PROBLEMATIKA METAFISIKA

1.      Pengantar Metafisika
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya.[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3]
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
2. Beberapa Masalah Utama Metafiska
1.      Tuhan (Theologi)
Terdapat beberapa pandangan menganai Tuhan baik dari Islam sendiri maupun di luar Islam. Islam memegang teguh prinsip yang telah ditetapkan oleh Nash, yaitu keesaan-Nya yang mutlak. Lebih lanjut, para pemikir Islam mewarisi teori khususunya Tuhan dari para filosof Yunani. Pertama, yang menyebut Tuhan sebagai “Pengerak Yang Tidak Bergerak”  (Aristoteles) yakni sebab pertama bagi gerak seluruh alam wujud.
Teori kedua, ialah teorinya Plato, dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu yang memandang Allah “Esa” dan Yang Esa itu melimpahkan Al-Aqlul-Aqqal (firts Mind akal pertama) kemudian An-Nafsul-Kulliyyah (Universal Soul, Jiwa Keseluruhan) dan Al-Hayula (Primordial Metter, Benda Pertama, Natur dan Alam). Akan tetapi, “Yang Esa” menurut pandangan Metafisik pada dasarnya berbeda dengan pengertian eksistensi yang dikumandangankan Aristoteles.
Selanjutnya, Al-Kindi sendiri berbeda dengan Plato maupun Aristoteles, ia lebih memandang mengenai Tuhan ialah Al-Wahidatul Haqq (Satu Yang Hakiki). Selanjutnya Al-farabi bahwa menurutnya Allah adalah Al-Mujudul Awwal (Eksist Pertama)
2.      Alam Semesta (Kosmologi)
Apakah alam itu qodim, ataukah muhdas? Bagaimanakah alam diciptakan? Dari apakah alam diciptakan? Semua itu merupakan problematika pokok yang dibahas para ulama ahli kalam. Kaum filosof berpegang teguh pada pendapat yang mereka warisi dari orang Yunani; bahwa alam adalah qadim (Azali). Ini ditegaskan Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus, alam memang qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya.
Dari pandangan filosof diatas, nampaknya bertentangan dengan pandangan Islam yang menegaskan bahwa, Tuhan sama sekali berlainan dengan alam dan Maha Tinggi dari segala sesuatu. Islam menegaskan, tuhan-lah yang menciptakan alam dari ketiadaan, dan Tuhan Maha kuasa meganti ciptaanya dengan ciptaanya yang lain, atau mengembalikannya lagi seperti semula.
Para filosof Islam memang berbeda pandangan menghadapi teori-teori tersebut. Sebagaian diantara mereka mengikuti teori Islam yang menetapkan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, bahwa alam adalah qadim, tetapi mereka berusaha menafsirkannya dengan penafsiran yang tidak menginkari kekuasaan Tuhan yang dapat menciptakan segala sesuatu.
3.      Manusia (Antropologi)
Dalam catatan sejarah, telah tercatat bahwa ketika manusia terdapat dua dimensi yang mendasari manusia. Tentu yang pertama ialah aspek jasmani dan aspek rohani. Selain daripada itu, karya filsafat Yunani klasik juga menekankan pada aspek atau dimensi kejiwaan ketimbang aspek-aspek jasmani. Pada dasarnya Islam tidak mengenal adanya perbedaan diantara sesama manusia kecuali atas dasar ketakwaan kepada Allah dan kebaikan prilaku dalam kehidupan.
Dipihak yang lain, Islam juga tidak memandang dari segi prilakunya saja, atau dari segi kejiwaanya saja sehingga melupakan segi jasmaninya. Sebaliknya Islam memandang manusia sebagai mahluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Secara jasmani mempunyai tuntunan-tuntunan sendiri yang perlu dipenuhi agar manusia bisa hidup dengan lurus dan selamat. Dalam segi rohaninya pun mempunyai tuntutan-tuntutan sendiri yang juga harus dipenuhi.
Selanjutnya yang menarik untuk diperhatikan dalam masalah manusia ialah sikap para ahli pikir Islam yang merupakan teori Islam tentng Manusia. Apakah sesungguhnya manusia itu? Jalan apakah yang harus ditempuh manusia dalam kehidupan ini? Pemikiraan mereka pada umumnya telah dipengaruhi oleh berbagai teori filsafat Yunani yang diambil dari Plato dan Aristoteles, terutama teori Aristoteles tentang kejiwaan (psikologi), moral dan politik.





[1]Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosopher (Michigan: Academie Books, 1986) hlm.15.
[2] Anton Baker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hlm.25-26.
[3] Imanudin, Filsafat Metafisika, 2010. hlm.4.
[4] Hamlyn, DW, “Metaphysics, History Of”, dalam Honderich, ed., 1993, hlm.556.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PROBLEMATIKA METAFISIKA"

Post a Comment