METODE TAFSIR AL QUR’AN

(Metode Ijmali,Tahlili, Muqarin dan Maudlu’i)


أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)          

Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka
cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan
panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil
 (untuk membuatnya) selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar."
(Q.S. Yunus : 38)
A.    Latar Belakang
Kurang lebih 16 Abad Islam berkembang di seluruh penjuru dunia dengan kekhasan masing-masing. Menuntut kemungkinan akan adanya kelahiran disiplin ilmu pengetahuan. Selama 16 abad itu juga umat Islam tidak keluar dari koridor al-quran sebagai huda, sebagai hujatul Islam dan sebagai masa depan umat. Tentu tidak heran al-quran yang merupakan sumber primer ini memoar pelbagai cara untuk memahami dan memberikan solusi atas perkembangan umat Islam dipenjuru dunia.
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafisr dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah metode tahliliy, ijmali, muqaran, dan maudhu’i.
Banyak cara untuk menafsirkan  yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah hanya mengambil empat metode tafsir saja yaitu tahliliyijmaliy, muqaran, dan maudhu’i. Pentingnya metode tafsir tahliliijmali, muqaran dan maudhu’i dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri. dan mengingat empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir(ulama tafsir) dalam karyanya.
B.    Rumusan Masalah
C.   Makalah ini akan difokuskan pada beberapa pembahasan diantaranya sebagai berikut;
1.    Selayang Pandang Metode Tafsir’
2.    Metode-metode Penafsiran
A.             Pembahasaan
1.               Selayang Pandang Metode Tafsir
Berkaitan dengan metode dan metodologi Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarticara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.
Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pikiran).
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.
2.    Metode-Metode Penafsiran
1.    Tafsir Tahlili
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu:[1]  Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Ciri-ciri metode  tahlili.
Penafsiran  yang mengikuti metode  ini  dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]: Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H], Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir]  karangan  Ibn Katsir  [w.774H],  al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain: Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan  al-Baydhawi [w.691H], al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H], ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H], Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H) al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari, Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H). Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitab-kitab  tafsir di atas  terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara  komprehensif  dan menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur maupun al-ra’y. Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini  dikemukakan  beberapa  corak  tafsir  yang  tercakup  dalam  tafsir  tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi  peringkatnya  adalah  tafsir  yang  berdasarkan  ayat  al-Qur’an  yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah  tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat  terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Tafsir al-Ra’y, yaitu  tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri  al-ra’y  yang menggunakan metode  analitis  ini,  para mufassir memperoleh  kebebasan,  sehingga mereka  agak  lebih  otonom  [mandiri] berkreasi  dalam memberikan  interpretasi  terhadap  ayat-ayat  al-Qur’an selama masih dalam batas-batas  yang diizinkan oleh  syara dan  kaidah kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan[2].
Para ulama  telah menetapkan syarat-syarat  diterimanya  tafsir  ra’y  yaitu,  bahwa  penafsirnya:  [1]  benar-benar menguasai  bahasa Arab  dengan  segala  seluk  beluknya,  [2] mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain, [3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,  [4]  tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
Metode tahlili (analitis) juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya:
Kelebihan:
Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
Memuat berbagai  ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang  luas kepada mufassir untuk mencurahkan  ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan  terbukanya pintu  selebar-lebarnya  bagi mufassir  untuk mengemukakan  pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
Kelemahan
Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah  atau  norma-norma  penafsiran.
Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.
2.    Metode Ijmali
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[3] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[4]
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
3.    Metode Muqarin (Komparatif)
Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan  [c] membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir  al-Qur’an  dengan menggunakan metode  ini mempunyai cakupan  yang  teramat  luas. Ruang  lingkup  kajian  dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. .
Ciri utama metode  ini adalah ”perbandingan”  (komparatif). Di sinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a.    Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b.    Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c.    Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :
a.    Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

b.    Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

c.    Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

d.    Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

e.    Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)

ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

f.     Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

g.    Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

h.    Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.

Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)

Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.

Membandingkan pendapat para mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.[5]
Kelebihan:
Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat, Dengan menggunakan metode  ini, mufassir  didorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.

Kelemahan:
Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim, Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah, Metode  ini  terkesan  lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun menjadi satu kitab.

4.  Metode Maudhu’i [Tematik]
Metode  tematik  ialah metode  yang membahas  ayat-ayat  al-Qur’an sesuai dengan  tema atau  judul yang  telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan  dihimpun,  kemudian  dikaji  secara mendalam  dan  tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat.  al-Qur’an  dikaji dengan mengambil  sebuah  tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an  dan sebagainya.[6]
M. Quraish Shihab[7], mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema  ragam  dalam  surat  tersebut  antara  satu  dengan  lainnya  dan  juga dengan  tema  tersebut,  sehingga  satu  surat  tersebut  dengan  berbagai masalahnya merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin  diurut  sesuai  dengan  urutan  turunnya,  kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh  tentang masalah yang dibahas  itu.
Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan  kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya  kandungan  pesan  tersebut  diisyaratkan  oleh  nama  surat  yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[8].
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang  termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.
Di Irak,  seorang  pakar  tafsir  yang  bernama  Muhammad  Baqir  al-Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini. Al Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).[9] 
Penerapan metode ini sebenarnya baru dirintis oleh Universitas al-Azhar dan seluruh  fakultas  yang  bernaung  dibawahnya.  Kajian  metode  ini  pertama  kali dilakukan oleh Ahmad al-Sayyid al-Kumy yang menjadi ketua jurusan pada fakultas Usuhuluddin. Sebagai seorang ketua jurusan yang menaungi mahasiswa yang intens terhadap kajian-kajian al-Qur’an dan tafsir maka mudah bagi al-Kumy dalam mengembangkan metode Maudu’iy ini.
Dalam pandangannya,[10]  ia  mengatakan  bahwa  era  dimana  manusia  hidup adalah era ilmu dan kebudayaan; era yang membutuhkan kepada metode Maudu’iy yang dapat mengantarkan manusia untuk sampai pada suatu maksud dan hakikat suatu persoalan  dengan  cara  yang  paling  mudah. Untuk menghadapi kondisi yang demikian,  tidak  ada  lain kecuali dengan menggunakan senjata yang kuat, jelas dan mudah yang dapat membela telaga-telaga agama  dan  mempertahankan  tiang-tiang  agama.  Persoalan  tersebut  tidak  dapat terselesaikan kecuali dengan menggunakan metode Maudhu’iy yang dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam al-Qur’an dan meliputi segala seginya.
Dari fakultas ini banyak tulisan mahasiswa yang mengkaji kajian-kajian baru dalam tafsir al-Qur’an dari segala seginya. Misalnya kajian tentang taqwa, sholat, puasa, haji,  zakat,  sumpah, peperangan, manusia dalam al-Qur’an dan lain-lain. Disamping  itu  juga  lahir  kajian-kajian  al-Qur’an  yang  mengungkap  satu  surah, misalnya surah al-Fatihah, Yasin, Al-Fath, al-Kahf, al-Hujurat, Yusuf, Al-Ahzab, alNur, dan lain-lain.
Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan  Ahmad Kamal Mahdy,  Muqawwamat al-Insaniyah fi  al-Qur’an  karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li  al-Ayat  al-Qur’aniyah”  dalam  dua  jilid  dengan  memilih  banyak  topik  yang dibicarakan  al-Qur’an.  Dalam  menghimpun  ayat-ayat  yang  ditafsirkan  secara Maudu’iy, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekah sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah. Para Ulama' yang menulis kitab-kitab dengan mamakai metode seperti.
Juga termasuk tafsir Maudlu'iy diantaranya adalah :
·         Abu Ubaidillah dengan buku Mujazul Qur'an Al-Raghi
·         Al-Ish Fahamidalam buku Mufrodatul Qur'an.
·         Ibn Qoyyim dalam buku Al-Bayan Fi Aqsamul Qur'an.
·         Ibn Ja’far An-Nuhas dalam buku An-Nasikhu Wal Mansikh Minal Qur'an.
·         Al-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul
Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy”. Dalam  buku  itu diungkapkan  secara  rinci  tentang  langkah-langkah  dalam menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
a)    Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas
b)    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c)    Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab al-Nuzul)
d)    Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya masing-masing
e)    Menusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f)     Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan      antara yang ’am dan yang khas, mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[11]
Sedangkan  Quraish  Shihab  mengembangkan  langkah-langkah  metode Maudu’iy  yang dipaparkan al-Farmawy tersebut  dengan  langkah-langkah  sebagai berikut:
a)    Penetapan masalah yang dibahas
b)    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Walau metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk pada penggunaan al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari Tafsir  bi al-Ma’thur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode Maudu’iy.[12]
Metode  ini  memiliki  beberapa keistimewaan dibandingkan dengan metode-metode lain yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya adalah:
a)    Menghindari problem atau kelemahan metode lain
b)    Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
c)    Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Kelemahan
Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
Memasung dan membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebu
Teks Al qur’an sesuatu yang bersifat absolut dan permanen sementara tema-tema (waqi’iyyah) terus berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dengan berbagai tema yang ada. Untuk itu metode ini memungkinkan munculnya pemerkosaan terhadap ayat atas konteks permasalahan yang ada dalam dunia kontemporer. Misalnya kata al Sayyarah, akan terjebak dengan pengertian makna maudzu’ dimaknai dengan mobil, ayat hatifun, dimaknai sebagai ayat tema - tema telepon dll.


3.               Bagan dan tabel                                                                         

                                                                                                     







Metode Mawdhu’iy
Metode Analisis
Ø   Mufasir dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalammush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian
Ø   Mufasir tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya
Ø   Mufasir dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebabnuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.
Ø   Mufasir berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
Ø   Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
Ø   Mufasir berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat
Ø   Sebaliknya
Ø   Mufasir biasanya hanya mengamukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.

Metode Mawdhu’iy
Metode Komparasi
Ø   Mufasir disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Ø   Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut atau perbedaan kasus atau masalah
Seperti misal : Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta’wil, (tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan)

4.               Kesimpulan
Pertama Tafsir terdiri dari empat bagian : pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Kedua, Ada dua jenis pembatasan dalam tafsir al-Qur’an, yaitu : menyangkut materi ayat-ayat dan menyangkut syarat-syarat penafsiran.
Ketiga,  Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu : al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Riwayat)dan al-Tafsir bi al-Ra’y (Pemikiran). Keempat, Secara garis besarnya ada empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai sekarang, yaitu: ijmaliy  (global), tahliliy (analistis),muqaran (perbandingan)dan mawdhu’iy (tematik)

DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).
Abdul Hay Al-Famawiy, Dr., Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977.
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975.
Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, dar al-Fikr, Beirut, 1988.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II., Al-Halabiy, Mesir, 1957.
————–, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-Fikr, 1988.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. 1989.
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003.
Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judulAz-Zahirah Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, Beirut, 1980.
Muhammad Husain Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I.
Nasharuddin Baidan, Prof. Dr., Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000
Quraish Shihab, Prof. Dr.. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.
M. Quraish Shihab, Dr. MA, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan, Bandung, 1994.






[1] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 49.
              [2] Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973).  342
[3] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm.43-44.
[4] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 67.
                        [5] Untuk lebih memperkuat konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato guru besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perepektif Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
                        [6] Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003, Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
            [7] Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh dalam bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah
            [8] Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 23
[9]  Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 24.
[10] Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 25.
            [11]  Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy ,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 62.
[12]  Quraish Shihab, Dr. MA, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan, Bandung, 1994. Hlm. 23.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "METODE TAFSIR AL QUR’AN"

Post a Comment