POLITIK PASCA DAULAH UMAYAH

KATA PENGANTAR
Berbicara mengenai politik daulah umayah, tentu tidak terlepas dari peristiwa artibitrase atau tahkim, sebab, disana dapat kita ketahui peristiwa tahkim merupakan sebab dari segala aspek perpecahan, dari problem kalam, aliran fiqih, dan ideology. Dan dampaknya yang paling fatal adalah masarakat social, sebab, masarakat di sini merupakan imbas daripada tahkim itu sendiri.
Namun ada pertanyaan yang mendasar dalam memaparkan seorang umayah, secara tidak langsung umayah dimassa nabi, pernah di jadikan khatib wahyu, namun sepeninggalan beliau, disini muawiyah berperan aktif dalam aspek ekspansi, akan tetapi, lambat laut sejarah mengatakan bahwa muawiyah telah merubah tatanan-tatanan yang telah di rintis oleh rasul dan sahabat.
Dan juga disini menurut hitti bahwasanya muawiyah mulai politiknya dengan individualistik, hal ini dapat kita lihat ketika system pemerintahan yang semula demokrasi beralih ke monarchi. Dari sebagian sejarawan berasumsi bahwasanya muawiyah mengiginkan ranah pemerintahan berada dalam gengaman muawiyah dan anak cucunya. Namun, konon historis seorang muawiyah, ketika sebelum masuk agama islam, muawiyah adalah seorang pemuka qurais yang sangat di segani di antara kalanganya, dan juga muawiyah salah satu penentang ajaran nabi.
Dan disini disadari atau tidak bahwasanya muawiyah sudah terlihat mengunakan politik, namun hal itu belum kami ketahui. Akan tetapi, ada banyak hal yang dapat kita petik daripada peristiwa pasca daulah muawiyah, di antaranya di masa itu islam sudah bisa menguasai dari empat penjuru angina.










BAB 1
LATAR BELAKANG
Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang  memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Mu’awiyah.[1]
Bani Umayyah memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi penguasa yang sudah terpendam sejak dulu. Ambisi ini ada karena Bani Umayyah menganggap keturunan mereka berasal dari golongan bangsawan, terhormat dan mempunyai kekayaan yang melimpah.[2]
Namun, kenyataannya Bani Umayyah tidak berhasil, karena Bani Umayyah tidak memperoleh popularitas di lingkungan penduduk Arab, tidak seperti layaknya Bani Hasyim yang berhasil memperoleh popularitas di lingkungan penduduk Arab. Sebagai akibat ambisi yang tidak kesampaian, maka terjadilah persaingan antara Umayyah dengan pamannya Hasyim bin Abd al-Manaf.
Kondisi ini justru semakin menyudutkan citra Umayyah di mata masyarakat Arab.
Walau demikian, akhirnya, ambisi untuk menjadi penguasa dari keturunan Bani Umayyah ini tercapai juga oleh keturunan Bani Umayyah yang bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Bani Umayyah berkuasa setelah kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin.
Mengalir dari uraian di atas, maka tinjauan sejarah dalam tulisan makalah ini akan membahas tentang masa kelahiran, Sistem Pemerintahan Dinasti Umayah, Ciri-ciri Sisem Pemerinahan Bani Umayah serta masa kemunduran dan keruntuhan Dinasti Umayyah. Adapun tata urut dari tulisan ini meliputi pendahuluan, pembahasan dan Kesimpulan









RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana eksistensi daulah umayah?
2.      Siapa tokoh-tokoh kholifah daulah umayah?
3.      Bagaimana Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah?
4.      Apa Kemajuan Intelektual?

BAB 2
PEMBAHASAN[3]
1.    Bagaimana eksistensi daulah umayah?
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah[4].
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi[5]. Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam.
Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan. Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya.[6]
 Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan[7]
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitraseyang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol. Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.

2.    Siapa tokoh-tokoh kholifah daulah umayah?
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai[8]
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1  Mu’awiyah bin Abi Sofyan 19 th 3 bln 41 H / 661 M 60 H / 681 M
2 Yazid bin Mu’awiyah 3 th 6 bln 60 H / 681 M 64 H / 683 M
3 Mu’awiyah bin Yazid 6 bln 64 H / 683 M 64 H / 684 M
4 Marwan bin Hakam 9 bl 18 hari 64 H / 684 M 65 H / 685 M
5 Abdul Malik bin Marwan 21 th 8 bln 65 H / 685 M 86 H / 705 M
6 Walid bin Abdul Malik 9 th 7 bln 86 H / 705 M 96 H / 715 M
7 Sulaiman bin Abdul Malik 2 th 8 bln 96 H / 715 M 99 H / 717 M
8 Umar bin Abdul Aziz 2 th 5 bln 99 H / 717 M 101 H / 720 M
9 Yazid bin Abdul Malik 4 th 1 bln 101 H / 720 M 105 H / 724 M
10 Hisyam bin Abdul Malik 19 th 9 bln 105 H / 724 M 125 H / 743 M
11 Walid bin Yazid 1 th 2 bln 125 H / 743 M 126 H / 744 M
12 Yazid bin Walid 6 bln 126 H / 744 M 126 H / 744 M
13 Ibrahim bin Yazid 4 bln 126 H / 744 M 127 H / 744 M
14 Marwan bin Muhammad 5 th 10 bln 127 H / 745 M 132 H / 750 M

3.    Bagaimana Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah?
1.   Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara
bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam[9]
Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan. Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya. Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin Arab.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk  memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara[10].
Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.[11]
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164). 2)
Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dariKhalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
1. Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
2. Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
4.  Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
 5.  Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hokum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat[12]
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara lain bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. OrganisasiSyurthahk (kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksanaal-hudud. Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
· Diwanul Kharrraj,
· Diwanul Rasaail,
· Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
· Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat pnting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian diatasnya dicap[13] Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
· Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu
itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
· Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
· An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding[14]
Selain iitu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer [15] Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperolehprivilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah. Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin[16] Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masakhilafaur rasyidin.
 Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan[17]

Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.[18]
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.[19]
Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu  daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol. 3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat.[20]
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.[21]
 Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan.[22]
Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya.[23]
4. Apa Kemajuan Intelektual?

Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah,tarikh dan filsafat. Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra. Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al- Farazdak. Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain-lainnya.[24]
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian: · Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi. · Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amsaal. Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hokum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad. Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’b[25] 


BAB 3
SIMPULAN
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin.Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
 Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul Malik, Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III), Ibrahim ibn Malik dan Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya 




DAFTAR PUSTAKA
1.      Hassan, Hassan Ibrahim.1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta.
2.      Amin, Samsul Munir.2009.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Amzah
3.      Mufrodi, Ali.1997. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab.Surabaya: Logos Waacana Ilmu
4.      Yatim, Badri.2004. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah2.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
5.      Hasan, Ibrahim Hasan. 2001. Sejarah Kebudayaan Islam 2.Jakarta: Karam Mulia
6.  Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindoPersada:Jakarta
7.       Hitti, Phillip K. 1987. History of the Arabs. The Macmillan Press: Bandung. 
Al-Thabari. 1984.
8.      Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Jilid IV. Dar al-Fikr. Bairut. 
9.      Muir, William, The Caliphate its Rise, Decline and Fall, Ams Press, New York, 1975
10.   Bek, Al-Khudhari. Itmem al-Wafa fi Sirat al-Khulafa. Dar al- Fikr. t.t.
11.  Zaidan, Jurji. Tarikh al-Tamaddun al-Islam. Dar al-Hilal, al-Qahirat, t.t.
12.   Mahmudun, Nasir Syed. Islam Its Concept a History. Kitab Bhavan. New Delhi. t.t.
13.  Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. terjemahan Muchtar Yahya dan









[1] Potensi perpecahan antara suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat
[2] Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius di tingkat negara
[3] Makalah ini disusun oleh mahasiswa/I aqidah filsafat. Fakultas Ushuluddin, studi agama, dan pemikiran Islam, Yogyakarta. Shohibul kafi, Kholifatun, Hamam, dan Wahdini, dalam mata kuliah Islam dan Politik, semester Empat, 05/04/2012/ yang di ampu oleh, Moh. Fathan, S. Ag, M. Hum
[4] Sou’yb,1997:7
[5] Hasan,1993:282
[6] al-Maududi,1993:146-147
[7] Mufrodi,1997:70
[8] al-Maududi,1984:167
[9] Amin, 1997:106
[10] Hasjmy, 1993:154
[11] Yatim, 1998:139.
[12] (Hasjmy, 1993:82).
[13] (Hasjmy, 1993:172).
[14] (Hasjmy, 1993:172).
[15] (Pulungan, 1997:166).
[16] (Syalaby, 1971:139).
[17] (Nasution, 1985:61).
[18] (Hasan, 1967:91).
[19] (Nasution, 1985:62).
[20] (Mufrodi, 1997:80).
[21] (Bosworth,1993:26).
[22] (Mufradi, 1997:76).
[23] (Yatim, 2003:44).
[24] (Hasjmy, 1993:183).
[25]  (Hasjmy, 1993:183).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "POLITIK PASCA DAULAH UMAYAH "

Post a Comment