KONSEP TAUHID DAN MORAL NABI MUHAMMAD

(Tauhid dan Moral)
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib
Oleh: Kelompok dua
(Shohibul Kafi, Umi Khofsoh, M. Ridwan Azhari)
“Tidak mungkin orang dapat mengenal dengan baik, jika tidak mengenal
sejarah orang yang membawa Islam itu”
-Muhammad Husain Haekal-

A.    Latar belakang
Telaah tauhid dan moralitas dalam Agama Islam, merupakan satu bidang yang cukup akut  dan menarik pandangan umat Islam dipenjuru dunia. Hal ini tentu cukup mempunyai alasan yang kuat mengapa ketika berbicara mengenai Muhammad dan Islam tidak terlepas dari kajian Tauhid dan moralitas. Sebagaimana yang telah kita alami secara bersama bahwa kita tidak pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad namun kita mampu mengkonsepsikan Nabi Muhammad sebagai Seorang pemimpin dunia dan aherat bahkan dengan tegas hanya Nabi Muhammad yang mampu memberikan pertolongan di hari pembalasan. Dengannya, memicu kita untuk memahami bagaimana konsep Tauhid yang telah diajarkan Nabi, dan bagaimana Konsep Moralitas yang ditawarkan oleh Nabi sampai hati milyaran umat manusia berbondong-bondong memeluk Agama Islam dipenjuru Dunia.
Islam muncul pertama kali sebagai agama paripurna pada abad 7 M dan berkembang luas. Secara umum, Islam dipahami sebagai agama yang dibawa oleh seorang nabi bernama Muhammad SAW. Untuk memahami Islam dan ajarannya, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah (sosio-historis) yang menyertainya. Islam hadir tidak hanya menyerukan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illa-Allah, tetapi juga melakukan praktik pembebasan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang terjadi pada saat itu.
Sepanjang sejarah umat manusia masalah akhlak selalu menjadi pokok persoalan. Karena pada dasarnya, pembicaraan tentang akhlak selalu berhubungan dengan persoalan perilaku manusia dan menjadi permasalahan utama manusia terutama dalam rangka pembentukan peradaban. Perilaku manusia secara langsung ataupun tidak langsung masib menjadi tolok ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan akhlak selalu dikaitkan dengan persoalan sosial masyarakat, karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa.


B.     Rumusan masalah
1.      Biografi Nabi Muhammad
2.      Konsep Tauhid
3.      Konsep Moral

C.    Pembahasaan
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai Tauhid dan Moralitas Muhammad, ada baiknya sebuah prolog, sebagai jalan untuk memahami bagaimana sesungguhnya konsep tauhid dan moral yang ditawarkan oleh Muhammad. Kita mulai sejak Nabi Muhammad sebagai Basyar (manusia) biasa. Muhammad dikenal dengan sebutan semisal (Sidiq, Amanah, Fathonah, Tabligh), jadi tidak terlalu heran jika Muhammad dengan mudah ditrima oleh masyarakat Arab pada waktu itu. Bisa dipahami bahwa masyarakat pra-islam secara sosial politik sangat tidak menjunjung tinggi persoalan kemanusia, moral, dan keberlangsungan berkehidupan, intelektual.[1]
1.      Biografi Nabi Muhammad
Ada empat sumber rujukan untuk menyelidiki riwayat hidup Nabi Muhammad SAW[2] :
1.      Al-Qur’an
Adalah sumber utama dari riwayat hidup Nabi hal ini dikarenakan al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan langsung kepada Rasulullah SAW. Seperti ketika masa kecil Nabi bisa dilihat di dalam al-Qur’an surat ad-Dhuha ayat 6-7. Tentang akhlak beliau di surat al-Qalam ayat 4. Dari situ bisa disimpulkan bahwasannya al-Qur’an adalah sumber yang paling mutawatir.
2.      Sunnah
Sumber ini harus berdasar pada rujukan yang sahih seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dll.
3.      Sya’ir Arab
Syair-syair di sini menceritakan tentang fakta-fakta berkaitan suasana kehidupan Nabi dan dakwah Nabi. Tentunya syair-syair di sini berdasar sumber rujukan yang jelas seperti yang ditulis oleh Hasan bin Thabit, Abdullah bin Rawwahah dll.
4.      Kitab-Kitab sirah
Adalah kitab yang bersumber dari riwayat-riwayat sahih yang dikumpulkan menjadi sebuah  sirah atau sejarah hidup Nabi.
1.      Makkah Sebelum Lahirnya Nabi Muhammad S.A.W.
Sebelum lahirnya Nabi Muhammad S.A.W. Makkah merupakan sebuah kota kecil yang panas dan tandus yang dipenuhi dengan penyembahan terhadap kayu-kayu dan batu-batu dan juga disana terdapat sebuah batu hitam yang dikelilingi oleh berhala-berhala yang sekarang telah berubah suasana dengan corak Islami. Di sebuah jazirah yang disebut jazirah Arabia, perbuatan buruk dan haram, perampokan, pembunuhan bayi,minum-minuman keras, yang memusnahkan segala kebajikan dan moral menempatkan masyarakat jazirah Arabia ini dalam situasi kemerosotan yang luar biasa sehingga disebut zaman jahilliyah atau zaman kebodohan. Mereka terpecah-pecah menjadi kabilah-kabilah (bani/kaum).
Peristiwa akan kelahiran Rasulullah S.A.W. dipenuhi dengan kejadian-kejadian yang luarbiasa, dimulai dengan peristiwa padamnya api abadi di kerajaan Persia, hancurnya sesembahan batu di sana, dan penyerangan pasukan bergajah untuk menghancurkan Ka’bah, yang di kemudian hari menjadi kiblat bagi ummat Islam sampai akhir zaman, namun tentara yang besar ini dihancurkan oleh burung-burung, karenanya tahun ini dinamakan tahun Gajah.
2.      Kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
Para penulis sirah (biografi) Muhammad lahir pada tanggal 20 April 570571 atau 12 Rabbiul Awal Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M, yang merupakan tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah. Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Ibunya bernama Aminah binti Wahab, Bapak bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib yang telah wafat dalam perjalanan dagang di Madinah pada usianya 20 tahun, yang ketika itu bernama Yastrib, sebelum Muhammad dilahirkan yaitu sewaktu Muhammad 7 bulan dalam kandungan ibunya. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.
Muhammad disusukan selama beberapa hari oleh Thuwaiba, budak suruhan Abu Lahab sementara menunggu kedatangan wanita dari Bani Sa’ad. Adat menyusukan bayi sudah menjadi kebiasaan bagi bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Akhir tiba juga wanita dari Bani Sa’ad yang bernama Halimah bin Abi-Dhuaib yang pada mulanya tidak mahu menerima Muhammad kerana Muhammad seorang anak yatim. Namun begitu, Halimah membawa pulang juga Muhammad ke pedalaman dengan harapan Tuhan akan memberkati keluarganya. Sejak diambilnya Muhammad sebagai anak susuan, kambing ternakan dan susu kambing-kambing tersebut semakin bertambah. Muhammad telah tinggal selama 2 tahun di Sahara dan sesudah itu Halimah membawa Muhammad kembali kepada Aminah dan membawa pulang semula ke pedalaman.
Pada usia dua tahun, Muhammad didatangi oleh dua orang malaikat yang muncul sebagai lelaki yang berpakaian putih. Mereka bertanggungjawab untuk membedah Muhammad. Pada ketika itu, Halimah dan suaminya tidak menyedari akan kejadian tersebut. Hanya anak mereka yang sebaya menyaksikan kedatangan kedua malaikat tersebut. Muhammad tinggal di pedalaman bersama keluarga Halimah selama lima tahun. Selama itu Muhammad mendapat kasih sayang, kebebasan jiwa dan penjagaan yang baik daripada Halimah dan keluarganya. Selepas itu Muhammad dibawa pulang kepada kakeknya Abdul Mutallib di Makkah.
Kakek Muhammad, Abdul Mutallib amat menyayangi Muhammad. Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (sekarang Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. mereka ditemani oleh Ummu Aiman, budak suruhan perempuan yang ditinggalkan oleh ayah Nabi Muhammad. Muhammad ditunjukkan tempat wafatnya Abdullah serta tempat dia dikuburkan. Sesudah sebulan mereka berada di Madinah, Aminah pun bersiap sedia untuk pulang semula ke Makkah. Dia dan rombongannya kembali ke Makkah menaiki dua ekor unta yang memang dibawa dari Makkah semasa mereka datang dahulu. Namun begitu, ketika mereka sampai di Abwa, ibunya pula jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia lalu dikuburkan di situ juga.
Muhammad dibawa pulang ke Makkah oleh Ummu Aiman dengan perasaan yang sangat sedih. Maka jadilah Muhammad sebagai seorang anak yatim piatu. Tinggallah Muhammad dengan kakek yang dicintainya dan paman-pamannya. “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk” (Surah Ad-Dhuha, 93: 6-7)
3.      Kehidupan Remaja Nabi Muhammad S.A.W.
Kegembiraannya bersama kakek Muhammad tidak bertahan lama. Ketika Muhammad berusia delapan tahun, kakek Muhammad pula meninggal dunia. Kematian Abdul Mutallib menjadi satu kehilangan besar bagi Bani Hashim. Dia mempunyai keteguhan hati, berwibawa, pandangan yang luas, terhormat dan berpengaruh dikalangan orang Arab. Dia selalu menyediakan makanan dan minuman kepada para tetamu yang berziarah dan membantu penduduk Makkah yang dalam kesusahan.
Selepas kewafatan kakek Muhammad, Abu Talib mengambil alih tugas ayahnya untuk menjaga anak saudaranya Muhammad. Walaupun Abu Talib lebih kekurangan  berbanding saudaranya yang lain, namun dia mempunyai perasaan yang paling halus dan terhormat di kalangan orang-orang Quraisy. Abu Talib menyayangi Muhammad seperti dia menyayangi anak-anaknya sendiri. Dia juga tertarik dengan budi pekerti Muhammad yang mulia.
Pada suatu hari, ketika mereka berkunjung ke Syam untuk berdagang sewaktu Muhammad berusia 12 tahun, mereka bertemu dengan seorang rahib Nasrani yang telah dapat melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad. Lalu rahib tersebut menasihati Abu Talib supaya tidak pergi jauh ke daerah Syam kerana dikhawatirkan orang-orang Yahudi akan menyakiti Muhammad sekiranya diketahui tanda-tanda tersebut. Abu Talib mengikuti nasihat rahib tersebut dia pulang segera ke Makkah.
Muhammad juga diberi tugas sebagai pengembala kambing. Muhammad mengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Muhammad selalu berfikir dan merenung tentang kejadian alam semasa menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu Muhammad jauh dari nafsu duniawi. Muhammad terhindar daripada perbuatan yang sia-sia, sesuai dengan gelar yang diberikan yaitu “al-Amin”.
4.      Pernikahan Nabi Muhammad S.A.W. dengan Siti Khadijah
Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan berkembang menjadi seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela diri dan memanah, begitupula dengan ilmu untuk menambah keterampilannya dalam berdagang. Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan dan dianggap sebagai salah satu pendapatan yang stabil. Muhammad sering menemani pamannya berdagang ke arah Utara dan kabar tentang kejujuran dan sifatnya yang dapat dipercaya menyebar luas dengan cepat, membuatnya banyak dipercaya sebagai agen penjual barang dagangan penduduk Mekkah.
Salah seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak muda yang bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam berdagang adalah seorang janda yang bernama Khadijah. Ia adalah seseorang yang memiliki status tinggi di kalangan suku Arab. Sebagai seorang pedagang, ia juga sering mengirim barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di tanah Arab. Reputasi Muhammad membuat Khadijah memercayakannya untuk mengatur barang dagangan Khadijah. Khadijah sangat terkesan ketika sekembalinya Muhammad membawakan hasil dagangan yang lebih dari biasanya.
Seiring waktu pada akhirnya Khadijah semakin tertarik pada kepribadian Muhammad, mereka pun menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah telah berusia mendekati umur 40 tahun. Khadijah amat tertarik dengan perwatakan mulia Muhammad dan kemampuan Muhammad sebagai seorang pedagang. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku Quraisy memiliki budaya yang lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang gadis ketimbang janda. Mempunyai seorang suami yang begitu lengkap kemuliaannya, dari perkawinan ini Khodijah melahirkan enam orang anak, dua putra, Qasim, dan Abdulah, yang dipanggil at-Thayyib, dan at-Thahir. Tiga orang putrinya masing-masing Ruqayyah, Zainab, Ummu Kaltsum, dan Fatimah. Kedua anak laki-lakinya meninggal sebelum Muhammad diutus menjadi Rosul.
5.      Perolehan Gelar Nabi Muhammad S.A.W.
Ketika Muhammad berusia 35 tahun, banjir dahsyat mengalir dari gunung ke Ka’bah. Akibatnya dinding Ka’bah mengalami kerusakan. Ketika dinding Ka’bah telah dibangun dalam batas ketinggian tertentu, tiba saatnya untuk pemasangan Hajar Aswad pada tempatnya. Pada tahap ini, muncul perselisihan di kalangan pemimpin suku. Masing-masing suku merasa bahwa tidak ada suku yang lain yang pantas melakukan perbuatan yang mulia ini kecuali sukunya sendiri. Karena hal ini, maka pekerjaan konstruksi tertunda lima hari. Masalah mencapai tahap kritis, akhirnya seorang tua yang disegani di antara Quraisy, Abu Umayyah bin Mughirah Makhzumi, mengumpulkan para pemimpin Quraisy seraya berkata,”Terimalah sebagai wasit orang pertama yang masuk melalui Pintu Shafa.”. Semua menyetujui gagasan ini. Tiba-tiba Muhammad muncul dari pintu. Serempak mereka berseru, “Itu Muhammad, al-Amin. Kita setuju ia menjadi wasit!”
Untuk menyelesaikan pertikaian itu, Nabi meminta mereka menyediakan selembar kain. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu dengan tangannya sendiri, kemudian meminta tiap orang dari empat sesepuh Mekah memegang setiap sudut kain itu. Ketika Hajar Aswad sudah diangkat ke dekat pilar, Nabi meletakkannya pada tempatnya dengan tangannya sendiri. Dengan cara ini, beliau berhasil mengakhiri pertikaian Quraisy yang hampir pecah menjadi peristiwa berdarah. Muhammad dapat menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian secara adil. Saat itu ia dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar al-Amin yang artinya "orang yang dapat dipercaya".
Muhammad adalah orang yang percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai as-Saadiq yang berarti "yang benar".
Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40, ia sering menyendiri ke Gua Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km sebelah timur kota Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia bisa berhari-hari bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan sikapnya itu dianggap sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut yang senang bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan mendalam, dan memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan. Dan di tempat inilah Wahyu pertama Allah S.W.T. diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan / 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril datang dan membacakan surah pertama dari Quran yang disampaikan kepada Muhammad, yaitu surah al-Alaq. Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang telah disampaikan kepadanya, namun ia mengelak dengan berkata ia tak bisa membaca. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama.[3]
Muhammad berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat pertama sekaligus pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, Muhammad kembali ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin secara bergantian akibat peristiwa yang baru saja dialaminya dan meminta istrinya agar memberinya selimut. Lalu Muhammad menceritakan kejadian yang telah dialaminya kepada Khadijah dan Khadijah menjadi wanita pertama yang mempercayai kerasulan Muhammad. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Muhammad mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang Nasrani yaitu Waraqah bin Naufal. Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi terakhir dari kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Muhammad, Waraqah pun berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan menjadi seorang nabi yang disampaikan lewat perantara an-Nâmûsal-Akbar (Malaikat Jibril).
Muhammad menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun. Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai oleh Asbabun Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari penurunan ayat). Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama al-Mushaf yang juga dinamakan al-Quran (bacaan). Sebagian ayat Quran mempunyai tafsir atau pengertian yang izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum Islam, hukum perdagangan, hukum pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh Islam. Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada Muhammad bersifat samar pengertiannya, dalam artian perlu pengkajian lebih mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat tersebut dalam interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para pengikutnya mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan bertata krama dalam kehidupan bermasyarakat.
6.      Pengikut Rasulullah Sebagai Umat Islam
Selama tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai rasul, Muhammad hanya menyebarkan Islam secara terbatas di kalangan teman-teman dekat dan kerabatnya, hal ini untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif dari kalangan bangsa Arab saat itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya dengan tindakan-tindakan amoral, yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa yang akan dibawa dan ditawarkan oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad pada masa-masa awal adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat awam yang dekat dengannya di kehidupan sehari-hari, antara lain KhadijahAli Bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Bilal. Setelah turunnya wahyu memerintahkan Muhammad untuk berdakwah secara terang-terangan, maka Rasulullah pun mulai menyebarkan ajaran Islam secara lebih meluas.
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (al-Hijr, 15:94). Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam. Setelah sekian lama banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti Abu BakarUtsman bin AffanZubair bin Al AwwamAbdul Rahman bin AufUbaidah bin HaritsAmr bin Nufail yang kemudian masuk ke agama yang dibawa Muhammad. Kesemua pemeluk Islam pertama itu disebut dengan as-Sabiqunal-Awwalun atau yang pertama-tama.
7.      Penyebaran Agama Islam
Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka kepada masyarakat Mekkah, respon yang ia terima sangat keras dan masif, ini disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu termasuk Abu Lahab, paman Muhammad sendiri. Pemimpin Mekkah Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah, akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya, dihina, disingkirkan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.
Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan pengikut dalam jumlah besar, para pengikutnya ini kemudian menyebarkan ajarannya melalui perdagangan ke negeri SyamPersia, dan kawasan jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan dan kepribadiannya yang sudah terkenal baik memudahkannya untuk mendapat simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar.
Hal ini menjadi semakin mudah ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran islam, meskipun banyak juga yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari negeri Farsi (sekarang Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad. Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah(sekarang Ethiophia).Negus atau raja Habsyah,memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.
8.      Wafatnya Siti Khadijah dan Abu Thalib
Rasulullah amat sedih melihat tingkahlaku manusia ketika itu terutama kaum Quraisy kerana Muhammad tahu akan akibat yang akan diterima oleh mereka nanti. Kesedihan itu makin bertambah apabila isteri kesayangannya wafat pada tahun sepuluh kenabiaannya. Selama hidupnya Muhammad menikah dengan 11 atau 13 orang wanita (terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia menikah dengan Khadijah, yang berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat. Pernikahan ini digambarkan sangat bahagia, sehingga saat meninggalnya Khadijah (yang bersamaan dengan tahun meninggalnya Abu Thalib pamannya) disebut sebagai tahun kesedihan.
Sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan politik (sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan penghidupan bagi para janda (saat itu janda lebih susah untuk menikah karena budaya yang menekankan perkawinan dengan perawan). Pada tahun itu juga paman Muhammad Abu Talib yang mengasuhnya sejak kecil juga meninggal dunia. Maka bertambahlah kesedihan yang dirasai oleh Rasulullah kerana kehilangan orang-orang yang amat disayangi oleh Muhammad
9.      Hijrah Ke Madinah
Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari kekejaman penduduk Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Tekanan daripada orang-orang kafir terhadap perjuangan Rasulullah semakin hebat selepas Kepergian Khadijah dan Abu Thalib. Maka Rasulullah mengambil keputusan untuk berhijrah ke Madinah atau Yastrib pada tahun 622 M.
Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622 dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi). Di bulan RobiulAwwal tahun ini, saat hijrahnya Nabi terjadi, tak ada seorang muslim pun yang tertinggal di Mekah kecuali Nabi, Ali dan Abu Bakar, dan segelintir orang yang ditahan Quraisy atau karena sakit,dan lanjut usia.
Kaum Quraisy yang berada di Mekah akhirnya membuat kesepakatan untuk membunuh Muhammad di malam hari, dan masing-masing suku mempunyai wakil, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas atas kematian Muhammad. Jibril datang memberitahu Nabi tentang rencana kejam kaum kafir itu. Al-Qur’an merujuk pada kejadian itu dengan kata-kata, “Dan [ingatlah] ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”[4] Nabi, tiba di Quba tanggal 12 Rabiul Awwal, dan tinggal di rumah Ummu Kultsum ibn al-Hadam. Sejumlah Muhajirin dan Ansor sedang menunggu kedatangan Nabi. Beliau tinggal di situ sampai akhir pekan. Sembari menunggu kedatangan Ali, Fatimah, puteri Nabi, Fatimah binti Asad dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutholib.
Rasulullah disambut dengan meriahnya oleh para penduduk Madinah. Mereka disebut  kaum Muhajirin dan penduduk-penduduk Madinah disebut golongan Ansar. Seruan Muhammad diterima baik oleh kebanyakan para penduduk Madinah dan sebuah negara Islam didirikan di bawah pimpinan Rasulullah SAW sendiri. Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi. Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan seperti Perang Badar (623 M/2 H), Perang Uhud (624 M/3 H), Perang Khandak (626 M/5 H) dan Perang Tabuk (630 M/9 H), akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang saat itu telah bersatu di Madinah.
10.  Fathul Makkah
Tahun kedelapan Hijrah, perjanjian Hudaibiyah dikhianati oleh orang-orang Quraisy mekkah, Nabi segera mengeluarkan perintah kesiagaan umum. Ketika pasukan telah lengkap dan siap bergerak, Nabi pun menyampaikan bahwa sasarannya adalah Mekah. Nabi memerintahkan kepada pasukannya yang berjumlah 10.000 orang untuk membagi diri, dan menyalakan api unggun di malam hari agar pasukan musuh melihat betapa besar pasukan musuh tersebut. Nabi memasuki Mekah dan bertawaf, menghancurkan berhala-berhala bersama al-Washi, tidak ada darah yang tertumpah. Apakah yang akan terjadi pada para tawanan,  Nabi memberikan kepada mereka pengampunan dan beliau berkata “ Pergilah, Anda semua adalah orang-orang yang dibebaskan!’
11.  Mukjizat Nabi Muhammad S.A.W.
Seperti nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad  diberikan irhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi, seperti yang diyakini oleh umat Muslim telah dikisahkan dalam beberapa kitab suci agama samawi, dikisahkan pula terjadi pertanda pada masa di dalam kandungan, masa kecil dan remaja. Muhammad diyakini diberikan mukjizat selama kenabiannya. Umat Muslim meyakini bahwa Mukjizat terbesar Muhammad adalah al-Qur'an, yaitu kitab suci umat Islam.
 Hal ini disebabkan karena kebudayaan Arab pada masa itu yang masih barbar dan tidak mengenal peradaban, namun oleh al-Qur'an hal itu berubah total karena Qur'an membawa banyak peraturan keras yang menegakkan dasar-dasar nilai budaya baru di dunia Arab yang sebelumnya tidak berperadaban serta mengeliminasi akar-akar kejahatan sosial yang mengakar di dunia Arab, serta pada masa yang lebih dekat mengantarkan pemeluknya meraih tingkat perabadan tertinggi di dunia pada masanya. Mukjizat lain yang tercatat dan diyakini secara luas oleh umat Islam adalah terbelahnya bulan, perjalanan Isra dan Mi'raj dari Madinah menuju Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat. Kemampuan lain yang dimiliki Muhammad adalah kecerdasan serta kepribadiannya yang banyak dipuji serta masih menjadi panutan para pemeluk Islam hingga saat ini.
12.  Haji Wada
Tahun kesebelas Hijrah, haji pertama Nabi dan kaum Muslimin tanpa ada seorang musrik pun yang ikut didalamnya, untuk pertama kalinya pula, lebih dari 10.000 orang berkumpul di Madinah dan sekitarnya, menyertai Nabi melakukan perjalanan ke Makkah, dan sekaligus inilah haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi. Rombongan haji meninggalkan Madinah tanggal 25 Dzulqaidah, Nabi disertai semua isterinya, menginap satu malam di Dzi al-Hulaifah, kemudian melakukan Ihram sepanjang Subuh, dan mulai bergerak masuk Mekah 4 Dzulhijjah. Akar-akar syirik telah dihapuskan dari Mekah, dan Mekah menjadi sebuah kota suci bagi kaum muslim, tempat berkumpulnya muslimin dari seluruh penjuru dunia, dengan menggunakan pakaian yang sama, menuju Tuhannya, tidak ada perbedaan, baik kaya, miskin, raja, rakyat, semuanya sama dihadapan Tuhan, yang membedakannya adalah takwa.
                                                                                                             
13.  Meninggalnya Nabi Muhammad S.A.W
Muhammad wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijrah atau  8 Juni 632 di Madinah pada usia 63 tahun. Muhammad wafat setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai rasul dan pemimpin negara. Muhammad berjaya membawa manusia ke jalan yang benar dan menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab, berilmu dan berakhlak mulia. Rasulullah adalah contoh terbaik bagi semua manusia sepanjang zaman.
2.      Konsep Tauhid
Diantara peradaban-peradaban dunia yang membentang luas dibumi ini, Apabila diamati secara seksama, benar jika memiliki perbedaan-perbedaan. Sebagaimana Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah diceritakan diatas pada bagian Biografi Muhammad mampu menyatukan umat Islam dengan kalimah Tauhid dan ajaran Moralitasnya. Tauhid inilah juga yang menjadi perbedaan dengan peradaban-peradaban yang lain. Tentu hal inilah juga yang menjadi penting untuk dikaji bagi umat Islam, “Tidak mungkin orang dapat mengenal dengan baik, jika tidak mengenal sejarah orang yang membawa Islam itu”[5] begitulah suatu pesan yang disampaikan oleh Husain Haekal. Sayid Sulaiman An-Nadawi mengatakan dengan tegas, “Sesungguhnya akidah tauhid yang datang bersama Rasul (Muhammad) adalah akidah yang sanggup membuat manusia merdeka dari rasa ketakutan yang tergores dalam perasaanya’.[6]
Dengan keungulan akidah ini, dia tidak takut kepada salah seorang pun kecuali Allah, setelelah Allah menggerakan dirinya untuk menyembahnya seperti; Matahari, Bumi, sunggai, Lautan, telah melekatkan baginya pemberian kekuasaan, keagunan yang maha menghukumi untuk membangun manusia.  Sehingga bukan tampak seperti  Tuhan rakyat Babilon Mesir, Tuhan orang India, dan Iran yang semua itu hanyalah pembantu manusia. Bukan merupakan Tuhan yang dinisbatkan kepada para raja dan melepaskan titisan ketuhanan kepada mereka, tapi hanyalah manusia yang diangkat dan diturunkan.
Raghib As-Sirjani memberikan pemaparan bahwa Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang mempunyai pengaruh sepanjang masa dalam peradaban Islam, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, tidak menuhankan seorang hakim. Pandangan ini telah menguasai beberapa zaman dan peradaban pada masa silam. Keyakinan yang menguasai ketika itu adalah bahwa seorang hakim merupakan makhluk dari unsur tinggi manusia, namun kaum muslim menafikkan keyakinan ini dengan suatu pandangan akan kemungkinan perhitungan seorang hakim bisa saja salah atau kurang. Hanya Tuhan sebagai hakim mutlak yang memberikan jalan kepada manusia berupa syariat-syariat dan undang-undang supaya menjadi panutan oleh para makhluk-Nya. Dengan inilah manusia merasa mulia dengan sisi kemanusiaannya, karena dia tidak merendahkan diri kepada salah seorangpun dari makhluk ciptaan Allah. Dia beramal dan berpikir secara bebas, mengarahkan perbuatan, pemkirannya hanya untuk mencapai keridhaan tuannya. Ia mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan, tiada satu ayat dari Al Qur’an kecuali selalu menyeru pada ajaran tauhid, sebagamana firman-Nya, “Hai manusia, ingalah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan dari bumi. Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”(Fathir:3)
Kedua, persamaan derajat antar manusia. Tak ada yang satu mulia dan yang satu rendah. Tak ada siapa yang berkedudukan tinggi, yang lain rendah. Tidak ada perantara, manusia atau dukun. Semuanya sama diciptakan oleh Tuhan Yang Satu, menyembah satu Rabb. Semua manusia seperti barisan gigi sisir, tidak adaperbedaan warna, bangsa dan lainnya kecuali keimanan dan ketakwaan, mengangkat kedudukan manusia dan kemerdekaannya dari kekuasaan saudaranya sesama manusia. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi dalam mengumumkan dasar-dasar yang menakjubkan ni dalam khutbah Wada’,”Hai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian adalah satu, tidak ada kelebihan atas orang Arab terhadap ‘ajam (non Arab), tidak pula bangsa‘ajam terhadap Arab, tidak yang berkulit merah di atas kulit hitam, tidak yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan takwa…”
Ketiga, Meniadakan sekutu selain Allah. Islam membersihkan dari setiap bentuk penyembahan berhala, baik dalam bentuknyayang lama berupa patung dan berhala, maupun dalam bentuk yang baru yaitu denan mendewakan sesuatu seperti menyucikan negara yang membuat hokum kafir dan aturan ibadah terhadap seseorang. Manusiaa tidak merendahkan diri terhadap peradaban ini kepada seorang pundari makhluk Allah, tapi hanya mengkhususkan ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Keempat, penggambaran yang benar tentang sang pencipta dan alam semesta serta hari hisab. Manusia hidup di dunia, memakmurkan alam semesta in dan memandang akhirat dan tempat hisab dan balasan.

3.      Konsep Moral
a.    Melacak Makna Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin Moralis –mos, moris yang berarti adat; istiadat; kebiasaan; cara; tingkah laku; kelakuan, atau berasal dari kata mores yang berarti adat istiadat; kelakuan; tabiat; watak; akhlak; cara hidup.[7] Moral terkait dengan kegiatan manusia dari sisi baik/buruk, benar/salah dan tepat/tidak tepat. Sidi Gazalba menyatakan, bahwa moral dalam bahasa Indonesia disebut susila. [8]Kata susila memiliki arti antara lain; adat-istiadat yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; pengetahuan tentang adab; dan ilmu adab.[9]
Selanjutnya Gazalba menyatakan bahwa moral itu sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Dia menyimpulkan bahwa moral itu suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.[10] Lebih lanjut, Sidi Gazalba menjelaskan ada perbedaan antara moral dan etika.
Moral bersifat praktik sedangkan etika bersifat teoritik. Moral membicarakan apa adanya, sedangkan etika membicarakan apa yang seharusnya. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.[11] Dengan demikian, maka menjadi jelas perbedaan antara moral dan etika. Oleh karena sebagian etika membicarakan masalah moral secara filosofis, maka etika yang seperti ini disebut dengan filsafat Moral.
Sementara itu Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Jadi menurutnya yang menjadi permasalahan bidang moral adalah apakah manusia ini baik atau buruk.[12] Dalam bahasa Arab moral sering disepadankan dengan istilah ”Akhlaq”. Uraian lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat sebagai berikut.
Pertama, ‘ilm al-akhlaq, istilah ini dalam kamus "Al-Mawrid" diterjemahkan dengan etika (ethics), moral (morals), dan filsafat moral (moral philosophy).[13] Sementara itu dalam kamus "al-Mu'jam al-Wasith" istilah "'ilm al-Akhlaq" didefinisikan sebagai "'ilmun maudlu'uhu ahkamun qimiyyatun tata'allaqu bi al-a'mal al-lati tushafu bi al-khusni aw al-qubhi".[14] Ibnu Sina, misalnya, menulis sebuah buku dengan judul “’Ilm al-Akhlaq “ yang berisi uraian tentang etika.
Kedua, falsafat al-akhlaq, misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh Manshur Ali Rajab berjudul “Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq”.[15] Kitab yang ditulis oleh Muhammad Yusuf Musa dengan judul “Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat al-Ighriqiyah”[16].
Ketiga, al-Akhlaq, misalnya dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Muhammad ‘Abd Allah al-Darraz dengan judul “Dustur al-Akhlaq fi al-Quran: Dirasat Muqaranat li al-Akhlaqi al-Nadzariyat fi al-Quran”;[17] Kitab yang ditulis oleh Zaki Mubarak dengan judul “al-Akhlaq ‘indal-Ghazali”;[18] Kitab yang ditulis oleh Ahmad Amin dengan judul “Kitab al-Akhlaq”;[19] Kitab yang ditulis oleh As’ad al-Sahrani dengan judul “al-Akhlaq fi al-Islam wa al-Falsafah al-Qadimah”.[20]
Keempat, al-Adab, misalnya, kitab yang ditulis oleh al-Mawardi dengan judul “Adab al-Dunya wa al-Din;[21] kitab yang ditulis oleh Ibnu Jama’ah dengan judul “Tadzkirat al-Sami’ wa al-Muta’allim fi Adab al-’Alim wa al-Muta’allim ”;[22] kitab yang ditulis oleh Hasyim Asy’ari dengan judul “Adab al-'Alim wa al-Muta'allim fi Ma Yakhtaju Ilaih al- Muta’allim fi Akhwal Ta’allum wa Ma Yatawaqqaf 'alaih al-Mu’allim fi Maqam at-Ta’lim”,[23] Dua kitab yang disebut terakhir ini, yang menggunakan kata "adab", adalah kitab tentang “etika Islam terapan” dalam bidang akademis atau pendidikan.
Melihat uraian di atas, maka ada dua istilah yang sepadan dengan moral, yaitu istilah “akhlaq” dan “adab”. Secara detail dua istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, istilah “akhlaq” merupakan kata kunci dalam membahas masalah moral ini, karena istilah “akhlaq” lebih dikenal dalam pembahasan masalah etika dalam Islam dan bentuk mufradnya, “khuluq”, secara langsung tercantum di dalam teks al-Quran maupun Hadith Nabi SAW. Dalam al-Quran surat al-Qalam ayat 4 terdapat kata “khuluq” yang berarti budi pekerti. Ayat tersebut berbunyi: Artinya: "Sesungguhnya engkau di atas budi pekerti yang baik" (QS. Al-Qalam, 68: 4)[24] Dalam Surat Asy-Syu’araa’ ayat 137 yang berarti adat kebiasaan. Ayat tersebut berbunyi: Artinya: "Tidaklah ini kecuali adat kebiasaan orang-orang yang terdahulu" (QS.Asy-Syu’araa’: 137)[25]
Kata “akhlaq” merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq” atau “khilq”yang berarti perangai (al-Sajiyah), kelakuan atau watak dasar (al-Thabi’ah), kebiasaan (al-‘Adat), peradaban yang baik (al-Muru’ah), dan agama (al-Din).[26] Istilah “akhlaq” sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, yaitu akhlak. Kata “akhlak” dalam bahasa Indonesia berarti budi pekerti; kelakuan.[27]
Muhammad Quraish Shihab membedakan antara istilah akhlak dan etika. Dia menyatakan sebagai berikut;
“Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).”[28]

Pandangan Quraish Shihab di atas, yang membedakan antara akhlak  dalam ajaran agama dengan etika, dapat dipahami sepanjang perbedaan antara akhlak dan etika itu secara umum, tetapi persoalannya ketika etika itu kemudian juga ditarik dari ajaran agama tertentu, agama Islam, misalnya, yang kemudian menimbulkan etika dalam perspektif agama tertentu, misalnya, etika dalam Islam, maka perbedaan itu tidak perlu lagi dipersoalkan. Jadi yang membedaka bukan antara kata akhlak dengan etika saja, tetapi yang membedakan adalah karena akhlak yang dikemukakan oleh Quraish Shihab di atas berdasarkan pada ajaran agama.
Kedua, istilah “adab” yang berarti kebiasaan atau adat, sebagaimana kata Toha Husain, bahwa kata adab berasal dari kata “al-adabu” yang berarti al-‘adab”.[29] Selain itu, beberapa kamus memberikan arti kata adab dengan kesopanan, pendidikan, pesta, dan akhlak.[30] Dengan demikian, kata adab juga dapat berarti etika. Ensiklopedi Islam yang ditulis oleh Cyril Glasse juga memberikan arti adab dengan kesopanan, sopan-santun, tata krama, moral, dan sastra.[31]
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern memberikan arti adab yang disejajarkan dengan istilah etika. Dalam Ensiklopedi itu ditulis adab adalah refleksi tentang ideal-ideal mulia yang harus menginformasikan praktik keahlian sebagai negarawan, dokter, usahawan, dan kegiatan penting lainnya kepada masyarakat.[32]
Dengan penjelasan ini tampaknya kata adab lebih dekat dengan arti etika khusus atau etika terapan. Hal ini dapat diperkuat dengan melihat beberapa buku yang ditulis oleh beberapa ahli, misalnya, buku yang ditulis oleh Al-Ruhawi yang berjudul “Adab al-Thabib”, buku yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bernama “Adab al-Ta’lim wa al-Muta’allim ”, dan sebagainya. Kata adab sudah sejak lama diadopsi kedalam bahasa Indonesia. Kata adab dalam bahasa Indonesia juga mempunyai arti kesopanan, kehalusan, kebaikan budi pekerti, dan akhlak.[33] Dengan demikian, maka kata adab dapat diterjemahkan dengan istilah etika, tetapi tampaknya lebih mengarah pada etika terapan.
Hamzah Ya'qub menulis lima karakteristik etika Islam yang menurutnya dapat membedakannya dengan etika yang lain.[34] Lima karakteristik etika Islam yang dimaksud adalah:
Pertama, etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
Kedua, etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT., yaitu ajaran yang berasal dari al-Quran dan al-Hadith.
Ketiga, etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
Keempat, ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
Kelima, etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridlaan-Nya.
Dengan melaksanakan etika Islam niscaya manusia akan selamat dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.[35] Selain karakteristik etika Islam, sebagaimana yang dikemukakan di atas, Choirul Huda membuat aksioma etika Islam dengan berbagai indikatornya sebagai berikut.[36]
Pertama, etika Islam bersifat unitas, yaitu berkaitan dengan konsep tauhid. Bentuk keseluruhan homogen dari segenap aspek kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, agama, dan sebagainya. Kesesuaian ini bersifat konsisten.
Kedua, equilibrium. Berkaitan dengan konsep al-‘Adl (keadilan) merupakan suasana keseimbangan diantara pelbagai aspek kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi, agama, dan sebagainya) yang membentuk tatanan sosial yang harmonis.
Ketiga, kehendak bebas. Kemampuan manusia untuk bertindak tanpa paksaan dari luar sesuai dengan parameter ciptaan Allah SWT serta posisinya sebagai khlalifatullah di muka bumi.
Keempat, tanggung jawab. Kebutuhan manusia untuk bertanggungjawab atau mempertanggung-jawabkan tindakan yang dilakukannya.
Kelima, ikhsan yang merupakan suatu tindakan yang menguntungkan orang lain.[37]
b.    Moral dalam Struktur Ajaran Islam
Pada umumnya para ahli membagi ajaran Islam menjadi tiga kelompok. Pertama, ajaran tentang aqidah. Ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah adalah membicarakan masalah keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan rukun iman, yaitu antara lain masalah percaya kepada Allah SWT. sebagai satu-satunya Tuhan. Kedua, syari’ah. Ajaran Islam yang berkaitan dengan syari’ah ini menyangkut masalah hukum Islam yang biasa disebut dengan fiqih. Ketiga, akhlaq, yaitu ajaran Islam yang terkait dengan masalah- masalah ajaran moral.
Selain pembagian di atas, sebagian ulama, misalnya, Syaltut, membagi ajaran Islam hanya menjadi dua begian besar, yaitu aqidah dan syari’ah. Sedangkan akhlak atau moral menjadi bagian dari syari’ah, sehingga sebetulnya secara subtansial, pembagian ajaran Islam antara yang pertama dan yang kedua sama, tetapi yang kedua mereduksi akhlak menjadi bagian dari syari’ah. Kedua pembagian ajaran Islam, sebagaimana yang diungkapkan di atas, tidaklah jelas memberikan gambaran tentang struktur ajaran Islam. Apakah aqidah sebagai ajaran inti, dan di manakah akhlak ditempatkan dalam susunan ajaran Islam tersebut, apakah memang betul akhlak menjadi subordinat dari syari’at, dan lain sebagainya.
Menurut sosiologi moderen, kebebasan seseorang diikat oleh undang undang (syari’at), syari’at bersumber dari akhlak atau moral, dan moral atau akhlak bersumber dari kepercayaan kepada Allah SWT.”[38] Moral sebagai ajaran Islam, menempati urutan kedua setelah ajaran inti, yaitu ajaran Tauhid. Ini artinya moral dalam Islam seharusnya selalu dijiwai oleh ajaran Tauhid. Sementara syari’ah sebagai ajaran Islam menempati urutan ketiga dari ajaran inti, Tauhid, setelah akhlak (moral). Berarti syari’ah dalam Islam harus selalu dijiwai oleh Tauhid dan moral. Tidaklah boleh syari’at dan pelaksanaannya keluar dari kerangka dan ajaran Tauhid dan moral.
Sementara itu, masalah-masalah kehidupan, seperti kebebasan dan yang lain, harus selalu terikat atau paling tidak dijiwai oleh syari’at Islam. Dengan demikian, maka semua kehidupan seorang Muslim seharusnya bertumpu pada ajaran syari’at Islam. Syari’at Islam harus bertumpu pada ajaran moral Islam. moral atau akhlak Islam harus bertumpu pada ajaran Tauhid dalam Islam.
Menurut Hamka, posisi moral atau akhlak dalam struktur ajaran Islam, sebagaimana telah diuraikan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

c.    Aliran-Aliran Moral dalam Islam
Majid Fakhry membagi moral atau etika Islam menjadi empat kelompok. Pertama, moralitas skriptual (scriptual morality). Kedua, etika teologis (theological ethics). Ketiga, etika filosofis (philosophical ethics). Keempat, etika religius (religious theories).[39] Keempat moral atau etika Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.      Moralitas Skriptual
Moralitas skriptual (Scriptual morality) ini berarti sebuah tipe moral atau etika dimana keputusan-keputusan yang terkait dengan etika tersebut diambil dari al-Quran dan al-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi- abstraksi dan analisis-analisis para filosof dan para teolog di bawah naungan metode-metode dan kategori-kategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX M. Kelompok yang termasuk tipe etika ini adalah sebagian para ahli tafsir dan para ahli hadith.
b.      Etika Teologis
Etika teologis (Theological ethics) ini berarti sebuah tipe etika dimana dalam mengambil keputusan-keputusan etika, sepenuhnya mengambil dari al-Quran dan al-Sunnah. Kelompok etika tipe ini adalah kelompok aliran Mu'tazilah dan Asy'ariyah.
c. Etika Filosofis
Etika filosofis (philosophical ethics) ini berarti tipe etika dimana dalam mengambil keputusan-keputusan etika, mendasarkan diri sepenuhnya pada tulisan Plato dan Aristoteles yang telah di interpretasikan oleh para penulis Neo-Platonik dan Galen yang digabung dengan doktrin-doktrin Stoa, Platonik, Phitagorian dan Aristotelian. Termsuk kelompok ini antara lain Ibnu Miskawaih dan penerusnya.
d. Etika Religius
Etika religius (Religious ethics) merupakan tipe etika dimana keputusan etikanya berdasar pada al-Quran, al-Sunnah, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan sedikit kategori sufis. Unsur utama pemikiran etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Tipe pemikiran etika ini lebih kompleks dan berciri Islam. Beberapa tokoh yang termasuk mempunyai tipe pemikiran etika ini antara lain Hasan al-Bashry (w.728 M), al-Mawardi (w. 1058 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Fakhruddin al- Razi (w. 1209 M), Raghib al-Isfihani (w. 1108 M), dan lain- lain.[40]
D.    Simpulan
Ada empat sumber rujukan untuk menyelidiki riwayat hidup Nabi Muhammad SAW : Al-Qur’an Adalah sumber utama dari riwayat hidup Nabi hal ini dikarenakan al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan langsung kepada Rasulullah SAW. Seperti ketika masa kecil Nabi bisa dilihat di dalam al-Qur’an surat ad-Dhuha ayat 6-7. Tentang akhlak beliau di surat al-Qalam ayat 4. Dari situ bisa disimpulkan bahwasannya al-Qur’an adalah sumber yang paling mutawatir.
Sunnah Sumber ini harus berdasar pada rujukan yang sahih seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dll. Sya’ir Arab Syair-syair di sini menceritakan tentang fakta-fakta berkaitan suasana kehidupan Nabi dan dakwah Nabi. Tentunya syair-syair di sini berdasar sumber rujukan yang jelas seperti yang ditulis oleh Hasan bin Thabit, Abdullah bin Rawwahah dll. Kitab-Kitab sirah Adalah kitab yang bersumber dari riwayat-riwayat sahih yang dikumpulkan menjadi sebuah  sirah atau sejarah hidup Nabi.
Raghib As-Sirjani memberikan pemaparan bahwa Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang mempunyai pengaruh sepanjang masa dalam peradaban Islam, diantaranya sebagai berikut. Pertama, tidak menuhankan seorang hakim. Kedua, persamaan derajat antar manusia. Ketiga, Meniadakan sekutu selain Allah. Keempat, penggambaran yang benar tentang sang pencipta dan alam semesta serta hari hisab.
Hamzah Ya'qub menulis lima karakteristik etika Islam yang menurutnya dapat membedakannya dengan etika yang lain. Lima karakteristik etika Islam yang dimaksud adalah: Pertama, etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. Kedua, etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT., yaitu ajaran yang berasal dari al-Quran dan al-Hadith. Ketiga, etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
Keempat, ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia. Kelima, etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridlaan-Nya.

E.     Daftar Pustaka
-          Haekal, Muhammad Hussain, Sejarah Hidup Muhammad, Penerbit: Litera Antarnusa.
-          Sibaie, Mustafa, Sirah Nabawiyah, Penerbit: Era Intermedia Sinopsis.
-          Raghib As-Sirjani. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Terj. (Sonif, Masturi Irham, dan Malik Supar). Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2009
-          Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
-          Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden-New York: E.J. Brill, 1991)
-          Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
-          Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Arasy Mizan, 2005)
-          Hamzah Ya'qub, Etika Islam Etika Islam Pembinaan Akhlaqul karimah (Suatu Pengantar),(Bandung: Diponegoro, 1983)
-          Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
-          Jamil Shaliba, al Mu'jam al Falsafi, Juz I, (Mesir: Dar al Kitab al Mishri, 1978), hal. 539. lihat pula Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
-          Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996)
-          Muhammad 'Abid al-Jabiri, al-Aqlu al-Akhlaqi al-Arabi: Dirasah Tah{liliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah (Maroko: Markaz Dirasat al-Wihdah al-'Arabiyyah,2001)
-          Abu al-Hasan Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Mesir: Dar al-Fikr, 1966).
-          Hasyim Asy'ari, Adab al-'Alim wa al-Muta'allim fi Ma Yah{taju ilaihi al-Muata'allim fi Ahwal al-Ta'allum wa Ma Yatawaqqaf 'Alaihi al-Muta'allim fiMaqam al-Ta'allum (Jombang: 2001).
-          Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:Kanisius, 1987)





[1] Makalah disusun oleh Shohibul Kafi, Umi Khofsoh, M. Ridwan Azhari, di presentasikan pada hari senin 16 November 2015, Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga 2015. Dalam  mata kuliah Pemikiran dan  Peradaban dalam Islam yang diampu oleh bapak Siswanto.
[2] Mustafa Sibaie, Sirah Nabawiyyah, hlm. 10.
[3] Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(al-Alaq 96: 1-5).
[4] Qur’an Surat al-Anfal ayat 30.
[5] Kalimat ini tertuang pada bagian sampul bagian belakang dalam buku Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis oleh Muhammad Husein Haikal yang diterjemahkan oleh Ali Audah.
[6] Sulaiman An-Nadawi (1953) adalah salah satu seorang ulama kaum Muslim di benua India. Pernah menjadi wali Hakim di Buhbal, menjadi wali dalam kedudukanya profesi lain dan menerbitkan Majalah Al-Ma’arif. Dia juga menulis buku yang dicetak dalam bahasa Urdu dan sebaian diterjemahkan kedalam bahasa Turki. Bukunya yang paling terkenal ialah Sirah Nabawiyah (sepuluh Jilid). Raghib As-Sirjani. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Terj. (Sonif, Masturi Irham, dan Malik Supar). Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2009. Hlm. 55.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 672.
[8] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet., ke-3, h. 512.
[9] Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,Cet. ke-3, 1994), hal., 980.
[10] Sidi Gazalba., Op. Cit., h. 512.
[11] Ibid.
[12] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta:Kanisius, 1987), h. 18-20.
[13]  Rohi Balbaki, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary (Beirut: Daar al-'Ilm Lilmalayin, 1993, h. 521.
[14] Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu'jam al-Wasit}, Juz I, h. 252.
[15] Manshur Ali Rajab, Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq (Mesir: Maktabat al-Anhalu al- Mishriyyah, 1961), cet., ke-3.
[16] Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Silatuha bi al-Falsafat al- Ighriqiyah (Kairo:Muassasat al-Khanji, 1963), cet., ke-3.
[17] Muhammad 'Abd Allah Darraz, Dustur al-Akhlaq fi al-Qur’an: Dirasat Muqaranat li al-Akhlaqi al-Nadzariyat fi al-Qur’an (Kuwait, Dar al-Buhuts al-'Ilmiyyah, 1991), cet., ke-8.
[18] Zaki Mubarak, al-Akhlaq ‘ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Katib al-'Arabiy li al-Thiba'at wa al-Nasyr, t.t).
[19] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq (Kairo: Mathba'at Dar al-Kutub al-Mishriyyat, 1929), cet.,ke-3.
[20] As'ad al-Sahmaraniy, al-Akhlaq fi al-Islam wa al-Falsafah al-Qadimah (Bairut: Dar al-Nafais, 1993), cet., ke-3.
[21] Abu al-Hasan Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Mesir: Dar al-Fikr, 1966). 20
[22] Badr al-Din Ibn Jama'ah, Tadzkirat al-Sami’ wa al-Muta’allim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim (Hyderabad: Da'irat a-Ma'arif – 'Usmaniyyah, 1354 H)
[23] Hasyim Asy'ari, Adab al-'Alim wa al-Muta'allim fi Ma Yah{taju ilaihi al-Muata'allim fi
Ahwal al-Ta'allum wa Ma Yatawaqqaf 'Alaihi al-Muta'allim fiMaqam al-Ta'allum (Jombang: 2001).
[24] Depag RI, Al-Quran dan Terjemahan (Jakarta:Depag RI,1996), h. 960
[25] Ibid., h. 583
[26] Jamil Shaliba, al Mu'jam al Falsafi, Juz I, (Mesir: Dar al Kitab al Mishri, 1978), hal. 539. lihat pula Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 2.
[27] Tim Penyusun Kamus Depdikbud., Op. Cit.,h. 17.
[28] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 261.
[29] Muhammad 'Abid al-Jabiri, al-Aqlu al-Akhlaqi al-Arabi: Dirasah Tah{liliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah (Maroko: Markaz Dirasat al-Wihdah al-'Arabiyyah,2001), cet., ke-1, h. 42.
[30] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 13-14
[31] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 11.
[32] John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, cet. ke 2 (Bandung:Mizan, 2002), h. 24.
[33] Tim Penyusun Kamus Depdikbud., Op. Cit., h. 5.
[34] Hamzah Ya'qub, Etika Islam Etika Islam Pembinaan Akhlaqul karimah (Suatu Pengantar),(Bandung: Diponegoro, 1983), h. 14.
[35] Ibid.
[36] Choirul Huda, Ulumul Quran, Nomor 3/VII/’97/ h. 10-23.
[37] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Arasy Mizan, 2005), Cet 1, h. 203-210.
[38] Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 68.
[39] Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden-New York: E.J. Brill, 1991), h. 7
[40] Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden-New York: E.J. Brill, 1991), h. 7

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KONSEP TAUHID DAN MORAL NABI MUHAMMAD "

Post a Comment