas Tawassuli, Sepintas Tentang Ali Syari’ati, Dalam Ali Syari’ati, Al-Ihasan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb, h. 12
[3] Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, h. 19
[4] Ali Syari’ati, Tanggung Jawab Kaum Intelektual, h. 3
[5] Ali Rahmena, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Erlangga, 2006)
[6] Http/www.el-beruoqi,or.id/http.www. gogle.search, html
[7] Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis, h.58
[8] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Diterjemahkan oleh MS. Nasrulloh dan Afif Muhammad, (Cet, I; Bandung: Mizan, 1992), h. 24-25
[9] Ali Syari’ati Man and Islam, op. cit., h. 22-24
[10] Ibid., h. 35.
[11] Ibid., h. 156-157.
[12] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, op. cit., h. 54
[13] Ibid., h. 114.
[14] Ibid., h. 57.
[15]Ibid., h. 81.
[16]Roger Simon, Pemikiran Politik Gramsci (Cet, I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.83.
[17] Ali Syari’ati, on the Sosicology Islam, Diterjemahkan oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul Paradigma Kaum Tertindas, (Cet, II; Jakarta: al-huda, 2001), h. 76.
[18] Ibid., h. 73.
[19] Eko Supriyadi, op. cit., h. 167.
[20] Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Menuju Revolusi: Memahami ‘Kemelut’ Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed), op, cit., h. 85.
[21] Lihat Eko Supriyadi, op. cit.., h 163-164
[22] Muhammad Nafis, op. cit., h. 87
[23] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992),h. 134.
[24] Ibid., h. 138.
[25] Lihat Donny Gahrial Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Cet. I ; Yogyakarta : Jalasutra, 1999), h. 7.
[26] Muhammad Zuhri, Langit-langit Desa : Himpunan Hikmah dari Langit-langit Sekarjalak (Cet. I ; Bandung : Mizan, 1993), h. 34.
[27] Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus “Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Abdul Syukur dengan Judul Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), h. 29
[28] Eko Prasetyo Darmawan, Agama Bukan Candu (Cet. I ; Yogyakarta : Resist Book, 2005), h. 31.
[29] Ali Syari’ati, Hajj, op. cit., h. 21
[30] Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
0 Response to "MASA DEPAN PERADABAN ISLAM PANDANGAN ALI SARIATI"
Post a Comment